Share

Bab 3

"Kenapa? Tidak kan?" Tatapan matanya menatapku seolah ingin melahap hidup-hidup. Aku tahu orang ini memang keras, tapi tidak tahu kalau suka mencampuri urusan orang juga.

 Dasar tidak tahu malu, memang dia pikir dia siapanya aku?

 "Maaf, Pak, tapi saya tidak punya waktu untuk membantunya mengurus pekerjaan rumah." Aku menjawab jujur.

 "Tidak punya waktu? Padahal kau pulang jam lima sore, kan? Harusnya ada banyak waktu untuk membantu istrimu." Dia berkata seenak jidat. "Terus apa tadi maksudnya istrimu pandai menghabiskan uang, memang kamu memberinya berapa?" tanyanya lagi.

 Duh, kenapa sih, nih orang, kok, ingin tahu kehidupan pribadiku?

 "Enggak sampai dua juta bukan? Padahal gajimu di sini hampir lima juta, tapi memberikan setengahnya saja kamu tidak?" Dia menepuk-nepuk keningnya. "Kok, bisa saya punya pekerja yang pelitnya luar biasa sama istri sendiri tapi ingin dihidangkan makanan yang mewah?"

 Dia tertawa miris, lalu mengeluarkan kalimat-kalimat nasihat, tapi sayangnya aku tidak mau dengar. Enak saja, dia masih bujangan tapi malah merecoki aku. 

 Dasar, lihat saja kalau nanti kamu nikah, gak akan lagi kamu bilang begini sama aku.

  "Gimana, gak di pecat, kan?" Jordi mendekat ke tempatku.

 "Enggak, pokonya aman."

 "Dia tanya apa aja tadi?" Angga ikut nimbrung.

 "Biasalah, orang kepo." Aku menjawab santai, lalu kembali melanjutkan pekerjaan karena waktu istirahat sudah berkahir.

 Ah, sial, ini gara-gara bos yang sok tahu itu. Aku jadi tidak bisa melihat wajah Si Cantik Salsa. Padahal biasanya setelah istirahat, dia akan menemuiku di tangga untuk memberikan beberapa arahan pekerjaan dari bos pusat.

 ***

 Sebelum pulang, aku mampir di sebuah restoran yang lumayan mahal. Yah, kali-kali untuk membuat otakku bisa berpikir jernih. Daripada makan di rumah, baru membayangkannya saja sudah membuatku muak.

  Aku memesan ayam kecap, sup iga tanpa sayur, dan sepotong rendang daging sapi. Kalau di rumah, aku pasti sudah dimarahi Qiera habis-habisan karena tidak makan dengan sayur dan sebaliknya malah pakai daging yang banyak.

 "Berapa, Mbak?" Aku mendekat ke arah kasir dan bertanya tentang jumlah harga yang harus aku bayar. Biasanya ada karyawan yang mendekat sambil menyerahkan nota, anehnya hari ini tidak ada.

 "Tiga ratus ribu, Pak."

 Apa? Aku sangat terkejut dengan jumlah yang disebutkan.

 "Coba cek ulang, Mbak, saya hanya makan beberapa saja," pintaku, "lebih teliti lagi coba."

 "Sudah, Pak. Ayam kecap dua potong enam puluh ribu, sup iga enam puluh ribu, tiga potong rendang sembilan puluh ribu, tiga dua porsi nasi putih dua puluh ribu, satu buah jus alpukat empat puluh ribu, ditambah kerupuk sama pisang tiga puluh ribu, total tiga ratus ribu. Ini nota pemesanannya!" 

 Aku terbelalak ketika dia menyebutkan semua pesananku dan banyak pembeli yang melihat sambil melemparkan tatapan merendahkan.

 "Kurus-kurus makannya banyak banget."

 "Iya, mana gak berani bayar lagi."

 "Padahal ini restoran mahal, harusnya dia sudah tahu, ya, dan jangan masuk ke sini kalau tidak punya uang."

 Orang-orang terus berbisik, tidak peduli tua ataupun muda, mereka tertawa ketika melihatku seperti ini. Dasar orang-orang tidak berpendidikan. Padahal aku bayar pun pakai uang sendiri dan sama sekali tidak meminta mereka untuk membayarnya.

 Gajiku memang besar, tapi aku tidak suka berfoya-foya seperti ini, dan lebih memilih untuk menabungnya untuk memasukkan anak-anakku ke sekolah yang mahal agar tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tidak membuatku malu.

 ***

 Sebelum benar-benar memasukkan mobil ke dalam garasi, aku diam lebih dulu di depan. Mempersiapkan diri untuk lebih kuat melihat rumah yang berantakan dan anak-anak yang saling menjerit.

 Setelah cukup tenang, segera aku membuka pintu, dan benar saja kalau kondisi rumah persis yang aku bayangkan. Sama seperti hari-hari yang aku lalui.

 "Mas, aku titip Zihan sebentar, ya, aku mau ke kamar mandi!" Qiera berlari ke arahku dan tiba-tiba mendudukkan Zihan di pangkuan ketika aku baru saja melepas sepatu.

 "Qiera! Aku duduk untuk istirahat bukan mengurus anakmu yang bau ini!" Aku berteriak tidak suka.

 "Bentar aja, Mas, aku dah gak tahan. Nanti aku ambil lagi. Zihan gak bau, kok, dia udah mandi dia kali. Coba kamu cium!" Suara Qiera tidak kalah melengking dari suaraku.

 Orang bilang dia adalah istri yang shalihah, tapi mana ada istri shalihah begini.

 Ah, dasar, ada-ada saja.

 Aku mencium aroma wangi dari Zihan. Wah, ternyata dia benar wangi. 

 "Papa a-ku ma-u pis," ucap balita yang ada di pangkuanku.

 "Pis apaan?" Aku kembali bertanya, tapi dia hanya tertawa.

 Eh, aku baru saja kalau anakku ternyata cantik dan putih juga. Tidak sia-sia aku merawat tubuh di usia muda, ternyata menurun ke anak-anakku.

 "Pa mau pis." Dia kembali bicara, lalu tertawa.

 Aku langsung menggendongnya dan mendekat ke arah kamar mandi yang ada di dapur. "Zihan katanya mau pis, pis apaan?" Aku berteriak dari luar.

 "Bohong, Mas." 

 "Untuk apa aku bohong?" Aku menendang pintu kamar mandi akibat kesal dibilang bohong. "Kalau kamu nyangka aku bohong gapapa, aku tinggal Zihan di sini!"

 Aku menurunkan Zihan dari pangkuan. Matanya berkaca-kaca, tapi aku tidak peduli.

 "Maksudnya Zihan tidak pipis, dia berbohong. Kan popoknya baru ganti!" Qiera kembali bicara.

 "Pis itu pipis?" Aku mengulang artinya.

 "Iya, Mas!"

 Aku kembali membawa Zihan yang tidak berhenti tertawa ke pangkuan. Masa iya anak dua tahun sudah tahu meledek seperti ini?

 Aku gak percaya, pasti ada kelainan.

 "Kita harus bawa Zihan ke dokter!" Aku berteriak panik. 

 "Untuk apa, Mas?" Qiera tiba-tiba muncul dari balik pintu dan melipat tangannya di dada. "Zihan itu sehat, dia akan yang aktif, dan sudah pintar bicara serta berjalan di usia satu tahun dua bulan. Sekarang bahkan larinya sudah kencang!" jelasnya panjang lebar.

 "Sudahlah, ini anakmu!" Aku kembali menyerahkan Qiera dan berjalan cepat ke kamar.

 Aku tidak tahu usia berapa anak-anak pintar bicara ataupun berjalan. Tapi satu hal yang aku tahu, yaitu anaknya Jordi yang berusia tidak jauh beda dari Zihan, bahkan lebih tua, tapi bicaranya pun tidak jelas. Anak itu selalu terlihat murung.

 Baru saja naik, dering ponsel terdengar.

 "Halo." 

 Aku mengawali pembicaraan.

 "Yasa, ini Ibu. O, ya, besok Ibu dan adikmu akan datang berkunjung untuk melihat Zihan dan Zion," ucap Ibu di sebrang telpon.

 "Iya, Bu. Nanti aku suruh Qiera untuk menyiapkan makanan enak dan mahal."

 "Baguslah, memang harus seperti itu. Kalau tidak, Ibu akan menikahkan kamu dengan anak tetangga yang berkarir, dan pintar memasak dengan budget pas-pasan," tandasnya.

 "Anak tetangga? Ibu ada-ada aja. Pokoknya aku hanya mau Salsa, bukan anak tetangga," teriakku dalam hati.

 Tuttt ... panggilan dimatikan satu pihak.

 Bergegas aku keluar dari kamar, terlihat Qiera sedang melipat baju di ruang tamu. Aku pun berteriak dari depan pintu kamar, "Besok beli ikan, daging, dan cumi karena Mama dan adikku mau ke sini. Pake saja uang yang ada, kalau kurang kamu cari tambahannya!"

 Qiera menghentikan aktivitasnya setelah aku selesai berteriak, sepertinya dia mau protes, jadi aku buru-buru masuk ke dalam kamar, dan menguncinya.

 Besok aku akan berangkat agak siang karena harus memastikan Qiera pergi ke pasar atau tidak. Semoga saja uang dua ratus ribu kemarin cukup untuk membeli bahan-bahan yang aku sebutkan tadi, soalnya aku tidak mau keluar uang lagi.

  

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ismimuji 3
suami edan...
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
laki "sinthing 200rb mintanya banyak lempar tu mukanya pake uleqkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status