Share

Part 6–Rayuan Mira

Aku masih berada di kamar menyusui Alva. Buah cintaku bersama Bang Leon yang sama sekali dia tak ingat bagaimana perjuangan kami agar Alva terlahir selamat ke dunia ini. Begitu pentingnya istri baru itu sampai-sampai setiap perkataannya seolah tak peduli sedikit pun dengan perasaanku.

Bukankah aku Lusi? Wanita yang tegar dan kuat meski dikhianati?

Namun, bulir bening yang susah payah ditahan ini masih tetap luruh juga. Aku tak pernah terpikirkan jika pernikahan kami akan mengalami ujian seberat ini. Tak pernah menyangka akan hadir sosok wanita lain di rumah tangga kami. Hati ini sakit membayangkan bayi yang tidak berdosa ini sebentar lagi akan mendapatkan kasih sayang yang pincang.

Aku merasa begitu jahat, tapi ini juga demi kesehatan mental. Diriku bukanlah wanita super sabar di luaran sana yang rela membagi cinta dan keringat suaminya. Aku hanya ingin tetap waras supaya bisa membesarkan Alva tanpa derita dan luka. Tidak ingin lumpuh karena luka itu hingga akhirnya mati perlahan.

Kuusap kepala Alva yang tengah menatapku dengan mata beningnya. Aku tersenyum saat tangan mungil itu berpindah dari menepuk-nepuk dada ke pipi. Seolah tengah menghapus air mata mamanya yang dengan tidak tahu malu tidak mau berhenti menetes.

Aku memang memainkan sandiwara dengan baik dan berpura-pura kuat dan tegar. Padahal, di dalam dada ada luka yang menganga lebar. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Jatuh bangun kami memupuk cinta agar tetap bersemi indah. Akan tetapi, cinta kami mendadak layu dan seketika mati karena bunga baru yang dibawa sang kumbang.

Kuhela napas panjang demi mengurai sesak di dada. Menangis itu hal manusiawi. Baik wanita ataupun laki-laki, ada masanya dia akan menitikkan air mata. Terkadang air mata bisa menjadi obat saat luka yang ditorehkan tak mampu diobati dengan kata. Menangis tak boleh berlebihan dan berlarut-larut. Cukuplah sekadar menjadi salah satu cara untuk mengurangi sakit yang menyiksa.

Levi Alvaro Pradipta.

Kamulah kekuatan mama, Sayang. Bantu Mama melewati fase tersulit ini. Berikan mama kekuatan dengan senyum dan tawa ceriamu.

"Sudah kenyang?" tanyaku saat Alva melepaskan mulutnya.

Dia tersenyum sembari menepuk-nepuk pipi ini. Kuangkat tubuhnya ke atas dada sembari menciuminya dengan gemas hingga Alva terkekeh geli. Canda tawa kami berhenti ketika mendengar seseorang membuka pintu.

"Kenapa, Bang?" tanyaku sembari memposisikan diri duduk.

"Aku mau berangkat kerja dulu," jawabnya sembari berjalan menghampiri kami.

Alva turun dari pangkuan. Merangkak ke tepi ranjang sambil tertawa lucu yang langsung disambut Bang Leon dengan menggendongnya.

"Anak papa yang tampan ini wangi sekali," ucapnya sembari menciumi wajah Alva yang sedang tersenyum senang.

Aku membuang muka dengan napas tercekat di tenggorokan. Melihat interaksi keduanya hanya semakin membuat hati ini berdesir perih. Aku tidak ingin menjadi lemah karenanya.

"Baik-baik di rumah, ya, sama Mama. Jangan nakal! Papa kerja dulu."

Aku baru menoleh ketika merasakan sentuhan tangan mungil Alva di kaki. Dia kembali merangkak mendekatiku dan naik ke pangkuan, lalu meniup-niupkan udara hingga bibirnya bergetar.

"Aku berangkat dulu." Bang Leon mengulurkan tangan.

Kusambut tangan itu dan menciumnya takzim meski hati enggan. Kontak mata kami sempat bertemu. Sebelum akhirnya, aku memutus lebih dulu dengan menunduk. Kuangkat kembali kepala dan menatap punggungnya yang perlahan menjauh.

Langkah Bang Leon tiba-tiba berhenti, lalu berbalik menatapku.

"Jangan mementingkan ego sendiri, Dek! Pikirkan kebahagiaan Alva dan masa depannya. Apa kamu tega membuat dia kehilangan sosok papa?" tanyanya lembut.

"Abang tenang saja. Aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk masa depannya. Kupastikan dia akan bahagia meski tanpa sosok papa."

Kami saling menatap dalam diam. Tak berselang lama, panggilan Mira dari lantai bawah menyentak kami berdua hingga spontan saling membuang muka.

"Bang," panggilku sesaat sebelum sosoknya benar-benar pergi. "Aku izin keluar."

"Mau ke mana?"

"Ke rumah Nanny."

Bang Leon terdiam sejenak, tapi tak lama kemudian dia mengangguk.

"Jangan lama, ya."

Aku mengangguk dengan seulas senyum tipis. Mengembuskan napas perlahan ketika sosoknya telah menghilang sempurna di balik pintu.

🌸🌸🌸

Kupesan sebuah taksi online menuju rumah Nanny. Jaraknya sekitar setengah jam jika jalanan lancar. Wanita yang tengah berbadan dua itu tersenyum lebar, dan melambaikan tangannya saat melihatku turun dari taksi. Dengan langkah lebar dia mendekat, lalu memelukku.

"Kangen, Lus," ucapnya manja.

Dari dulu dia memang tak pernah berubah. Sikap manja dan terkadang lucu itu membuatku merasa seperti punya adik. Padahal, usiaku hanya terpaut satu tahun di atasnya.

"Sama. Aku juga kangen."

Nanny mengurai pelukan, tersenyum pada Alva, lalu mencium kedua pipinya gemas.

"Keponakan tante ganteng banget, sih. Jadi gemes, gemes, gemes," cicitnya sembari mencubit pelan pipi Alva.

"Sudah berangkat kerja suamimu?"

"Sudah, Lus. Sudah dari tadi. Ayo masuk!"

Nanny adalah temanku semasa kerja dulu di sebuah perusahaan. Kini, dia sudah sama-sama berhenti bekerja dan fokus menjadi ibu rumah tangga.

"Mau minum apa?"

"Enggak usah repot-repot. Aku ke sini hanya mau menenangkan pikiran sebentar. Setelah ini mau pergi lagi, kok."

"Mana ada repot? Duduk, Lus! Aku ambil minum dulu," titahnya, lalu pergi menuju dapur dan kembali dengan segelas jus mangga di tangan. "Diminum dulu." Nanny meletakkan minuman itu di meja, kemudian mengambil Alva dariku dan mendudukkannya di pangkuan.

"Makasih, ya. Jadi segar habis minum ini," ucapku, lalu meletakkan kembali gelas di meja. "Aku enggak lama di sini."

"Mau pergi ke mana memangnya? Baru juga datang."

"Mau ke konter. Hapeku RAM-nya kecil. Enggak kuat update aplikasi. Sekalian mau ngurusin berkas-berkas perceraian."

"Aku antar saja, yuk!" usulnya dengan semangat.

"Enggak usah. Kamu istirahat saja di rumah," tolakku dengan senyum ramah. "Kapan HPL-nya?" tanyaku sembari mengusap perut Nanny.

"Akhir bulan ini. Doakan semoga lancar, ya, Lus. Semoga aku dan bayinya selamat. Aku enggak sabar mau punya anak yang gemesin kayak Alva ini," terangnya sembari menciumi kepala Alva yang tengah mengemil biskuit pemberiannya.

"Aamiin."

"Kamu baik-baik aja, kan?" Nanny menelisik wajahku dengan ekspresi khawatirnya.

Aku tersenyum. "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir!"

"Kamu hebat, Lusi. Kamu tetap kuat dan tegar menerima kenyataan pahit itu. Kalau aku jadi kamu, entah aku sanggup atau enggak. Mungkin saja aku sudah ngamuk dan stres. Kamu tahu sendiri, kan? Aku ini panikan dan gampang nangis."

"InsyaAllah kamu enggak akan mengalami kejadian kayak aku. Aku doakan semoga rumah tanggamu selalu langgeng dan harmonis sampai akhir hayat."

"Aamiin," sahutnya cepat seraya mengusap wajah. "Apa yang akan kamu lakukan sama Leon?"

Aku menghela napas berat. "Aku tetap akan minta cerai. Entah itu aku yang menggugat atau Bang Leon. Aku juga akan tetap memperjuangkan hakku atas rumah itu. Aku enggak akan pergi sebelum hak itu kudapatkan."

"Bagus! Jangan mau kalah dengan mereka! Keenakan si valak itu kalau kamu pergi dan menyerah begitu saja. Bisa-bisa dia yang nanti menguasai rumah itu. Amankan saja sertifikatnya dari sekarang. Takutnya Leon berhasil dihasut. Tahu-tahu nanti sertifikat diambil diam-diam, terus diubah namanya jadi milik si valak. Kan, repot," ujarnya panjang lebar.

"Tenang saja. Aku sudah amankan sertifikatnya, kok."

"Syukurlah. Ini baru sahabatku." Nanny tersenyum lega sembari merangkul bahuku. "Kalau butuh bantuan apa-apa, jangan sungkan, ya, Lus. Aku dan Mas Ridho pasti siap bantu kamu."

Aku mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih."

🌸🌸🌸

Usai membeli ponsel dan memfotokopi berkas-berkas yang diperlukan tadi, aku malah kembali ke rumah Nanny. Kami berbincang sekalian menemaninya dulu sebelum Ridho pulang. Malas juga kalau harus berdua saja dengan istri baru Bang Leon yang hari ini libur kerja.

Menjelang asar aku baru pulang. Mobil Bang Leon sudah terparkir di halaman ketika taksi yang kutumpangi tiba. Tidak biasa-biasanya dia pulang cepat. Biasanya, Bang Leon baru sampai di rumah sekitar pukul lima atau setengah enam sore.

Langkah ini terhenti di teras, ketika mendengar tawa renyah keduanya yang disusul rengekan manja dari Mira.

Bahagia sekali kamu, Bang. Benar-benar sudah lupa denganku dan Alva.

"Abang janji enggak akan bohong lagi, kan? Pokoknya Abang harus secepatnya penuhin permintaanku hari ini juga." Mira berkata dengan nada merengek manja.

"Iya, aku janji. Nanti pas Lusi pulang, aku akan langsung bilang sama dia. Tapi nanti malam jangan disuruh puasa lagi, ya. Pusing kepalaku kalau harus puasa terus."

"Siapa suruh Abang enggak mau nurutin mauku. Lagian, kan ada Mbak Lusi. Bukannya Abang masih cinta? Kenapa enggak minta jatah sama dia?"

"Aku enggak enaklah, Sayang. Lusi masih syok karena pernikahan kita. Masa iya aku masih harus nuntut nafkah batin juga?"

"Awas saja! Pokoknya Abang udah enggak boleh sentuh Mbak Lusi lagi, titik! Aku enggak terima!"

"Iya. Tapi kamu juga jangan lupa kewajibanmu atau aku akan memintanya sama Lusi."

"Abaaang!" rengeknya kesal yang disusul tawa Bang Leon.

Aku tertawa miris.

Apa mereka pikir aku juga masih ingin disentuh? Diih!

Dadaku bergemuruh hebat. Bergetar tubuh ini menahan amarah. Jika mengikuti emosi, bisa saja kuambil pot bunga yang ada di sini dan langsung melemparkannya ke wajah kedua cecunguk itu.

Namun, aku harus tetap sabar. Aku tidak ingin mengotori tangan hanya karena menuruti nafsu. Masih banyak cara lain untuk membalas sakit hati pada Bang Leon.

Kutarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Melakukannya beberapa kali sampai emosi ini kembali mereda.

Kini, tak kudengar lagi suara mereka. Hening. Kuayunkan kembali kaki dan ternyata keduanya tengah asyik berbagi udara dengan tangan Bang Leon yang menjelajah nakal. Sampai-sampai mereka tidak sadar dengan kehadiranku di sini. Untung saja Alva tertidur. Jadi, dia tak harus melihat apa yang dilakukan papanya.

Eneg rasanya!

"Ehem!"

Sontak keduanya saling menarik wajah. Gelagapan dan saling merapikan pakaian dan rambut masing-masing. Setelah itu, Mira dan Bang Leon menatap kikuk padaku yang berdiri dan memandang mereka dengan tatapan dingin.

"Kamu sudah pulang, Dek?" tanya Bang Leon dengan senyum canggung.

"Kelihatannya? Memangnya Abang pikir aku yang lagi berdiri ini setan?"

Bang Leon menggaruk kepala kikuk, lalu berdiri menghampiriku. "Sini, biar aku saja yang bawa Alva ke kamar."

Aku mundur, menghindar.

"Tangan Abang kotor. Banyak kuman dan virusnya," sindirku sinis. Membuatnya seketika bungkam dan terlihat salah tingkah.

"Ingat, ya, kalian berdua!" Aku menatap tajam perempuan itu yang langsung menunduk, lalu beralih lagi pada Bang Leon. "Ini bukan hanya rumahmu, Bang. Ini juga rumahku!" tegasku pelan, tapi penuh penekanan. "Jangan seenaknya dan harus tahu batasan! Aku enggak melarang kalian mesra-mesraan. Tapi jangan lakukan selain di kamar! Bagaimana kalau tadi Alva melihat itu, hm?"

Keduanya bungkam. Aku masih menatap nyalang keduanya bergantian. Tak ada satu pun dari mereka yang berani membalas tatapanku.

"Maaf, Dek," ucap Bang Leon setelah diam beberapa saat.

Aku melemparkan tatapan sinis, lalu berjalan melewatinya dengan sedikit menubruk tubuh jangkung itu.

"Ada yang mau aku bicarakan, Dek!" serunya yang membuat langkah ini kembali terhenti.

"Nanti malam saja kita bicaranya!" sahutku tanpa menoleh, lalu kembali melangkah tanpa mempedulikan panggilannya.

🌸🌸🌸

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Isabella
pingin nonjok muka nya
goodnovel comment avatar
Isabella
desek dadaku
goodnovel comment avatar
Hafni Indriastuti
wah berbayar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status