Pagi Hari aku sudah rapi, begitu juga dengan Alva. Kuciumi wajahnya sambil bermain di atas ranjang. Sengaja tak turun lebih dulu. Biarkan saja istri barunya itu yang sibuk berkutat di dapur.
Pukul setengah tujuh pagi, aku baru turun. Aku melongo tak percaya saat melihat suasana rumah masih sepi. Kamar pengantin baru pun masih tertutup rapat. Kulihat Bang Leon masih tertidur pulas di sofa dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Bahkan, televisi pun dibiarkan menyala.
Kayaknya asyik, nih, dikerjain. Kalau aku masukin garam ke mulutnya pasti seru! Tapi jangan, deh. Kasihan juga. Pasti Bang Leon baru bisa tidur menjelang pagi. Sukurin!
Kubuka semua tirai yang masih tertutup rapat, lalu mendudukkan Alva di karpet di depan televisi. Mengambilkannya banyak mainan dan memutar acara kartun. Biasanya, dia akan tenang jika menonton acara kesukaan.
"Main yang anteng, ya, Sayang. Mama mau siapin sarapan dulu." Kukecup kepalanya, lalu pergi ke dapur.
Aku sibuk menyiapkan bumbu nasi goreng sambil sesekali melihat ke arah Alva. Ikut tersenyum saat melihat dia tertawa kecil sambil menatap ke layar televisi. Sesekali Alva melempar mainannya asal ketika merasa gemas.
"Aduh!"
Aku yang tengah mengaduk nasi goreng pun spontan mematikan kompor dan bergegas ke ruang keluarga. Dengan rambut kusutnya, Bang Leon duduk sembari mengusap-usap hidung.
"Ada apa, Bang?" tanyaku heran.
Kulihat Alva cengengesan dengan mainan pesawat di tangannya. Dia duduk tepat di dekat sofa.
"Hidungku dipukul pakai mainan sama Alva, Dek," keluhnya sambil mengusap hidungnya yang sedikit memerah.
Hm, Alva ikut membalaskan dendam sakit hati mamanya ternyata. Bagus!
"Disuruh bangun, Bang. Lagian, tidur kayak kebo. Enggak lihat itu udah jam berapa?"
Bang Leon melirik ke arah jam dinding, lalu segera berdiri. "Kenapa enggak bangunin, Dek?"
"Kenapa harus aku? Istri baru Abang mana?" sahutku cuek, lalu mendekat pada Alva dan memberikan sepotong biskuit agar dia tenang.
"Masih tidur."
"Hebat sekali, ya, istri barumu, Bang. Udah jam segini masih asyik buat pulau kapuk."
"Mungkin dia kecapekan," belanya.
"Memangnya semalam kalian jadi tempur?" sindirku dengan seulas senyum miring.
"Boro-boro. Mira nolak sampai kamu kasih izin kami menikah secara resmi," tuturnya sembari menggaruk kepala. "Ayolah, Dek! Kasih sedikit pengertianmu. Izinkan kami menikah resmi."
Ealaah, Si Bambang! Pagi-pagi sudah bikin hati meradang.
Aku kembali berdiri sembari memberikan senyum manis. "Tentu, Bang. Dengan senang hati."
"Serius, Dek?" Dia tersenyum semringah menatapku.
"Heem." Aku mengangguk. "Tapi nanti. Setelah kita resmi bercerai dan rumah ini kita bagi dua hasilnya."
"Dek!" tegurnya dengan sedikit melotot dan memajukan wajahnya padaku.
"Enggak usah ngegas begitu, Bang. Slow aja." Aku spontan menjauhkan kepala. "Sana mandi, Bang! Gosok gigi. Wangi bener." Aku memencet hidung sendiri.
Bang Leon menarik wajah, mencium bau mulutnya sendiri, dan seketika itu pula ekspresinya berubah kecut.
Diih, jorok!
Tanpa banyak bicara lagi, akhirnya Bang Leon pergi meninggalkanku.
"Pakaian kerjanya udah aku siapin di kamar, Bang!" seruku, tapi diabaikannya dan langsung masuk ke kamar mandi yang ada di lantai bawah ini.
Melihat Alva kembali tenang menonton televisi sambil makan biskuit, aku pun kembali ke dapur. Hanya tinggal menuangkan nasi gorengnya ke atas piring saja.
🌸🌸🌸
Tak berselang lama, Bang Leon sudah kembali turun dan langsung menghampiriku yang sedang sarapan dengan Alva di pangkuan.
"Kok, enggak tunggu abang, Dek?" tanyanya sembari menarik satu kursi, lalu duduk.
"Mulai hari ini, Abang harus terbiasa makan tanpaku." Aku meliriknya sekilas. "Lagipula, udah ada Mira, 'kan? Bangunin, dong! Suruh temenin Abang makan dan biasakan dia dengan pekerjaan rumah."
"Dia enggak terbiasa dengan itu semua, Dek."
"Maksud Abang? Abang maunya aku yang tetap ngerjain semua kerjaan rumah, begitu?" tanyaku pelan, tapi penuh penekanan.
"Bukan begitu, Dek. Hanya sampai dia terbiasa aja. Kalau langsung harus dia yang kerjain semua, pasti Mira tambah ngambek. Lagipula, kan dia kerja. Jadi—"
Prak!
Perkataan Bang Leon terhenti saat mendengar suara sendok kuletakkan dengan kasar di meja.
"Aku memang enggak kerja kantoran. Tapi bukan berarti enggak ada kerjaan, Bang!" ucapku tidak terima.
"Iya, Dek. Maksudku bukan begitu. Hanya sampai—"
"Diamlah, Bang. Jangan merusak moodku pagi-pagi begini!" Aku kesal, tapi berusaha tetap memelankan nada bicara karena Alva ada di pangkuan.
Terdengar helaan napas berat darinya. Setelah itu, dia tak berkata apa-apa lagi.
"Dek."
"Apa?" tanyaku tanpa menatapnya.
"Sarapan buatku enggak ada, Dek?"
Aku melirik sekilas, lalu bangkit dari tempat duduk sembari menggendong Alva. Memberikan sepiring nasi goreng dan kopi yang memang sengaja dibuatkan untuknya. Bagaimanapun juga, status Bang Leon masih suamiku. Aku masih harus melayani semua kebutuhannya.
"Terima kasih, Dek." Dia tersenyum lebar yang hanya kujawab dengan anggukan, lalu kembali duduk dan melanjutkan sarapan.
Baru saja Bang Leon hendak menyuapkan nasi goreng, tangannya terhenti di udara saat mendengar suara cempreng Mira berteriak memanggil. Dia menghampiri kami masih dengan piyama pendek sebatas paha sambil menggaruk kepala.
"Aku lapar," rengeknya saat sudah berdiri di samping Bang Leon.
"Nasi gorengnya masih ada 'kan, Dek?" tanya Bang Leon yang membuat darahku kembali mendidih.
"Memangnya aku pembantu kalian?" balasku dengan tatapan sinis. "Kalau lapar, masak aja sendiri! Punya tangan, kan? Jangan manja dan jadi pemalas! Kamu udah jadi istri Bang Leon sekarang. Dan sebentar lagi akan jadi satu-satunya. Biasakan melayani dan menyiapkan semua kebutuhan dia!"
"Dek! Maksud kamu apa?" Bang Leon menatapku dengan kening berkerut.
"Kurasa Abang sudah tahu maksudku tanpa harus dijelaskan lagi," sahutku santai, lalu kembali menikmati sarapan tanpa peduli keduanya.
"Aku 'kan cuma minta sarapan, Bang. Kenapa malah dimarahin begini?" adunya dengan nada memelas sembari mengempaskan pantat di kursi lain.
Eeww! Sok merasa jadi yang tertindas. Padahal, yang kukatakan itu benar. Dasar!
"Sudah, jangan sedih begitu. Apa yang dibilang kakak madumu itu ada benarnya juga, kok."
Kakak madu? Enak saja! Aku bukan madu, tapi lebahnya. Siap-siap saja kalian berdua aku sengat!
"Kita sarapan bareng aja. Ini juga banyak, kok, nasi gorengnya."
Aku melirik sekilas. Mira tersenyum senang sembari mengangguk.
"Suapin," rengek Mira. Sekilas tatapan mata kami bertemu dan kulihat dia menyunggingkan senyum sinis.
Apa dia pikir aku akan cemburu? Diih, pede sekali kamu, Maemunah!
"Iya, tapi jangan cemberut lagi. Sumpek pagi-pagi udah dicemberutin."
Aku mengerling malas mendengar jawaban Bang Leon. Untung saja nasi gorengku sudah habis. Segera kuteguk air minum, lalu menyimpan piring kotor di wastafel.
"Hati-hati, Bang. Tadi nasi gorengnya sengaja kumasukkin obat pencuci perut," ucapku sembari berlalu pergi.
"Dek!" serunya di belakang sana. "Serius ini kamu kasih obat pencuci perut?"
Aku mengedikkan bahu tanpa menoleh sama sekali.
"Dek!" serunya lagi, tapi tetap tak kugubris.
Aku terkikik pelan dengan Alva yang sama-sama ikut tertawa seolah dia paham saja.
🌸🌸🌸
Aku masih berada di kamar menyusui Alva. Buah cintaku bersama Bang Leon yang sama sekali dia tak ingat bagaimana perjuangan kami agar Alva terlahir selamat ke dunia ini. Begitu pentingnya istri baru itu sampai-sampai setiap perkataannya seolah tak peduli sedikit pun dengan perasaanku.Bukankah aku Lusi? Wanita yang tegar dan kuat meski dikhianati?Namun, bulir bening yang susah payah ditahan ini masih tetap luruh juga. Aku tak pernah terpikirkan jika pernikahan kami akan mengalami ujian seberat ini. Tak pernah menyangka akan hadir sosok wanita lain di rumah tangga kami. Hati ini sakit membayangkan bayi yang tidak berdosa ini sebentar lagi akan mendapatkan kasih sayang yang pincang.Aku merasa begitu jahat, tapi ini juga demi kesehatan mental. Diriku bukanlah wanita super sabar di luaran sana yang rela membagi cinta dan keringat suaminya. Aku hanya ingin tetap waras supaya bisa membesarkan Alva tanpa derita dan luka. Tidak ingin lumpuh karena luka itu hingga akhirnya mati perlahan.Kuu
Usai dimandikan, Alva tertidur pulas. Kubuka kotak ponsel baru, lalu memindahkan kartu dan semua nomor penting dari ponsel lama. Ponsel yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berganti. Tak hanya RAM yang minim, tapi layarnya yang sudah retak di sana-sini terkadang cukup menyulitkanku.Jauh berbeda dengan Bang Leon. Dalam setahun ini, dia sudah tiga kali mengganti ponsel. Meski aku mengingatkan agar jangan terlalu menghamburkan uang, tapi dia selalu menganggap enteng semua itu. Padahal, tak selamanya hidup akan enak terus seperti sekarang.Dulu, kami pernah berada di titik terendah. Sekarang keadaan jauh lebih baik, tapi bukan berarti selamanya akan terus seperti ini karena roda kehidupan berputar. Meskipun, aku berdoa kami tak akan mengalami kepahitan itu lagi.Terbayang kenangan dulu, pagi-pagi aku berkeliling jualan donat. Selesai berjualan, aku pergi menjadi buruh cuci. Terkadang jualan jajanan anak-anak juga di depan rumah. Sementara, Bang Leon sendiri selalu murung dan uring-urin
Aku tengah menyiapkan surat-surat kelengkapan untuk mengajukan proses perceraian. Selain membeli ponsel baru, sengaja tadi siang menyempatkan diri untuk memfotokopi beberapa berkas. Rencananya, besok pagi aku baru akan mengurus ini ke pengadilan agama.Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan fokusku. Memang pintu kamar ini tadi sengaja dikunci. Setelah merapikan kembali surat-surat tersebut dan menyimpannya di lemari, segera kuayunkan kaki menuju pintu.Bang Leon sudah berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan yang terlihat gelisah dan gusar."Ada apa?""Ada yang perlu kubicarakan," ujarnya pelan."Oh, iya. Aku lupa. Baiklah. Abang duluan saja turun. Sebentar lagi kususul."Bang Leon mengangguk pelan, lalu berbalik dan pergi. Sesaat sebelum menuruni tangga, dia kembali menoleh. Memandang dengan tatapan yang sulit kuartikan, lalu kembali melanjutkan langkahnya."Ayo, Sayang! Kita turun dulu temui papamu." Aku menggendong Alva yang sedang bermain di atas ranjang dengan bola-bola kecil
Alva merengek melihatku terisak sembari menggendongnya. Kubaringkan dia perlahan dan segera menyusuinya. Aku sudah mencoba mengontrol perasaan, tapi air mata ini tidak bisa diajak kompromi.Aku pernah mendambakan keluarga yang harmonis seperti Ibu dan Ayah. Mereka tetap setia sampai maut memisahkan, tapi aku? Aku gagal meraih impian itu. Alva harus kehilangan papanya di usia yang masih hitungan bulan."Maafin mama, Nak." Kukecup kepalanya lembut. "Bukan mama enggak sayang, tapi mama ingin merawat dan menjagamu dengan penuh senyuman, bukan tangisan. Mama akan terus terluka jika bertahan," lirihku seraya mengucek mata yang buram karena air mata."Saat kamu besar nanti, kuharap kamu bisa mengerti keputusan mama ini. Belajarlah dari kesalahan papamu, Nak. Belajarlah untuk memahami bahwa kesetiaan itu penting."Aku menyeka air mata saat menyadari ponsel bergetar. Nanny memanggil.Dia memang sahabat terbaik. Selalu tahu saat-saat di mana aku butuh sandaran."Assalamu'alaikum," sapanya setel
Setelah memasangkan tulisan 'rumah dijual' di gerbang, aku kembali ke dalam. Memasang iklan online supaya rumah ini bisa segera terjual. Setelah uangnya ada, aku bisa mencari rumah ukuran kecil yang lebih murah, atau bisa menyewa dulu jika rumah baru belum ada.Aku mengambil foto bersama Alva. Mempostingnya dengan caption 'sekuat apa pun kita menjaga dan menggenggam, yang harusnya pergi akan tetap pergi. Selamat datang masa depan!'Banyak komentar dari teman yang tak jarang bertegur sapa di komen. Terkadang, membaca komen mereka bisa memberikan semangat tersendiri.Bang Leon sendiri tak tahu kalau aku masih memiliki akun facebook. Dulu, dia memintaku menghapus akun karena tak suka saat banyak teman pria yang ikut berkomentar jika memposting foto dan status.Kini, aku jadi punya banyak waktu santai. Aku hanya membantu mengepel dan menyapu saja karena Alva sering bermain di lantai. Untuk pekerjaan lain, biarkan saja Mira yang mengerjakan nanti. Meskipun, sebenarnya mata dan tangan ini g
Setelah pembicaraan kami tadi, Mira tidak keluar kamar lagi. Aku yang merasa jenuh pun mengirim pesan pada Bang Leon akan pergi ke taman dan dia mengizinkan.Kuayunkan kaki menuju taman yang tidak begitu jauh. Cuaca cerah sore hari dengan semilir angin ini lebih mampu menentramkan pikiran. Jauh lebih baik daripada terus berada di rumah dan mendengarkan Mira yang terkadang terdengar melempar barang di kamar. Sepertinya, dia benar-benar kesal dan kecewa dengan Bang Leon.Itulah resikonya karena sudah berani mengganggu rumah tanggaku. Tak hanya dia yang akan terbakar sendiri, tapi Bang Leon juga. Mereka berdua pasti akan sangat menyesalinya tanpa aku harus membalas dengan perbuatan jahat.Alva tersenyum riang melihat banyak anak kecil bermain di taman. Dia meronta-ronta ingn turun, tapi jelas aku tetap menggendongnya. Kubawa Alva menuju ayunan di pojok taman karena area lain sudah diisi banyak pengunjung.Alva semakin senang saat ada penjual balon mendekat. Tangan mungilnya menunjuk-nunj
Tak ada lagi percakapan setelah itu. Kami sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing."Apa kamu menyesal sudah mengenal abang, Dek?" Dia kembali membuka suara setelah cukup lama terdiam.Aku menggeleng. "Aku enggak menyesal pernah mengenal dan menjadi bagian hidup dari Abang.""Benarkah?"Aku mengangguk, lalu menatapnya datar. "Penyesalanku hanyalah ketika memberikan kepercayaan terlalu besar, tapi akhirnya disia-siakan."Senyum Bang Leon yang sempat terbit, hilang seketika dan berganti dengan raut wajah sendu."Hanya satu pesanku untuk kamu, Bang. Hargailah apa yang masih Abang miliki saat ini. Kebahagiaan enggak akan pernah datang pada orang yang enggak bisa bersyukur dan menghargai apa yang dimilikinya."Bang Leon menunduk dalam. Menyuapkan kembali nasi gorengnya dengan pelan."Jadikan ini sebagai pelajaran untuk kita berdua, Bang. Penyesalan ada supaya kita enggak mengulangi kesalahan yang sama. Dan kita sadar kalau rnggak semua hal di dunia ini bisa diulang kembali."B
Aku sudah berkeliling mencari kontrakan kosong yang cukup nyaman dan bersih, tapi tidak ada. Semuanya penuh. Kontrakan kosong justru ada di tempat yang kurang bersih dan rapi.Aku tidak merasa nyaman melihatnya. Jadi, memilih mencari ke tempat lain saja. Akan tetapi, ternyata semua tempat sama saja. Penuh.Aku tengah duduk di halte menunggu taksi yang lewat, tapi sebuah mobil pajero hitam tiba-tiba berhenti tepat di depanku. Kening ini berkerut melihat kaca jendela terbuka. Di mana sesosok pria di balik kaca mata hitam di dalam mobil itu tersenyum.Aku menoleh ke kanan-kiri, memastikan apakah pria ini memang tersenyum padaku atau orang lain. Tak ada siapa pun di sini.Siapa dia?"Lusi," sapanya setelah keluar dari mobil."Pak William?" Aku masih tak percaya mantan bossku itu bisa kebetulan ada di sini.Pantas saja aku sempat ragu, ternyata penampilannya sungguh sangat berbeda. Dahulu rambutnya cokelat terang, panjang dan selalu diikat. Akan tetapi, sekarang dia terlihat lebih berwibaw