Naomi tersentak. Diremasnya ujung kemeja yang tengah ia kenakan, sekedar menetralisir degub jantung yang semakin berkejaran. "Apa yang Mama tau?" Naomi berusaha bersikap sebisa mungkin. Perempuan paruh baya itu beberapa kali menarik nafas dalam lalu mengeluarkannya. Wajahnya berubah Sendu seiring rasa perih yang perlahan menjalar di relung hatinya. "Mama sudah tahu apa yang dilakukan Raihan di belakangmu. Mama juga sudah tahu apa yang kau rencanakan pada Raihan." Kalimat mamanya membuat Naomi kembali tertunduk. Ada bahagia di relung sana saat melihat Mama mertuanya itu tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit jantungnya kambuh. Beberapa saat setelahnya Naomi memberanikan diri mendengarkan kepalanya, menatap lekat wajah perempuan baik itu dengan rasa iba. "Apa menurut Mama wajar, jika cinta Naomi telah hambar untuk Bang Raihan?" lirih Naomi bertanya. Detik ini ia merasakan hatinya kembali perih. Mama Maya mengalihkan pandangannya pada vas bunga kering di sudut ruangan."Jujur, Na
"Iya, Ma," jawab Naomi singkat dengan kepala tertunduk. "Apa kau akan pergi secepatnya?" tanya Mama Maya lagi. Naomi mengangguk pelan membuat hati Mama Maya berdesir hebat. "Bolehkah Mama minta sedikit lagi waktumu, Na?" Ia meminta persetujuan. Naomi mengangkat wajah, menatap lembut wajah sendu Mama mertuanya itu. Ada luka di sana, di hati seseorang yang sudah berpuluh tahun menyandang gelar ibu itu. "Katakan saja apa yang Mama inginkan dariku! Jika aku merasa sanggup, maka tak ada alasan bagiku untuk menolak." Naomi berusaha bijak. Senyum itu terbit dari bibir Mama Maya, senyum yang terlihat penuh luka, luka karena merasa gagal mendidik anak bungsunya itu. "Kau tahu apa alasan Mama melepaskanmu dan tidak memintamu untuk tetap tinggal?" Mama Maya melirik sekilas wajah Naomi, setelahnya kembali beralih menatap layar TV berukuran besar di hadapannya. Naomi hanya menggeleng pelan. Ia tak ingin menebak. Naomi lebih memilih membiarkan Mama Maya meluahkan isi hatinya. "Karena seharu
Naomi Tak Gentar. Perempuan itu kini bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjang. Dalam hati bahkan ingin rasanya ia bertepuk tangan melihat emosi Raihan meluap hanya karena melihat foto Faiq dengan seragam khas dokternya di status WA Naomi. Naomi sukses membuat Raihan cemburu pada laki-laki itu, meski pada kenyataannya dirinya menganggap Faiq tak lebih dari abang sendiri. "Apa kau sengaja ingin mengumumkan jika kau perempuan murahan?" Raihan berucap dengan gigi bergemeletuk. Sedangkan Naomi kini hanya bergeming. Kata 'murahan' yang baru saja Raihan tujukan untuknya sama sekali tak membuat emosi Naomi terpancing. Perempuan itu fokus menjadi penonton atas kemarahan Raihan terhadapnya. "Apa kamu sudah gil*? Atau telingamu sudah tak mampu lagi mendengar kata-kataku?" Raihan terus mencaci. Amarahnya yang sejak tadi membuncah kini tumpah. Naomi mengangkat wajah, menatap Raihan dengan tatapan sebiasa mungkin. Jauh di lubuk sana perempuan itu tengah berbahagia atas kecewa yang kini Ra
"Tolong buka pintunya Raihan!" ucap Mama Maya diiringi ketukan di pintu untuk kali selanjutnya.Suara Mama Maya semakin membuat Raihan serba salah. "Na! Gimana ini? Bisa-bisa Mama tahu kalau keluarga kita sedang tidak baik-baik saja," ucap Raihan dengan wajah pias. Ia menghawatirkan ketakutannya selama ini malam ini akan menjadi nyata. Seburuk apapun dirinya tetap saja Iya tak ingin terjadi sesuatu yang buruk terhadap sayang Mama. Naomi mengusap wajah kasar. Laki-laki di hadapannya itu semakin membuatnya muak. "Biarkan saja Mama tahu. Aku takkan peduli apa pun yang akan terjadi pada keluargamu, Jadi silakan atasi sendiri apa yang telah kau perbuat," jawab Naomi acuh membuat Raihan semakin kelimpungan. Berkali-kali Raihan terlihat mengunyar rambut di kepala dengan kasar. Ia benar-benar tak bisa lagi berpikir jernih ketika suara sang Mama kembali terdengar. "Buka pintunya Raihan! Atau Mama akan meminta Papamu datang ke sini!" ancam Mama Maya dengan suara semakin meninggi. Perempuan
"Cari bukti yang lebih kuat lagi jika aku benar-benar berselingkuh dengan laki-laki itu. Atau kau bisa langsung tanyakan pada Ayah siapa laki-laki itu."Raihan menatap nyalang pada perempuan yang masih dah berstatua istrinya itu. Hatinya benar-benar sakit mendapati cara licik Naomi menghancurkan kepercayaan keluarganya terhadap dirinya. "Jangan munafik kau Naomi, bisa saja kau sudah bersekongkol dengan Ayahmu untuk membohongiku." Raihan semakin tak terkontrol. Mendengar kalimat terakhir Raihan, emosi Naomi kembali tersulut. Sedang Mama Maya seolah membiarkan keduanya melampiaskan rasa masing-masing dengan tatapan penuh luka. Naomi mengangkat wajah, tatapan matanya nyalang menusuk. Kalimat yang keluar dari bibir laki-laki itu semakin membuatnya hilang kesabaran. "Jaga ucapanmu! Jika hanya aku yang kau caci maki, mungkin aku bisa memakluminya, tapi jika Ayah yang kau pandang serendah itu, Maka jangan harap aku bisa tinggal diam." Naomi mengeratkan gigi-giginya, emosi kembali menguas
Naomi mengusap lembut jemari yang mulai keriput itu. "Sudah, Ma. Lebih baik Mama istirahat sekarang, biar Naomi yang menyelesaikan masalah ini sekarang," bisik Naomi pelan. "Tak apa, Na. Biarkan Mama menuntaskan kekesalan Mama pada Raihan selama ini." Mama Maya berucap lembut pada Naomi. "Cukup saat kau selingkuh untuk pertama kalinya Mama langsung drop, apa kali ini kau berniat membuat Mama tertimpa hal serupa?" Mama Maya menatap nanar pada wajah yang tertunduk di hadapannya. "Mama tak pernah mendidikmu untuk abai terhadap istrimu. Mama juga tidak pernah mengajarimu untuk memandang remeh ikatan pernikahan. Lantas apa yang kau lakukan? Kau melakukan semuanya. Kau menyia-nyiakan perempuan yang dulu kau perjuangkan demi restu orang tuanya. Mama anggap pantas Naomi tidak menghargaimu, karena kau pun tidak bisa menghargai kerja kerasmu sendiri." Mama Maya berusaha mengontrol emosinya. Ia tak ingin ulah Raihan untuk kedua kalinya membuat semuanya seburuk dulu. Hati Raihan kembali terc
Naomi mengangguk pasti. "Tak ada lagi alasanku untuk tetap tinggal. Mama sudah mengetahui semuanya dan beliau baik-baik saja. Aku tahu Mama keberatan, tapi aku juga tak ingin mengorbankan kebahagiaanku demi senyum Mama. Itu hanya akan membuat Raihan memandang rendah terhadapku." Naomi tersenyum getir. "Apa Raihan menerima gitu aja kepergianmu, Na?" kejar Nabila. "Entahlah, yang pasti aku sama sekali tak berniat untuk kembali dengan alasan apa pun dan dengan sebab apa pun.""Bagus, Na, Kau berhak bahagia. Laki-laki kalau sudah selingkuh, susah banget buat nyadarinnya. Tepat banget kalo ditinggalin.""Ish, kayak udah pengalaman aja," kekeh Naomi. "Sering liat seliweran di sosial media, Na. laki selingkuh, pas ketahuan sujud-sujud di kaki istri sah, dimaafin, kumat lagi." Nabila mencibir. "Udah, ah, Bil. Raihan adalah masa lalu, dan aku sama sekali tak tertarik untuk membahasnya lagi. Sekarang aku hanya ingin fokus ngerawat Ayah dengan tangan sendiri." Naomi merasakan hatinya berdes
Ayah Dayat terdiam beberapa saat. Seperti tengah memilih kalimat yang tepat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan anak semata wayangnya itu. "Lebih dari 20 tahun Ayah merawatmu sendiri, bisa dibilang tanpa bantuan siapapun, jadi rasanya sangat wajar jika ayah mengetahui setiap perubahan wajah dan sikap anak Ayah ...." Ayah Dayat menggantung kalimatnya.Naomi sedikit tertunduk. Tatapan matanya luruh pada gelas-gelas bening berisi teh manis berwarna kuning kecoklatan yang masih tersisa setengahnya di atas meja. "Apakah kau masih ingin menyembunyikannya dari Ayah?" Nada suara Ayah Dayat terdengar sendu. Beberapa menit kemudian keduanya terdiam. Ayah Dayat seolah memberi waktu pada Naomi untuk berkata jujur, sedang Naomi sibuk menyusun kata di kepalanya, agar kalimat yang keluar dari bibirnya tidak membuat sang Ayah khawatir terhadapnya. Perlahan Naomi mengangkat wajah. Menatap wajah renta di hadapannya dengan senyum, senyum yang dipaksakan. Hingga dalam satu tarikan n