Home / Romansa / KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA / Masih Terjaga Dalam Mimpinya

Share

Masih Terjaga Dalam Mimpinya

last update Last Updated: 2025-09-24 17:49:00

Pagi buta, kota masih setengah tidur ketika Alya terjaga dari mimpinya. Dadanya naik-turun cepat, napasnya tersengal. Dalam mimpi, ia melihat wajah Aditya yang perlahan menjauh darinya, kabur tertelan gelap, sementara suara Rendra bergema:

“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”

Alya duduk tegak di ranjang, keringat dingin membasahi pelipis. Ia menatap langit-langit, lalu menunduk menatap tangannya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup lagi menanggung beban rahasia itu.


Hari itu ia pergi kuliah dengan kepala penuh bayangan. Di kelas, ia hanya menatap papan tulis tanpa benar-benar mendengar penjelasan dosen. Teman-teman bertanya kabar, ia hanya menjawab singkat.

Aditya yang duduk di sampingnya sesekali melirik, gelisah melihat tatapan kosong Alya.

Saat jam istirahat, Aditya menahan tangannya. “Alya, kamu sakit? Mukamu pucat banget.”

Alya menarik tangannya cepat, senyum hambar. “Nggak, aku baik-baik aja.”

Tapi hatinya menjerit. Sampai kapan aku bisa berpura-pura?


Sepulang kuliah, Aditya mengajak Alya duduk di taman kecil dekat kampus. Daun-daun berguguran, angin sore meniup lembut rambut Alya.

“Aku serius, Alya,” kata Aditya. “Kamu bisa cerita apa aja ke aku. Aku tahu kamu simpan sesuatu yang berat.”

Alya menunduk. Hatinya seperti dirobek dua arah. Di satu sisi, ia ingin jujur. Di sisi lain, ia takut kehilangan orang yang kini jadi satu-satunya sandarannya.

“Kalau… kalau aku punya masa lalu buruk… yang mungkin bikin kamu jijik, apa kamu masih mau di sisiku?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.

Aditya menatap matanya dalam. “Semua orang punya masa lalu. Yang penting adalah sekarang dan nanti. Aku peduli sama kamu karena siapa kamu sekarang.”

Kalimat itu membuat air mata Alya hampir jatuh. Namun pada saat yang sama, rasa takut makin menguat. Kalau dia benar-benar lihat fotonya? Apa masih bisa bicara seperti itu?


Malamnya, Alya kembali menerima pesan dari Rendra. Kali ini lebih mengerikan:

“Satu foto bisa hilang. Tapi aku punya banyak. Kalau besok kamu nggak temui aku, aku sebar ke media sosial. Pilih, Alya.”

Jantung Alya berdegup liar. Ia menjatuhkan diri di kursi, tubuhnya lemas. Tangannya menutup mulut, menahan isak.

Di kepalanya hanya ada dua pilihan: menyerah pada Rendra, atau jujur pada Aditya.


Pukul sembilan malam, Aditya datang ke kos membawakan makanan. Ia mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban. Ia mencoba lagi, akhirnya Alya membuka dengan mata sembab.

“Alya, kamu nangis?”

Alya menggeleng cepat, berusaha menutupi wajah. “Aku cuma… kecapekan.”

Aditya menatapnya lama. “Kamu bohong lagi.”

Suara Aditya kali ini bukan marah, tapi penuh luka. “Kenapa kamu nggak percaya aku, Alya? Apa aku kelihatan kayak orang yang bakal ninggalin kamu kalau kamu cerita?”

Alya menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya akhirnya pecah. “Aku takut, Dit… aku takut banget.”

Aditya mendekat, memegang bahunya. “Takut apa? Ceritain ke aku. Biar aku bisa jagain kamu.”

Hati Alya terbelah. Ia membuka mulut, ingin berkata semuanya. Kata-kata hampir keluar, tapi bayangan foto itu muncul lagi. Bibirnya kembali terkunci.

Ia hanya mampu berkata: “Maaf… aku belum bisa.”

Aditya menatapnya, kecewa tapi tetap lembut. Ia menghela napas. “Baik. Aku nggak akan maksa. Tapi tolong, jangan hadapin ini sendirian.”


Setelah Aditya pulang, Alya menulis di buku puisinya dengan tangan gemetar:

“Aku berdiri di persimpangan,

antara jujur atau tenggelam.

Cinta menunggu di satu sisi,

ancaman menggenggam di sisi lain.

Dan aku?

Aku hanyalah gadis yang lelah,

tak tahu harus memilih yang mana.”

Air mata jatuh membasahi halaman, tapi kali ini Alya biarkan saja.


Sementara itu, di apartemennya, Rendra membuka laptop. Ia sudah menyiapkan folder berisi foto-foto Alya, jari-jarinya siap menekan tombol “kirim”. Senyum dingin terbit di bibirnya.

“Alya… besok kamu pasti datang padaku. Kalau tidak, semua orang akan tahu siapa dirimu.”

Di meja, ponselnya terus bergetar. Pesan dari Rendra masuk tanpa henti:

“Kamu pikir bisa lari dariku?”

“Jam 7 malam nanti ketemu aku di hotel Bintang, kamar 308.”

“Kalau kamu nggak datang, aku pastikan besok pagi semua orang kenal kamu dengan cara yang paling hina.”

Alya membaca pesan itu dengan tubuh bergetar. Tangannya menggenggam ponsel begitu erat, seolah bisa menghancurkannya.

Kenapa aku harus terus dikejar begini? Apa aku nggak pantas dapat kesempatan hidup baru?


Hari itu di kampus, Alya berusaha menampilkan wajah normal. Tapi Aditya menangkap sesuatu. Alya terlalu sering melirik jam tangan, wajahnya pucat, dan senyumnya dipaksakan.

“Alya, sore nanti ikut aku ya. Aku mau ajak kamu ke rumah, ketemu ibuku.”

Alya terhenyak. “Ke… rumahmu?”

Aditya mengangguk dengan mata berbinar. “Iya. Aku pengen kamu kenal ibuku. Aku udah sering cerita soal kamu.”

Hati Alya mencelos. Justru hari ini Rendra memaksanya bertemu. Bagaimana ia bisa menolak tanpa menimbulkan kecurigaan?

Dengan suara pelan ia berusaha mengulur. “Mungkin… lain kali, Dit. Hari ini aku harus… ada urusan penting.”

Aditya menatapnya lama, sorot matanya tajam. “Urusan penting? Atau kamu sembunyiin sesuatu lagi dari aku?”

Alya tercekat, tak mampu menjawab.


Sepulang kuliah, Alya duduk di kamar kos dengan kepala tertunduk. Ia menatap dua pilihan di pikirannya:

Pergi ke hotel bertemu Rendra. Itu berarti menggadaikan harga dirinya lagi.

Menolak. Tapi risiko besar: foto-fotonya bisa tersebar, dan Aditya akan tahu dengan cara paling menyakitkan.

Jam di dinding berdetak, seolah menghitung mundur nasibnya.


Menjelang senja, Aditya kembali menghubunginya lewat telepon.

“Alya, aku nggak enak kalau kamu sendirian terus. Aku jemput ya?”

Suara itu penuh tulus, tapi justru membuat Alya makin tersiksa. Ia menahan air mata. “Jangan, Dit… aku cuma… mau sendiri dulu.”

Aditya terdiam lama di seberang. “Kamu beneran baik-baik aja?”

“Ya…” jawab Alya cepat, lalu menutup telepon.

Begitu telepon terputus, ia menangis lagi. Kepalanya menunduk, tangan gemetar.


Pukul tujuh kurang lima menit, Alya akhirnya berdiri di depan cermin. Ia menatap bayangannya sendiri.

“Ini bukan aku,” bisiknya. “Tapi aku nggak punya pilihan lain.”

Dengan langkah berat, ia keluar kos dan naik taksi menuju hotel yang disebut Rendra. Sepanjang jalan, hatinya berteriak ingin kembali. Tapi otaknya tahu, mundur berarti kehancuran lebih cepat.


Di kamar 308, Rendra sudah menunggu. Pintu dibuka, senyum licik terukir di wajahnya.

“Kamu datang juga, Alya. Pintar.”

Alya berdiri kaku di ambang pintu. “Apa kamu nggak capek terus-terusan menghancurkan hidup orang?”

Rendra terkekeh, berjalan mendekat. “Aku? Justru kamu yang kasih aku kesempatan ini. Ingat malam itu? Kamu yang datang padaku, bukan aku yang memaksamu.”

Alya menahan napas, wajahnya merah menahan marah dan malu. “Itu karena aku terpaksa. Aku nggak punya jalan lain.”

Rendra mendekat, berbisik di telinganya. “Dan sekarang? Kamu tetap nggak punya jalan lain. Kecuali patuh padaku.”

Air mata Alya jatuh, tapi tubuhnya terpaku. Ia terjebak lagi.


Sementara itu, Aditya yang sejak tadi gelisah memutuskan menyusul Alya ke kos. Namun ketika sampai, pintu kamar kosong. Penjaga kos bilang, Alya keluar terburu-buru naik taksi.

Aditya merasa ada yang tak beres. Ia mencoba menelepon, tapi nomor Alya tak aktif.

Kenapa dia selalu menghilang saat aku berusaha ada buatnya? pikirnya cemas.

Dalam kepalanya, ia mulai menyusun kemungkinan-kemungkinan terburuk.


Di hotel, Alya duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku. Rendra berjalan mondar-mandir, memandanginya seperti mangsa.

“Aku bisa saja sebar foto-foto itu sekarang juga,” katanya sambil mengangkat ponsel. “Tapi aku nggak lakukan… asal kamu tahu cara membuatku puas.”

Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasa jijik dan marah bercampur jadi satu. Namun di balik semua itu, ada juga rasa putus asa.

Kalau aku biarkan ini terjadi lagi, sampai kapan aku bisa bertahan?


Di luar kamar, tanpa mereka sadari, seseorang baru saja masuk ke lobi hotel: Aditya. Ia mengikuti nalurinya, dan langkahnya membawanya ke lantai tiga. Hatinya berdegup cepat, seolah tubuhnya sendiri tahu kebenaran yang mengerikan sedang menunggunya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Penghianatan Yang Terkuak

    Hening merayap seperti asap dingin di antara mereka. Nama itu—Pak Arman—dulu terdengar seperti perlindungan. Hari ini menjadi simbol kehancuran segalanya. Keyla mundur selangkah tanpa sadar, jantungnya berdegup kencang. Seolah otaknya menolak menerima kenyataan itu."Nik… bilang kalau ini mimpi," bisiknya lirih, nyaris patah.Tapi Niko tidak menjawab. Matanya terpaku pada sosok yang dulu sangat ia hormati. Rahangnya mengeras. "Kenapa...?" ucapnya pelan, mengandung kemarahan tak terukur dan pengkhianatan yang begitu dalam. “Kenapa kau melakukan ini kepada kami?!”Pak Arman tersenyum miring. Tatapannya hampa, dingin. “Hidup ini... kau akan sadar suatu hari, semuanya cuma pilihan. Ada yang rela hancur. Ada yang rela mengorbankan orang lain demi tetap bertahan.”

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Yang Kembali Dari Kegelapan

    Suara pintu yang terhempas tadi masih terasa bergema di telinga Keyla, meskipun detik demi detik telah berlalu. Sosok yang berdiri di ambang pintu itu kini semakin jelas. Bayangan masa lalu yang mereka kira sudah padam ternyata kembali dengan nyala api yang jauh lebih besar — dan lebih gelap.Pria itu berjalan perlahan mendekat. Sepatunya menyentuh lantai kayu yang mengeluarkan decit kecil, seperti lantai itu pun ketakutan. Tatapannya lurus, menusuk, dan penuh rahasia yang selama ini tenggelam bersama tubuhnya."Kau seharusnya..." suara Niko terputus, tak sanggup meneruskan. Ia tidak bisa percaya matanya sendiri."Aku seharusnya mati, ya?" jawab pria itu sambil tersenyum dingin. "Begitu juga kalian, sebenarnya. Tapi sepertinya hidup memang suka bercanda.”Keyla meras

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Kegelapan Menelan Nama

    Hanya suara derit langkah dan napas yang saling bertabrakan di udara gelap itu. Lampu darurat belum menyala, hanya tatapan-tatapan yang terbiasa dengan kegelapan yang bisa bersiap mengukur bahaya.“Aditya…” Laras berbisik pelan namun tegas, memegang kuat tangannya. “Kita harus menemukan jalan keluar. Dia menguasai sistem gedung.”Napas Aditya terasa berat, emosinya berbaur dengan ketakutan. “Dia sudah lama merencanakan ini. Segalanya… dari sistem korporasi sampai sistem listrik darurat.”Di balik suara larut malam yang menelan seluruh gedung, suara Arwan terdengar lagi, bergema di dalam kegelapan: “Apa kalian mendengar suara pintu darurat yang terkunci? Itu bukan kebetulan. Dalam permainan ini… hanya yang siap membakar semua rasa takutnya yang bisa keluar hid

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Saudara Dalam Gelap

    Langkah lirih Arwan terdengar jelas di lantai kayu ruang rapat itu. Wajahnya terbalut ketenangan yang merayap dan tak berperasaan. Sorot matanya tajam namun nyaris tanpa nyawa—seolah permainan hati dan pertumpahan rahasia ini bukan hanya baru dimulai, tapi telah direncanakannya jauh sebelum mereka semua lahir.Laras berdiri terpaku, matanya basah namun tak berkedip saat menatap sosok lelaki yang selama ini ia panggil "kakak". Di masa kecilnya, Arwan adalah sosok yang jarang bicara, tapi selalu ada dalam setiap momen penting—Kini, Laras tak yakin apakah sosok yang berdiri di hadapannya ini masih lelaki sama yang dulu menjaga jarak tapi diam-diam menjaganya.“Kak Arwan…” Laras memanggil suaranya tercekat. “Kenapa kau di sini… bersamanya?”Arwan tidak langsung menjawab.

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Luka Yang Di Bangkitkan

    Ruangan itu terasa kian sesak, meski tak seorang pun bergerak. Semuanya terperangkap antara masa kini dan potongan-potongan masa lalu yang mendadak menyeruak. Laras merasakan kedua lututnya mulai lemas. Ia bersandar pada kursi terdekat, berusaha meredakan ketegangan yang sudah menyesakkan dadanya sejak beberapa menit lalu.Pramana memutar tubuhnya sambil memandangi seluruh isi ruangan, senyum samar di wajahnya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut—tapi bukan ketulusan. “Sudah waktunya semua api ini membakar habis bisu yang kalian pelihara,” katanya, pelan namun penuh ancaman.“Bu Ratna...” Laras mendekati wanita paruh baya itu, memegangi lengannya yang masih gemetar. “Apa maksudmu dia pernah berjanji melindungi kami? Apa kau... apa kau menyembunyikan sesuatu dariku? Dari kami?”

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Bayang-Bayang Yang Kembali

    Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan lampu kota berkedip. Di dalam sebuah gedung tinggi yang tampak mewah dari luar, suasana tegang menyelimuti ruang rapat lantai dua puluh. Aditya duduk di tengah meja panjang, dikelilingi para petinggi perusahaan yang sesekali menatapnya dengan sorot mata penuh kecurigaan.Pagi tadi, dunia hiburan kembali diguncang oleh sebuah kabar mengejutkan. Foto-foto yang memperlihatkan sosok Aditya dalam keadaan tak sadarkan diri di sebuah hotel beredar luas di internet. Tidak hanya itu, sebuah video pendek yang tampak buram menunjukkan sebuah siluet perempuan masuk ke dalam kamar yang sama dengannya. Tuduhan mulai bermunculan, mulai dari skandal perselingkuhan hingga manipulasi citra. Padahal Aditya tahu, itu bukan sekadar skandal biasa—itu adalah jebakan yang disusun dengan sangat rapi.Sementa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status