Kota itu tak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu jalan berkelip seperti mata serigala, dan di setiap sudut selalu ada rahasia yang menunggu meledak. Bagi Alya, malam itu adalah malam paling berat—konfrontasi dengan Rendra meninggalkan luka baru, tapi sekaligus menyalakan tekad. Ia tahu dirinya tak lagi bisa hanya sembunyi.
Pagi menjelang, Alya duduk di teras kos dengan mata sembab. Di tangannya masih ada ponsel retak yang berhasil ia rebut malam tadi. Aditya duduk di sampingnya, diam, hanya sesekali melirik wajahnya.
“Aku nggak mau kamu terus disiksa sama kenangan ini, Alya,” ucap Aditya pelan. “Kalau memang dia punya salinan foto itu, kita cari jalan. Kita lawan.”
Alya menarik napas berat. “Tapi bagaimana, Dit? Aku bahkan nggak tahu siapa Rendra sebenarnya. Aku cuma… capek. R
kampung masih berkabut ketika Alya berpamitan pada ibunya. Wajah Bu Ratna tampak lebih pucat daripada biasanya, tapi ia berusaha tersenyum.“Kamu hati-hati di kota, Ly,” katanya lirih sambil menggenggam tangan putrinya. “Ibu tahu kamu lagi tertekan. Tapi jangan korbankan dirimu lagi. Ibu mohon.”Alya menahan tangis, memeluk ibunya erat. “Aku janji, Bu. Aku akan cari cara. Demi Rian, demi Ibu.”Sinta yang berdiri di dekat mereka mengangguk mantap. “Aku akan temani Alya. Kami akan baik-baik saja, Bu.”Mereka berangkat dengan bus pagi. Perjalanan menuju kota terasa panjang dan sunyi. Alya menatap keluar jendela, pikirannya penuh dengan bayangan wajah Rian di sel tahanan.
Alya duduk di teras rumah sederhana bersama ibunya. Wajah Bu Ratna tampak letih, matanya sembab. Alya menggenggam tangan ibunya erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan.“Kakak harus bagaimana, Bu? Polisi bilang Rian bisa bebas kalau ada penjamin, tapi prosesnya nggak sederhana,” bisik Alya.Bu Ratna hanya menggeleng. “Ibu nggak ngerti hukum, Nak. Ibu hanya tahu, Rian itu masih anak-anak. Dia keras kepala, tapi hatinya nggak seburuk itu. Dia butuh bimbingan, bukan hukuman.”Alya mengangguk pelan, lalu menatap Sinta yang duduk tak jauh dari mereka. “Sin, kamu kenal nggak sama siapa pun di kota ini yang bisa bantu soal hukum?”Sinta berpikir sejenak. “Aku ada kenalan. Namanya Bayu, dia pengacara muda. Dulu bantu salah satu saudara sepupu ak
Pagi itu Alya duduk di halte bus dengan wajah lelah. Ia baru saja menerima telepon singkat dari ibunya di kampung. Suara ibunya terdengar serak, penuh kegelisahan.“Alya, Rian makin susah diatur. Semalam dia pulang mabuk. Tetangga mulai ngomongin kita…”Alya terdiam, jantungnya berdegup keras. “Bu, maafkan Alya. Minggu depan Alya pulang. Tolong jaga dia sebisa mungkin, ya.”Telepon ditutup. Alya menatap kosong ke arah jalan. Hatinya robek. Ia berjuang mati-matian di kota, tapi justru adiknya yang terjerat dalam kegelapan.Di kafe, Bagas menyambutnya dengan senyum canggung. “Pagi, Alya. Kamu kelihatan nggak enak badan.”Alya memaksa tersenyum. “Ak
Kota itu tak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu jalan berkelip seperti mata serigala, dan di setiap sudut selalu ada rahasia yang menunggu meledak. Bagi Alya, malam itu adalah malam paling berat—konfrontasi dengan Rendra meninggalkan luka baru, tapi sekaligus menyalakan tekad. Ia tahu dirinya tak lagi bisa hanya sembunyi.Pagi menjelang, Alya duduk di teras kos dengan mata sembab. Di tangannya masih ada ponsel retak yang berhasil ia rebut malam tadi. Aditya duduk di sampingnya, diam, hanya sesekali melirik wajahnya.“Aku nggak mau kamu terus disiksa sama kenangan ini, Alya,” ucap Aditya pelan. “Kalau memang dia punya salinan foto itu, kita cari jalan. Kita lawan.”Alya menarik napas berat. “Tapi bagaimana, Dit? Aku bahkan nggak tahu siapa Rendra sebenarnya. Aku cuma… capek. R
Pagi itu, Alya membuka matanya dengan perasaan berat. Malam sebelumnya ia hampir tak tidur, dihantui bayangan wajah Aditya yang menjauh dan pesan-pesan mengancam dari Rendra.Ketika menyalakan ponsel, jantungnya hampir berhenti. Ada satu pesan baru dari Rendra:“Aku kasih kamu waktu sampai malam ini. Kalau kamu nggak datang, foto-foto itu naik ke dunia maya.”Alya menatap layar kosong lama sekali, tubuhnya bergetar. Rasanya seperti tali di leher semakin kencang, siap menjeratnya kapan saja.Di kampus, Alya berusaha menahan diri untuk tetap hadir. Ia tak ingin teman-teman mencium keganjilan. Tapi wajahnya yang pucat dan tatapannya kosong membuat banyak yang bertanya.“Alya, kamu sakit?”“Alya, kok kamu kurusan?”Ia hanya tersenyum tipis, menjawab singkat, “Aku baik-baik aja.”Namun begitu Aditya lewat di depannya tanpa menoleh, hatinya kembali runtuh. Ia ingin berlari memeluknya, ingin berkata semuanya, tapi kaki seolah terikat.Siang itu, Alya duduk sendiri di kantin. Ia memandang ker
Lorong hotel terasa sunyi, hanya suara langkah kaki Aditya yang bergema. Ia sendiri tak tahu kenapa kakinya membawa ke tempat itu. Hatinya penuh rasa cemas, seolah ada benang tak terlihat yang menuntunnya.Ketika melewati pintu bernomor 308, telinganya menangkap suara samar. Suara seorang laki-laki, tegas, penuh ejekan.“Kamu nggak punya pilihan, Alya. Kalau nggak mau hidupmu hancur, ikuti maunya aku.”Aditya langsung terhenti. Jantungnya berdetak kencang, seolah hendak meloncat dari dadanya. Ia kenal betul suara perempuan yang bergetar ketakutan menjawab. Itu suara Alya.Tangannya mengepal. Apa yang terjadi di dalam sana?Di dalam kamar, Alya terduduk di tepi ranjang, wajahnya tertutup tangan. Air matanya mengalir tanpa henti. Rendra berdiri di depannya, ponsel di tangan, menampilkan layar penuh foto-foto rahasia itu.“Kamu pikir aku main-main?” Rendra mendesak. “Satu klik, semua orang tahu kamu bukan gadis polos yang mereka kira.”Alya menggeleng, suaranya nyaris putus. “Kenapa kamu