Share

Rahasia Yang Terkurung

last update Huling Na-update: 2025-09-16 16:01:55

Hujan turun deras malam itu. Rintiknya menghantam atap seng kos-kosan Alya, menimbulkan suara gemuruh yang menambah kekalutan hatinya. Ia duduk di meja belajar, buku-buku terbuka namun pandangannya kosong. Pena di tangannya tak bergerak, seolah ide-ide yang dulu selalu mengalir kini mati terendam ketakutan.

Rendra. Namanya saja sudah membuat tubuh Alya menggigil. Kata-kata pria itu terus menghantui:

“Sekali kamu masuk ke dunia itu, susah keluar. Nama kamu masih ada di daftar.”

Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Kalau dia benar-benar menyebarkan semuanya, apa yang akan terjadi? Ia membayangkan Aditya membaca pesan atau foto masa lalunya. Membayangkan dosen, teman kampus, bahkan ibunya di desa tahu tentang apa yang pernah ia lakukan.

Dadanya sesak. Nafasnya memburu. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.


Pintu kamar diketuk pelan. “Alya?” Suara Aditya.

Alya cepat-cepat menghapus air matanya, meski matanya masih merah. “Ya?”

Pintu terbuka, Aditya masuk membawa dua gelas kopi instan. Wajahnya basah oleh hujan, rambutnya menempel di dahi. “Aku bawain ini, biar kamu nggak ngantuk.”

Alya memaksakan senyum. “Terima kasih.”

Aditya duduk di kursi seberang, menatapnya lama. “Aku perhatiin akhir-akhir ini kamu sering melamun. Mukamu pucat. Kamu kayak ketakutan sama sesuatu.”

Alya menunduk. “Aku cuma capek.”

“Bohong,” jawab Aditya singkat. Tatapannya menusuk, tapi bukan dengan kemarahan—melainkan dengan kekhawatiran yang dalam. “Alya… kalau kamu simpan sendiri, itu bisa makin nyakitin kamu. Aku di sini bukan buat menghakimi. Aku cuma pengen kamu jujur.”

Hati Alya bergetar. Ia ingin menceritakan semuanya, ingin berlari ke pelukan Aditya dan berkata, ‘Aku pernah jatuh sejauh itu. Aku pernah jual diriku demi uang.’ Tapi lidahnya kelu.

“Dit…” suaranya nyaris tak terdengar. “Kalau… kalau suatu hari kamu tahu sesuatu tentang aku… hal buruk… apa kamu masih mau di sini?”

Aditya terdiam. Ia mencondongkan tubuh, menatap Alya lebih dekat. “Aku nggak peduli masa lalu kamu. Yang aku peduli cuma sekarang. Kamu di sini, berusaha bangkit, itu udah cukup buat aku.”

Alya menutup mulutnya, menahan tangis. Kata-kata itu bagaikan pelukan yang hangat, tapi juga menakutkan. Bagaimana kalau nanti dia benar-benar tahu? Apa ia masih bisa berkata seperti itu?


Beberapa hari kemudian, ancaman itu semakin nyata. Saat pulang kerja, Alya menemukan sebuah pesan di ponselnya. Nomor tak dikenal, tapi ia tahu siapa pengirimnya.

“Aku kasih kamu waktu. Kalau nggak balik ke aku, rahasia kamu bakal bocor. Pilihannya ada di tanganmu.”

Alya tertegun di pinggir jalan, tubuhnya gemetar. Ponsel hampir terjatuh dari genggamannya. Orang-orang lalu-lalang, kendaraan berisik, tapi baginya semua suara lenyap. Hanya satu yang terdengar: suara hatinya yang panik.

Apa aku harus menyerah lagi? Apa aku harus kembali, demi menjaga rahasia ini?

Tapi begitu wajah Aditya terbayang, hatinya menolak keras. Tidak. Ia tidak boleh kembali ke kegelapan itu.


Malamnya, Aditya menemukan Alya duduk di balkon kos, menatap hujan. Matanya kosong.

“Kenapa kamu di luar? Dingin,” kata Aditya sambil meletakkan jaket di pundaknya.

Alya menoleh pelan. Bibirnya bergetar, seolah ingin bicara sesuatu. Tapi lagi-lagi ia diam. Hanya kalimat pendek yang keluar: “Aku takut, Dit.”

Aditya mendekat, duduk di sampingnya. “Takut apa?”

Alya menoleh, menatapnya lama. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tapi semua tersangkut di tenggorokan. Yang keluar hanyalah sebuah bisikan: “Takut kehilangan kamu.”

Aditya terdiam. Ia meraih tangan Alya, menggenggamnya erat. “Kamu nggak akan kehilangan aku. Aku janji.”

Air mata Alya jatuh begitu saja. Ia ingin percaya, sungguh ingin percaya. Tapi bayangan Rendra masih ada di belakang matanya, siap merobek janji itu kapan saja.


Di buku puisinya malam itu, Alya menulis dengan tangan gemetar:

“Rahasia ini seperti rantai yang membelit.

Aku ingin jujur, tapi takut kehilangan cahaya.

Jika cinta berarti keberanian,

kapan aku bisa benar-benar berani?”

Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar kos. Alya baru saja bangun setelah malam panjang yang dipenuhi mimpi buruk. Matanya bengkak, kepala pening. Ia membuka ponsel, berharap ada pesan dari ibunya atau sekadar chat ringan dari Aditya.

Namun layar itu menampilkan sesuatu yang membuat darahnya beku.

Sebuah foto.

Foto dirinya, beberapa bulan lalu, saat ia masih berada dalam lingkaran gelap itu. Wajahnya jelas, meski ia berusaha menutupinya dengan rambut panjang. Tubuhnya hanya tertutup gaun tipis, cahaya lampu kamar hotel menyinari setiap detail.

Pesan singkat menyertai foto itu:

“Kalau kamu masih keras kepala, foto ini bisa sampai ke pacar kamu. Atau ke kampusmu. Pilih cepat, Alya.”

Ponsel bergetar di tangannya. Jantungnya berdegup tak karuan. Nafasnya tersengal. Ia menjatuhkan ponsel ke lantai, lalu menutupi wajah dengan kedua tangan.

“Ya Tuhan…” bisiknya. “Kenapa dia nggak berhenti?”


Hari itu Alya bekerja di minimarket dengan tubuh lemas. Setiap suara pintu terbuka membuatnya waspada, takut Rendra muncul lagi. Setiap pelanggan pria menatapnya seakan tahu rahasianya.

Ia berusaha tersenyum, tapi bibirnya bergetar. Ia salah menekan tombol mesin kasir, salah memberikan kembalian. Rekan kerjanya menegur, tapi Alya hanya mengangguk tanpa mendengar.

Kalau foto itu sampai ke Aditya… semuanya berakhir.


Sore hari, Aditya menjemput seperti biasa. Alya naik ke motor tanpa banyak bicara. Sepanjang perjalanan, ia menunduk, memeluk tasnya erat.

“Kenapa kamu diam aja?” tanya Aditya sambil menoleh sebentar.

Alya tergagap. “Aku… aku cuma capek.”

Aditya mendesah pelan. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi menahan diri. Wajah Alya terlihat rapuh, seolah sekali disentuh saja bisa pecah.


Malamnya, Alya duduk di kamarnya, ponsel di tangan. Ia membuka galeri, melihat foto-foto masa lalu yang dikirim Rendra satu per satu. Setiap gambar adalah belati yang menusuk jantungnya.

Ia sempat mengetik pesan:

“Aditya, aku harus cerita sesuatu. Tentang masa laluku.”

Tapi jarinya berhenti di tombol kirim. Ia membayangkan wajah Aditya saat membaca. Mungkin kekecewaan. Mungkin jijik. Mungkin ia pergi selamanya.

Air mata Alya jatuh membasahi layar. Ia menghapus pesan itu.


Ketukan di pintu mengejutkannya.

“Alya, aku bawa makan malam,” suara Aditya dari luar.

Ia buru-buru menyeka air mata. “Iya, sebentar.”

Saat pintu dibuka, aroma nasi goreng menyeruak. Aditya masuk dengan senyum kecil. “Aku tahu kamu belum makan. Jadi aku bungkus.”

Alya berusaha tersenyum. “Terima kasih.”

Mereka makan berdua. Suasana sunyi, hanya terdengar suara sendok mengenai piring. Aditya beberapa kali menatap Alya, tapi gadis itu sibuk menunduk.

Akhirnya, Aditya meletakkan sendok. “Alya… aku tahu kamu sembunyiin sesuatu. Dan aku nggak akan maksa kamu cerita kalau kamu belum siap. Tapi aku janji, apapun itu, aku nggak akan ninggalin kamu.”

Kata-kata itu menusuk hati Alya. Ia hampir menangis di hadapan Aditya, hampir saja mengatakan semuanya. Tapi bayangan foto itu, ancaman Rendra, membuat lidahnya kelu.

Ia hanya berbisik pelan: “Terima kasih, Dit.”


Malam semakin larut. Setelah Aditya pulang, Alya kembali duduk di meja belajar. Buku puisinya terbuka. Tangannya gemetar saat menulis:

“Masa lalu menjeratku dengan rantai besi.

Aku ingin jujur, tapi takut kehilangan cinta.

Aku ingin berlari, tapi bayangan mengejarku.

Kota ini bising, tapi aku sendirian dalam diam.”

Air matanya menetes di halaman, membuat tinta melebur.


Sementara itu, di sebuah apartemen mewah, Rendra duduk sambil menatap layar ponselnya. Senyum miring terbit di wajahnya saat melihat pesan terakhir yang ia kirim.

“Cepat atau lambat, kau akan kembali padaku, Alya,” gumamnya sambil menyalakan rokok. “Tak ada yang bisa lari dari masa lalunya.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Masih Terjaga Dalam Mimpinya

    Pagi buta, kota masih setengah tidur ketika Alya terjaga dari mimpinya. Dadanya naik-turun cepat, napasnya tersengal. Dalam mimpi, ia melihat wajah Aditya yang perlahan menjauh darinya, kabur tertelan gelap, sementara suara Rendra bergema:“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”Alya duduk tegak di ranjang, keringat dingin membasahi pelipis. Ia menatap langit-langit, lalu menunduk menatap tangannya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup lagi menanggung beban rahasia itu.Hari itu ia pergi kuliah dengan kepala penuh bayangan. Di kelas, ia hanya menatap papan tulis tanpa benar-benar mendengar penjelasan dosen. Teman-teman bertanya kabar, ia hanya menjawab singkat.Aditya yang duduk di sampingnya sesekali melirik, gelisah melihat tatapan kosong Alya.Saat jam istirahat, Aditya menahan tangannya. “Alya, kamu sakit? Mukamu pucat banget.”Alya menarik tangannya cepat, senyum hambar. “Nggak, aku baik-baik aja.”Tapi hatinya menjerit. Sampai kapan aku bisa berpura-pura?Sepu

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Rahasia Yang Terkurung

    Hujan turun deras malam itu. Rintiknya menghantam atap seng kos-kosan Alya, menimbulkan suara gemuruh yang menambah kekalutan hatinya. Ia duduk di meja belajar, buku-buku terbuka namun pandangannya kosong. Pena di tangannya tak bergerak, seolah ide-ide yang dulu selalu mengalir kini mati terendam ketakutan.Rendra. Namanya saja sudah membuat tubuh Alya menggigil. Kata-kata pria itu terus menghantui:“Sekali kamu masuk ke dunia itu, susah keluar. Nama kamu masih ada di daftar.”Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Kalau dia benar-benar menyebarkan semuanya, apa yang akan terjadi? Ia membayangkan Aditya membaca pesan atau foto masa lalunya. Membayangkan dosen, teman kampus, bahkan ibunya di desa tahu t

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Mencari Cahaya

    Pagi itu, Alya duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya sembab, rambutnya masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia memandangi dirinya sendiri lama, lalu berbisik pelan, hampir tak terdengar:“Aku harus berubah. Aku nggak boleh jatuh lagi.”Tangannya gemetar, tapi dalam matanya ada secercah tekad yang baru.Di luar, Aditya menunggu dengan motor tuanya. Mesin berderak kasar, seakan ikut menanggung beban pemiliknya. Saat Alya naik, Aditya menoleh sebentar. “Kita mulai dari mana?”Alya menarik napas panjang. “Apa aja, Dit. Asal halal. Aku nggak peduli sesulit apa pun.”Mereka berdua me

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Jalam Buntu

    Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk atap seng kos Alya seperti ribuan jemari yang tak sabar. Alya duduk di tepi ranjang, ponsel di tangannya bergetar. Nomor tak dikenal masuk, tapi ia tahu persis siapa pengirimnya.“Kalau butuh uang cepat, kau tahu harus cari siapa.”Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya porak-poranda. Jemarinya gemetar, hampir saja ia melempar ponsel ke dinding.“Kenapa dia nggak berhenti mengikutiku?” Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa takut dan putus asa.Siang harinya, ia menerima telepon dari kampung. Suara adiknya terdengar panik.“Kak… Ibu kambuh lagi. Kalau bisa, cepat kirim uang, ya. Obatnya habis.”Alya terdiam, suaranya tercekat. “Iya… kakak usahakan.”Setelah telepon ditutup, Alya terduduk lemas. Dompetnya kosong. Uang beasiswa bulan ini sudah habis untuk kos, makan, dan transportasi. Ia benar-benar tak punya pegangan.Di kampus, Aditya memperhatikan Alya yang murung. Matanya

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Retakan Di Antara Kita

    Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seperti jam pasir yang butirannya enggan jatuh.Alya duduk di kamar kosnya, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan singkat dari Aditya:“Aku pulang duluan. Jaga dirimu.”Kalimat sederhana, tapi baginya terdengar dingin, seperti ada tembok yang tak terlihat. Dulu, setiap pesan dari Aditya penuh emotikon lucu, penuh canda, penuh hangat. Sekarang, hanya kata-kata datar yang membuat dadanya sesak.Aditya pun bukan tanpa luka. Ia berjalan di kampus dengan wajah lelah. Teman-temannya mengajak bercanda, tapi senyumnya hambar. Malam-malamnya sering terbangun, bayangan Alya di kamar hotel itu masih menghantui pikirannya.Ia mencintai Alya, sungguh. Tapi bayangan bahwa orang yang ia peluk dengan penuh cinta pernah disentuh dengan cara yang tak seharusnya—itu menusuknya seperti duri yang tak bisa dicabut.Suatu sore, mereka duduk di bangku taman kampus. Langit oranye, daun-daun berguguran tertiup angin. Alya menggenggam tangannya pelan, tapi Adit

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Ancaman di Balik Cahaya

    Pagi itu, kampus ramai oleh mahasiswa yang terburu-buru masuk kelas. Alya berjalan pelan, pundaknya terasa berat, seolah ada batu besar yang menekan dari dalam dadanya. Matanya sayu, wajahnya pucat.Aditya menyapanya di depan gedung. “Kamu sakit? Dari kemarin aku lihat kamu nggak enak badan.”Alya tersenyum tipis. “Nggak, aku cuma kurang tidur.”Padahal sebenarnya, ia tidak tidur semalam. Ponselnya terus bergetar, pesan-pesan dari manajer itu masuk satu per satu:“Jangan pura-pura lupa hutang budi.”“Kalau kamu nggak mau kerja lagi, aku bisa kasih tahu siapa kamu sebenarnya.”“Pacar kampusmu itu pasti bakal jijik kalau tahu.”Kata-kata itu menusuk seperti belati. Alya membaca, menangis, lalu mencoba menghapus, tapi rasa takut tetap tertinggal di dadanya.Di kelas, Aditya duduk di sampingnya. Sesekali ia menatap Alya, lalu menuliskan sesuatu di kertas kecil.“Kalau kamu ada masalah, aku janji aku siap dengerin.”Alya membaca pesan itu, lalu menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya h

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status