Share

Bab. 3

Kumala terjebak sesaat antara keagunan harga diri yang ia pertahankan dan  luka yang harus ia sembuhkan.

“Aku siapkan makan malam, Mas.” Kumala berhasil melepaskan diri dari dekapan erat lelakinya itu.

Kumala tak terlalu repot, sebab makan siang yang sudah ia masak sedari pagi masih utuh. Ia hanya cukup memanaskan saja, dan menjerang air untuk membuat teh aroma melati kesukaan Dirham. Hampir tiap malam Dirham akan minum secangkir teh melati tanpa gula, setiap selesai makan. Biasanya Kumala sajikan dengan sepiring kue bolu ataupun cemilan lainnya.

“Mas suka kuenya?” kemanisan nggak?” Begitu pertanyaan-pertanyaa Kumala bila ia selesai praktek membuat kue yang ia lihat di youtube tutorialnya.

Dan seperti biasa, Dirham hanya akan tersenyum, tak pernah protes apa yang Kumala sajikan untuknya. Kadang-kadang juga Kumala kumat manjanya. Ia bisa minta duduk di pangkuan Dirham sambil menikmati kudapan malam dan secangkir teh hangat di depan TV. Lalu bermanja dan cengkrama keduanya akan berkahir di ranjang dengan percintaan yang berulang.

Benak Kumala sedih mengingat semua itu. keromantisan mereka berdua selama ini hanya akan menjadi kenangan.

Setetes air mata Kumala jatuh, namun segera ia hapus dengan ujung jarinya. Lalu segera ia matikan kompor dan menyambar bergo hitam yang ia letakkan di kursi makan. Ia ambil kunci motor dan memeriksa uang di dompet lalu jalan tergesa kedepan.

Dirham berlari menangkap tubuh Kumala yang sedang berjalan tergesa dengan jilbab di kepala.

“Sayang, kamu mau kemana?” Dirham mengamit lengan Kumala, menyambar tubuh istrinya dan membawanya kedalam dekapan. Ia tak ingin Kumala pergi. Dirham dengan ketakutannya sendiri.

“Lepas, Mas.” Netra Kumala sudah berkaca.

“Sayang, mau kemana. Jangan pergi.” Dirham memeluk kuat, namun terpaksa ia lepas saat Kumala memukul-mukul bahunya dengan kuat. “kenapa?” Dirham heran sebab mata Kumala sudah berkaca-kaca, tapi ini beda, tidak dengan kemarahan.

“Aku mau keluar beli anggur hijau, Mas. Kenapa kamu larang aku?” Kumala sudah tersedu saja. Moodnya  cepat sekali berubah.

Ada rasa lega di hati Dirham, ternyata Kumala bukan mau pergi meninggalkannya. Tidak, belum saja.

“Astaga, Sayang. Kamu ngidam.” Dirham tersenyum melihat Kumala yang menangis hebat seperti anak kecil. “Mas, antar ya, kita pergi ke minimarket yang lengkap buah-buahannya.” Dirham kecupi cepat kening dan bibir Kumala sebelum berlari ke ruang keluarga, mengambil kunci mobil yang sengaja di letakkan di samping lemari TV. Bahkan ia sempat mengambil bergo mint kesukaan istrinya.

“Diganti dulu jilbabnya,” Dirham lepas bergo hitam pendek istrinya dan segera memasang bergo hijau mint yang lebih panjang di kepala wanitanya itu. Kumala tak melawan, nyaris tak perduli. Ia masih sibuk menghapus air mata yang masih mengalir di antara sedu sedan yang masih terdengar.

Sekali lagi Dirham kecupi bibir dan kening istrinya sebelum membantunya berdiri dan mengajak keluar. Bahkan ia curi lagi kesempatan memeluk istrinya, sebelum menutup dan mengunci pintu.

Tiba-tiba saja ia begitu protektif pada Kumala. Ia ingin milik seutuhnya wanita yang telah ia lukai perasaannya.

Sepanjang jalan tangan besar Dirham tak henti mengelus perut dan kepala Kumala. Rasa bahagia kembali hadir sebab bisa membersamai ngidamnya istrinya. Semoga ini tak cepat berlalu. Begitu harapnya dalam hati.

Kumala menyeka sisa air mata yang mengintip di ujung netranya. Tak ia perdulikan tangan besar Dirham yang mengelus perutnya. Bahkan ia simpan dulu kemarahan yang masih ingin meledak. Dipikirannya sekarang adalah anggur hijau yang segar.

Dirham membelokkan mobil hitamnya ke arah kanan, menuju jalan Baru, tempat ruko-ruko berjajar rapi. Salah satunya adalah ruko yang khusus menjual buah segar, tepat di samping kanan rumah makan mie ayam dan bakso Solo. Sementara di sebelahnya kirinya ada minimarket sejuta umat yang banyak menawarkan diskon di hari minggu ini.

Gegas Dirham membuka pintu mobil bagian penumpang, lalu ia arahkan tangan untuk menuntun Kumala turun. Dan segera berjalan kearah pintu masuk yang terbuat dari kaca bening.

Dari luar ada papan pengumuman bertuliskan diskon untuk beberapa item buah. Termasuk buah anggur. Tapi yang diskon anggur merah, bukan anggur hijau.

Wangi buah-buahan dan dinginnya pendingin ruangan menyambut Kumala dan Dirham saat membuka pintu masuk. Seorang wanita berpakaian seragam toko itu, tersenyum ramah pada Kumala dan Dirham, sambil menawarkan keranjang plastik untuk diisi belanjaan.

Kumala balas tersenyum pada wanita itu lalu segera mengambil keranjang plastik warna hitam lalu segera pandangannya menyapu segenap penjuru toko itu, mencari buah yang diinginkan.lalu segera ia berjalan ke rak buah yang berisi aneka buah anggur, ada anggur hijau, anggur hitam dan anggur merah. Semuanya di bungkus dalam wrap plastik bening. Kumala ambil satu bungkus anggur hijau dan anggur hitam dan menaruhnya kedalam keranjang.

“Ambil yang lain juga, Sayang.” tawar Dirham, namun Kumala menolak.

“Aku Cuma mau ini.” Kumala menunjuk anggur yang sudah ia ambil tadi. Namun karna bahagia, Dirham malah mengambil lagi anggur merah, empat buah kiwi, empat buah apel Washington, dan juga buah pir, tak lupa ia ambil jeruk mandarin dengan warna orange yang menggoda. Dirham ambil ini enam buah, sebab ia juga suka jeruk jenis ini.

“Ada buah lengkeng di rak sana.” Dirham menunjukkan Kumala buah lengkeng yang masih ada dengan tangkai-tangkainya yang ditaruh di keranjang buah yang dijejerkan di tengah toko itu. beberapa orang nampak sibuk memilih lengkeng, sambil memasukkan ke dalam plastik bening untuk ditimbang. Dirham mengamit lengan Kumala yang diam saja memperhatikan orang-orang itu memilih lengkeng.

“Pulang aja, Mas. ini sudah cukup.” Sejujurnya Kumala juga sebenarnya mengantuk, kemarahan dan kesedihan yang mengepung benaknya dari semalam, buat dirinya sangat mengantuk. Ada-ada saja, bawaan si bayi. Sampai di toko buah malah ngantuk.

“Sebentar sayang, mas ambil lengkeng dulu baru kita pulang.” sahut Dirham, sambil tergesa memasukkan buah-buah lengkeng itu, bahkan ia sudah tak pilih-pilih lagi, langsung saja ia masukkan buah yang sudah terlepas dari ranting-rantingnya. Lalu segera menimbang dan mengamit lengan Kumala menuju kasir.

Dirham segera membayar belanjaan mereka, setelah kasir wanita dengan seragam yang sama mbak yang tadi memberi mereka keranjang, menyebut totalan belanja keduanya.

“Lho, Mala, Dirham. Kalian disini?” Bu Saida dan mbak Kirana yang baru masuk kedalam toko, kaget saat melihat Kumala dan Dirham.

“Iya, Ma. Kumala ngidam.” sahut Dirham dengan senyum sumringah di bibir tebalnya, sambil melirik ke arah Kumala.

“Alhamdulillah.” Ucapan syukur terucap dari bibir mertua dan kakak iparnya Kumala.

“Benar itu, Nduk?” bu Saida ingin memastika lagi, sebab beliau juga telah lama menunggu cucu dari putra bungsunya.

“Iya, Ma.” jawab Kumala sambil tersenyum, namun segera menunduk. Kumala tak seceria biasanya. Dan itu tak luput dari pandangan mbak Kirana.

__

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status