"Kenapa? Tidak kan?" Tatapan matanya menatapku seolah ingin melahap hidup-hidup. Aku tahu orang ini memang keras, tapi tidak tahu kalau suka mencampuri urusan orang juga.
Dasar tidak tahu malu, memang dia pikir dia siapanya aku?
"Maaf, Pak, tapi saya tidak punya waktu untuk membantunya mengurus pekerjaan rumah." Aku menjawab jujur.
"Tidak punya waktu? Padahal kau pulang jam lima sore, kan? Harusnya ada banyak waktu untuk membantu istrimu." Dia berkata seenak jidat. "Terus apa tadi maksudnya istrimu pandai menghabiskan uang, memang kamu memberinya berapa?" tanyanya lagi.
Duh, kenapa sih, nih orang, kok, ingin tahu kehidupan pribadiku?
"Enggak sampai dua juta bukan? Padahal gajimu di sini hampir lima juta, tapi memberikan setengahnya saja kamu tidak?" Dia menepuk-nepuk keningnya. "Kok, bisa saya punya pekerja yang pelitnya luar biasa sama istri sendiri tapi ingin dihidangkan makanan yang mewah?"
Dia tertawa miris, lalu mengeluarkan kalimat-kalimat nasihat, tapi sayangnya aku tidak mau dengar. Enak saja, dia masih bujangan tapi malah merecoki aku.
Dasar, lihat saja kalau nanti kamu nikah, gak akan lagi kamu bilang begini sama aku.
"Gimana, gak di pecat, kan?" Jordi mendekat ke tempatku.
"Enggak, pokonya aman."
"Dia tanya apa aja tadi?" Angga ikut nimbrung.
"Biasalah, orang kepo." Aku menjawab santai, lalu kembali melanjutkan pekerjaan karena waktu istirahat sudah berkahir.
Ah, sial, ini gara-gara bos yang sok tahu itu. Aku jadi tidak bisa melihat wajah Si Cantik Salsa. Padahal biasanya setelah istirahat, dia akan menemuiku di tangga untuk memberikan beberapa arahan pekerjaan dari bos pusat.
***
Sebelum pulang, aku mampir di sebuah restoran yang lumayan mahal. Yah, kali-kali untuk membuat otakku bisa berpikir jernih. Daripada makan di rumah, baru membayangkannya saja sudah membuatku muak.
Aku memesan ayam kecap, sup iga tanpa sayur, dan sepotong rendang daging sapi. Kalau di rumah, aku pasti sudah dimarahi Qiera habis-habisan karena tidak makan dengan sayur dan sebaliknya malah pakai daging yang banyak.
"Berapa, Mbak?" Aku mendekat ke arah kasir dan bertanya tentang jumlah harga yang harus aku bayar. Biasanya ada karyawan yang mendekat sambil menyerahkan nota, anehnya hari ini tidak ada.
"Tiga ratus ribu, Pak."
Apa? Aku sangat terkejut dengan jumlah yang disebutkan.
"Coba cek ulang, Mbak, saya hanya makan beberapa saja," pintaku, "lebih teliti lagi coba."
"Sudah, Pak. Ayam kecap dua potong enam puluh ribu, sup iga enam puluh ribu, tiga potong rendang sembilan puluh ribu, tiga dua porsi nasi putih dua puluh ribu, satu buah jus alpukat empat puluh ribu, ditambah kerupuk sama pisang tiga puluh ribu, total tiga ratus ribu. Ini nota pemesanannya!"
Aku terbelalak ketika dia menyebutkan semua pesananku dan banyak pembeli yang melihat sambil melemparkan tatapan merendahkan.
"Kurus-kurus makannya banyak banget."
"Iya, mana gak berani bayar lagi."
"Padahal ini restoran mahal, harusnya dia sudah tahu, ya, dan jangan masuk ke sini kalau tidak punya uang."
Orang-orang terus berbisik, tidak peduli tua ataupun muda, mereka tertawa ketika melihatku seperti ini. Dasar orang-orang tidak berpendidikan. Padahal aku bayar pun pakai uang sendiri dan sama sekali tidak meminta mereka untuk membayarnya.
Gajiku memang besar, tapi aku tidak suka berfoya-foya seperti ini, dan lebih memilih untuk menabungnya untuk memasukkan anak-anakku ke sekolah yang mahal agar tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tidak membuatku malu.
***
Sebelum benar-benar memasukkan mobil ke dalam garasi, aku diam lebih dulu di depan. Mempersiapkan diri untuk lebih kuat melihat rumah yang berantakan dan anak-anak yang saling menjerit.
Setelah cukup tenang, segera aku membuka pintu, dan benar saja kalau kondisi rumah persis yang aku bayangkan. Sama seperti hari-hari yang aku lalui.
"Mas, aku titip Zihan sebentar, ya, aku mau ke kamar mandi!" Qiera berlari ke arahku dan tiba-tiba mendudukkan Zihan di pangkuan ketika aku baru saja melepas sepatu.
"Qiera! Aku duduk untuk istirahat bukan mengurus anakmu yang bau ini!" Aku berteriak tidak suka.
"Bentar aja, Mas, aku dah gak tahan. Nanti aku ambil lagi. Zihan gak bau, kok, dia udah mandi dia kali. Coba kamu cium!" Suara Qiera tidak kalah melengking dari suaraku.
Orang bilang dia adalah istri yang shalihah, tapi mana ada istri shalihah begini.
Ah, dasar, ada-ada saja.
Aku mencium aroma wangi dari Zihan. Wah, ternyata dia benar wangi.
"Papa a-ku ma-u pis," ucap balita yang ada di pangkuanku.
"Pis apaan?" Aku kembali bertanya, tapi dia hanya tertawa.
Eh, aku baru saja kalau anakku ternyata cantik dan putih juga. Tidak sia-sia aku merawat tubuh di usia muda, ternyata menurun ke anak-anakku.
"Pa mau pis." Dia kembali bicara, lalu tertawa.
Aku langsung menggendongnya dan mendekat ke arah kamar mandi yang ada di dapur. "Zihan katanya mau pis, pis apaan?" Aku berteriak dari luar.
"Bohong, Mas."
"Untuk apa aku bohong?" Aku menendang pintu kamar mandi akibat kesal dibilang bohong. "Kalau kamu nyangka aku bohong gapapa, aku tinggal Zihan di sini!"
Aku menurunkan Zihan dari pangkuan. Matanya berkaca-kaca, tapi aku tidak peduli.
"Maksudnya Zihan tidak pipis, dia berbohong. Kan popoknya baru ganti!" Qiera kembali bicara.
"Pis itu pipis?" Aku mengulang artinya.
"Iya, Mas!"
Aku kembali membawa Zihan yang tidak berhenti tertawa ke pangkuan. Masa iya anak dua tahun sudah tahu meledek seperti ini?
Aku gak percaya, pasti ada kelainan.
"Kita harus bawa Zihan ke dokter!" Aku berteriak panik.
"Untuk apa, Mas?" Qiera tiba-tiba muncul dari balik pintu dan melipat tangannya di dada. "Zihan itu sehat, dia akan yang aktif, dan sudah pintar bicara serta berjalan di usia satu tahun dua bulan. Sekarang bahkan larinya sudah kencang!" jelasnya panjang lebar.
"Sudahlah, ini anakmu!" Aku kembali menyerahkan Qiera dan berjalan cepat ke kamar.
Aku tidak tahu usia berapa anak-anak pintar bicara ataupun berjalan. Tapi satu hal yang aku tahu, yaitu anaknya Jordi yang berusia tidak jauh beda dari Zihan, bahkan lebih tua, tapi bicaranya pun tidak jelas. Anak itu selalu terlihat murung.
Baru saja naik, dering ponsel terdengar.
"Halo."
Aku mengawali pembicaraan.
"Yasa, ini Ibu. O, ya, besok Ibu dan adikmu akan datang berkunjung untuk melihat Zihan dan Zion," ucap Ibu di sebrang telpon.
"Iya, Bu. Nanti aku suruh Qiera untuk menyiapkan makanan enak dan mahal."
"Baguslah, memang harus seperti itu. Kalau tidak, Ibu akan menikahkan kamu dengan anak tetangga yang berkarir, dan pintar memasak dengan budget pas-pasan," tandasnya.
"Anak tetangga? Ibu ada-ada aja. Pokoknya aku hanya mau Salsa, bukan anak tetangga," teriakku dalam hati.
Tuttt ... panggilan dimatikan satu pihak.
Bergegas aku keluar dari kamar, terlihat Qiera sedang melipat baju di ruang tamu. Aku pun berteriak dari depan pintu kamar, "Besok beli ikan, daging, dan cumi karena Mama dan adikku mau ke sini. Pake saja uang yang ada, kalau kurang kamu cari tambahannya!"
Qiera menghentikan aktivitasnya setelah aku selesai berteriak, sepertinya dia mau protes, jadi aku buru-buru masuk ke dalam kamar, dan menguncinya.
Besok aku akan berangkat agak siang karena harus memastikan Qiera pergi ke pasar atau tidak. Semoga saja uang dua ratus ribu kemarin cukup untuk membeli bahan-bahan yang aku sebutkan tadi, soalnya aku tidak mau keluar uang lagi.
KSIBP 137 Setelah terikat pernikahan dengan Om Dion, Mala menjalani hidup normal seperti seorang istri, tapi tetap mengurus restorannya. Mala sama seperti Qiera, mengurus semua kebutuhan Zayyan dan Om Dion oleh dirinya sendiri. Sementara Harun, dia mulai mendekati Hani. Wanita yang berhasil memikat hatinya karena semua karakter wanita yang dia butuhkan ada padanya. Harun juga mendatangi keluarga kakek Diko untuk melamarnya, tapi ternyata membuat kebencian para wanita yang ada di sama membara."Mana bisa gadis kampung dan anak pelacur itu jadi bagian dari keluarga kita?""Benar, itu tidak boleh terjadi. Sudah cukup Diko salah memilih istri, sekarang kita tidak bisa membiarkan berdebah kecil itu menjadi istri Harun," geram Marisa.Marisa sengaja menyulut emosi para wanita yang ada di kediaman kakek Diko agar membenci Hani dan melakukan banyak hal untuk mencelakainya. Namun, bagi Hani semuanya tidak mempan. Dia memang bukan bagian dari keluarga besar Diko, jadi dia sama sekali tidak ke
KSIBP 136 Waktu pernikahan Mala dan Om Dion sudah ditentukan. Meksipun Pak Bagas menantangnya, tapi dia kalah dengan Pak Malik yang langsung turun tangan."Kau cukup menjadi wali nikahnya, tapi kalau tidak mau, bisa diwakilkan dengan kakakmu," ancam Pak Malik.Kakak yang dimaksudnya adalah pria yang paling ditakuti Pak Bagas. Mereka memang kakak beradik, tapi hubungan mereka tidak sedekat Pak Malik dan Om Dion. Sangat jauh."Untuk kali ini aku memang tidak bisa melawan, tapi lihat saja, kalian tidak akan bisa hidup bahagia tanpa izin dariku," ucapnya lantang dengan penuh percaya diri."Oh, ya? Memangnya siapa kau berani berkata seperti itu? Apa kau Tuhan?" Pak Malik sudah tidak sabar untuk mencekik lehernya dan merobek bibirnya, tapi dia tahan karena bagaimanapun dia adalah ayah dari Mala.Pak Bagas tidak bicara. Dia kembali menghilang seperti ditelan bumi, begitupun dengan istrinya.Beberapa kali sudah Diko memergoki Pak Bagas yang berusaha melakukan penyuapan agar Pak Aryo dibebask
KSIBP 135 "Apapun yang kita lakukan tidak ada hubungannya denganmu!" Diko menatap tajam ke arah pamannya Qiera. Saat ini dia tidak suka diganggu karena sedang bersama istri. "Ini adalah hal yang biasa, masalahku lebih penting." Om Dion duduk di dekat mereka dan membuat Qiera merasa tidak nyaman, lalu berusaha melepaskan tangan Diko, tapi gagal."Kalian belum halal, sementara kamu sudah. Jadi, siapa yang lebih penting?" Diko berucap tenang. Sebenarnya dia ingin marah, tapi tidak bisa kalau di dekatnya ada Qiera. Dia tidak ingin membuat istrinya ketakutan karena melihat sisi gelapnya.Om Dion terdiam. Apa yang dikatakan Diko memang benar. Harusnya di ini Om Dion yang membantu masalah Diko ataupun Harun, bukan malah sebaliknya karena Om Dion lebih tua. Ditambah Diko juga hanya keponakan, tapi semuanya tidak akan berjalan kalau Diko hanya diam.Om Dion berjalan ke arah luar dan duduk di bangku taman, sementara Diko masih memeluk Qiera erat."Aku malu," lirih Qiera dengan wajahnya yang m
KSIBP 134 Laras bangkit dari lantai dengan tertatih-tatih tanpa ada bantuan dari siapapun. Dia menangis dalam diam tanpa mengatakan apapun dan Harun sama sekali tidak peduli. Dari dulu, dia memang tidak ada perasaan apapun kepada Laras. Jika bukan karena balas budi, dia juga tidak akan mau memperhatikan Laras selama ini. "Apa benar dia tidak apa-apa?" tanya Marisa khawatir. Sebenarnya dia hanya pura-pura peduli agar Harun dan kepala maid menilainya baik, tapi sayangnya niatnya itu sudah diketahui dari awal. Harun sudah tahu kalau keluarganya Diko tidak ada yang tulus, kecuali Hani. Makanya dia mau memanfaatkan wanita-wanita itu untuk dijadikan alat agar Laras tahu diri. "Kalau kau memang peduli, sana urus dia. Tapi setelah itu pergilah dari rumahku!" Harun memberikan peringatan. Marisa bergidik ngeri. Dia tidak berani mendekat sedikit saja ke arah Laras. "Kenapa dia seperti ini?" ucap Laras bertanya-tanya, lalu berjalan ke arah kamarnya, tapi segera dihadang beberapa penjaga. "
KSIBP 133 "Aku serius. Dia kenapa tidak pernah cemburu ketika aku sibuk dengan karyawan wanita, kenapa juga dia tidak pernah menelepon ketika aku sedang di kantor? Padahal, selama ini aku selalu menunggunya," jelas Diko panjang lebar. Diko ingin seperti beberapa karyawannya yang selalu diperhatikan oleh istri. Menelepon ketika makan siang atau mengantarkan bekal. Pak Malik menatapnya datar. "Serius kau datang hanya untuk mengatakan ini?" "Tentu saja. Memangnya apa lagi? Bagiku masalah ini lebih penting daripada apapun. Aku bisa menyelesaikan semua masalah dengan mudah, kecuali ini." Diko merespon cepat. Pak Malik berusaha menahan tawanya, lalu menceritakan bagaimana sifat istrinya. Qiera sama seperti mamanya yang terlihat seolah tidak peduli dengan apa yang dilakukan suami, padahal aslinya dia gelisah setengah mati. Namun, dia tidak berani melakukan hal-hal yang ada di pikirannya karena takut mengganggu pekerjaan Diko. "Padahal, aku suka diganggu." Diko kembali mengacak rambutny
KSIBP 132 "Kenapa tadi kamu begitu cemburu?" tanya Mama Diko heran ketika sang anak memang sengaja menemuinya. "Bukankah seorang suami memang harus punya cemburu ketika istrinya ditatap oleh wanita lain?" Diko malah kembali memberikan pertanyaan. Sang mama menghela napas panjang. Sungguh tidak menyangka anaknya menjadi pencemburu semenjak menikah, terutama dengan wanita yang dari dulu sudah diinginkannya. "Iya, Mama paham." "Kalau paham, kenapa Mama banyak bertanya?" Diko mengerutkan keningnya. "Aku ke sini untuk membicarakan beberapa hal penting. Lagi pula dia sudah banyak aku bantu, masa iya masih berani menatap istriku." Kecemburuan Diko ternyata belum reda sampai membuat mamanya angkat tangan. "Kamu ke sini mau dibujuk Mama atau sedang cari perhatian istrimu?" tanyanya heran. "Tentu saja untuk mengabarkan kalau anakmu ini sangat hebat. Semua rencana berada di bawah kendaliku," ucap Diki mulai bangga diri. "Alhamdulillah. Jangan lupa bersyukur untuk setiap kejadian karena