LOGIN"Asih, kau ... sudah tahu soal itu?" Kata-kata itu membuat Asih membalas tajam tatapan Mariana, lalu mengangguk tegas. "Maafkan Bayu, As. Dia tidak sengaja. Saat itu dia —""Mungkin waktu kejadian, memang tidak sengaja, Bu. Tapi menutupi kebenaran sampai sekian tahun, apakah termasuk 'ketidak sengajaan'?" balas Asih dengan dada naik turun. Terlihat jelas, dirinya berusaha menahan amarah. Bayi dalam dekapan, menangis keras. Seakan merasakan perasaan sang ibu dan hawa menegangkan di sekitarnya. Asih berusaha menenangkan, mengusap punggung mungil itu penuh sayang hingga si anak tertidur. Mariana membuka mulut, namun Asih lebih dulu meliriknya, kemudian menatap pintu kamar yang tertutup. "Tapi, As. Saya mohon, maafkan Bayu. Dia tak sepenuhnya bersalah. Sekarang pun dia sudah menanggung akibat dari perbuatannya, tolong maafkan Bayu." Lagi-lagi, Mariana memohon, namun balasan Asih membuat wanita itu terdiam tak berkutik. "Bu, saya memang pernah mencintai Mas Bayu. Namun kenyataannya,
"Kamu? Untuk apa ke sini?"Di ambang pintu, berdiri Rosma -istri mendiang Hartono. Wanita itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas dan memperlihatkan pada pasangan suami istri di hadapannya. Mariana terpekik, dengan cepat tangannya menutup mulut. Sedangkan sang suami menggeleng, tangannya bergetar hingga kertas di tangan hampir saja terlepas. "Polisi sedang melacak anak semata wayang kalian, dan tentu saja, semua bukti sudah kuat untuk menjebloskan putra mahkota Wijaya Group ke dalam sel yang dingin dan menyeramkan." Setelah berkata demikian, Rosma balik badan dan berlalu pergi, meninggalkan kedua tuan rumah yang masih syok atas berita tersebut. Mereka cepat masuk, Wijaya meraih ponsel, kembali menghubungi sang anak yang belum juga direspons. "Ke mana anak itu? Apa polisi sudah meringkusnya?" Wijaya mengacak rambutnya kesal, sementara sang istri hanya duduk dengan tatapan kosong. Nun jauh dari tempat kedua orang tuanya, Bayu baru saja meninggalkan kampung di mana Asih tinggal. Be
Pintu terbuka pelan, sesaat setelah Bayu mengetuknya. Seorang wanita dengan rambut perak dan wajah keriput, tersenyum dan bertanya dengan nada sopan dalam bahasa Jawa yang halus. "Ngapunten, njenengan pados sinten nggih?" (Maaf, Anda cari siapa ya?)Bayu terdiam sesaat, lalu melirik ke dalam, berharap yang dicari datang. Namun pertanyaan yang diulang, membuat pria tersebut cepat menjawab dengan suara terbata. Tuan rumah mengangguk, tak segera masuk memanggil, tapi menatap si tamu dengan tatapan penuh selidik. Bayu yang biasa mampu membuat orang lain mati kutu di hadapannya, kini berbeda. Justru dia yang dibuat demikian, meskipun penampilannya masih rapi dengan setelan jas dan sepatu mengkilap. Tak lama kemudian, tuan rumah berbalik masuk. Terdengar tangis bayi sesaat dan tak lama setelahnya, muncullah wajah yang Bayu nantikan selama ini. "Mas Bayu?" Seketika mereka saling mematung, diam saling tatap lalu refleks Bayu mengulurkan tangan dengan mengulas senyum. Dadanya bergemuruh,
Bayu Wijaya duduk tenang di balik meja kerjanya. Sesekali dia bersiul kecil sembari memutar pena di antara jemari. Senyum simpul terlukis di sudut bibir, kala sebuah email masuk terpampang di layar laptop yang masih menyala. Satu per satu kata dan kalimat dibacanya dengan hati-hati. Di sana, dalam pesan yang baru saja datang, Wijaya Group meraih keuntungan dari beberapa proyek besar dan juga berhasil menyingkirkan Alam Sutra dari daftar proyek tersebut."Kau kalah, Hartono!" geramnya dengan tangan terkepal kuat di atas meja. Sementara pintu diketuk seseorang, membuat Bayu cepat menutup pesan tersebut dan berpura-pura sibuk dengan pekerjaan.Dion, asisten yang sudah lama membantunya, berdiri menghadap dengan sikap hormat. Dia menyerahkan sebuah berkas berisi daftar pemilik tanah yang akan 'dibeli' oleh Hartono. Namun, Bayu terdiam sesaat ketika sebuah nama tercetak jelas di sana. "Wijaya Group?" Dion mengangguk, lalu menjelaskan bahwa Hartono telah memakai nama tersebut sebelum dia
Tepat tujuh hari setelah kelahiran putranya, Asih kedatangan tamu di waktu malam. Selepas isya', pintu rumah diketuk seseorang, diiringi salam dari suara yang cukup familiar di telinga Asih. Dengan perlahan, Asih meletakkan sang anak di tempat tidur dan beranjak membuka pintu."As —" "Mas —"Suara mereka menggantung di udara. Namun dengan cepat Asih menguasai keadaan, dia meminta sang tamu duduk di luar, mengingat kakek neneknya tengah menghadiri acara di rumah tetangga. Asih masuk menuju dapur, membuatkan secangkir kopi dengan takaran yang sama, tak pernah berubah. Sembari membawa nampan berisi suguhan untuk tamunya, Asih melirik sekilas ke kamar, di mana anaknya masih terlelap. Dalam hatinya, Asih terus meminta agar salah satu dari orang tua itu segera pulang, dia tak ingin orang berpikir macam-macam meskipun yang datang adalah bapak dari anaknya sendiri. "Monggo, Mas." Asih mempersilakan Aryo untuk menikmati minumannya. Ba
Asih melalui hari-hari di rumah neneknya dengan hati berdebar. Usia kandungan yang memasuki bulan ke-sembilan, membuatnya semakin tak leluasa untuk bergerak. Nek Ijah dan suaminya berulang kali mengingatkan agar Asih lebih banyak istirahat, namun sebagai orang yang dari kecil selalu mandiri bahkan hingga dia menikah pun, membuat Asih melakukan segala hal sendiri. Terlebih saat melihat kondisi kakek neneknya yang sudah renta. Saat ini, Asih sudah berdiri di antara para ibu-ibu yang mengantri sayur. Meskipun hasil dari kebun kakek selalu ada, namun keperluan lain seperti garam dan penyedap hanya ada di tukang sayur keliling. Untuk ke pasar hanya membeli itu saja, dirasa memakan waktu karena letak pasar yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka. "Nduk, kamu cucunya Mak Ijah ya? Kapan ke sini?" Dua orang wanita mendekat dengan senyum tulus -setidaknya itu yang Asih tangkap dari ekspresi mereka. Asih menjawabnya dengan sopan, mengangguk dan balik bertanya sekadar bas







