"Papa ..." Alif dan Ammar meninggalkan mainan dan berlari ke arahku. Anak tampak begitu rindu. Hampir sebulan tak bertemu, wajar saja. Kami berpelukan. Tari berdiri sambil mengulas senyum. Ada yang beda, Tari kini terlihat lebih bersih dan cantik.
"Kamu sudah pulang, sayang?" Sapaku, Tari menyambut tanganku yang terulur padanya. Perempuan itu mengangguk. Matanya berbinar.
"Maafkan aku, Mas. Aku salah selama ini. Sekarang aku sadar, kamu benar. Mulai hari ini aku akan berubah. Dan aku punya kabar bahagia untuk kamu." Aku gemetar mendengar ucapan tari yang terlihat bersemangat. Tapi, dia juga harus tau kabar bahagia yang akan aku sampaikan. Mungkin bahagia untukku tak tau untuknya.
"Nanti kita ngobrol ya, Dek. Mas bersih bersih dulu."
Tari mengangguk. Alif dan Ammar masih memegang kedua tanganku. Kami beriringan masuk ke dalam. Rumah rapi, wangi dan benar benar berubah 180 derjat. Semua hal itu makin membuat suasana hati membaik.
"Kamu pasti capek ya, seharian membereskan rumah?" ujarku yang kini sudah duduk di meja makan sambil menyantap hidangan yang Tari siapkan.
"Ga kok Mas." Sahutnya singkat.
"Sekarang Mama tak akan kecapekan lagi, Pa. Mama sekarang ..."
"Ssstt ... Alif, lanjut lagi makannya Sayang. Nanti kita ngobrol sama papa selesai makan, ya. Itu kejutan!" Alif langsung mengangguk lalu tersenyum pada Tari. Kejutan? Kejutan apa?
Usai makan aku mengajak Tari duduk di ruang tamu. Alif dan Ammar masuk ke kamar.
"Aku ..."
"Aku ..." Seru kami serentak.
"Kamu duluan!" Titahku saking gugupnya ingin menyampaikan keinginanku pada Tari. Tari tertawa kecil.
"Mas saja duluan. Aku siap mendengarkan." Tari mengulas senyum. Sungguh bukan Tari yang biasa kukenal.
"Kamu berbeda." Akhirnya tak tahan juga aku memujinya.
"Semua orang boleh berubah. Dan ibu telah memberikan pelajaran yang sangat berarti buatku dan untuk rumah tangga kita." Sahutnya. Ah, sejak kapan Tari begitu bijaksana. Tapi, itu tak menyurutkan niatku.
"Ehem ... Dek, begini." Tak ingin gagal aku mulai serius. Tari pun menyimak penuh perhatian.
"Dek, aku pikir kamu kerepotan untuk menjaga anak-anak." Aku menjeda ucapan, melihat senyum Tari kian merekah.
"Aku akan menikah lagi." Ujarku mantap. Aku menunggu reaksi Tari.
Senyuman itu surut. Tak lama berubah menjadi kabut. Namun, aku tau Tari berusaha keras untuk menahan air yang menggenang di pelupuk matanya. Apa boleh buat, aku harus mengambil keputusan ini demi kewarasanku. Lama terdiam. Aku pun sama tak tau harus berkata apalagi.
"Silahkan, Mas! Aku persilahkan kamu menikah lagi. Dengan syarat, jangan pernah halangi aku untuk ke rumah Ibu." Suara tari bagai air di Padang pasir. Siapa yang akan menghalangi, justru aku akan senang jika dia pergi kerumah ibunya. Aku bisa membawa Rani kesini.
Tari masuk ke kamar dalam diam. Tak ada obrolan lagi. Bahkan, dia tak mau lagi membahas apa yang akan dia ceritakan yang katanya kejutan untukku. Ah, paling juga hanya cerita tentang anak-anak yang mau membantu mama nya bersih-bersih. Biarin lah. Yang jelas aku akan segera menikah Rani.
Pagi aku terbangun. Tari pun sudah terlihat rapi, aroma wangi tercium dari tubuhnya Mau kemana dia? Apa mau pergi ke rumah ibunya lagi? Mengadu biar aku yang sepenuhnya disalahkan lagi?
Matahari pagi menyelinap lembut lewat sela gorden. Suara panci dan alat masak terdengar dari dapur kecil rumah mereka yang baru dibangun. Tidak terlalu besar, tapi cukup hangat dan tenang untuk dua orang yang sedang belajar hidup bersama.“Mas, kamu ada kerjaan hari ini?” tanya Melati sambil mengaduk teh hangat, menoleh ke arah Ammar yang masih mengancing kemejanya.“Pagi sampe sore, Sayang. Tapi malam aku kosong. Kita nonton, ya?”Melati tersenyum tipis. “Lagi-lagi malam, ya…”Ammar menoleh. “Kenapa?”“Enggak, nggak apa-apa.”Tapi dari nada suaranya, Ammar tahu. Istrinya sedang menahan sesuatu.---Melati, yang dulu gadis ceria di rumah Bunda Tari, kini mulai merasakan beban sebagai istri dari pria sibuk seperti Ammar. Setelah kepergian Bunda, Ammar mewarisi tanggung jawab besar: membesarkan rumah baca milik Bunda, mengurus bisnis keluarga, dan tetap menjaga adik-adiknya.Melati tahu, ia mencintai sosok pekerja keras itu. Tapi perasaannya seringkali tercekat.Terutama saat Ammar lupa
Satu tahun telah berlalu sejak Bunda Tari pergi.Waktu memang tidak menyembuhkan luka, tapi perlahan membiasakan hati untuk hidup berdampingan dengan rindu. Dan rumah itu, meski sunyi dari langkah lembut dan suara nasihat Bunda, kini kembali penuh kehidupan. ---Hari itu cerah. Langit biru terang, awan berarak pelan seperti turut bersenandung.Abrar berdiri di pelaminan, mengenakan beskap krem. Di sampingnya, Mentari tersenyum anggun dengan gaun putih sederhana, rambutnya disanggul rapi. Mata mereka saling bertemu, dan hanya dengan satu tatapan, mereka tahu—ini yang Bunda inginkan.Pernikahan mereka digelar di rumah peninggalan Tari. Di bawah tenda putih dengan rangkaian bunga melati dan mawar, semua keluarga berkumpul.Alif berdiri sebagai wali sekaligus saksi. Ammar menjadi pembawa acara, menyisipkan candaan khasnya yang membuat semua tamu tertawa. Aleeya dan Alisa berdiri di sisi Mentari sebagai pendamping, sesekali menyeka air mata haru. “Bunda pasti bahagia melihat ini,” bis
Alif membantu menurunkan Bunda dari mobil. Wajahnya pucat. Tangannya bergetar.“Pelan-pelan, ya, Bun… kita udah di rumah…” bisiknya.Tari membuka matanya, lemah. Tapi ada senyuman. Senyuman kecil, tipis, namun penuh rasa.“Alhamdulillah… rumah Bunda…” ucapnya lirih.Aleeya, Mentari, Nayla, dan perempuan-perempuan lain dalam keluarga ikut membantu. Mereka menyiapkan bunga melati dalam vas, kain-kain putih yang bersih, dan lampu temaram.Setiap sudut rumah dipenuhi cinta. Setiap sentuhan adalah doa.---Alif menyarankan agar setiap hari ada waktu khusus.Satu anak. Satu sesi. Satu kenangan dengan Bunda.Hari pertama, Abrar duduk di samping Bunda sambil membawa buku sketsa.Ia menggambar wajah ibunya, sedikit demi sedikit, sambil bercakap.“Bunda masih cantik… meski sekarang kurus…”Tari tersenyum. “Tapi hatimu sekarang lebih kuat dari lukisanmu, Nak…”Hari kedua, Ammar datang dengan membawa rekaman lagu-lagu lama yang biasa mereka dengar bersama dulu. Lagu “Bunda” dari Potret diputar pe
Di dalam ruang ICU, malam mulai menyentuh dini hari. Mesin-mesin terus berdetak. Lampu temaram menyorot tubuh lemah di ranjang itu.Aleeya yang tak tidur sejak kemarin, terlonjak ketika monitor menunjukkan pergerakan. Mata Tari perlahan terbuka.“BUNDA…!!” Aleeya dan Alisa angsung bangkit dari duduknya, memencet tombol panggil perawat.Bunda mengerjap pelan. Napasnya berat, tapi matanya menatap. Ia sadar. Ia melihat putrinya. Ia masih mengenali Aleeya.Suara itu lirih. Hampir seperti bisikan angin yang hendak menghilang. Tapi bagi Aleeya, itu seperti mata air yang tiba-tiba memancar di tengah padang pasir.Satu per satu, anak-anak Tari masuk. Alif, Ammar, Abrar, semua berdiri mengelilingi ranjang. Wajah mereka sembab. Mereka tidak tahu harus bersyukur karena Bunda sadar, atau harus bersiap untuk kehilangan.Tari tersenyum samar. Ia menyapu wajah anak-anaknya dengan pandangan yang begitu dalam, seolah ingin mengukir wajah mereka. dalam memorinya yang terakhir.“Alif…” Tari berbisik. Al
Malam itu dingin. Angin seperti membawa bisikan yang tak bisa dimengerti. Di dalam kamar, Bunda Tari duduk di kursinya, tubuhnya lebih kurus dari minggu lalu, wajahnya pucat namun tetap berusaha tersenyum ketika Aleeya masuk membawakan segelas susu almond hangat.“Bunda, minum dulu ya. Ini bisa bantu tidur lebih nyenyak…”Tari hanya mengangguk lemah. Tangannya gemetar saat mengambil gelas. Aleeya buru-buru membantu.“Bunda gak usah paksa diri, ya? Kalau capek, istirahat aja...”Tari berusaha bicara, tapi... matanya perlahan menutup. Gelas terjatuh dari tangannya, pecah di lantai.“BUNDA!!” Aleeya menjerit.---PANIK MEREBAK SEISI RUMAHAlif yang sedang di ruang makan berlari. Ammar menyusul dari lantai atas. Mentari tergopoh dari dapur. Suara tangisan Aleeya membuat semua jantung berdegup tak karuan.“Aleeya kenapa—”“BUNDA PINGSAN!!” Aleeya memeluk tubuh Bunda yang limbung di kursi. Wajah Tari sangat pucat. Nafasnya pendek.Ammar langsung mengangkat tubuh Bunda ke mobil. Alif menyeti
Ruangan tunggu rumah sakit sore itu begitu hening. Hanya terdengar suara detik jam dinding dan bisikan-bisikan halus dari perawat yang berlalu-lalang.Alif duduk dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh tekanan. Ammar menatap kosong ke arah lantai, sementara Aleeya menggenggam tas kecilnya erat-erat, berusaha mengalihkan rasa gelisah yang nyaris meledak.Pintu ruangan dokter terbuka. Bunda keluar dengan wajah tenang, tapi matanya... tampak seperti baru saja berperang dalam lautan kenyataan yang menyakitkan.Aleeya langsung berdiri. “Bunda… gimana hasilnya?”Bunda menghela napas, matanya menatap anak-anaknya satu-satu. Ada senyum getir di sudut bibirnya. “Kita ngobrol di rumah aja, ya, Nak…”Dan itu cukup jadi pertanda.---MALAM ITU DI RUANG KELUARGATari duduk di kursi rotan kesayangannya. Lampu temaram membuat bayangan di wajahnya makin tajam, menyorotkan garis-garis letih yang selama ini disembunyikannya.Alif duduk di depannya, Ammar di sebelah kiri, Aleeya di kanan. Semuany