Share

Bab 4

Aku tidak bisa menyembunyikan senyumanku jika teringat adegan panas yang aku lakukan bersama Mas Satya. Sungguh diluar dugaanku. Tidak hanya memberikan kasih sayang yang tidak mampu Mas Angga berikan. Mas Satya juga memberikan kehangatan yang akhir-akhir ini tidak kudapatkan dari suamiku. Mas Satya jauh lebih hebat daripada Mas Angga saat berada di atas ranjang. Ia memu*skanku hampir beberapa kali. Jika saja suamiku adalah Mas Satya pasti hidupku akan bahagia.

Aku berdecak kesal saat mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Hendak menghubungi Santi. Kalau sebentar lagi aku akan menjemput Sifa. Tapi benda pintar milikku justru kehabisan baterai.

"Ya sudahlah, aku pulang aja dulu," gumanku pada diriku sendiri. Aku ingin membasuh tubuhku yang terasa lengket karena bekas berperang dengan Mas Satya.

Sepanjang perjalanan aku terus teringat manisnya cinta yang baru saja aku nikmati bersama Mas Satya. Rasa-rasanya aku ingin mengulanginya sekali lagi.

"Bu, rumah bercat hijau itu, kan?"

Aku tersadar dari lamunan. Tidak terasa mobil grab yang membawaku sudah hampir sampai di depan rumah. Aku melongok sedikit ke arah jendela.

"Oh iya itu Pak," jawabku menegakan posisi dudukku.

Perlahan mobil grab yang membawaku berjalan menepi dan berhenti di depan rumah. Setelah membayar aku segera turun dari dalam mobil itu.

"Mama!"

Deg.

Jantungku nyaris melompat saat suara teriakan Sifa menggema. Aku membalikkan tubuhku cepat dan benar saja sosok yang tengah berlari ke arahku adalah Sifa.

"Si-Sifa!" Aku speechless, sampai kesulitan untuk berkata-kata. Yang ada di dalam benakku hanya bagiamana bisa Sifa ada di sini?

"Mama, urusan mama sudah selesai?" Gadis kecil itu mendongak menatapku. Sementara otaku berusaha berpikir positif tentang keberadaannya yang sudah sampai di rumah.

"Sifa kok sudah ada di rumah? Kan mama belum jemput Sifa. Sifa dianterin Tante Santi?" tanyaku penasaran.

"Nggak Ma, tadi Sifa pulang sama Papa."

Deg.

Mampus aku!

Reflek aku memegangi dadaku. Takut jantungku mencelos dari tempatnya. Bagaimana ini kalau Mas Angga tanya yang macam-macam sama aku?

Aku mengayunkan kakiku masuk ke dalam rumah. Tidak peduli seberapa berdebarnya jantung ini karena takut. Aku berusaha bersikap biasa saja, seperti tidak pernah terjadi apapun..

"Mas!" Panggilku pada Mas Angga yang tengah bersantai di bangku sofa ruang televisi. Lelaki yang mengenakan setelan kaos oblong putih dan celana pendek itupun menoleh.

"Mit, dari mana kamu? Acara Bu RT lagi?" ucap Mas Angga menatapku datar.

"I-iya Mas," jawabku terbata. Aku tidak bisa membayangkan wajahku saat ini. Tapi yang pasti aku berusaha untuk tetap tenang di depan Mas Angga.

"Kirain ngurusin bapak di rumah sakit."

"Apa?" Aku terhenyak kaget. "Ma-maksud Mas Angga apa?" Suaraku memekik. Itu adalah alasan yang aku katakan pada Santi saat menitipkan Sifa. Apakah Mas Angga tau? Tapi kalau pun tau harusnya dia kan marah sama aku.

"Ah enggak lupakan saja." Mas Angga mengibaskan telapak tangannya ke udara. Ia kembali mengalihkan pandangan pada layar televisi yang menyala.

Aku mematung menatap Mas Angga. Hatiku gamang, apa jangan-jangan Mas Angga memang tau. Tapi kenapa diam saja?

"Ma!"

Aku tersadar saat Sifa memanggilku. "Eh, iya Sifa, kenapa?"

"Aku laper Ma." Sifa merengek. Sepertinya aku memang harus meladeni Sifa dulu.

"Iya, yuk mama masakin. Kamu mau makan apa?" Aku mengajak Sifa ke dapur. Tapi pikiranku masih mengganjal tentang ucapan Mas Angga barusan.

____

Dreet ... Dreet ...

Beberapa pesan masuk ke ponselku setelah benda pintar itu kuaktifkan. Beberapa pesan dari Mas Satya dan Juga Santi. Aku tertuju pada pesan yang Santi kirimkan padaku. Pesan ini jauh lebih penting untukku.

[Mit, dimana? Suami kamu pulang nyariin kamu.]

[Mit, Sifa di bawa pulang Angga.]

[Mit, balas dong.]

Aku membuang nafas panjang. Semua sudah terlambat. Gara-gara aku lupa ngeces hp selamam, aku tidak tau kalau Santi mengirimkan pesan padaku.

Aku menggulirkan kursor ke bawah.

[Tadi si Angga nanyain kamu, aku bilang aja kalau kamu sedang jenguk bapak kamu di rumah sakit. Nggak salah, kan Mita?]

Tanganku gemetar seketika. Jadi benar Mas Angga tau kalau aku sedang berbohong. Tapi kenapa dia diam saja?

Klak!

Pintu kamar terbuka. Mas Angga muncul dari balik pintu dengan wajah datar. Bibirnya terkunci rapat. Tidak mengatakan apapun. Ia menoleh ke arahku sekilas saat menutup pintu kamar kembali dan berjalan ke arah ranjang.

Apakah aku harus menjelaskan semuanya pada Mas Angga? Tapi, dari mana aku harus menjelaskannya atau pura-pura tidak tau saja.

Benakku berjibaku dengan diriku sendiri. Otakku yang biasanya encer mendadak tumpul saat ini.

Akhirnya aku dan Mas Angga tidak bicara apapun. Karena lelaki itu sudah tidur terlelap di sampingku.

__

Seperti biasanya dan yang sudah-sudah. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan bergelut dengan semua pekerjaan rumah yang menanti. Ya, meskipun gaji Mas Angga sudah lumayan, tapi lelaki itu masih enggan untuk menyewakan pembantu untukku. Padahal aku sudah sering kali mengeluh padanya tentang pekerjaan rumah yang nyaris membuatku stres. Apalagi di tambah dengan sikap dinginnya padaku. Serasa aku tidak memiliki siapapun di dunia ini dan benar-benar sendiri. Hanya Mas Satyalah penghiburku.

"Mama!"

Suara riang Sifa menggema. Gadis kecilku yang sudah siap untuk berangkat sekolah itu berlari menuju meja makan. Di susul Mas Angga dari belakang. Dengan wajah datar yang masih sama seperti biasanya.

Aku menatap suamiku sejenak. Tanya yang berkecamuk semalaman belum juga usai. Kenapa Mas Angga tidak mengkonfirmasi padaku tentang kebohongan yang sudah aku lakukan? Padahalkan dia tau kalau aku ini yatim piatu dan sementara bapak Mas Adam sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.

"Ma, aku mau ikan itu ya!" Sifa menunjuk ikan nila goreng yang ada di atas meja. Aku menurut dan mengambilkannya.

"Mas Angga mau lauk apa?" tanyaku hangat.

"Aku sarapan roti saja," jawab Mas Angga datar. Tanpa kuambilkan Mas Angga mengambil roti itu sendiri. Aku memilih diam dan kembali duduk.

Mobil Mas Angga sudah menghilang di ujung jalan. Aku segera melanjutkan pekerjaanku yang tertunda. Sibuk berkencan dengan Mas Satya, membuat pakaian kotor menumpuk di kamar mandi.

Aku memilih satu persatu pakaian yang akan aku masukkan ke dalam mesin cuci. Kebiasaanku memang memilih baju-baju tertentu agar tidak rusak saat dicuci. Saat aku memasukkan celana kerja Mas Angga, sebuah benda terjatuh di lantai.

Mataku mengawasi benda tersebut. Benda yang tidak asing untukku yang notabenenya adalah seorang ibu-ibu.

Entah mengapa tanganku gemetar mengambil benda pintar tersebut. Dua garis merah yang terpampang jelas membuat hatiku nyeri.

"Testpack siapa ini?" lirihku tertahan di kerongkongan yang terasa tercekik.

____

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status