Kali ini Naomi memberanikan diri menatap lekat wajah Papa mertuanya itu. Biasanya Naomi akan langsung menunduk saat tatapan mereka bertemu, Karena rasa segan. Tapi tidak untuk kali ini, Naomi seolah menantang tatapan laki-laki paruh baya itu dengan berani. "Apa alasan Papa tidak mengizinkanku melakukannya?" tanya Naomi dengan berani namun tetap santun. "Papa hanya ingin mendengar jawabanmu," jawab Pak Beni, laki-laki itu tak ingin Naomi salah paham. Dengan satu kali helaan nafas panjang, Naomi memantapkan hatinya. Sesaat kemudian matanya terpejam, lalu berucap. "Aku akan pergi dari keluarga kalian secepatnya sejauh yang kumampu, tanpa merasa terbebani dengan keadaan Mama." Pak Beni menelan udah Getir. Laki-laki itu sangat paham bagaimana sikap tegas Naomi. Pastinya ia tak ingin keadaan lebih kacau lagi."Lakukan saja apa yang menurutmu tepat. Lagi pula Papa sudah kehabisan cara untuk membuat Raihan sadar." Pak Beni berucap dengan nada putus asa. Pasalnya, pada saat Raihan berselin
"Apa kau tak rindu Abang?" Kali ini Raihan bertanya sambil mencium leher jenjang milik Naomi yang tertutup jilbab. Sesaat Naomi merasakan hasrat wanita dewasanya terpancing hingga beberapa detik ia terdiam. Namun itu tak berlangsung lama, secepat kilat ia kembali berontak hingga Raihan merasa kewalahan karenanya. Dengan sekuat tenaga Naomi mendorong tubuh Raihan menjauhinya, bahkan kedua kakinya turut andil menerjang tubuh laki-laki itu hingga Raihan terjungkal ke lantai. Raihan merasakan area dadanya terasa nyeri karena hentakan keras dari kaki Naomi. Perlahan laki-laki itu bangkit. Mendapat penolakan dari Naomi membuat hasratnya semakin meninggi. "Apa kau tak merasa berdosa karena telah menolak ajakan suamimu?" Raihan perlahan kembali mendekat. Naomi menatap nanar wajah laki-laki yang kini sukses membuatnya semakin muak. "Jangan bicara dosa jika kau sendiri yang menjadi penikmatnya!" Naomi tersenyum sinis. "Atau mungkin perempuan murahan itu tak lagi sanggup memenuhi hasratmu?"
Di dalam mobil dokter tampan itu, Naomi duduk mematung di kursi penumpang. "Ada yang kau pikirkan?" tanya Faiq saat melihat wajah yang tadi ceria kini berubah sendu. Laki-laki itu tak pernah rela melihat Naomi bersedih. "Naomi khawatir, kehidupan menyebalkan ini akan memakan waktu lama," ucap Naomi tanpa mengalihkan pandangannya dari kuku-kuku di jari tangannya. "Apa kau masih mencintainya?" tanya Faiq. Iya berusaha menyelami rasa di hati Naomi terhadap Raihan."Yang tersisa hanyalah muak, dan ingin pergi sejauh mungkin dari kehidupannya," aku Naomi jujur. Hatinya terlalu lelah untuk terus memupuk rasa cintanya terhadap Raihan. Itulah yang dirasakan Naomi. Cinta yang dulu menggebu, kini sirna dalam sekejap oleh sebuah pengkhianatan. "Abang tak tahu harus memberimu jawaban seperti apa. Yang pasti, Abang akan mendukungmu selagi itu bisa membuatmu bahagia dan masih terlihat pantas." Faiq berucap tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan lurus hadapannya. "Jujur, sebenarnya Abang le
Satu jam perjalanan mobil Faiq mulai memasuki gang menuju rumah orang tua Naomi. Rumah berwarna krem dengan kusen berwarna coklat gelap itu sudah nampak. Halaman rumah yang cukup luas membuat rumah itu terlihat begitu asri. Mobil Faiq terparkir di halaman dengan beralaskan rumput hijau di depan rumah orang tua Naomi. Seorang laki-laki berusia sekitar 65 tahun keluar menuju teras depan rumahnya. Naomi bergegas turun ketika mobil Faiq berhenti sempurna. Ia berjalan cepat menghampiri laki-laki yang terlihat lebih tua dari usianya itu. Ayah Naomi adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Tante Reni—Mama Faiq anak bungsu, sedangkan kakak tertua mereka meninggal sejak masih usia 8 tahun. Dulu, ayah Naomi adalah seorang ASN yang berprofesi sebagai guru. Sejak pensiun, Naomi tak mengizinkannya lagi sang Ayah untuk bekerja di luar setelah ayahnya terserang penyakit lambung, meski saat itu Naomi tengah butuh biaya untuk kuliah. Kini Ayah Dayat hanya menghabiskan waktu untuk mengajar anak-anak s
Naomi mematung di tempat. Tak mudah baginya untuk membohongi laki-laki yang telah merawatnya sejak kecil itu. Naomi memutar badan menghadap ayahnya. Mendongak, menatap wajah renta itu dengan senyum termanisnya. Meraih tangan sang ayah, menangkupkannya di pipi mulusnya, persis kebiasaan sang Ayah memperlakukannya sejak kecil dulu. "Naomi baik-baik saja, Yah. Jangan khawatir." Wajah cantik itu berusaha menampakkan wajah baik-baik saja. Bagi Naomi, ayahnya sudah sangat renta, tak ada alasan baginya untuk membuat laki-laki itu mengkhawatirkan keadaannya. Bibir yang banyak ditumbuhi keriput itu tersenyum tipis. Pelan diusapnya pucuk kepala Naomi dengan hati terus berharap anak semata wayangnya itu benar-benar dalam keadaan baik-baik saja. "Jika ada apa-apa jangan sungkan untuk cerita. Kau tetaplah gadis kecil Ayah yang penyayang namun keras kepala, tak ada yang berubah."Naomi merasakan haru luar biasa, haru atas perlakuan lembut dari laki-laki bergelar Ayah itu. Laki-laki yang tak per
Dengan lembut bulir bening menetes di pipi Naomi. Jauh di relung sana ia pun berharap hal serupa. Bersamaan dengan itu ponsel Naomi berdering, nama Raihan tertera sebagai pemanggil. Cepat Naomi mematikan ponselnya, tak ingin laki-laki tak berhati itu mengacaukan suasana hatinya. Perjalanan pulang keduanya terasa penuh haru. Setengah dari waktu perjalanan mereka habiskan membahas laki-laki bergelar ayah bagi Naomi itu. Pukul setengah 6 sore Naomi sampai di rumah. Faiq langsung pulang setelah mengantar adik sepupunya itu sampai depan pintu pagar. Di sana, di ruang tamu rumah mereka, Raihan menatap ke arah Naomi yang berjalan melewatinya, tanpa peduli dengan wajah Raihan yang terlihat kesal. Hari ini laki-laki itu hanya menghabiskan waktu liburnya di rumah. Pikirannya suntuk setelah Naomi pergi bersama Faiq dan Sena yang tak bisa diajaknya bertemu dengan alasan sibuk revisi tugas akhirnya. Naomi berjalan menuju kamarnya. Lalu beristirahat di sofa panjang di samping tempat tidur. Me
Naomi merasakan tangannya gemetaran, seiring air mata yang merembes ke luar. Ia merasa tangan itu bergerak di luar kesadarannya, dan fitnah Raihan sudah membuat emosi menguasai dirinya. Sedangkan Raihan, laki-laki itu mematung di tempat dengan wajah memerah karena tamparan Naomi. Seolah tak percaya istri periangnya itu akan berubah kasar seperti ini. "Kau sadar dengan apa yang kau perbuat Naomi? Bagaimanapun, aku masih sah berstatus suamimu." Raihan kembali bersuara. Telunjuk tangan kanannya mengarah ke wajah Naomi. Beberapa saat mata Naomi terpejam dengan dada kembang kempis. Berusaha ia kembali tersadar, agar emosi di dadanya kembali normal. "Maafkan aku," ucap Naomi penuh sesal. Ia sadar telah salah bersikap, lebih lagi kalimat Raihan benar adanya, dirinya masih sah berstatus istri dan tak selayaknya dirinya bersikap berlebihan seperti barusan. Namun tidak adil rasanya jika hanya dirinya yang berkali-kali tersakiti, dan kemungkinan Raihan akan terus seperti itu, bebas menyakiti
"Ya, Laki-laki diperbolehkan poligami dengan cara syar'i. Banyak syarat yang harus dipenuhi, sedangkan kau, kau hanya bermodal harta sama rupa saja, bahkan jika tidak aku minta kau untuk shalat, maka kau tak akan shalat. Itu belum urusan hati. Apa kau yakin sudah pantas untuk berpoligami?"Raihan merasa sudut hatinya tercubit, apa yang dikatakan Naomi benar adanya. Selama ini Naomi-lah yang begitu ketat mengingatkannya untuk memenuhi kewajibannya terhadap Sang Pencipta. "Satu lagi! Laki-laki memang diperbolehkan berpoligami, itulah mengapa aku memintamu menikahi Sena secepatnya." "Sena meminta waktu menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu, kuharap kau sabar menunggunya. Do'akan saja sidang skripsinya bulan depan lancar," ucap Raihan tanpa berpikir jika kalimatnya akan kembali menyakiti hati Naomi. Jika saja di hadapannya itu bukan manusia, Ingin rasanya Naomi meludahi wajah tanpa dosa itu. Istri mana yang sudi mendoakan kebaikan perempuan yang telah merebut suaminya? Jikapun ada,