Share

Part 5–Bukan Pembantu

Pagi Hari aku sudah rapi, begitu juga dengan Alva. Kuciumi wajahnya sambil bermain di atas ranjang. Sengaja tak turun lebih dulu. Biarkan saja istri barunya itu yang sibuk berkutat di dapur.

Pukul setengah tujuh pagi, aku baru turun. Aku melongo tak percaya saat melihat suasana rumah masih sepi. Kamar pengantin baru pun masih tertutup rapat. Kulihat Bang Leon masih tertidur pulas di sofa dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Bahkan, televisi pun dibiarkan menyala.

Kayaknya asyik, nih, dikerjain. Kalau aku masukin garam ke mulutnya pasti seru! Tapi jangan, deh. Kasihan juga. Pasti Bang Leon baru bisa tidur menjelang pagi. Sukurin!

Kubuka semua tirai yang masih tertutup rapat, lalu mendudukkan Alva di karpet di depan televisi. Mengambilkannya banyak mainan dan memutar acara kartun. Biasanya, dia akan tenang jika menonton acara kesukaan.

"Main yang anteng, ya, Sayang. Mama mau siapin sarapan dulu." Kukecup kepalanya, lalu pergi ke dapur.

Aku sibuk menyiapkan bumbu nasi goreng sambil sesekali melihat ke arah Alva. Ikut tersenyum saat melihat dia tertawa kecil sambil menatap ke layar televisi. Sesekali Alva melempar mainannya asal ketika merasa gemas.

"Aduh!"

Aku yang tengah mengaduk nasi goreng pun spontan mematikan kompor dan bergegas ke ruang keluarga. Dengan rambut kusutnya, Bang Leon duduk sembari mengusap-usap hidung.

"Ada apa, Bang?" tanyaku heran.

Kulihat Alva cengengesan dengan mainan pesawat di tangannya. Dia duduk tepat di dekat sofa.

"Hidungku dipukul pakai mainan sama Alva, Dek," keluhnya sambil mengusap hidungnya yang sedikit memerah.

Hm, Alva ikut membalaskan dendam sakit hati mamanya ternyata. Bagus!

"Disuruh bangun, Bang. Lagian, tidur kayak kebo. Enggak lihat itu udah jam berapa?"

Bang Leon melirik ke arah jam dinding, lalu segera berdiri. "Kenapa enggak bangunin, Dek?"

"Kenapa harus aku? Istri baru Abang mana?" sahutku cuek, lalu mendekat pada Alva dan memberikan sepotong biskuit agar dia tenang.

"Masih tidur."

"Hebat sekali, ya, istri barumu, Bang. Udah jam segini masih asyik buat pulau kapuk."

"Mungkin dia kecapekan," belanya.

"Memangnya semalam kalian jadi tempur?" sindirku dengan seulas senyum miring.

"Boro-boro. Mira nolak sampai kamu kasih izin kami menikah secara resmi," tuturnya sembari menggaruk kepala. "Ayolah, Dek! Kasih sedikit pengertianmu. Izinkan kami menikah resmi."

Ealaah, Si Bambang! Pagi-pagi sudah bikin hati meradang.

Aku kembali berdiri sembari memberikan senyum manis. "Tentu, Bang. Dengan senang hati."

"Serius, Dek?" Dia tersenyum semringah menatapku.

"Heem." Aku mengangguk. "Tapi nanti. Setelah kita resmi bercerai dan rumah ini kita bagi dua hasilnya."

"Dek!" tegurnya dengan sedikit melotot dan memajukan wajahnya padaku.

"Enggak usah ngegas begitu, Bang. Slow aja." Aku spontan menjauhkan kepala. "Sana mandi, Bang! Gosok gigi. Wangi bener." Aku memencet hidung sendiri.

Bang Leon menarik wajah, mencium bau mulutnya sendiri, dan seketika itu pula ekspresinya berubah kecut.

Diih, jorok!

Tanpa banyak bicara lagi, akhirnya Bang Leon pergi meninggalkanku.

"Pakaian kerjanya udah aku siapin di kamar, Bang!" seruku, tapi diabaikannya dan langsung masuk ke kamar mandi yang ada di lantai bawah ini.

Melihat Alva kembali tenang menonton televisi sambil makan biskuit, aku pun kembali ke dapur. Hanya tinggal menuangkan nasi gorengnya ke atas piring saja.

🌸🌸🌸

Tak berselang lama, Bang Leon sudah kembali turun dan langsung menghampiriku yang sedang sarapan dengan Alva di pangkuan.

"Kok, enggak tunggu abang, Dek?" tanyanya sembari menarik satu kursi, lalu duduk.

"Mulai hari ini, Abang harus terbiasa makan tanpaku." Aku meliriknya sekilas. "Lagipula, udah ada Mira, 'kan? Bangunin, dong! Suruh temenin Abang makan dan biasakan dia dengan pekerjaan rumah."

"Dia enggak terbiasa dengan itu semua, Dek."

"Maksud Abang? Abang maunya aku yang tetap ngerjain semua kerjaan rumah, begitu?" tanyaku pelan, tapi penuh penekanan.

"Bukan begitu, Dek. Hanya sampai dia terbiasa aja. Kalau langsung harus dia yang kerjain semua, pasti Mira tambah ngambek. Lagipula, kan dia kerja. Jadi—"

Prak!

Perkataan Bang Leon terhenti saat mendengar suara sendok kuletakkan dengan kasar di meja.

"Aku memang enggak kerja kantoran. Tapi bukan berarti enggak ada kerjaan, Bang!" ucapku tidak terima.

"Iya, Dek. Maksudku bukan begitu. Hanya sampai—"

"Diamlah, Bang. Jangan merusak moodku pagi-pagi begini!" Aku kesal, tapi berusaha tetap memelankan nada bicara karena Alva ada di pangkuan.

Terdengar helaan napas berat darinya. Setelah itu, dia tak berkata apa-apa lagi.

"Dek."

"Apa?" tanyaku tanpa menatapnya.

"Sarapan buatku enggak ada, Dek?"

Aku melirik sekilas, lalu bangkit dari tempat duduk sembari menggendong Alva. Memberikan sepiring nasi goreng dan kopi yang memang sengaja dibuatkan untuknya. Bagaimanapun juga, status Bang Leon masih suamiku. Aku masih harus melayani semua kebutuhannya.

"Terima kasih, Dek." Dia tersenyum lebar yang hanya kujawab dengan anggukan, lalu kembali duduk dan melanjutkan sarapan.

Baru saja Bang Leon hendak menyuapkan nasi goreng, tangannya terhenti di udara saat mendengar suara cempreng Mira berteriak memanggil. Dia menghampiri kami masih dengan piyama pendek sebatas paha sambil menggaruk kepala.

"Aku lapar," rengeknya saat sudah berdiri di samping Bang Leon.

"Nasi gorengnya masih ada 'kan, Dek?" tanya Bang Leon yang membuat darahku kembali mendidih.

"Memangnya aku pembantu kalian?" balasku dengan tatapan sinis. "Kalau lapar, masak aja sendiri! Punya tangan, kan? Jangan manja dan jadi pemalas! Kamu udah jadi istri Bang Leon sekarang. Dan sebentar lagi akan jadi satu-satunya. Biasakan melayani dan menyiapkan semua kebutuhan dia!"

"Dek! Maksud kamu apa?" Bang Leon menatapku dengan kening berkerut.

"Kurasa Abang sudah tahu maksudku tanpa harus dijelaskan lagi," sahutku santai, lalu kembali menikmati sarapan tanpa peduli keduanya.

"Aku 'kan cuma minta sarapan, Bang. Kenapa malah dimarahin begini?" adunya dengan nada memelas sembari mengempaskan pantat di kursi lain.

Eeww! Sok merasa jadi yang tertindas. Padahal, yang kukatakan itu benar. Dasar!

"Sudah, jangan sedih begitu. Apa yang dibilang kakak madumu itu ada benarnya juga, kok."

Kakak madu? Enak saja! Aku bukan madu, tapi lebahnya. Siap-siap saja kalian berdua aku sengat!

"Kita sarapan bareng aja. Ini juga banyak, kok, nasi gorengnya."

Aku melirik sekilas. Mira tersenyum senang sembari mengangguk.

"Suapin," rengek Mira. Sekilas tatapan mata kami bertemu dan kulihat dia menyunggingkan senyum sinis.

Apa dia pikir aku akan cemburu? Diih, pede sekali kamu, Maemunah!

"Iya, tapi jangan cemberut lagi. Sumpek pagi-pagi udah dicemberutin."

Aku mengerling malas mendengar jawaban Bang Leon. Untung saja nasi gorengku sudah habis. Segera kuteguk air minum, lalu menyimpan piring kotor di wastafel.

"Hati-hati, Bang. Tadi nasi gorengnya sengaja kumasukkin obat pencuci perut," ucapku sembari berlalu pergi.

"Dek!" serunya di belakang sana. "Serius ini kamu kasih obat pencuci perut?"

Aku mengedikkan bahu tanpa menoleh sama sekali.

"Dek!" serunya lagi, tapi tetap tak kugubris.

Aku terkikik pelan dengan Alva yang sama-sama ikut tertawa seolah dia paham saja.

🌸🌸🌸

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status