Pagi buta, kota masih setengah tidur ketika Alya terjaga dari mimpinya. Dadanya naik-turun cepat, napasnya tersengal. Dalam mimpi, ia melihat wajah Aditya yang perlahan menjauh darinya, kabur tertelan gelap, sementara suara Rendra bergema:
“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”
Alya duduk tegak di ranjang, keringat dingin membasahi pelipis. Ia menatap langit-langit, lalu menunduk menatap tangannya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup lagi menanggung beban rahasia itu.
Hari itu ia pergi kuliah dengan kepala penuh bayangan. Di kelas, ia hanya menatap papan tulis tanpa benar-benar mendengar penjelasan dosen. Teman-teman bertanya kabar, ia hanya menjawab singkat.
Aditya yang duduk di sampingnya sesekali melirik, gelisah melihat tatapan kosong Alya.
Saat jam istirahat, Aditya menahan tangannya. “Alya, kamu sakit? Mukamu pucat banget.”
Alya menarik tangannya cepat, senyum hambar. “Nggak, aku baik-baik aja.”
Tapi hatinya menjerit. Sampai kapan aku bisa berpura-pura?
Sepulang kuliah, Aditya mengajak Alya duduk di taman kecil dekat kampus. Daun-daun berguguran, angin sore meniup lembut rambut Alya.
“Aku serius, Alya,” kata Aditya. “Kamu bisa cerita apa aja ke aku. Aku tahu kamu simpan sesuatu yang berat.”
Alya menunduk. Hatinya seperti dirobek dua arah. Di satu sisi, ia ingin jujur. Di sisi lain, ia takut kehilangan orang yang kini jadi satu-satunya sandarannya.
“Kalau… kalau aku punya masa lalu buruk… yang mungkin bikin kamu jijik, apa kamu masih mau di sisiku?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.
Aditya menatap matanya dalam. “Semua orang punya masa lalu. Yang penting adalah sekarang dan nanti. Aku peduli sama kamu karena siapa kamu sekarang.”
Kalimat itu membuat air mata Alya hampir jatuh. Namun pada saat yang sama, rasa takut makin menguat. Kalau dia benar-benar lihat fotonya? Apa masih bisa bicara seperti itu?
Malamnya, Alya kembali menerima pesan dari Rendra. Kali ini lebih mengerikan:
“Satu foto bisa hilang. Tapi aku punya banyak. Kalau besok kamu nggak temui aku, aku sebar ke media sosial. Pilih, Alya.”
Jantung Alya berdegup liar. Ia menjatuhkan diri di kursi, tubuhnya lemas. Tangannya menutup mulut, menahan isak.
Di kepalanya hanya ada dua pilihan: menyerah pada Rendra, atau jujur pada Aditya.
Pukul sembilan malam, Aditya datang ke kos membawakan makanan. Ia mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban. Ia mencoba lagi, akhirnya Alya membuka dengan mata sembab.
“Alya, kamu nangis?”
Alya menggeleng cepat, berusaha menutupi wajah. “Aku cuma… kecapekan.”
Aditya menatapnya lama. “Kamu bohong lagi.”
Suara Aditya kali ini bukan marah, tapi penuh luka. “Kenapa kamu nggak percaya aku, Alya? Apa aku kelihatan kayak orang yang bakal ninggalin kamu kalau kamu cerita?”
Alya menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya akhirnya pecah. “Aku takut, Dit… aku takut banget.”
Aditya mendekat, memegang bahunya. “Takut apa? Ceritain ke aku. Biar aku bisa jagain kamu.”
Hati Alya terbelah. Ia membuka mulut, ingin berkata semuanya. Kata-kata hampir keluar, tapi bayangan foto itu muncul lagi. Bibirnya kembali terkunci.
Ia hanya mampu berkata: “Maaf… aku belum bisa.”
Aditya menatapnya, kecewa tapi tetap lembut. Ia menghela napas. “Baik. Aku nggak akan maksa. Tapi tolong, jangan hadapin ini sendirian.”
Setelah Aditya pulang, Alya menulis di buku puisinya dengan tangan gemetar:
“Aku berdiri di persimpangan,
antara jujur atau tenggelam.
Cinta menunggu di satu sisi,
ancaman menggenggam di sisi lain.
Dan aku?
Aku hanyalah gadis yang lelah,
tak tahu harus memilih yang mana.”
Air mata jatuh membasahi halaman, tapi kali ini Alya biarkan saja.
Sementara itu, di apartemennya, Rendra membuka laptop. Ia sudah menyiapkan folder berisi foto-foto Alya, jari-jarinya siap menekan tombol “kirim”. Senyum dingin terbit di bibirnya.
“Alya… besok kamu pasti datang padaku. Kalau tidak, semua orang akan tahu siapa dirimu.”
Di meja, ponselnya terus bergetar. Pesan dari Rendra masuk tanpa henti:
“Kamu pikir bisa lari dariku?”
“Jam 7 malam nanti ketemu aku di hotel Bintang, kamar 308.”
“Kalau kamu nggak datang, aku pastikan besok pagi semua orang kenal kamu dengan cara yang paling hina.”
Alya membaca pesan itu dengan tubuh bergetar. Tangannya menggenggam ponsel begitu erat, seolah bisa menghancurkannya.
Kenapa aku harus terus dikejar begini? Apa aku nggak pantas dapat kesempatan hidup baru?
Hari itu di kampus, Alya berusaha menampilkan wajah normal. Tapi Aditya menangkap sesuatu. Alya terlalu sering melirik jam tangan, wajahnya pucat, dan senyumnya dipaksakan.
“Alya, sore nanti ikut aku ya. Aku mau ajak kamu ke rumah, ketemu ibuku.”
Alya terhenyak. “Ke… rumahmu?”
Aditya mengangguk dengan mata berbinar. “Iya. Aku pengen kamu kenal ibuku. Aku udah sering cerita soal kamu.”
Hati Alya mencelos. Justru hari ini Rendra memaksanya bertemu. Bagaimana ia bisa menolak tanpa menimbulkan kecurigaan?
Dengan suara pelan ia berusaha mengulur. “Mungkin… lain kali, Dit. Hari ini aku harus… ada urusan penting.”
Aditya menatapnya lama, sorot matanya tajam. “Urusan penting? Atau kamu sembunyiin sesuatu lagi dari aku?”
Alya tercekat, tak mampu menjawab.
Sepulang kuliah, Alya duduk di kamar kos dengan kepala tertunduk. Ia menatap dua pilihan di pikirannya:
Pergi ke hotel bertemu Rendra. Itu berarti menggadaikan harga dirinya lagi.
Menolak. Tapi risiko besar: foto-fotonya bisa tersebar, dan Aditya akan tahu dengan cara paling menyakitkan.
Jam di dinding berdetak, seolah menghitung mundur nasibnya.
Menjelang senja, Aditya kembali menghubunginya lewat telepon.
“Alya, aku nggak enak kalau kamu sendirian terus. Aku jemput ya?”
Suara itu penuh tulus, tapi justru membuat Alya makin tersiksa. Ia menahan air mata. “Jangan, Dit… aku cuma… mau sendiri dulu.”
Aditya terdiam lama di seberang. “Kamu beneran baik-baik aja?”
“Ya…” jawab Alya cepat, lalu menutup telepon.
Begitu telepon terputus, ia menangis lagi. Kepalanya menunduk, tangan gemetar.
Pukul tujuh kurang lima menit, Alya akhirnya berdiri di depan cermin. Ia menatap bayangannya sendiri.
“Ini bukan aku,” bisiknya. “Tapi aku nggak punya pilihan lain.”
Dengan langkah berat, ia keluar kos dan naik taksi menuju hotel yang disebut Rendra. Sepanjang jalan, hatinya berteriak ingin kembali. Tapi otaknya tahu, mundur berarti kehancuran lebih cepat.
Di kamar 308, Rendra sudah menunggu. Pintu dibuka, senyum licik terukir di wajahnya.
“Kamu datang juga, Alya. Pintar.”
Alya berdiri kaku di ambang pintu. “Apa kamu nggak capek terus-terusan menghancurkan hidup orang?”
Rendra terkekeh, berjalan mendekat. “Aku? Justru kamu yang kasih aku kesempatan ini. Ingat malam itu? Kamu yang datang padaku, bukan aku yang memaksamu.”
Alya menahan napas, wajahnya merah menahan marah dan malu. “Itu karena aku terpaksa. Aku nggak punya jalan lain.”
Rendra mendekat, berbisik di telinganya. “Dan sekarang? Kamu tetap nggak punya jalan lain. Kecuali patuh padaku.”
Air mata Alya jatuh, tapi tubuhnya terpaku. Ia terjebak lagi.
Sementara itu, Aditya yang sejak tadi gelisah memutuskan menyusul Alya ke kos. Namun ketika sampai, pintu kamar kosong. Penjaga kos bilang, Alya keluar terburu-buru naik taksi.
Aditya merasa ada yang tak beres. Ia mencoba menelepon, tapi nomor Alya tak aktif.
Kenapa dia selalu menghilang saat aku berusaha ada buatnya? pikirnya cemas.
Dalam kepalanya, ia mulai menyusun kemungkinan-kemungkinan terburuk.
Di hotel, Alya duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku. Rendra berjalan mondar-mandir, memandanginya seperti mangsa.
“Aku bisa saja sebar foto-foto itu sekarang juga,” katanya sambil mengangkat ponsel. “Tapi aku nggak lakukan… asal kamu tahu cara membuatku puas.”
Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasa jijik dan marah bercampur jadi satu. Namun di balik semua itu, ada juga rasa putus asa.
Kalau aku biarkan ini terjadi lagi, sampai kapan aku bisa bertahan?
Di luar kamar, tanpa mereka sadari, seseorang baru saja masuk ke lobi hotel: Aditya. Ia mengikuti nalurinya, dan langkahnya membawanya ke lantai tiga. Hatinya berdegup cepat, seolah tubuhnya sendiri tahu kebenaran yang mengerikan sedang menunggunya.
Pagi buta, kota masih setengah tidur ketika Alya terjaga dari mimpinya. Dadanya naik-turun cepat, napasnya tersengal. Dalam mimpi, ia melihat wajah Aditya yang perlahan menjauh darinya, kabur tertelan gelap, sementara suara Rendra bergema:“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”Alya duduk tegak di ranjang, keringat dingin membasahi pelipis. Ia menatap langit-langit, lalu menunduk menatap tangannya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup lagi menanggung beban rahasia itu.Hari itu ia pergi kuliah dengan kepala penuh bayangan. Di kelas, ia hanya menatap papan tulis tanpa benar-benar mendengar penjelasan dosen. Teman-teman bertanya kabar, ia hanya menjawab singkat.Aditya yang duduk di sampingnya sesekali melirik, gelisah melihat tatapan kosong Alya.Saat jam istirahat, Aditya menahan tangannya. “Alya, kamu sakit? Mukamu pucat banget.”Alya menarik tangannya cepat, senyum hambar. “Nggak, aku baik-baik aja.”Tapi hatinya menjerit. Sampai kapan aku bisa berpura-pura?Sepu
Hujan turun deras malam itu. Rintiknya menghantam atap seng kos-kosan Alya, menimbulkan suara gemuruh yang menambah kekalutan hatinya. Ia duduk di meja belajar, buku-buku terbuka namun pandangannya kosong. Pena di tangannya tak bergerak, seolah ide-ide yang dulu selalu mengalir kini mati terendam ketakutan.Rendra. Namanya saja sudah membuat tubuh Alya menggigil. Kata-kata pria itu terus menghantui:“Sekali kamu masuk ke dunia itu, susah keluar. Nama kamu masih ada di daftar.”Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Kalau dia benar-benar menyebarkan semuanya, apa yang akan terjadi? Ia membayangkan Aditya membaca pesan atau foto masa lalunya. Membayangkan dosen, teman kampus, bahkan ibunya di desa tahu t
Pagi itu, Alya duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya sembab, rambutnya masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia memandangi dirinya sendiri lama, lalu berbisik pelan, hampir tak terdengar:“Aku harus berubah. Aku nggak boleh jatuh lagi.”Tangannya gemetar, tapi dalam matanya ada secercah tekad yang baru.Di luar, Aditya menunggu dengan motor tuanya. Mesin berderak kasar, seakan ikut menanggung beban pemiliknya. Saat Alya naik, Aditya menoleh sebentar. “Kita mulai dari mana?”Alya menarik napas panjang. “Apa aja, Dit. Asal halal. Aku nggak peduli sesulit apa pun.”Mereka berdua me
Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk atap seng kos Alya seperti ribuan jemari yang tak sabar. Alya duduk di tepi ranjang, ponsel di tangannya bergetar. Nomor tak dikenal masuk, tapi ia tahu persis siapa pengirimnya.“Kalau butuh uang cepat, kau tahu harus cari siapa.”Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya porak-poranda. Jemarinya gemetar, hampir saja ia melempar ponsel ke dinding.“Kenapa dia nggak berhenti mengikutiku?” Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa takut dan putus asa.Siang harinya, ia menerima telepon dari kampung. Suara adiknya terdengar panik.“Kak… Ibu kambuh lagi. Kalau bisa, cepat kirim uang, ya. Obatnya habis.”Alya terdiam, suaranya tercekat. “Iya… kakak usahakan.”Setelah telepon ditutup, Alya terduduk lemas. Dompetnya kosong. Uang beasiswa bulan ini sudah habis untuk kos, makan, dan transportasi. Ia benar-benar tak punya pegangan.Di kampus, Aditya memperhatikan Alya yang murung. Matanya
Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seperti jam pasir yang butirannya enggan jatuh.Alya duduk di kamar kosnya, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan singkat dari Aditya:“Aku pulang duluan. Jaga dirimu.”Kalimat sederhana, tapi baginya terdengar dingin, seperti ada tembok yang tak terlihat. Dulu, setiap pesan dari Aditya penuh emotikon lucu, penuh canda, penuh hangat. Sekarang, hanya kata-kata datar yang membuat dadanya sesak.Aditya pun bukan tanpa luka. Ia berjalan di kampus dengan wajah lelah. Teman-temannya mengajak bercanda, tapi senyumnya hambar. Malam-malamnya sering terbangun, bayangan Alya di kamar hotel itu masih menghantui pikirannya.Ia mencintai Alya, sungguh. Tapi bayangan bahwa orang yang ia peluk dengan penuh cinta pernah disentuh dengan cara yang tak seharusnya—itu menusuknya seperti duri yang tak bisa dicabut.Suatu sore, mereka duduk di bangku taman kampus. Langit oranye, daun-daun berguguran tertiup angin. Alya menggenggam tangannya pelan, tapi Adit
Pagi itu, kampus ramai oleh mahasiswa yang terburu-buru masuk kelas. Alya berjalan pelan, pundaknya terasa berat, seolah ada batu besar yang menekan dari dalam dadanya. Matanya sayu, wajahnya pucat.Aditya menyapanya di depan gedung. “Kamu sakit? Dari kemarin aku lihat kamu nggak enak badan.”Alya tersenyum tipis. “Nggak, aku cuma kurang tidur.”Padahal sebenarnya, ia tidak tidur semalam. Ponselnya terus bergetar, pesan-pesan dari manajer itu masuk satu per satu:“Jangan pura-pura lupa hutang budi.”“Kalau kamu nggak mau kerja lagi, aku bisa kasih tahu siapa kamu sebenarnya.”“Pacar kampusmu itu pasti bakal jijik kalau tahu.”Kata-kata itu menusuk seperti belati. Alya membaca, menangis, lalu mencoba menghapus, tapi rasa takut tetap tertinggal di dadanya.Di kelas, Aditya duduk di sampingnya. Sesekali ia menatap Alya, lalu menuliskan sesuatu di kertas kecil.“Kalau kamu ada masalah, aku janji aku siap dengerin.”Alya membaca pesan itu, lalu menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya h