LOGINSehari sebelum hari pernikahan.
"Yang Mulia, apakah ini harus dilakukan?" tanya penasihat kerajaan.
Pejabat istana dan beberapa bangsawan berkumpul di ruang rapat istana. Mereka meminta penjelasan Raja Ditrian.
"Kita tidak tahu apa niat Baginda Kaisar hingga beliau menikahkan Anda dengan ...," ucapan penasihat terhenti. Semuanya paham.
"Titah Baginda Kaisar adalah perintah dari langit. Perintah dari para dewa. Jika kita mengabaikannya, bisa terjadi hal yang buruk," balas Raja Ditrian.
"Yang Mulia ... ini akan jadi pernikahan Anda yang pertama. Bisakah Anda menunda pernikahan dengan Putri Sheira? Kami bisa mencarikan Anda perempuan yang lebih baik untuk dijadikan ratu. Dari keluarga bangsawan Direwolf yang baik. Dan-"
"Grand Duke Everon," potongnya. "Dahulu Kerajaan Canideus jatuh pada kekaisaran karena melawan kehendak dewa. Saat kakek buyutku menolak melaksanakan titah kaisar, gempa bumi hebat juga terjadi di kerajaan ini."
Seakan sebuah pengetahuan ilahiah yang umum bahwa anggota keluarga kekaisaran telah mendapat berkat dari Para Dewa secara cuma-cuma. Seakan ... dewa-dewa terdahulu yang memberkati para Direwolf telah mencampakkan mereka. Entah sebuah kebajikan apa yang telah dilakukan leluhur para manusia sehingga Para Dewa berpihak pada manusia-manusia lemah itu.
"Tetap saja, Yang Mulia. Putri Sheira von Stallon itu sudah tidak punya apa-apa, kecuali gelar kebangsawanannya saja. Bahkan Yang Mulia sendiri yang membunuh kakaknya, Raja Reghar von Stallon."
"Betul, Yang Mulia. Kerajaan mereka sudah runtuh dan dikuasai kekaisaran. Perempuan itu tidak punya kekuatan politik apapun. Anda menikahi wanita yang bukan siapa-siapa. Mohon maaf Yang Mulia ... saya rasa ini bukanlah sebuah hadiah untuk Anda."
"Aku juga tidak akan menempatkan Putri Sheira di pemerintahan. Dia hanya selir. Bukan begitu Lady Emma?"
Seorang wanita Direwolf paruh baya mengangguk. Rambutnya berwarna hitam diikat rapi, senada dengan telinga anjing kecil hitam yang terkulai di kepala. Ada beberapa uban di sana. Gaun biru sederhananya kontras dengan pakaian para bangsawan. Mungkin ini juga pertama kalinya ia berada satu ruangan dengan para bangsawan, raja, dan pejabat kerajaan. Berdiskusi tentang pernikahan raja mereka dengan putri dari negeri jajahan.
Dialah Lady Emma sang kepala dayang. Pertama kalinya setelah sekian puluh tahun mendiang ratu meninggal. Akhirnya akan ada perempuan baru yang ia layani.
"Benar, Yang Mulia. Seorang selir hanyalah selir. Bahkan jika Yang Mulia memiliki anak dari seorang selir, anak itu tidak akan pernah bisa menjadi pewaris kerajaan. Atau menerima hak-hak sebagai pangeran atau putri kerajaan."
xxx
Setelah semua perdebatan itu, ia menikahi seorang perempuan asing. Entah siapa. Kini, setelah bertahun-tahun lamanya, ia memiliki seorang istri. Wanita yang harus ia nikahi karena titah Kaisar Julius.
Titah kaisar. Artinya perintah itu tidak bisa dipertanyakan apalagi ditolak. Seorang kaisar hanya bisa memberikan sepuluh titah seumur hidupnya. Membayangkan Kaisar Julius menggunakan salah satu kesempatan dalam hidupnya untuk Raja Ditrian. Entah harus merasa terhormat, atau merasa dijebak.
Dalam titahnya, Kaisar Julius menyebut, memberi hadiah kehormatan untuk Raja Ditrian von Canideus karena telah mengalahkan Kerajaan Galdea. Kerajaan yang berabad-abad menjadi musuh kekaisaran. Kaisar memberinya wilayah Galdea Timur yang luas, dan seorang putri untuk dinikahi.
Tidak ada yang tahu akan seperti apa. Semua orang telah menyiapkan pesta sambutan. Raja Ditrian juga memakai baju terbaik untuk menghormati kedatangan calon istrinya.
Namun yang datang padanya hari itu adalah sebuah penghinaan.
Raja Ditrian tidak punya pilihan. Itu adalah titah kaisar. Perintah para dewa dari langit. Dia juga tak ingin orang-orangnya menderita hanya karena dirinya menolak sebuah pernikahan yang sepele.
Mata emasnya menatap lurus. Perlahan Ditrian membuka pintu pohon ek yang tinggi. Kamar selir barunya. Seisi ruangan remang, tetapi ia bisa melihat sosok wanita itu. Duduk di bibir kasur seolah tengah menyambutnya. Pakaiannya sudah berganti dengan baju tidur sutera putih tipis. Rambut emasnya tergerai. Wajahnya sama seperti tadi pagi.
Jelek dan memuakkan.
"Selamat malam Tuan Putri," sapa Ditrian tenang.
Tentu saja bukan nafsu yang meliputi benak pria itu. Yang benar saja!
Hanya sebuah rasa penasaran yang begitu megah. Penasaran lelaki yang baru pertama kali memiliki seorang istri. Penasaran bagaimana wanita itu bisa berakhir di sini. Penasaran seperti apa wanita ini. Mereka bahkan belum berbicara satu sama lain.
Putri Sheira menjawab dengan sebuah anggukan.
Ditrian melangkah mendekat. Ia bisa semakin jelas melihat wajah aneh dan buruk rupa wanita itu. Kali ini rautnya takut.
Ditrian ikut duduk di bibir ranjang, mungkin jaraknya satu kaki.
"Tuan Putri, kita suami istri sekarang," ucap Ditrian dengan sopan.
Anehnya itu justru membuat sang putri semakin gusar. Kedua tangannya bertaut begitu erat. Ditrian bisa melihat.
Bukankah ... seharusnya Ditrian-lah yang merasa tidak nyaman? Bagaimana menikmati malam pertama dengan perempuan berwajah kuda seperti dia? Bahkan baru kali ini ada wanita yang risih berada di dekatnya. Sudah untung dia mau datang ke kamar ini! Tunggu ... apakah mungkin beginilah sebuah standar kecantikan yang dimiliki mereka yang tinggal di Galdea sana? Apa semakin tidak 'normal' bentuk wajahnya itu malah dianggap cantik? Untunglah Ditrian tidak sampai hati menyemprotkan segala pertanyaan itu pada istri barunya. Dia adalah seorang pria bangsawan Direwolf yang bermartabat dan tahu sopan santun!
Ditrian mengernyit. Ia menghela nafas lalu bangkit.
"Aku tidak akan 'melakukannya' jika kau tidak mau," ucap Ditrian datar.
Ia lalu menggeser sebuah kursi di sana dan meletakkannya di samping ranjang, di depan Sheira duduk. Kemudian pria itu duduk berhadapan dengannya. Sheira pun bingung. Hingga akhirnya ia mendongak dan benar-benar memperhatikan pria itu.
Begitu rupawan, dengan baju tidur satin berwarna biru muda. Ada sedikit luka mengintip di dada. Bekas perang atau apa. Tatapannya begitu tenang. Yang paling menarik perhatian bagi Sheira adalah telinga anjing berwarna hitam di kepala pria itu. Bergerak-gerak sesekali. Kecil dan seperti tenggalam di rambutnya yang kelam.
Ia terus menatap telinga itu dengan mata peraknya. Kagum. Seperti anak kecil buta yang baru bisa melihat pelangi.
"Apa Tuan Putri baru pertama kali melihat Direwolf?"
"Maaf, Yang Mulia. Memang benar, ini pertama kali dalam hidupku melihat seorang Direwolf. Maafkan atas kelancanganku."
Ditrian terperanjat.
Suara Sheira benar-benar indah. Tak seperti wajahnya. Intonasinya anggun, suaranya bulat dan mendayu halus. Begitu bermartabat. Berbobot. Di saat yang sama, sangat mempesona. Ah ... enak sekali di dengar. Seandainya Ditrian punya pilihan untuk membungkus wajah itu dengan karung, pastilah akan lebih menyenangkan.
Benar-benar seperti seorang putri.
"Tidak apa-apa. Kau bisa memanggilku Ditrian saat kita sedang berdua. Dan ... aku memanggilmu ...?" Ditrian bertanya lagi.
"Sheira, Yang Mu- ah maksudku ... Ditrian," koreksinya cepat-cepat. Ditrian tersenyum.
"Kita baru berkenalan setelah menikah. Pasti berat bagimu. Dan ... mungkin kau telah melalui banyak hal hingga sampai kemari."
"Ya ... itu benar," jawab Putri Sheira lirih. Ia tertunduk pahit, lalu meremas rok gaun tidur putihnya. Ia tertunduk sejenak, nafasnya tercekat. Di pelupuk matanya mulai berkaca.
Wanita itu menajam, perlahan ia mendongak menatap Ditrian dengan sebuah rasa nyeri yang mungkin tak bisa ia pahami. Meski terlihat kesakitan, tersirat keraguan sedikitpun dari sorot matanya. Tatapannya pada Ditrian tiba-tiba berkobar dipenuhi sebuah rasa marah dan kecewa yang tidak diketahui oleh Ditrian apa sebabnya. Sebuah rasa sakit dan murka yang beraduk menyatu. Seolah ia memang ingin Ditrian tahu dia benar-benar melalui banyak hal.
Mereka berdua bungkam. Ditrian merasa aneh. Sheira yang takut, malu, pendiam sudah tidak ada lagi. Apa karena ia memperbolehkan memanggil namanya saja?
Ditrian lekas membaca suasana itu. "Mungkin sebaiknya kita sudahi saja dan lekas tidur. Kita lakukan lain wak-."
"Apa kau yang membunuh kakakku? Raja Reghar?" potongnya.
Wajah buruk rupanya yang pilu menanti, seolah ia sudah menunggu-nunggu saat dirinya berhadapan dengan Ditrian. Ditrian merasa sedang diacungkan belati oleh wanita ini. Senyum kecil Ditrian, sirna.
"Apa kau yang telah menghancurkan kerajaanku? Kerajaan Galdea?" tanyanya lagi.
Ditrian diam. Hanya bisa menatap mata perak wanita itu.
"Mengapa kau tidak membunuhku saja sekalian?" suara lembutnya yang mendayu bergetar. Ia sudah tak kuasa lagi.
Seketika Ditrian bangkit. Ia berdiri sejenak. Sebuah perasaan yang sangat aneh menyelimuti relung hatinya. Bukan takut, bukan iba, bukan juga marah.
"Istirahatlah," ucapnya dingin.
Dengan langkah yang besar, ia berbalik dan menuju ke pintu pohon ek. Ia berhenti di sana sambil memegangi gagangnya. Lalu ia menoleh ke belakang. Menatap Sheira dari jarak itu.
"Itu benar. Aku yang membunuh Reghar. Aku yang menghancurkan kerajaanmu. Kau tahu kenapa aku tidak bisa membunuhmu? Karena kau istriku. Aku sudah bersumpah di hadapan para dewa. Apa kau paham betapa sulitnya aku
menikahimu?"Sheira masih menatapnya.
"Kau hanyalah sebuah upeti dari kaisar. Selamat malam."
Ditrian keluar dari kamar itu dan membanting pintu tinggi pohon ek.
'Keluarganya kubunuh. Rumahnya kuhancurkan. Dan aku menikahinya.'
Rasa sulit yang ia rasakan ... itu rasa bersalah. Dia tahu bahwa Sheira berhak membencinya.
Ditrian telah menceritakan segalanya. Soal pernikahannya, soal Evelina. Ia membawa kembali Sheira ke ibukota. Sedangkan Everon, dengan berat hati ia patuh untuk tetap membangun wilayah Galdea Timur dan menetap di sana. Everon patah hati. Namun ... dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.Sementara itu, di antara kemelut dan tragedi meninggalnya Evelina von Monrad dan Duke Gidean von Monrad di dalam istana, pernikahan mereka tetap dilaksanakan. Sheira von Stallon telah dinobatkan menjadi ratu dari Kerajaan Canideus. Kemudian Fred yang telah dibebaskan menyelidiki penyebab tindakan bunuh diri dan dari mana Evelina mendapatkan ramuan sihir pencekik itu. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukanlah bahwa ini ada campur tangan dengan Kaisar Alfons. Termasuk ketika anak dalam kandungan Sheira gugur. Duchess Anna yang telah kehilangan kewarasannya selalu mengatakan hal itu berulang-ulang, berkali-kali dengan sumpah serapah."Apakah bagi Anda ini adalah masalah pribadi, Raja Ditrian?"Ditrian meng
Padang rumput di sini begitu luas dan tenang. Lebih indah daripada yang ada di kerajaan Canideus. Sepuluh orang ksatria Direwolf menyertai Raja Ditrian von Canideus.Raja yang telah dengan sengaja membatalkan pernikahannya sendiri. Mereka berangkat subuh-subuh, berangkat diam-diam dari istana tanpa membuat keributan, tanpa seorang pun tahu akan kepergian mereka. Meski pun begitu, Ditrian sudah meninggalkan surat perintah pembatalan pernikahannya. Mereka kini beristirahat di tengah perjalanan menuju ke Galdea Timur.Seorang di antara mereka menghampiri Ditrian. Ia menyerahkan sebuah surat."Yang Mulia ... ada pesan dari istana."Ditrian membuka gulungan surat itu. Pastilah burung merpati dari istana terbang menyusul rombongan mereka.Sebuah kabar yang mungkin tak diduga oleh Ditrian. Sudah tiga hari ia dan rombongannya meninggalkan istana. Katanya, Evelina von Monrad, Regina istana meninggal bunuh diri meminum racun. Duke Gidean von Monrad wafat karena mengalami sakit jantung. Duchess A
Para bangsawan sudah bersuka cita. Mereka telah membawa perasaan itu ketika berangkat dari rumah. Meskipun mendadak, kabar pernikahan Raja Ditrian dan Lady Evelina von Monrad, anak Duke Gidean von Monrad yang tersohor akan dilaksanakan. Kabar itu menyebar sangat cepat bagai lumbung gandum yang dilalap api. Mereka sudah bersiap dan duduk dengan khidmat di kursi aula. Dekorasi istana hari ini bernuansa biru tua dan emas. Juga bendera-bendera Kerajaan Canideus yang berlambang serigala menganga sudah dipasang.Di luar istana, rakyat juga tak kalah heboh. Nampaknya seluruh jalanan begitu ramai karena mereka pun ikut merayakannya. Festival-festival dan hiburan rakyat membuat hari ini kian riuh. Pontifex sudah bersiap di altar, hendak memberkati pernikahan mereka berdua.Termasuk Lady Evelina. Ia sudah cantik, mempesona luar biasa. Wajahnya dirias begitu elok. Rambut coklatnya tersanggul menawan dengan sebuah tudung transparan menutupi wajahnya. Ia menggenggam seikat bunga berwarna putih. Dia
Beberapa hari ini Evelina begitu bahagia. Setiap malam, setiap hari, ia selalu bisa melihat Ditrian. Evelina kian terbuai dengan kisah kasih bersama pujaan hatinya itu. Raja Ditrian von Canideus yang gagah perkasa dan rupawan. Ini semua bagaikan mimpi bagi Evelina. Dia tidak pernah mengira jika angan-angannya sejak dulu akhirnya terwujud. Apalagi, mereka selalu bercinta, hingga Ditrian menjanjikan jika suatu hari nanti mereka akan mempunya anak. Evelina pun yakin akan itu. Entah sudah berapa kali mereka melakukannya. Benih-benih dari Ditrian sudah berada di dalam tubuhnya.Setiap malam mereka memadu kasih. Begitu romantis, bergairah dan bernafsu. Ini yang membuatnya semakin tidak akan pernah melepaskan Ditrian. Namun ia juga sadar, jika ini hanyalah sebuah kepalsuan. Evelina paham betul, hal yang begitu hebat mengubah hati Ditrian adalah karena setetes ramuan ini. Ramuan cinta dari Kaisar Alfons. Ia tengah memikirkannya, botol itu yang ada di kotak rahasia berlapis beludru.Botol merah
Langit hari itu sangat cerah. Kepulan awan di atas sana yang berwarna putih begitu indah. Sudah beberapa hari berlalu sejak Everon meninggalkan ibukota. Sejak ia meninggalkan istana dan kemelut politik di kerajaan. Mungkin baru kali ini ia keluar dari huru-hara itu setelah sekian lama. Everon tak ingat kapan terakhir kali kepalanya merasa setenang ini, sehening ini.Di tanah lapang ini, pasukan dan para ksatria Direwolf telah mendirikan tenda-tenda berwarna putih. Ada bendera juga yang tertancap di tenda yang paling besar, tenda miliknya. Bendera itu berlambangkan simbol Kerajaan Canideus dengan latar biru tua dan kepala serigala berwarna emas tengah menganga menghadap kedepan.Everon memerhatikan kesibukan dan lalu-lalang prajurit dan ksatria Direwolf di sekitar perkemahan. Itu membuatnya sedikit lupa jika ia belum benar-benar bisa berbicara dengan pujaan hatinya, Lady Sheira, begitulah kini panggilannya. Ia telah menjadi seorang Viscountess. Gelar kebangsawanan yang biasanya diberika
Di dalam kamar yang hangat dan remang-remang, cahaya lilin bergetar lembut di dinding, menciptakan bayangan yang menari-nari seolah menyaksikan saat penuh asmara yang tengah berlangsung. Raja Ditrian duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi ketegasan dan kelembutan.Di bibir ranjang yang luas ini, mereka sudah duduk saling bersebelahan. Ditrian yang gagah itu hanya mengenakan jubah tidur. Sedari tadi ia mengamati Evelina dari ujung kaki hingga kepala, berbalutkan gaun tidur malam berwarna putih mutiara."Evelina," suara Ditrian dalam, penuh emosi, saat ia meraih tangan Evelina, menggenggamnya dengan lembut. "Setelah segalanya yang terjadi, terimakasih telah setia berada di sampingku. Setelah semua yang kulakukan padamu ... terimakasih kau masih ingin bersamaku. Maafkan aku atas sikap-sikapku dulu."Hati Evelina diselimuti rasa haru, ia nyaris meneteskan air matanya. Evelina menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku selalu mencintaimu bagaimana pun keadaanya, Ditrian.







