Share

BAB 3

"Sifa!"

Susah payah aku menyebut nama putriku sendiri. Kerongkonganku serasa tercekik.

"Mas, kok!" Jariku terulur ke arah Mas Angga yang berdiri di depanku. Tapi lidahkku terasa kelu untuk berucap.

"Kamu dari mana? Tumben rapi sekali?" Mas Angga menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Menunjukkan jika ada yang berbeda dari diriku.

Tentu saja aku berbeda. Paramitha yang Mas Angga lihat setiap hari hanyalah seorang wanita rumahan, seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya memakai daster. Jarang bersolek. Ya, bisa dibilang aku memang malas untuk mempercantik diri. Tapi semua berubah, setelah aku mengenal Mas Satya. Aku belajar berdandan, dan membeli beberapa pakaian untuk menunjang penampilanku. Penampilan yang hanya aku tunjukkan untuk Mas Satya. Yang notabenenya adalah suami orang.

"Mit!"

"Eh, iya Mas!" Aku tergeragap. Sadar jika Mas Mas Angga menggerakkan telapak tangannya di depan wajahku.

"Ehm, anu, mas, tadi aku habis dari tempat arisan Bu RT," jawabku. Tentu saja berdusta.

Mas Angga mengerutkan kening. Menatapku curiga. "Dangan pakaian seperti ini?" Mas Angga mengacungkan jari telunjuknya ke arahku.

Aku mengulas senyuman. Untuk menutupi kegugupan yang melanda. Takut, jika saja Mas Angga curiga.

"Yah, Mas, sekali-kali boleh dong aku dandan seperti ini. Biar makin cantik," aku berkilah. Kebohongan seperti sudah mendarah daging di dalam diriku. Setelah aku menjalin kasih dengan Mas Satya.

"Terus Sifa?"

Aku meringis. "Aku titipin di rumah Santi. Habis Sifa di ajak nggak kau sih." Untuk yang kesekian kalinya aku kembali menipu Mas Angga.

"Terus Mas Sendiri tumben sudah pulang?" tanyaku basa-basi. Padahal sebenarnya aku sama sekali tidak peduli dengan Mas Angga. Terserah dia mau melakukan apa. Aku lelah memiliki suami dingin sepertinya.

"Semua pekerjaan di kantor sudah beres. Makannya aku pulang lebih awal." Wajah Mas Angga berubah kusut. Ia membalikan badannya masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan apapun.

Aku menghela nafas lega. Gara-gara ketakutanku. Hampir saja semuanya ketahuan.

Aku segera menjemput Sifa dan membawanya pulang. Seolah tidak terjadi apapun, aku melakukan semua pekerjaan seperti biasa.

_____

"Kamu punya pacar ya?" Santi menatapku penuh selidik. Cepat aku meletakkan jari telunjukku ke dekat bibir. Tanda agar Santi diam. Karena di depan kami sekarang ada Sifa dan Amina, putri Santi.

Ssttt!

"Sifa main dulu sama Amina ya," ucapku seraya mengusap ujung poni Sifa. Gadis kecilku tidak menjawab sama sekali. Bibirnya mengerucut kesal.

"Tapi mama pulangnya jangan sore-sore ya?" Gadis kecilku itupun akhirnya bersuara.

"Kalau sore-sore, nanti aku bilangin sama papa deh." Sifa memprotes. Sudah genap hampir seminggu aku selalu menitipkan Sifa di rumah Santi dan aku meminta pada Sifa untuk tidak mengatakan apapun pada Mas Angga.

Aku menarik tubuhku duduk berjongkok di depan Sifa. Mensejajari tubuh mungilnya. "Iya sayang, besok urusan mama sudah selesai kok," bujukku. Sepertinya aku memang harus menyudahi pertemuanku dengan Mas Satya untuk sejenak. Aku tidak mau semua jadi berantakan karena kami tidak mampu menahan rindu.

"Janji?" Sifa mengulurkan jari kelingkingnya.

"Iya sayang," jawabku membalas uluran jari kelingking Sifa.

"Baiklah!" Sifa menjawab tidak semangat. Lalu membalikkan tubuhnya pergi mengikuti Amina, putri dari Santi. Aku menghela nafas lega, menatap kepergian Sifa dengan senyuman.

"Mit, kamu harus menjelaskannya padaku!" Baru saja aku bangkit berdiri. Santi menyergahku dengan pertanyaannya yang tertunda.

"Benar kamu punya pacar?" Lagi sahabatku itu bertanya penuh curiga.

Aku menatap Sifa sampai bayangan gadis kecil itu benar-benar menghilang. Baru aku menjawab pertanyaan Santi.

"Pacar apa sih, San, kan aku sudah bilang kalau aku mau ngurus bapak aku yang sedang sakit." Aku berkilah. Itulah alasan yang akhir-akhir ini aku katakan pada Santi.

Santi menatapku curiga. "Kamu nggak lagi berbohong kan, Mit?"

Aku tergelak untuk menyakinkan Santi. Menyembunyikan kebohongan yang baru saja aku katakan. "Bohong, bagaimana bisa kamu berpikir aku sedang berbohong, San?" ucapku yang diakhiri dengan tawa.

Santi menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak sedang gatal. Wajahnya nampak berpikir. "Habis dandanan kamu tidak seperti biasanya," jawab Santi ragu-ragu. Menatapku dari ujung kaki hingga kepala.

Bibirku mengembangkan senyumnya. Aku menatap dress yang cukup sexy yang menempel pada tubuhku.

"Yah, San, masa iya sih aku pergi ke rumah sakit' pakai daster. Kamu ini ada-ada aja." Aku mengibaskan satu tanganku di depan wajah Santi yang tampak bengong.

Aku mengeluarkan dua lembar kertas merah dari dalam tas. "Ini uang untuk jajan Sifa sama Amina." Aku menyodorkan lembaran kertas merah pada Santi.

"Banyak banget!" ucap Santi menerimanya.

"Iya nggak apa-apa. Buat Amina sekalian," jawabku. "Oh iya, ingat ya pesanku kali aja ada Mas Angga ke sini nanyain aku atau Sifa."

"Iya-iya, tar aku bilang aja kamu lagi ada kegiatan sama Bu RT," sahut Santi cepat.

Temanku ini memang paling bisa diandalkan, tentu saja jika ada uangnya. Tetapi semua amanlah, buktinya sampai detik ini Mas Angga sama sekali tidak curiga. Ia masih sering pulang malam seperti biasanya.

"Aku pergi dulu ya, San. Nanti aku pulang lebih awal kok," ucapku sebelum meninggal rumah Santi.

___

Ponsel yang ada di dalam tasku berdering. Cepat aku mengambilnya. Seperti dugaanku, Mas Satya yang menghubungi. Nomor tanpa nama muncul pada layar ponsel yang berkedip. Ya, tentu saja aku tidak menyimpan nama lelaki itu. Bisa gawat kalau Mas Angga tiba-tiba mengecek ponselku.

"Iya, Mas!" sapaku setelah menerima panggilan.

"Sayang, aku sudah di sini. Aku tunggu kamu ya." Suara serak Mas Satya membuat hatiku berdesir tidak karuan. Begitu pula dengan degupan jantungku yang memburu semakin cepat. Cinta Mas Satya menyeretku jauh ke lubang dosa tanpa bisa kutahan.

Aku telah tiba di tempat Mas Satya menungguku. Kini aku sudah berdiri di depan sebuah pintu kamar hotel. Pikiran dan hatiku berkecamuk. Harusnya tidak begini, tapi semua harus begini. Ini bukan cinta, tapi ini yang membuatku gila. Madu cinta yang Mas Satya tawarkan kepadaku sungguh membuatku terlena.

Aku merutuki tanganku yang terulur untuk memutar gagang pintu. Sumpah serapah terlontar hanya di dalam hati. Aku pikir perselingkuhanku dengan Mas Satya hanya sekedar keisengan belaka. Karena kami sama-sama kesepian. Tapi ternyata, rasa nyaman itu membawaku sampai berada di tempat ini.

Klak!

"Mita!"

Lelaki yang tengah duduk pada bibir ranjang itu menyambutku dengan sapaan hangat. Tutur kata lembut yang selama ini tidak pernah aku dapatkan lagi dari Mas Angga.

"Ayo masuk!" ucap Mas Satya bangkit untuk menyambutku. Kemeja putih longgar dengan celana selutut membuat Mas Satya nampak begitu sempurna.

Tanpa menunggu perintahku aku masuk ke dalam kamar hotel. Melupakan perasaan yang berkecamuk beberapa saat lalu. Aku nyaris gila, gila oleh manisnya cinta yang Mas Satya tawarkan padaku.

Lelaki itu memeluk erat tubuhku. Mengecup lembut keningku. Layaknya seorang suami istri dan tanpa rasa malu, aku melingkarkan tanganku pada pinggangnya. Aku bergelayut manja pada Mas Satya yang memperlakukanku begitu lembut. Ia memberikan apa yang tidak Mas Angga berikan padaku.

"Kamu tau, aku sangat mencintaimu, Mita." Mas Satya menyentuh bahuku. Tatapannya sendu membuatku lupa jika aku adalah istri dari pria lain.

Aku tersenyum sumbang. Memasang wajah tidak percaya. Walau kali ini hatiku sedang berbunga-bunga atas pujiannya. Wanita memang senang sekali jual mahal.

"Nggak percaya?" Wajah Mas Satya berubah serius. Mungkin karena aku tengah memasang wajah tidak percaya.

"Enggak!" jawabku berkelakar. Mas Satya justru menghujaniku dengan ciuman paksa. Sampai tubuhku dan tubuhnya jatuh di atas ranjang hotel.

"Ampun, Mas, iya deh aku percaya," jawabku setelah wajahku tidak tersisa oleh ciumannya.

Mas Satya tersenyum. Aku bisa melihat jelas senyuman itu dari jarak dekat seperti ini. Hembuskan nafas begitu hangat menyapu wajahku dan juga wangi.

"Kalau saja kamu berpisah dengan suamimu. Aku siap untuk berpisah dengan Lidya."

"Terus!" lirihku. Entahlah rasanya aku hampir kehilangan kendali atas diriku sendiri jika Mas Satya bersikap seperti ini.

"Terus, ya kita menikah," jawabnya dengan mudah.

"Mas yakin?" Aku menatapnya lekat. Lelaki itu menganggukkan kepalanya. Perlahan tangannya meraba dan berhenti di bagian depan dadaku. Aku menahan lengannya dengan wajah ragu.

"Aku akan bertanggung jawab, Mita. Bukankah aku sudah mengatakannya padamu kalau aku mencintaimu." Mas Angga menyakinkan aku dan akhirnya aku pun luluh oleh rayuannya. Kami pun berlayar di perahu cinta untuk yang pertama kalinya.

____

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status