Share

Part 5–Bukan Pembantu

last update Last Updated: 2022-05-21 20:45:59

Pagi Hari aku sudah rapi, begitu juga dengan Alva. Kuciumi wajahnya sambil bermain di atas ranjang. Sengaja tak turun lebih dulu. Biarkan saja istri barunya itu yang sibuk berkutat di dapur.

Pukul setengah tujuh pagi, aku baru turun. Aku melongo tak percaya saat melihat suasana rumah masih sepi. Kamar pengantin baru pun masih tertutup rapat. Kulihat Bang Leon masih tertidur pulas di sofa dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Bahkan, televisi pun dibiarkan menyala.

Kayaknya asyik, nih, dikerjain. Kalau aku masukin garam ke mulutnya pasti seru! Tapi jangan, deh. Kasihan juga. Pasti Bang Leon baru bisa tidur menjelang pagi. Sukurin!

Kubuka semua tirai yang masih tertutup rapat, lalu mendudukkan Alva di karpet di depan televisi. Mengambilkannya banyak mainan dan memutar acara kartun. Biasanya, dia akan tenang jika menonton acara kesukaan.

"Main yang anteng, ya, Sayang. Mama mau siapin sarapan dulu." Kukecup kepalanya, lalu pergi ke dapur.

Aku sibuk menyiapkan bumbu nasi goreng sambil sesekali melihat ke arah Alva. Ikut tersenyum saat melihat dia tertawa kecil sambil menatap ke layar televisi. Sesekali Alva melempar mainannya asal ketika merasa gemas.

"Aduh!"

Aku yang tengah mengaduk nasi goreng pun spontan mematikan kompor dan bergegas ke ruang keluarga. Dengan rambut kusutnya, Bang Leon duduk sembari mengusap-usap hidung.

"Ada apa, Bang?" tanyaku heran.

Kulihat Alva cengengesan dengan mainan pesawat di tangannya. Dia duduk tepat di dekat sofa.

"Hidungku dipukul pakai mainan sama Alva, Dek," keluhnya sambil mengusap hidungnya yang sedikit memerah.

Hm, Alva ikut membalaskan dendam sakit hati mamanya ternyata. Bagus!

"Disuruh bangun, Bang. Lagian, tidur kayak kebo. Enggak lihat itu udah jam berapa?"

Bang Leon melirik ke arah jam dinding, lalu segera berdiri. "Kenapa enggak bangunin, Dek?"

"Kenapa harus aku? Istri baru Abang mana?" sahutku cuek, lalu mendekat pada Alva dan memberikan sepotong biskuit agar dia tenang.

"Masih tidur."

"Hebat sekali, ya, istri barumu, Bang. Udah jam segini masih asyik buat pulau kapuk."

"Mungkin dia kecapekan," belanya.

"Memangnya semalam kalian jadi tempur?" sindirku dengan seulas senyum miring.

"Boro-boro. Mira nolak sampai kamu kasih izin kami menikah secara resmi," tuturnya sembari menggaruk kepala. "Ayolah, Dek! Kasih sedikit pengertianmu. Izinkan kami menikah resmi."

Ealaah, Si Bambang! Pagi-pagi sudah bikin hati meradang.

Aku kembali berdiri sembari memberikan senyum manis. "Tentu, Bang. Dengan senang hati."

"Serius, Dek?" Dia tersenyum semringah menatapku.

"Heem." Aku mengangguk. "Tapi nanti. Setelah kita resmi bercerai dan rumah ini kita bagi dua hasilnya."

"Dek!" tegurnya dengan sedikit melotot dan memajukan wajahnya padaku.

"Enggak usah ngegas begitu, Bang. Slow aja." Aku spontan menjauhkan kepala. "Sana mandi, Bang! Gosok gigi. Wangi bener." Aku memencet hidung sendiri.

Bang Leon menarik wajah, mencium bau mulutnya sendiri, dan seketika itu pula ekspresinya berubah kecut.

Diih, jorok!

Tanpa banyak bicara lagi, akhirnya Bang Leon pergi meninggalkanku.

"Pakaian kerjanya udah aku siapin di kamar, Bang!" seruku, tapi diabaikannya dan langsung masuk ke kamar mandi yang ada di lantai bawah ini.

Melihat Alva kembali tenang menonton televisi sambil makan biskuit, aku pun kembali ke dapur. Hanya tinggal menuangkan nasi gorengnya ke atas piring saja.

🌸🌸🌸

Tak berselang lama, Bang Leon sudah kembali turun dan langsung menghampiriku yang sedang sarapan dengan Alva di pangkuan.

"Kok, enggak tunggu abang, Dek?" tanyanya sembari menarik satu kursi, lalu duduk.

"Mulai hari ini, Abang harus terbiasa makan tanpaku." Aku meliriknya sekilas. "Lagipula, udah ada Mira, 'kan? Bangunin, dong! Suruh temenin Abang makan dan biasakan dia dengan pekerjaan rumah."

"Dia enggak terbiasa dengan itu semua, Dek."

"Maksud Abang? Abang maunya aku yang tetap ngerjain semua kerjaan rumah, begitu?" tanyaku pelan, tapi penuh penekanan.

"Bukan begitu, Dek. Hanya sampai dia terbiasa aja. Kalau langsung harus dia yang kerjain semua, pasti Mira tambah ngambek. Lagipula, kan dia kerja. Jadi—"

Prak!

Perkataan Bang Leon terhenti saat mendengar suara sendok kuletakkan dengan kasar di meja.

"Aku memang enggak kerja kantoran. Tapi bukan berarti enggak ada kerjaan, Bang!" ucapku tidak terima.

"Iya, Dek. Maksudku bukan begitu. Hanya sampai—"

"Diamlah, Bang. Jangan merusak moodku pagi-pagi begini!" Aku kesal, tapi berusaha tetap memelankan nada bicara karena Alva ada di pangkuan.

Terdengar helaan napas berat darinya. Setelah itu, dia tak berkata apa-apa lagi.

"Dek."

"Apa?" tanyaku tanpa menatapnya.

"Sarapan buatku enggak ada, Dek?"

Aku melirik sekilas, lalu bangkit dari tempat duduk sembari menggendong Alva. Memberikan sepiring nasi goreng dan kopi yang memang sengaja dibuatkan untuknya. Bagaimanapun juga, status Bang Leon masih suamiku. Aku masih harus melayani semua kebutuhannya.

"Terima kasih, Dek." Dia tersenyum lebar yang hanya kujawab dengan anggukan, lalu kembali duduk dan melanjutkan sarapan.

Baru saja Bang Leon hendak menyuapkan nasi goreng, tangannya terhenti di udara saat mendengar suara cempreng Mira berteriak memanggil. Dia menghampiri kami masih dengan piyama pendek sebatas paha sambil menggaruk kepala.

"Aku lapar," rengeknya saat sudah berdiri di samping Bang Leon.

"Nasi gorengnya masih ada 'kan, Dek?" tanya Bang Leon yang membuat darahku kembali mendidih.

"Memangnya aku pembantu kalian?" balasku dengan tatapan sinis. "Kalau lapar, masak aja sendiri! Punya tangan, kan? Jangan manja dan jadi pemalas! Kamu udah jadi istri Bang Leon sekarang. Dan sebentar lagi akan jadi satu-satunya. Biasakan melayani dan menyiapkan semua kebutuhan dia!"

"Dek! Maksud kamu apa?" Bang Leon menatapku dengan kening berkerut.

"Kurasa Abang sudah tahu maksudku tanpa harus dijelaskan lagi," sahutku santai, lalu kembali menikmati sarapan tanpa peduli keduanya.

"Aku 'kan cuma minta sarapan, Bang. Kenapa malah dimarahin begini?" adunya dengan nada memelas sembari mengempaskan pantat di kursi lain.

Eeww! Sok merasa jadi yang tertindas. Padahal, yang kukatakan itu benar. Dasar!

"Sudah, jangan sedih begitu. Apa yang dibilang kakak madumu itu ada benarnya juga, kok."

Kakak madu? Enak saja! Aku bukan madu, tapi lebahnya. Siap-siap saja kalian berdua aku sengat!

"Kita sarapan bareng aja. Ini juga banyak, kok, nasi gorengnya."

Aku melirik sekilas. Mira tersenyum senang sembari mengangguk.

"Suapin," rengek Mira. Sekilas tatapan mata kami bertemu dan kulihat dia menyunggingkan senyum sinis.

Apa dia pikir aku akan cemburu? Diih, pede sekali kamu, Maemunah!

"Iya, tapi jangan cemberut lagi. Sumpek pagi-pagi udah dicemberutin."

Aku mengerling malas mendengar jawaban Bang Leon. Untung saja nasi gorengku sudah habis. Segera kuteguk air minum, lalu menyimpan piring kotor di wastafel.

"Hati-hati, Bang. Tadi nasi gorengnya sengaja kumasukkin obat pencuci perut," ucapku sembari berlalu pergi.

"Dek!" serunya di belakang sana. "Serius ini kamu kasih obat pencuci perut?"

Aku mengedikkan bahu tanpa menoleh sama sekali.

"Dek!" serunya lagi, tapi tetap tak kugubris.

Aku terkikik pelan dengan Alva yang sama-sama ikut tertawa seolah dia paham saja.

🌸🌸🌸

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Retno w
kebanyakan omong...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 129–Forever and Ever

    Hari yang dinanti akhirnya tiba. Niat awal memang ingin melahirkan secara normal lagi, tapi ternyata tidak memungkinkan. Kali ini, dokter menyarankan agar menjalani operasi caesar demi keselamatanku dan bayinya. Akhir-akhir ini, tekanan darahku sering tidak stabil dan cenderung tinggi. Sampai Mas William dan orangtuanya panik sendiri takut terjadi apa-apa padaku.Aku pun tak bisa keras kepala. Jika memang melahirkan secara caesar adalah jalan terbaik, maka akan kulakukan.Tanggal sudah ditentukan dan kini semua persiapan sudah selesai. Jujur, aku sangat gugup karena ini pertama kalinya akan menjalani operasi. Bahkan kedua tanganku sampai gemetar, tapi Mas William dan orangtuanya selalu ada untuk menguatkan dan menenangkan."Dengar." Mas William menangkup lembut kedua pipiku. "Ada mas di sini. Enggak akan terjadi apa pun padamu atau bayi kita. Ok? Kamu harus rileks. Jangan sampai tensi kamu naik terus. Hm?"Aku mengangguk dan mencoba mengatur pernapasan."Berdoa, ya, Nak." Mama mengusap

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 128–Menjauhlah dari Kami

    Semua file bukti kebohongan Claudia sudah kusiapkan dengan baik. Ini juga berkat bantuan Mas Firman —asisten pribadi Mas William— yang diam-diam bantu menyelidiki. Memang aku sengaja tak memberitahu Mas William soal rencana ini. Saat itu, dia sedang banyak pikiran dan sibuk mengurus bisnis. Sampai-sampai dengan mudahnya memberikan uang tanpa berpikir dulu.Maka dari itu, biarlah kuman kecil seperti Claudia kutangani sendiri. Suami istri memang harus saling bahu membahu termasuk dalam membasmi bibit-bibit penyakit dalam pernikahan."Permisi, Bu."Aku menoleh pada Bi Yatmi yang berdiri di depan pintu yang memang terbuka lebar. Kuletakkan lipstik, lalu berdiri dan berjalan menghampirinya."Ya, Bi.""Tamunya sudah datang, Bu."Aku tersenyum. "Persilakan masuk dan sajikan minum.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk paham, lalu kembali ke lantai bawah.Aku berjalan ke kamar Hafsha untuk memanggil Mas William yang sedang bermain bersamanya. Hafsha sempat merengek minta ikut, tapi berhasil kubuju

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 127–Panas?

    Selama makan di restoran, hanya aku dan Mas Williamlah yang berbincang. Claudia bak makhluk tak kasat mata yang tidak diakui kehadirannya. Dia menyantap makan siang dengan wajah masam sambil sesekali melirik pada kami yang duduk di hadapannya."Enak?"Aku mengangguk dan tersenyum. "Coba, deh, Mas."Mas William membuka mulut menerima suapan dariku, lalu tersenyum."Enak, kan?" Aku terkekeh kecil."Iya. Kamu mau coba punya mas enggak?""Mau, dong."Kini giliran aku yang tersenyum menerima suapan darinya beberapa kali. Setelah menghabiskan menu utama, kini aku tengah menikmati es krim strawberry. Sementara, Mas William sedang menikmati minuman sodanya sambil memandangiku."Ada es krim nempel." Mas William mengusap sudut bibirku dengan ibu jari. "Manis," imbuhnya setelah menjilat ibu jari sendiri.Aku tertawa kecil. "Manis, dong, Mas. Namanya juga es krim.""Iya. Semanis yang lagi makan esnya." Mas William mencubit gemas hidungku."Eh? Mau ke mana, Claudia?" tanyaku saat melihatnya beranj

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 126–Kerikil Kecil

    "Kamu meragukanku?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut. Aku tersenyum, lalu mendekat padanya yang berdiri di dekat meja rias. "Aku percaya padamu, Mas. Sangat percaya," kataku sembari membantu membukakan kancing kemeja. "Terus, kenapa malah menyetujui permintaan Claudia? Kamu sungguh ingin mas menikahinya?" Tersirat ada kekecewaan dari sorot matanya yang membidikku. Kutangkup kedua pipinya lembut seraya menatap lekat. "Apa aku terlihat tipe wanita yang rela berbagi, hm? Mas William menyentak napas kasar, lalu menyentuh satu tanganku di pipinya. "Mas takut kamu terhasut ucapan Claudia, Sayang. Mas enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya." Aku tersenyum. "Itu enggak akan terjadi. Enggak akan kubiarkan batu kerikil menghancurkan pernikahan kita." "Terus untuk apa kamu minta dia datang lusa nanti?" "Mas percaya padaku?" Dia mengangguk. "Kalau begitu, ikuti saja semua arahan dan perintahku tadi. Cukup ikuti sandiwara yang sudah kubuat ini. Ok, Suamiku?" Mas

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 125–Sebuah Rencana

    "Temani Hafsha dulu, ya. Mama mau temui tamunya," pintaku pada Alex yang dijawabnya dengan anggukan.Aku berjalan keluar kamar Hafsha bersama Bi Yatmi untuk menemui tamu yang datang. Seorang wanita yang memakai kemeja putih dipadukan blazer abu tengah duduk di ruang keluarga. Dia menoleh dan terlihat mengubah posisi duduk saat menyadari kehadiranku."Tolong buatkan minum, ya, Bi.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk dan pergi ke dapur.Wanita ini tersenyum canggung dan hendak berdiri, tapi aku kembali mempersilakannya duduk. Namanya Claudia —sekretaris Mas William yang sudah dipecat."Silakan diminum," ucapku padanya ketika Bi Yatmi menyajikan minuman di meja."Terima kasih." Dia meneguk minumannya sedikit.Dari gelagat yang terlihat gelisah saja, aku sudah tahu maksud kedatangan dia apa. Bahkan, aku sudah bersiap dengan apa yang akan dikatakannya sekarang."Pak Williamnya ada?" Dia mulai membuka percakapan."Enggak usah basa-basi. Kamu pasti sudah tahu suamiku itu sibuk. Kamu datang ke s

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 124–Peresmian

    "Hati-hati!" ucapku setelah Alex mencium punggung tanganku dan Mas William.Alex mengangguk, lalu naik ke mobil. Sesekali dia memang diantar sopir, tapi tak jarang juga diantar Mas William."Jangan lupa kabarin mama atau Papa kalau ada sesuatu, ya," pesanku sebelum mobilnya melaju keluar halaman.Alex mengangkat satu jempol dan melambaikan tangan pada Hafsha yang tersenyum ceria pada kakaknya."Mas enggak ke kantor?" tanyaku saat kami tengah berjalan masuk lagi."Enggak. Kan, hari ini ada peresmian usaha baru, Sayang. Restoran. Lupa, ya?""Oh, iya. Maaf, Mas. Lupa.""Dasar." Dia tersenyum seraya mencubit gemas pipiku yang lebih berisi ini."Jam berapa Mas berangkat?""Jam sepuluh. Nanti kamu dan Hafsha ikut, ya?" ujarnya setelah kami duduk di sofa ruang keluarga."Boleh?""Ya jelas boleh, dong, Sayang. Malah kamu wajib hadir." Mas William merangkul dan mengusap-usap lenganku."Aku boleh ikut juga, Pah?" tanya Hafsha yang duduk di pangkuannya."Uhm– boleh ikut enggak, ya?" Mas William

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status