Share

bab 5. Memasang Cctv

Aku menggenggam tangan mertuaku. "Mi, maafkan Nastiti yang abai pada kondisi Mami."

"Nggak apa-apa. Bocornya nggak terlalu banyak kok."

Mami melihat klengkeng yang kubawa. "Kamu repot-repot aja, Nas."

"Nggak kok, Mi. Tadi ada teman kerja yang baru panen klengkeng. Jadi Nastiti langsung kemari karena ingat sama mami."

"Mami beruntung sekali bertemu dengan menantu seperti kamu."

"Nastiti juga bahagia punya mertua seperti mami."

Suasana hening sejenak. "Kamu, tidak sedang ada masalah dengan suami kamu kan?"

Aku menelan ludah. Mertuaku peka sekali. Mungkin curiga sejak aku datang sendiri kemari. Tapi kalau aku menceritakannya pada beliau sekarang, ada dua kemungkinan yang akan terjadi.

Pertama, mertuaku akan membelaku dan membantuku melakukan rencanaku. Kedua, mertuaku akan mengadu pada mas Arif dan justru menyalahkanku.

Ah, aku tidak mau mengambil resiko.

"Nggak ada, Mi. Semua baik-baik saja."

Mertuaku menatapku antusias. "Hm, mami dulu guru lho, Nas. Jadi tahu kalau lawan bicara sedang menyembunyikan sesuatu. Kamu bisa cerita pada Mami. Mami sudah menganggap kamu anak sendiri."

Anak mami sepertinya selingkuh dengan mbak Sumi. Tapi Nastiti belum punya bukti. Aku ingin mengatakannya. Tapi aku tidak bisa.

Aku hanya mampu menghela nafas. "Memang ada sedikit masalah. Bukan masalah besar, Mami. Sebentar lagi akan selesai." Aku mengulas senyum.

"Benar tidak mau bercerita pada Mami?"

Aku menggeleng.

"Kalau begitu ayo makan dulu. Kebetulan Mami masak rendang kesukaan kamu. Yuk!"

"Nastiti sudah sarapan, Mi. Sekarang Nastiti mau pulang dulu. Karena ada hal yang harus segera dilakukan."

Aku melihat jam dalam layar ponsel. Aku harus segera pulang dan memasang kamera cctv ini sebelum mas Arif dan Sumi pulang dari mall.

"Nanti Nastiti akan mampir kemari bersama dengan mas Arif dan Ana."

"Baiklah. Semoga apapun masalah kamu lekas selesai, Sayang."

"Aaminn. Terima kasih, Mi." Aku mencium punggung tangan mertua lagi lalu menuju ke motor.

Sejenak kubuka mbanking ku. Kuketik nominal 2 juta dan kukirimkan ke nomor rekening mami.

"Mi, Nastiti ada rejeki. Sudah Nastiti transfer ke rekening mami untuk memperbaiki atap bocor. Kalau kurang, Mami bilang saja."

Kulihat mata sepuh itu berkaca. "Terima kasih, Nas. Semoga Allah membalasnya lebih berlipat dan rejekimu selalu berkah."

"Aamiin. Mi, Nastiti pulang ya. Dan tolong jangan bilang pada mas Arif kalau Nastiti kemari sendiri, Mi."

Mami mengangguk. Aku melambaikan tangan sebelum melajukan motorku.

Ah, aku sungguh tak tega. Mertua dan iparku semua baik padaku. Namun kenapa mas Arif justru mengkhianati ku gara-gara asisten rumah tangga yang baru bekerja setengah tahun padaku? Janda dua anak pula.

Mataku terasa memanas. Dengan kasar kuusap air mata yang menetes di pipi tanpa permisi.

*

Begitu sampai rumah, aku segera menyiapkan alat untuk mengganti bohlam biasa dengan bohlam cctv yang kubeli tadi.

Sekarang masih jam 09.30. Sedangkan mall dituju oleh mas Arif, biasanya buka jam 09.00. Jadi kemungkinan sekarang mas Arif masih memilih barang sesuai pesananku.

Untung saja toko elektronik di kotaku, sudah buka jam 07.30. Jadi sudah kuperkirakan akan cukup waktu untuk memasang cctv sebelum target pulang.

Untuk meyakinkan, aku mengirim pesan pada mas Arief.

[Mas, aku lupa menuliskan di notes tadi. Kalau di marketnya, tolong beli sayur pokcoy dan jamur Enoki. Terima kasih.]

Tak menunggu lama, langsung masuk pesan balasan dari mas Arif.

[Siap Nyonya. Ini juga baru masuk ke mallnya. Kalau ada yang lupa, langsung bilang saja.]

[Oh ya, Ana minta mampir ke play ground. Kalau pulang nya agak lama, nggak apa-apa kan? Tapi pasti sudah pulang sebelum kamu pulang dinas.]

[Oke, makasih Mas.]

Hanya ada emoticon senyum sebagai balasan.

Aku segera memasang dua cctv bentuk bohlam sesuai arahan dari YouTube dan pemilik toko. Tak lupa pula untuk menghubungkannya dengan ponselku.

Aku memasang satu kamera cctv di kamar Sumi. Dan satu kamera lagi di kamar Ana.

Aku terdiam saat melihat foto kami bertiga di kamar Ana. Foto saat Ana baru lahir. Aku dan mas Arif sepakat menamainya dengan singkatan nama kami. Ana, Arif dan Nastiti.

Tapi kenapa posisiku sekarang terganti dengan Sumi? Lupakah mas Arif pada janjinya dengan almarhum ayah saat kami menikah? Sebenarnya apa kurangku darinya? Kenapa mas Arif begitu mudah tergoda?

Aku meneguk air hangat dari dispenser seraya duduk di ruang makan. Sebenarnya aku ingin menelepon bunda dan menceritakan apa yang terjadi.

Tapi aku tidak tega. Bunda sudah tua. Beruntung sekali Bunda tinggal dengan kakak lelakiku, Mas Rian dan istri nya, mbak Dela. Mereka sangat baik pada Bunda. Hhhh, aku menyimpan kembali ponselku. Aku tidak ingin membuat bunda kepikiran.

Mendadak terdengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Dan disusul suara pintu mobil dibuka.

Astaga! Mereka sudah pulang? Padahal aku belum keluar dari rumah. Bisa-bisa aku ketahuan kalau pura-pura dines.

Aku melihat jam di ponsel sekali lagi. Lha, sudah hampir jam 12. Pasti mas Arif kaget melihat sco*pyku di teras. Suara langkah kaki kian mendekat seiring dengan pintu depan yang terbuka.

"Assalamualaikum, Ma? Mama di rumah?" terdengar suara mas Arif dari ruang tamu.

Di saat sedang kebingungan, sekelebat ide melintas di benakku.

"Waalaikumsalam, Pa. Tolong Mama!" seruku sambil menjatuhkan diri ke lantai ruang makan.

"Astaga, kenapa Ma?"

Mas Arif langsung menghambur ke arahku diikuti dengan Ana.

"Mama! Mama sakit? Mama kalau sakit disuntik saja seperti di tivi-tivi," cetus Ana dengan mimik wajah khawatir. Membuatku ingin tertawa saja. Tenang Nastiti, kamu kan sedang berakting.

"Tadi aku memang sedang dinas. Mendadak perutku sakit sekali. Mungkin efek mens dan salah makan, Mas. Jadi aku minta ijin pulang lebih dulu sama teman-teman."

"Kamu kenapa ya Ma? Padahal dulu tiap mens juga sakit, tapi nggak separah ini sepertinya. Sudah minum obat?"

Mas Arif membelai pipiku yang meringis kesakitan sambil memegangi perut. Duh, mas Arif, semoga saja laporan Ana tentang selimut kamu itu nggak bener. Kamu yang sebucin ini denganku masa selingkuh sih? Sama Sumi pula.

"Nah, itu dia, Mas. Aku nggak bawa obat dari klinik. Kukira di rumah ada obat nyerinya. Jadi maunya habis minum obat, terus langsung tiduran di kamar. Ternyata obatnya nggak ada."

"Obatnya apa, Nas? Biar Mas belikan."

"Asam mefenamat, Mas. Tapi tolong gendong aku ke kamar."

"Oke, Sayang." Mas Arif tersenyum dan menatap ku penuh cinta lalu mengangkat tubuhku dengan mudah. Kulihat wajah Sumi yang membawa kantong belanjaan membeku. Sambil menatap adegan kami dengan nanar.

"Cie, Mama digendong papa. Untung papa kuat!" seru Ana sambil tertawa. Aku tersenyum. Mas Arif ikut tergelak.

"Mama ini enteng, Sayang. Langsing banget. Kek bulu ayam. Beda sama tubuhnya mbak Sum ..,"

Aku tercekat mendengar perkataan suamiku. Dan mas Arif pun langsung terdiam. Tapi aku yang sedang berada dalam gendongan kedua tangannya bisa melihat dengan jelas wajahnya yang memerah.

"Kok berhenti ngomongnya, Mas. Apa yang ingin kamu katakan tadi?"

Mas Arif menghela nafas. "Badan kamu enteng. Beda sama badan pesumo, Ma." Mas Arif tertawa.

"Dih, tega ya. Masa mas tega sih body shamming aku." Aku merengut.

"Duh, iya iya. Maaf keceplosan. Kamu mau kurus atau gemuk, kamu tetep muat kok di hati kamu."

Aku menahan tawa dan tetap memegangi perut. Lalu dari sela-sela bahu mas Arif, aku melihat mbak Sumi.

"Oh ya, Mbak. Tolong siapkan botol berisi air hangat dan masukkan di botol kaca bekas sirup. Balut dengan kain bersih dan berikan padaku ya."

"Iya, Bu."

Mas Arif merebahkan ku dengan hati-hati di atas ranjang. Ana mengikuti.

"Papa ke mobil sebentar, Ma. Ada barang-barang yang masih di bagasi. Lagipula papa juga mau beliin mama obat apa tadi?"

"Asam mefenamat."

"Oh, ya. Ana, papa keluar dulu. Kamu jaga mama baik-baik ya."

"Siap, Pa."

"Da ... Da Incesnya papa. Muah!"

Ana tertawa saat melihat papanya memberikan ci um jauh untuknya. Aku tersenyum. Tapi hatiku tergores. Niatku oleng lagi melihat kelakuan manis mas Arif pada Ana.

Haruskah aku diam saja dan tidak melanjutkan mencari bukti? Apakah aku harus mengusir Sumi dan memaafkan suamiku jika mereka positif berselingkuh? Namun, mereka bisa saja melanjutkan hubungan di luar rumah ini. Atau kami harus benar-benar berpisah saat aku menemukan bukti perselingkuhan mereka?

Ah, aku benar-benar pusing. Dan si alnya, pusing di kepala menyalur ke perut, menjadikannya benar-benar mulas.

"Tadi main apa, Sayang?"

"Banyak. Capit boneka, tembak-tembakan, mandi bola. Banyak deh Ma."

"Oh ya? Seneng dong?"

"Iya, Ma. Lain kali mama ikut ya?"

"Oke, Sayang."

"Oh ya. Tadi Ana beli buku kartun dan krayon lagi. Ana mau mewarnai di sini."

"Ya. Nanti mama lihat, Nak."

"Siap, Ma."

Ana turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Tinggallah aku sendiri di kamar. Iseng, aku meraih ponsel. Dan kubuka w******p web. Ada beberapa pesan w******p dari Sam office ke ponsel suamiku.

[Rif, jijik banget sih sama kelakuan istrimu. Sok manja. Kurus lagi. Mending kalau badanku yang padat, berisi, sintal kayak Ariel Tat*m]

[Jangan gitu lah, Sum. Bagaimana pun juga dia menantu kesayangan Mami.]

[Aku nyesel, Rif. Mutusin hubungan kita dan langsung nikah setelah lulus SMA dengan laki-laki lain yang sekarang justru menyia-nyiakan aku.]

Aku tercekat dan nyaris tak percaya dengan tulisan yang kubaca. Dengan tegang, aku menggulir kembali layar ponsel.

[Ya sudah. Sekarang yang penting kan kamu sudah bertemu lagi dengan ku.]

[Kamu senang nggak Mas, ketemu aku?]

[Seneng dan kaget. Aku tidak menyangka kalau Nastiti membawamu sebagai asisten rumah tangga kamu. Awalnya aku pangling karena kamu semakin sek si dan bo hay, Sum.]

[Tapi kamu suka kan?]

[Suka banget. Apalagi permainan mulut dan lidah kamu. Membuatku lupa diri.]

Astaghfirullah! Tubuhku gemetaran membaca pesan w******p antara Mbak Sumi dan suamiku.

[Kalau kamu suka sama permainanku, kenapa kamu nggak nikahin aku? Siri nggak apa-apa. Aku rela dimadu. Asal kamu adil.]

[Aku belum bisa memutuskan. Kita jalani saja seperti ini. Yang penting kamu juga sudah dapat uang dariku kan?]

[Bahkan lebih banyak dari uang yang kuberikan pada Nastiti.]

[Jangan lupa service excellence saat Nastiti dines malam.]

[Tentu dong. Ya sudah, aku mau ngasih botol hangat ini ke istri kamu. Duh, mens aja manja! Aku aja nggak gitu!]

Aku menghela nafas. Menahan rasa sedih, marah, kecewa, kesal bercampur menjadi satu.

Aku segera meng-capture semua pesan w******p web di ponselku. Baru saja aku selesai meng-capture semuanya, saat terdengar suara ketukan di pintu kamar.

"Bu Nastiti, botol air hangatnya sudah siap."

Tampak wajah Sumi muncul di pintu kamar. Ditangannya terdapat botol kaca berisi air hangat. Hm, sepertinya lebih baik kubalas dia mulai sekarang.

"Sum, apa kamu tahu? Sepertinya suami saya selingkuh."

Pranggg!!

Tanpa kuduga Sumi menjatuhkan botol kaca yang dipegangnya.

"Astaga Sumi, sudah berapa perabotan saya yang kamu pecahkan? Apa pertanyaan saya membuatmu terkejut? Atau tanganmu licin?"

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
hahahaha Nastiti bikin Sumi kaget kapok km sum
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status