LOGINSetelah malam itu, Ditrian sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki ke kamar selirnya lagi. Seolah pernikahan itu tidak pernah terjadi. Ia berusaha tidur tenang seperti bayi setiap malam meski sulit. Ia masih mengingat bagaimana kedua mata perak itu memandanginya begitu terluka.
"Ini tidak adil Yang Mulia!" pekik Viscount Elliot. "Kita sudah mengorbankan banyak hal dan perbekalan agar kekaisaran bisa memenangkan perang. Tetapi kita hanya mendapat wilayah Galdea Timur!"
"Itu adalah titah Baginda Kaisar, Viscount Elliot," ucap Marquess Riven lirih.
"Diam kau! Kau juga tidak melawan saat Kaisar menurunkan titah itu! Kau ini ada di pihak siapa Marquess Riven?!"
"Beraninya Anda mempertanyakan kesetiaanku pada kerajaan!" bantah Marquess Riven pada Viscount Elliot. Buku-buku jari Direwolf tua itu mengerat keras. Kelihatan seluruh urat-urat di lehernya yang sudah keriput, namun bersamaan dengan sebuah geraman murka menunjukkan kedua taring Direwolfnya yang masih tajam. Seakan ruang rapat para bangsawan itu akan menjadi sebuah arena bertarung yang bisa membuat siapapun terluka.
"Sudahlah," ucap Raja Ditrian pasrah.
"Tidak bisa begitu Yang Mulia! Jika kita tak mendapatkan wilayah yang menguntungkan, seluruh kerajaan bisa kelaparan di musim dingin nanti," Viscount Elliot kembali menoleh pada Marquess Riven. "Sekarang kau paham kan apa yang telah kau perbuat, Marquess?!"
"Apa kau benar-benar peduli pada rakyat, atau kau hanya serakah, Viscount?! Semua orang di sini tahu. Kau marah karena tadinya kau yang diminta mengurus pertambangan kan?"
"Setidaknya aku bukan orang yang membawa penghinaan bagi raja! Seperti kau!"
"Diam!" lantang Raja Ditrian membungkam kedua orang itu. Kini mereka hanya bisa menatap nanar satu sama lain dari meja yang berseberangan. Nafas Ditrian memburu, entah mengapa, entah bagaimana, tapi jantungnya berdenyut nyeri begitu singkat saat Viscount Elliot menyebut sosok itu.
"Bukan salah Marquess Riven titah kaisar turun. Bangsawan siapapun yang ada di ibukota kekaisaran bisa saja ditunjuk oleh kaisar untuk menyampaikan titah ini. Dan soal persediaan makanan musim dingin, kita bicarakan hari ini."
xxx
"Aku tak menyangka Viscount Elliot berani berkata seperti itu pada Marquess. Padahal kan gelarnya saja di bawah Marquess. Hhhh ... sepertinya mungkin karena dia merasa sedikit kaya dari Marquess Riven, dia berani bicara begitu," ucap Grand Duke Everon sambil meminum tehnya. Ia kembali bersandar di sofa mewah nan nyaman milik istana. Kedua kakinya kembali bertengger seenaknya di meja kopi.
Kini mereka berdua ada di ruang kerja raja. Ruang di mana Raja Ditrian menghabiskan sebagian besar waktunya. Ukurannya sekitar sepuluh kali sepuluh meter dengan lantai marmer coklat tua. Di samping-sampingnya ditutupi oleh rak-rak berisi dokumen-dokumen penting kenegaraan. Ada perapian juga di dinding sebelah kanan. Di tengah ruang kerja ada satu set sofa merah beludur yang nyaman lengkap dengan meja kopi dari kayu mahoni yang diukir bentuk sulur-sulur daun anggur di tepi-tepiannya. Tempat yang paling disukai Everon.
Di bagian paling ujung tentu saja meja kerja raja. Meja dari kayu pohon ceri yang sangat lebar. Dipernis hingga mengilap. Juga kursi kerja raja dengan sandaran yang tinggi dan diukir sulur anggur juga. Entah sudah berapa Direwolf paling berkuasa menduduki kursi itu.
Di belakang kursi, sebuah pintu kaca sangat besar. Ada balkon di sana. Satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu saat siang hari. Pemandangan langsung ke salah satu bagian taman istana. Jika sedang bosan, Raja Ditrian akan meminum segelas wiski dan bersandar di pagar balkon.
Grand Duke Everon seringkali meluangkan waktu dengan Raja Ditrian seusai rapat partai bangsawan dan istana. Sudah bagaikan rumah sendiri Everon menganggapnya. Ditrian juga sudah dianggap bagai saudara sedarah yang sejak dulu menghabiskan waktu bersama dengannya. Mau diusir pun percuma. Everon hanya akan kembali lagi sesukanya. Ditrian sudah biasa.
"Oh iya. Bagaimana kabar selirmu?" tanyanya sambil menyandar santai pada sofa merah.
"Entahlah," singkat Ditrian. Tangannya sibuk menggores pena bulu pada dokumen di atas meja kerja.
"Aku mendapat rumor-rumor tentangnya," goresan tangan Ditrian sempat terhenti sejenak. Lalu berlanjut. "Kudengar ... dia itu buruk sekali. Bodoh, suka mengamuk, tabiatnya buruk. Katanya sewaktu Reghar naik tahta, dia sampai diasingkan ke Kerajaan Wei. Diasingkan! Kau bisa bayangkan?! Bisa-bisanya dia diasingkan oleh kakaknya sendiri!"
Masih lengang. Ditrian pura-pura tuli.
"Ditrian, apa kau tidak takut? Kau menghancurkan kerajaannya, membunuh kakaknya. Apa kau ... tidak berpikir dia ingin membunuhmu?"
Ditrian meletakkan pena bulunya. Ia kini menatap Everon yang masih duduk santai.
"Menurutmu aku tidak berpikir begitu? Aku sudah meminta Lady Emma untuk mengawasinya. Mau dikata bagaimana pun sekarang dia adalah anggota keluarga kerajaan. Aku tidak bisa sembarangan menyingkirkannya."
Everon mengulum bibirnya. Ia menatap ke langit-langit ruang kerja itu. Sebuah ide yang semalam ia pikirkan betul-betul, begitu saja terlontar. "Kalau kau punya ratu, kau bisa membuangnya kan?"
"Maksudmu?"
"Putri Duke Gidean von Monrad ... mengikuti debutante tahun lalu."
"Dan?"
"Dia menolak lamaran para bangsawan karena menunggumu! Dia sangat memujamu. Pergaulan kelas atas juga ramai membicarakannya. Dia pintar, cantik, anggun, dan mudah bergaul. Persis seperti Duke Gidean. Jika kau menjadikannya ratu, kau bisa mendapatkan kekuatan Duke Gidean juga!"
"Hm ...."
"Dua hari lagi pesta kemenangan. Aku yakin Lady Evelina akan datang!"
xxx
Putri Sheira membungkuk sedikit. "Selamat malam, Yang Mulia," ucapnya sopan.
Lady Emma telah mendandaninya. Gaun mewah biru muda dan perhiasan yang ia pakai tetap tak membantu wajah jelek itu. Ditrian merasa kasihan pada setiap permata di gaunnya. Mungkin akan lebih baik jika Lady Emma memakaikannya cadar. Atau karung.
Mereka berdiri di dekat tirai beludru. Di baliknya sudah ada ratusan bangsawan dan ksatria yang menghadiri pesta kemenangan sore itu.
"Bersikaplah sewajarnya. Kau tidak perlu bicara dengan siapapun," lirih Ditrian. Mereka sudah bergandengan.
"Apa menurutmu aku ingin basa-basi dengan orang-orang ini?" ketusnya. "Tenang saja, aku akan menghilang seperti angin. Kau bahkan tak akan menyadari keberadaanku."
Suara hentakan tombak terdengar dua kali sebelum Ditrian sempat membalas.
"Yang Mulia Raja Ditrian von Canideus dan Putri Sheira von Canideus memasuki ruangan!" seru pengawal.
"Semoga ini cepat selesai," desis Sheira malas.
Musik bernuansa agung dimainkan. Bersamaan dengan terbukanya tirai beludru di hadapan mereka. Sinar lampu ruang pesta begitu benderang seperti matahari. Aula itu telah didekorasi dengan kristal dan bendera kerajaan. Indah. Mewah. Warna merah dan biru tua saling memotong horizontal. Di tengahnya ada bordiran emas bentuk kepala serigala dengan mulut terbuka beserta taring-taringnya. Bendera simbol Kerajaan Canideus.
Mereka berdua melangkah dengan anggun. Dari balkon utama aula pesta, Ditrian bisa melihat semua ksatria dan bangsawan dari Grand Duke hingga sekelas Baron.
Biasanya mereka akan kagum atau bertepuk tangan untuknya. Atau setidaknya sebuah desahan kekaguman terdengar dari para bangsawan belia yang baru pertama kali memandangnya. Namun kali ini mereka hening. Ditambah semua orang memasang wajah jijik. Beberapa wanita membisik sambil melirik sinis saat ia dan Sheira menuruni tangga balkon.
Ditrian menggandeng istri jeleknya! Pastilah begitu.
Terjawab sudah rasa penasaran mereka pada selir baru raja. Mungkin mereka semua tidak hanya datang untuk merayakan pesta kemenangan. Mungkin juga sedang menimba bahan gunjingan melimpah di pesta kali ini. Itu pasti. Bahkan sebagian ada yang menyeringai mencemooh mengolok pada Sheira.
Ditrian menelan ludah. Dengan tatapan menghina semua orang di sana, pasti akan membuat wanita ini ciut. Begitu pikirnya.
Ia melirik pada Sheira sesaat.
Kepala Sheira masih tinggi. Dadanya terbusung. Tak berkedip sedikitpun. Bahkan ia terlihat berani menatapi para bangsawan Direwolf itu. Menatapi mata mereka satu per satu beserta telinga anjingnya.
Tubuh wanita di sampingnya terlihat sangat tenang. Tanpa mengguratkan rasa takut, malu atau terhina secuil pun. Ia menuruni tangga dengan begitu bersahaja. Apa karena dia merasa statusnya lebih tinggi dari mereka semua? Sebagai keluarga kerajaan? Sebagai istri Ditrian?
Entahlah. Yang pasti ini membuat Ditrian sedikit takjub. Sheira ... dia memang sangat pantas menjadi seorang putri. Tersirat rasa kagum dalam dadanya, namun ia tidak mau mengakui itu. Kendati demikian, Ditrian menjadi tenang. Ia merasa akan baik-baik saja.
Sesampainya di lantai pesta, beberapa bangsawan mengucap salam pada Raja Ditrian. Namun mereka terlihat canggung dan sungkan untuk menyalami selir raja. Sheira hanya mengangguk dan sedikit tersenyum seperlunya saat ia diberi salam.
"Selamat malam Yang Mulia. Semoga Dewa senantiasa memberkati Anda," Grand Duke Everon membungkuk. Ia telah rapi dan bersahaja, begitu juga seorang gadis Direwolf yang amat elok di sebelahnya.
Tidak setiap hari sepupunya itu menggandeng seorang gadis seperti ini.
Wajahnya muda dan terlihat cerah. Bibir gadis itu merah alami. Rambut coklatnya dibiarkan tergerai. Terlihat telinga coklat di kepalanya juga. Seorang Direwolf belia yang menawan. Elok sekali. Perhiasan dan dandanannya serasi dengan gaun hijau zamrud mewah di tubuh. Ia seperti sebuah bunga yang baru mekar di padang rumput, mencuri perhatian para lebah madu. Mencuri perhatian Ditrian yang kini betul-betul terpikat.
"Malam Grand Duke Everon ... dan ...?" sapa Ditrian, ia melirik gadis itu.
"Evelina von Monrad, Yang Mulia," Evelina tersenyum dengan begitu anggun dan sangat memikat.
Ditrian bisa merasakan jantungnya berdebar-debar. Everon benar-benar menepati kata-katanya. Ini jauh di luar perkiraan Ditrian. Dia tak menyangkan gadis bernama Evelina itu seluar biasa ini.
"Selamat malam Yang Mulia. Selamat malam, Tuan Putri Sheira."
Ditrian melirik. Oh ya ... ada orang ini. Ditrian hampir lupa.
Ditrian telah menceritakan segalanya. Soal pernikahannya, soal Evelina. Ia membawa kembali Sheira ke ibukota. Sedangkan Everon, dengan berat hati ia patuh untuk tetap membangun wilayah Galdea Timur dan menetap di sana. Everon patah hati. Namun ... dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.Sementara itu, di antara kemelut dan tragedi meninggalnya Evelina von Monrad dan Duke Gidean von Monrad di dalam istana, pernikahan mereka tetap dilaksanakan. Sheira von Stallon telah dinobatkan menjadi ratu dari Kerajaan Canideus. Kemudian Fred yang telah dibebaskan menyelidiki penyebab tindakan bunuh diri dan dari mana Evelina mendapatkan ramuan sihir pencekik itu. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukanlah bahwa ini ada campur tangan dengan Kaisar Alfons. Termasuk ketika anak dalam kandungan Sheira gugur. Duchess Anna yang telah kehilangan kewarasannya selalu mengatakan hal itu berulang-ulang, berkali-kali dengan sumpah serapah."Apakah bagi Anda ini adalah masalah pribadi, Raja Ditrian?"Ditrian meng
Padang rumput di sini begitu luas dan tenang. Lebih indah daripada yang ada di kerajaan Canideus. Sepuluh orang ksatria Direwolf menyertai Raja Ditrian von Canideus.Raja yang telah dengan sengaja membatalkan pernikahannya sendiri. Mereka berangkat subuh-subuh, berangkat diam-diam dari istana tanpa membuat keributan, tanpa seorang pun tahu akan kepergian mereka. Meski pun begitu, Ditrian sudah meninggalkan surat perintah pembatalan pernikahannya. Mereka kini beristirahat di tengah perjalanan menuju ke Galdea Timur.Seorang di antara mereka menghampiri Ditrian. Ia menyerahkan sebuah surat."Yang Mulia ... ada pesan dari istana."Ditrian membuka gulungan surat itu. Pastilah burung merpati dari istana terbang menyusul rombongan mereka.Sebuah kabar yang mungkin tak diduga oleh Ditrian. Sudah tiga hari ia dan rombongannya meninggalkan istana. Katanya, Evelina von Monrad, Regina istana meninggal bunuh diri meminum racun. Duke Gidean von Monrad wafat karena mengalami sakit jantung. Duchess A
Para bangsawan sudah bersuka cita. Mereka telah membawa perasaan itu ketika berangkat dari rumah. Meskipun mendadak, kabar pernikahan Raja Ditrian dan Lady Evelina von Monrad, anak Duke Gidean von Monrad yang tersohor akan dilaksanakan. Kabar itu menyebar sangat cepat bagai lumbung gandum yang dilalap api. Mereka sudah bersiap dan duduk dengan khidmat di kursi aula. Dekorasi istana hari ini bernuansa biru tua dan emas. Juga bendera-bendera Kerajaan Canideus yang berlambang serigala menganga sudah dipasang.Di luar istana, rakyat juga tak kalah heboh. Nampaknya seluruh jalanan begitu ramai karena mereka pun ikut merayakannya. Festival-festival dan hiburan rakyat membuat hari ini kian riuh. Pontifex sudah bersiap di altar, hendak memberkati pernikahan mereka berdua.Termasuk Lady Evelina. Ia sudah cantik, mempesona luar biasa. Wajahnya dirias begitu elok. Rambut coklatnya tersanggul menawan dengan sebuah tudung transparan menutupi wajahnya. Ia menggenggam seikat bunga berwarna putih. Dia
Beberapa hari ini Evelina begitu bahagia. Setiap malam, setiap hari, ia selalu bisa melihat Ditrian. Evelina kian terbuai dengan kisah kasih bersama pujaan hatinya itu. Raja Ditrian von Canideus yang gagah perkasa dan rupawan. Ini semua bagaikan mimpi bagi Evelina. Dia tidak pernah mengira jika angan-angannya sejak dulu akhirnya terwujud. Apalagi, mereka selalu bercinta, hingga Ditrian menjanjikan jika suatu hari nanti mereka akan mempunya anak. Evelina pun yakin akan itu. Entah sudah berapa kali mereka melakukannya. Benih-benih dari Ditrian sudah berada di dalam tubuhnya.Setiap malam mereka memadu kasih. Begitu romantis, bergairah dan bernafsu. Ini yang membuatnya semakin tidak akan pernah melepaskan Ditrian. Namun ia juga sadar, jika ini hanyalah sebuah kepalsuan. Evelina paham betul, hal yang begitu hebat mengubah hati Ditrian adalah karena setetes ramuan ini. Ramuan cinta dari Kaisar Alfons. Ia tengah memikirkannya, botol itu yang ada di kotak rahasia berlapis beludru.Botol merah
Langit hari itu sangat cerah. Kepulan awan di atas sana yang berwarna putih begitu indah. Sudah beberapa hari berlalu sejak Everon meninggalkan ibukota. Sejak ia meninggalkan istana dan kemelut politik di kerajaan. Mungkin baru kali ini ia keluar dari huru-hara itu setelah sekian lama. Everon tak ingat kapan terakhir kali kepalanya merasa setenang ini, sehening ini.Di tanah lapang ini, pasukan dan para ksatria Direwolf telah mendirikan tenda-tenda berwarna putih. Ada bendera juga yang tertancap di tenda yang paling besar, tenda miliknya. Bendera itu berlambangkan simbol Kerajaan Canideus dengan latar biru tua dan kepala serigala berwarna emas tengah menganga menghadap kedepan.Everon memerhatikan kesibukan dan lalu-lalang prajurit dan ksatria Direwolf di sekitar perkemahan. Itu membuatnya sedikit lupa jika ia belum benar-benar bisa berbicara dengan pujaan hatinya, Lady Sheira, begitulah kini panggilannya. Ia telah menjadi seorang Viscountess. Gelar kebangsawanan yang biasanya diberika
Di dalam kamar yang hangat dan remang-remang, cahaya lilin bergetar lembut di dinding, menciptakan bayangan yang menari-nari seolah menyaksikan saat penuh asmara yang tengah berlangsung. Raja Ditrian duduk di tepi tempat tidur, wajahnya dipenuhi ketegasan dan kelembutan.Di bibir ranjang yang luas ini, mereka sudah duduk saling bersebelahan. Ditrian yang gagah itu hanya mengenakan jubah tidur. Sedari tadi ia mengamati Evelina dari ujung kaki hingga kepala, berbalutkan gaun tidur malam berwarna putih mutiara."Evelina," suara Ditrian dalam, penuh emosi, saat ia meraih tangan Evelina, menggenggamnya dengan lembut. "Setelah segalanya yang terjadi, terimakasih telah setia berada di sampingku. Setelah semua yang kulakukan padamu ... terimakasih kau masih ingin bersamaku. Maafkan aku atas sikap-sikapku dulu."Hati Evelina diselimuti rasa haru, ia nyaris meneteskan air matanya. Evelina menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku selalu mencintaimu bagaimana pun keadaanya, Ditrian.







