"Sifa!"
Susah payah aku menyebut nama putriku sendiri. Kerongkonganku serasa tercekik."Mas, kok!" Jariku terulur ke arah Mas Angga yang berdiri di depanku. Tapi lidahkku terasa kelu untuk berucap."Kamu dari mana? Tumben rapi sekali?" Mas Angga menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Menunjukkan jika ada yang berbeda dari diriku.Tentu saja aku berbeda. Paramitha yang Mas Angga lihat setiap hari hanyalah seorang wanita rumahan, seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya memakai daster. Jarang bersolek. Ya, bisa dibilang aku memang malas untuk mempercantik diri. Tapi semua berubah, setelah aku mengenal Mas Satya. Aku belajar berdandan, dan membeli beberapa pakaian untuk menunjang penampilanku. Penampilan yang hanya aku tunjukkan untuk Mas Satya. Yang notabenenya adalah suami orang."Mit!""Eh, iya Mas!" Aku tergeragap. Sadar jika Mas Mas Angga menggerakkan telapak tangannya di depan wajahku."Ehm, anu, mas, tadi aku habis dari tempat arisan Bu RT," jawabku. Tentu saja berdusta.Mas Angga mengerutkan kening. Menatapku curiga. "Dangan pakaian seperti ini?" Mas Angga mengacungkan jari telunjuknya ke arahku.Aku mengulas senyuman. Untuk menutupi kegugupan yang melanda. Takut, jika saja Mas Angga curiga."Yah, Mas, sekali-kali boleh dong aku dandan seperti ini. Biar makin cantik," aku berkilah. Kebohongan seperti sudah mendarah daging di dalam diriku. Setelah aku menjalin kasih dengan Mas Satya."Terus Sifa?"Aku meringis. "Aku titipin di rumah Santi. Habis Sifa di ajak nggak kau sih." Untuk yang kesekian kalinya aku kembali menipu Mas Angga."Terus Mas Sendiri tumben sudah pulang?" tanyaku basa-basi. Padahal sebenarnya aku sama sekali tidak peduli dengan Mas Angga. Terserah dia mau melakukan apa. Aku lelah memiliki suami dingin sepertinya."Semua pekerjaan di kantor sudah beres. Makannya aku pulang lebih awal." Wajah Mas Angga berubah kusut. Ia membalikan badannya masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan apapun.Aku menghela nafas lega. Gara-gara ketakutanku. Hampir saja semuanya ketahuan.Aku segera menjemput Sifa dan membawanya pulang. Seolah tidak terjadi apapun, aku melakukan semua pekerjaan seperti biasa._____"Kamu punya pacar ya?" Santi menatapku penuh selidik. Cepat aku meletakkan jari telunjukku ke dekat bibir. Tanda agar Santi diam. Karena di depan kami sekarang ada Sifa dan Amina, putri Santi.Ssttt!"Sifa main dulu sama Amina ya," ucapku seraya mengusap ujung poni Sifa. Gadis kecilku tidak menjawab sama sekali. Bibirnya mengerucut kesal."Tapi mama pulangnya jangan sore-sore ya?" Gadis kecilku itupun akhirnya bersuara."Kalau sore-sore, nanti aku bilangin sama papa deh." Sifa memprotes. Sudah genap hampir seminggu aku selalu menitipkan Sifa di rumah Santi dan aku meminta pada Sifa untuk tidak mengatakan apapun pada Mas Angga.Aku menarik tubuhku duduk berjongkok di depan Sifa. Mensejajari tubuh mungilnya. "Iya sayang, besok urusan mama sudah selesai kok," bujukku. Sepertinya aku memang harus menyudahi pertemuanku dengan Mas Satya untuk sejenak. Aku tidak mau semua jadi berantakan karena kami tidak mampu menahan rindu."Janji?" Sifa mengulurkan jari kelingkingnya."Iya sayang," jawabku membalas uluran jari kelingking Sifa."Baiklah!" Sifa menjawab tidak semangat. Lalu membalikkan tubuhnya pergi mengikuti Amina, putri dari Santi. Aku menghela nafas lega, menatap kepergian Sifa dengan senyuman."Mit, kamu harus menjelaskannya padaku!" Baru saja aku bangkit berdiri. Santi menyergahku dengan pertanyaannya yang tertunda."Benar kamu punya pacar?" Lagi sahabatku itu bertanya penuh curiga.Aku menatap Sifa sampai bayangan gadis kecil itu benar-benar menghilang. Baru aku menjawab pertanyaan Santi."Pacar apa sih, San, kan aku sudah bilang kalau aku mau ngurus bapak aku yang sedang sakit." Aku berkilah. Itulah alasan yang akhir-akhir ini aku katakan pada Santi.Santi menatapku curiga. "Kamu nggak lagi berbohong kan, Mit?"Aku tergelak untuk menyakinkan Santi. Menyembunyikan kebohongan yang baru saja aku katakan. "Bohong, bagaimana bisa kamu berpikir aku sedang berbohong, San?" ucapku yang diakhiri dengan tawa.Santi menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak sedang gatal. Wajahnya nampak berpikir. "Habis dandanan kamu tidak seperti biasanya," jawab Santi ragu-ragu. Menatapku dari ujung kaki hingga kepala.Bibirku mengembangkan senyumnya. Aku menatap dress yang cukup sexy yang menempel pada tubuhku."Yah, San, masa iya sih aku pergi ke rumah sakit' pakai daster. Kamu ini ada-ada aja." Aku mengibaskan satu tanganku di depan wajah Santi yang tampak bengong.Aku mengeluarkan dua lembar kertas merah dari dalam tas. "Ini uang untuk jajan Sifa sama Amina." Aku menyodorkan lembaran kertas merah pada Santi."Banyak banget!" ucap Santi menerimanya."Iya nggak apa-apa. Buat Amina sekalian," jawabku. "Oh iya, ingat ya pesanku kali aja ada Mas Angga ke sini nanyain aku atau Sifa.""Iya-iya, tar aku bilang aja kamu lagi ada kegiatan sama Bu RT," sahut Santi cepat.Temanku ini memang paling bisa diandalkan, tentu saja jika ada uangnya. Tetapi semua amanlah, buktinya sampai detik ini Mas Angga sama sekali tidak curiga. Ia masih sering pulang malam seperti biasanya."Aku pergi dulu ya, San. Nanti aku pulang lebih awal kok," ucapku sebelum meninggal rumah Santi.___Ponsel yang ada di dalam tasku berdering. Cepat aku mengambilnya. Seperti dugaanku, Mas Satya yang menghubungi. Nomor tanpa nama muncul pada layar ponsel yang berkedip. Ya, tentu saja aku tidak menyimpan nama lelaki itu. Bisa gawat kalau Mas Angga tiba-tiba mengecek ponselku."Iya, Mas!" sapaku setelah menerima panggilan."Sayang, aku sudah di sini. Aku tunggu kamu ya." Suara serak Mas Satya membuat hatiku berdesir tidak karuan. Begitu pula dengan degupan jantungku yang memburu semakin cepat. Cinta Mas Satya menyeretku jauh ke lubang dosa tanpa bisa kutahan.Aku telah tiba di tempat Mas Satya menungguku. Kini aku sudah berdiri di depan sebuah pintu kamar hotel. Pikiran dan hatiku berkecamuk. Harusnya tidak begini, tapi semua harus begini. Ini bukan cinta, tapi ini yang membuatku gila. Madu cinta yang Mas Satya tawarkan kepadaku sungguh membuatku terlena.Aku merutuki tanganku yang terulur untuk memutar gagang pintu. Sumpah serapah terlontar hanya di dalam hati. Aku pikir perselingkuhanku dengan Mas Satya hanya sekedar keisengan belaka. Karena kami sama-sama kesepian. Tapi ternyata, rasa nyaman itu membawaku sampai berada di tempat ini.Klak!"Mita!"Lelaki yang tengah duduk pada bibir ranjang itu menyambutku dengan sapaan hangat. Tutur kata lembut yang selama ini tidak pernah aku dapatkan lagi dari Mas Angga."Ayo masuk!" ucap Mas Satya bangkit untuk menyambutku. Kemeja putih longgar dengan celana selutut membuat Mas Satya nampak begitu sempurna.Tanpa menunggu perintahku aku masuk ke dalam kamar hotel. Melupakan perasaan yang berkecamuk beberapa saat lalu. Aku nyaris gila, gila oleh manisnya cinta yang Mas Satya tawarkan padaku.Lelaki itu memeluk erat tubuhku. Mengecup lembut keningku. Layaknya seorang suami istri dan tanpa rasa malu, aku melingkarkan tanganku pada pinggangnya. Aku bergelayut manja pada Mas Satya yang memperlakukanku begitu lembut. Ia memberikan apa yang tidak Mas Angga berikan padaku."Kamu tau, aku sangat mencintaimu, Mita." Mas Satya menyentuh bahuku. Tatapannya sendu membuatku lupa jika aku adalah istri dari pria lain.Aku tersenyum sumbang. Memasang wajah tidak percaya. Walau kali ini hatiku sedang berbunga-bunga atas pujiannya. Wanita memang senang sekali jual mahal."Nggak percaya?" Wajah Mas Satya berubah serius. Mungkin karena aku tengah memasang wajah tidak percaya."Enggak!" jawabku berkelakar. Mas Satya justru menghujaniku dengan ciuman paksa. Sampai tubuhku dan tubuhnya jatuh di atas ranjang hotel."Ampun, Mas, iya deh aku percaya," jawabku setelah wajahku tidak tersisa oleh ciumannya.Mas Satya tersenyum. Aku bisa melihat jelas senyuman itu dari jarak dekat seperti ini. Hembuskan nafas begitu hangat menyapu wajahku dan juga wangi."Kalau saja kamu berpisah dengan suamimu. Aku siap untuk berpisah dengan Lidya.""Terus!" lirihku. Entahlah rasanya aku hampir kehilangan kendali atas diriku sendiri jika Mas Satya bersikap seperti ini."Terus, ya kita menikah," jawabnya dengan mudah."Mas yakin?" Aku menatapnya lekat. Lelaki itu menganggukkan kepalanya. Perlahan tangannya meraba dan berhenti di bagian depan dadaku. Aku menahan lengannya dengan wajah ragu."Aku akan bertanggung jawab, Mita. Bukankah aku sudah mengatakannya padamu kalau aku mencintaimu." Mas Angga menyakinkan aku dan akhirnya aku pun luluh oleh rayuannya. Kami pun berlayar di perahu cinta untuk yang pertama kalinya.____Bersambung ....Aku tidak bisa menyembunyikan senyumanku jika teringat adegan panas yang aku lakukan bersama Mas Satya. Sungguh diluar dugaanku. Tidak hanya memberikan kasih sayang yang tidak mampu Mas Angga berikan. Mas Satya juga memberikan kehangatan yang akhir-akhir ini tidak kudapatkan dari suamiku. Mas Satya jauh lebih hebat daripada Mas Angga saat berada di atas ranjang. Ia memu*skanku hampir beberapa kali. Jika saja suamiku adalah Mas Satya pasti hidupku akan bahagia.Aku berdecak kesal saat mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Hendak menghubungi Santi. Kalau sebentar lagi aku akan menjemput Sifa. Tapi benda pintar milikku justru kehabisan baterai."Ya sudahlah, aku pulang aja dulu," gumanku pada diriku sendiri. Aku ingin membasuh tubuhku yang terasa lengket karena bekas berperang dengan Mas Satya. Sepanjang perjalanan aku terus teringat manisnya cinta yang baru saja aku nikmati bersama Mas Satya. Rasa-rasanya aku ingin mengulanginya sekali lagi."Bu, rumah bercat hijau itu, kan?"Aku tersada
Seharian aku merebahkan tubuhku di sofa yang ada di depan ruang televisi. Kepalaku berdenyut-denyut hebat. Banyangan alat pendeteksi kehamilan bergaris dua itu berhasil membuat hatiku tidak tenang. Aku bagaikan ikan yang melompat dari dalam air. Nyaris ingin mati. Tespek milik siapa itu? Siapa yang sudah hamil? Kenapa ada di dalam saku celana Mas Angga? Apa jangan-jangan Mas Angga berselingkuh di belakangku?Hatiku nyeri membayangkan hal itu. Seperti ada belati yang menyayat-nyayat hati ini. Aku frustasi juga emosi dengan pikiranku sendiri. Sampai-sampai Sifa yang tidak tau apa-apa menjadi sasaran kemarahanku.Entah pergi kemana gadis kecilku itu sekarang. Aku tidak peduli. Yang ada di dalam pikiranku, banyang-bayang pengkhianat Mas Angga yang semakin nyata di pelupuk mata.Seharian aku tidak mandi. Rambutku awut-awutan. Pakaian yang aku kenakan masih sama seperti semalam. Aku tidak bisa berpikir jernih. Hatiku hancur sehancur-hancurnya jika benar Mas Angga berselingkuh. Tut ... Tu
Dadaku kian sesak. Sampai-sampai aku tidak mampu untuk sekedar menangis. Tubuhku gemetar hebat, semua pikiran buruk carut marut memenuhi isi kepalaku. Apa yang sudah selama ini Mas Angga lakukan di belakangku? Apakah dia bermain hati dengan wanita lain? Apakah ini salah satu alasan Mas Angga bersikap dingin padaku. Sikap yang salama ini aku anggap wajar untuk kami yang sudah menikah cukup lama. Pikiran-pikiran itu berkecamuk. Membuat kepalaku begitu sakit. Aku memilih menyandarkan kepalaku pada sandaran bangku mobil. Hingga mobil yang membawaku tiba di depan rumah. “Sudah sampai, Bu,” ucap pengemudi melirikku dari kaca yang ada di atas stir mobil. Aku menarik tubuhku yang terasa berat dari sandaran bangku. Pandanganku langsung tertuju ke arah rumah. Mobil Mas Angga belum ada, berarti lelaki itu belum juga pulang. Semakin parah rasa sakit ini.Langkahku gontai masuk ke dalam rumah. Aku langsung menunju kamar Sifa, memastikan jika putriku tidak bangun saat aku meninggalkanya dan ben
Istri?Apa aku tidak salah dengar? Mas Angga mengkhianatiku sebelum aku mengkhianatinya?Aku membeku beberapa detik. Pandanganku meramun menatap wanita muda yang berdiri tidak jauh dari pintu. Kelopak mataku sudah dipenuhi oleh genangan air mata yang tertahan."Dia juga istriku, Mita. Kami sudah menikah beberapa bulan yang lalu." Mas Angga menurunkan sedikit intonasi suaranya. Dadanya bergerak naik turun seperti sedang menahan sesuatu. Entah mengapa ucapan itu terdengar begitu sakit masuk dalam indra pendengaranku. Seperti ditikam dengan pisau berkali-kali. Tapi tidak berdarah.Pandanganku yang meramun karena penuh dengan air mata beralih pada Mas Angga. Menatap tajam pada lelaki itu. "Jadi ini alasan kamu lembur setiap malam, Mas?" Bibirku mendesis mengintimidasi. Memberikan penekanan di setiap ucapanku. Agar Mas Angga tau jika aku sedang sekarat karena perbuatannya. Aku dibohongi, aku di khianati.Mas Angga menatap mataku. Setitik tatapan kasihan terlukis. Lalu berganti dengan tatap
Hatiku tidak tenang. Sekolah sudah sepi. Tapi Sifa belum juga keluar. Biasanya Sifa tidak pernah seperti ini. Apa jangan-jangan kelas Sifa belum keluar atau ....Aku menyapu pandanganku ke sekeliling. Sudah tidak ada lagi orang tua murid yang menjemput anak-anaknya. Hanya ada aku yang tersisa sendirian.Aku turun dari motor menghampiri satpam sekolah yang bertugas untuk memastikan keberadaan Sifa."Pak, lihat Sifa putri saya nggak?" tanyaku. Aku yakin lelaki berseragam putih itu pasti hafal betul siapa aku. Hampir setiap hari kami bertemu saat aku menjemput Sifa."Sifa?" ucap Satpam dengan wajah berpikir, lalu menatap ke arah sekolah. Sepertinya apa yang ada di dalam benak lelaki itu sama seperti halnya denganku. Sejak siswa pertama keluar, aku tidak melihat kemunculan Sifa. Hingga seluruh siswa habis tak tersisa. Sifa tidak ada."Kayaknya, Eh ... Nggak ada deh Bu," jawab lelaki itu ragu. Juga tampak tidak enak padaku.Tubuhku gemetar. Pikiran buruk begitu cepat mengacaukan kewarasan
“Aku yang membalas pesanmu di nomor Mas Satya.” Lanjut wanita yang mengaku sebagai istri Mas Satya.Kerongkonganku serasa tercekik. Degupan jantungku mendadak memburu cepat. Wajahku menegang tidak menyangka. Apakah itu berarti wanita ini sudah mengetahui perselingkuhanku dengan Mas Satya. Hatiku takut, jika wanita ini akan mengamuk padaku. Aku mematung seperti halnya orang bodoh.“Mari kita duduk, tidak enak kalau kita ngobrol sambil berdiri seperti ini,” ajak Lidya. Ada senyuman yang terulir dari bibirnya. Sama sekali tidak ada kemarahan. Harusnya jika dia tau aku adalah selingkuhan Mas Satya, Lidya pasti marah padaku. Tapi, wanita ini tampak begitu tenang sekali. Aku menurut, duduk pada salah satu bangku café. Wanita itu duduk pada bangku tepat di sebrang mejaku. “Nama kamu Mita?” tanyanya membuka obrolan. Aku menganggukan kepalaku. Dari mana dia tau? Apa Mas Satya yang bercerita? Ah, tidak mungkin.Wanita berwajah teduh yang mengaku istri Mas Satya itu mengulas senyuman. “Sudah be
Pov Angga.Wiper pada kaca yang ada di depan mobil bergerak ke kiri dan ke kanan. Menyapu titik-titk hujan yang turun meramunkan pandanganku. Ternyata bukan karena gerimis hujan yang turun. Melainkan gerombolan cairan yang memanas memenuhi pelupuk mata ini.Sakit, kecawa, hancur definisi rasa yang berkecamuk menjadi satu. Secara bersamaan menghujam segumpal daging yang apabila daging itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila segumpal daging itu buruk maka buruklah seluruh tubuhnya dan segumpal daging itu adalah hatiku.Bough …Bough …Aku menghujani setir mobil sekeras mungkin. Tidak kurasakan sakit sama sekali pada tangan ini. Karena rasa sakitnya telah berbindah pada batin ini yang tersiksa oleh sebuah pengkhianatan.“Kenapa kamu tega sekali mengkhianati pernikahan kita, Mita!” kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir ini. Perih merajam sukma yang terluka. Madu yang kuberikan pada Mita nyatanya dibalas racun yang mematikan. Kebohongan demi kebohongan terajut rapi menjad
“Papa.”“Papa.”Aku terbangun dari tidurku saat suara Sifa masuk memenuhi indra pendengaranku. Tangan mungil itu menggoyang lenganku dan membuatku tersadar dari kantuk yang menyergap.Kepalaku terasa berat. Aku baru bisa tidur saat adzan subuh berkumandang. Akhir-akhir ini pikiranku begitu kacau. Apalagi setelah mengetahui jika Mita berselingkuh dengan lelaki lain. Tidak hanya hatiku, hidupku juga hancur. Setiap malam aku berusaha mengumpulkan kepingan puzzle sisa-sisa hidupku yang telah hancur. Mancari alasan yang harus membuatku kuat dan tetap bertahan untuk melewati hari-hari. “Pah.” Panggilan Sifa melemah. Setelah melihat pergerakan tubuhku. Pelan aku membuka mata, mengusap sesaat netra yang terasa begitu lengket ini.“Kenapa, nak?” jawabku dengan suara berat. Karena jujur aku masih mengantuk sekali. Lagian ini hari minggu. Tidak ada salahnya bukan kalau aku bermalas-malasan barang sebentar.Sifa mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan wajah penuh tanya. Aku tau alasannya,