Apa yang Erlan sampaikan di kelas tadi pagi, membuat Rania meradang. Sungguh, ia ingin tahu alasan kenapa Erlan menjadi Ketua OSIS tanpa sepengetahuannya?Rania menarik Erlan untuk pergi ke halaman belakang di jam istirahat. Dia sudah telanjur malu. Tidak peduli, jika nanti ada yang memergoki dirinya sekalipun. "Lu, mau ngajak gue kemana?" tanya Erlan santai, tanpa emosi, bahkan tidak memberontak ketika Rania menarik tangannya."Entar juga lu, tau sendiri!" jawab Rania ketus, tanpa menoleh.Erlan mengangguk pelan. Tak lagi bertanya.||•||Rania membawa Erlan masuk ke kelas yang sudah tak terpakai. Area ini sepi, terbilang jarang sekali didatangi. Kecuali jika ada hal yang mengharuskan mereka untuk datang ke sana.Erlan berdiri santai, melipat kedua tangannya di dada, memandangi istrinya yang dipenuhi kemarahan."Ngapain lu ngajak gue ke tempat yang sepi kayak gini? Kenapa kita enggak kumpul aja di lapangan? Mereka sudah menunggu gue untuk memberi kata sambutan," ucapnya penuh percaya
"Apa?" Desi buru-buru menghampiri Erlan. "Apa tadi kata kamu? Tumben, kamu ngomong kayak gitu ke Rania? Kamu enggak lagi demam kan?" Desi menempelkan telapak tangannya di kening Erlan. Mencoba untuk mengecek suhu tubuh putra kesayangannya. "Mommy, apaan si? Enggak udah lebay gitu. Biasa aja, Mom." Erlan sedikit berdengus kesal, sembari menarik tangan Desi. Reaksi Mommynya terlalu berlebihan."Mommy, enggak lebay, Sayang. Cuma heran aja. Kaget gitu. Enggak ada ujan, tiba-tiba sikap kamu manis gitu ke Rania. Biasanya, kamu bakalan marah-marah kalau Mommy bilang, Rania itu istri kamu."Desi pun menarik kursi, lalu duduk tepat di samping putra semata wayangnya itu. Dipandanginya terus menerus, mencoba untuk mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi kepada putranya?Erlan menghela napas panjang. "Kemarin, Erlan marah ke Rania, reaksi Mommy gitu. Sekarang pas Erlan baik, sikap Mommy seolah-olah enggak percaya."Erlan menggerutu kesal dan sorot matanya mengarah pada Rania yang berdiri mem
Sementara itu, di tempat terpisah. Leni, sedang berada di ruangan Desi, tertunduk, tak berani menatap Desi secara langsung."Bu, saya izin pulang duluan. Biasa, saya harus mengurus adik saya, Bu," lapor Leni, penuh kehati-hatian.Desi mengangkat kepalanya. "Iya. Kamu boleh pulang." Dia tersenyum lembut, tanpa sedikitpun kecurigaan. "Hati-hati di jalan. Salam buat adik kamu.""Iya, Bu. Terima kasih. Nanti saya akan sampaikan salam Bu Desi kepada Adik saya."Desi mengangguk paham. Begitu juga dengan Leni. Dirasa urusannya telah selesai, Leni pun segera melenggang pergi dari ruangan tersebut.Jika dibandingkan dengan staf yang lain, hanya Leni saja pulang lebih awal. Dikarenakan dia harus mengurus rumah dan adiknya yang masih duduk di bangku sekolah SMP.Leni tampak berjalan meninggalkan butik milik Desi. Sementara itu, dari jarak lima puluh meter dari butik, Aldo dan Rangga sedang mengintai.Dua pemuda ganteng penuh pesona itu, mendapat perintah dari Erlan, untuk memantau gerak gerik L
"Ayo, pulang bareng gue!" tegas Erlan, disertai tatapan tajam. Tangan kanannya mencengkram pergelangan tangan Rania."Enggak!""Gue, enggak mau pulang bareng lu!" Rania menarik tangannya dengan kasar, sekuat tenaga, sehingga bisa lepas dari cengkraman Erlan."Gue, bakalan pulang bareng Pak Ravi!" tegasnya, lalu meraih tangan Ravi dan menjauh dari Erlan.Tepat detik itu juga, waktu seakan berjalan lambat. Erlan bisa merasakan dan melihat, bagaimana Rania melepaskan tangannya, lalu meraih tangan pria lain tepat di depan matanya.Perasaan aneh, menerobos dengan kuas, masuk ke dalam hati kecilnya.Mungkinkah itu rasa cemburu?Mungkin juga perasaan marah. Marah karena wanitanya rela pergi dengan pria lain, tepat di depan matanya."Ayo, Pak!" ajak Rania, sembari menunjukkan senyuman sinis terhadap Erlan. Ravi tersenyum simpul, "baik. Mari!" Tentu ia bersemangat dalam hal ini. Bisa dikatakan, sangat menanti. Namun, sebelum Rania bisa melangkah lebih jauh, Erlan kembali meraih tangannya."L
Rania kembali ke kelas. Ingin rasanya ia pergi dari sekolah ini, bila perlu pindah dari planet Bumi, menetap di planet lain jika memungkinkan agar bisa jauh dari tatapan mereka, yang menatapnya heran. Berulang kali, Rania menghela napas panjang. Dia berjalan menuju tempat duduknya. Eva dengan setia menemani. Namun, gadis cantik delapan belas tahun itu, memiliki jutaan pertanyaan yang terus mengusik pikirannya."Lu, enggak apa-apa kan, Ran?" tanya Eva memastikan. Tampak oleh netranya, Rania terus saja menundukkan kepala. Menyembunyikan wajahnya, dari semua pasang mata. Eva menyentuh bahu sahabatnya. Rania berusaha untuk menunjukkan senyuman yang sangat dipaksakan."Gue enggak apa-apa," jawabnya, berusaha tenang dan bersikap biasa-biasa saja, seolah apa yang baru saja terjadi, tidak pernah ada."Gue tahu lu, Ran. Gue bisa ngerasain apa yang saat ini lu rasain. Gue siap buat dengerin semua cerita lu, Ran.""Thanks, Va, tapi gue beneran, baik-baik aja kok," jawab Rania, kemudian memali
Rania dan Eva akhirnya berdiri di pinggir lapangan basket. Sorot mata Rania tidak bisa lepas dari sosok pemuda sembilan belas tahun, berstatus suaminya itu. "Ran, kok gue takut kalau Erlan bakalan bikin si Andri kenapa-kenapa?" bisik Eva, tanpa bisa menyembunyikan kecemasannya, saat melihat sorot mata Erlan yang begitu tajam."Bukan lu aja yang gemas. Gue juga ikut takut. Lu, mungkin belum kenal Erlan gimana, tapi gue udah kenal watak dia. Mungkin dari luarnya aja, kelihatan kalem, tapi aslinya enggak sekalem yang terlihat."Helaan napas, lolos begitu saja dari mulut Rania. Eva menaikkan sebelah alisnya, mencoba mengartikan maksud ucapan Rania secara detail.Sementara itu. Erlan dan Andri sudah saling menatap tajam satu sama lain. Para gadis terus bersorak, menyebut nama Erlan. Tidak sedikit juga yang memberi semangat kepada Andri."Lu, maju duluan," ucap Andri penuh percaya diri.Erlan menyeringai kecil. "Mending lu aja yang duluan. Gue takut, kalau gue duluan, lu bakalan tumbang du