Share

Bab. 4

__

Bagaimana sekarang? Bagaimana Kumala akan memberitahukan pada ibu mertuanya, tentang keinginannya untuk berpisah. Melihat senyum bahagia penuh syukur dari wajah wanita bijaksana itu, buat Kumala bimbang.

Tak dipungkiri oleh Kumala, bila selama pernikahannya dengan Dirham, ia mendapat perlakuan yang begitu baik dari keluarga suaminya, terutamama mama mertuanya. Walau belum lahir seorang anak dari rahim Kumala, namun beliau tak mempermasalahkannya.

“Anak itu rejeki dari Allah, ada atau tidak,yang penting kalian berdua tetap akur sudah buat mama bersyukur. Bagi mama yang penting kalian sehat-sehat nggak ada masalah, insya Allah kalau sudah waktunya, pasti Allah kasi rejeki anak.” Begitu ucapan tulus bu Saida pada Kumala dan Dirham, suatu siang. Saat keduanya selesai memeriksakan kesehatan di salah satu klinik.

Kumala menyimpan sisa anggur hijau yang tadi ia makan, entah mengapa tadi rasanya ingin sekali makan buah segar ini. bahkan ia tak lagi makan nasi setelahnya. Sementara buah-buahan yang lain yang tadi dibeli, sama sekali ia belum berminat mencobanya, padahal biasanya kalau banyak buah di kulkas ia akan bikin salad buah yang segar yang dicampur mayones, keju dan susu. Tapi kali ini tak ada rasa ingin membuat kudapan itu.

Mungkin karna lelah menangis dan lelah menahan amarah, buat Kumala sedikit tak bertenaga malam ini. Kumala lalu memilih masuk kedalam kamar tamu tepat disebelah kamar yang biasa ibu mertuanya tempati jika sedang menginap di rumah ini. Kumala rebahkan diri di pembaringan berseprei biru itu, menangisi pernikahannya, menangisi cintanya pada lelaki yang ia gantungkan harapan untuk hidup menua bersama, bahkan menangisi takdirnya. Kembali ia ingat bagaimana ibunya menerima perjodohan yang bu Saida tawarkan pada mereka saat Kumala baru saja lulus SMU. Ia sebenarnya ingin kuliah, namun biaya yang tak ada, sementara ia hanya tinggal berdua dengan ibu saja. Ayah Kumala sudah lama meninggal, saat itu Kumala ingat semasa kelas dua SMP, sepulang sekolah siang itu, sudah banyak orang di rumahnya, juga bendera putih kecil yang diikat pada sebatang kayu yang ditancapkan tak jauh dari tenda yang didirikan didepan rumah semi permanen mereka. Segera ia masuk kedalam rumah sebab penasaran apa yang terjadi, lalu pecahlah tangis remaja ini, saat melihat jenazah ayahnya terbujur kaku di ruang tamu berukuran 3x5 meter itu. terlihat ibunya menangis tersedu di samping jenazah ayahnya. Hati Kumala semakin teriris kala ingat, kemarin pagi ayahnya pulang dari pasar membawa sepasang sepatu baru untuknya. Ayah beli dari hasil menjual gabah kering di pabrik pak Mustari.

“Ayah, sepatu Kumala sudah rusak, bagian bawahnya sudah bolong. Teman-teman juga sering mengejek Kumala sebab sepatu Kumala sudah bolong.” Rajuk Kumala pada ayahnya sore itu sepulang ia mengaji, saat melihat ayahnya baru saja beristirahat sepulang dari sawah. Lalu pak Samin hanya membalas dengan senyum sambil mengacaka rambut putrinya. Tanpa kata beliau berlalu kedalam rumah setelah membersihkan kaki. Dan keesokannya sepatu baru sudah ia beli untuk putri tunggalnya itu.

Semua kenangan menyedihkan itu berputar kembali di kepala wanita dua puluh sembilan tahun ini. Kenangan masa lalu yang menyedihkan dan luka baru yang digoreskan oleh  suaminya. Membelit pedih nurani Kumala.

Sementara Dirham yang berkutat di ruang kerjanya, mengira semuanya akan membaik, sebab Kumala tak lagi meluapkan amarahnya seperi siang tadi. Bahkan istrinya itu tak menolak saat dipeluk dan digenggam oleh dirinya.

Tuntutan pekerjaan proyek pembangunan resort dari kantor, buat Dirham harus banyak menghabiskan waktu di luar kota. Mungkin itu sebabnya juga, keseringan bertemu dan berinteraksi dengan Fiona, buat keduanya lena dan terbawa perasaan. Namun bukankah tamu takkan masuk jika tuan rumah tak membuka pintu?

Dirham mengusap wajahnya kasar, teringat saat pertama kali dekat dengan Fiona setelah pertemuan di salah satu hotel di Bogor, kebetulan Fiona mewakili kontraktor yang bekerja sama dengan tempat Dirham bekerja. Pernah beberapa kali bertemu saat diperkenalkan oleh istrinya, tentu buat keduanya cepat akrab.

Namun keakraban mereka jadi kebablasan, saat pertemuan kedua di kota mereka, pertemuan di hotel hingga larut malam, pengaruh alkohol  dan curhatan Fiona tentang rumah tangganya pada Dirham, buat keduanya berakhir tidur satu kamar malam itu.

Dirham baru sadar bila dijebak oleh wanita binal itu. Ia ingat saat gelas terakhir yang berisi alkohol diserahkan Fiona padanya.

“Buat, Mas Dirham aja, aku nggak minum.” gelas yang berisi cairan kekuningan itu, langsung Dirham sambar dan menegak habis isinya hingga tandas. Sebenarnya Dirham menegak minuman haram itu hanya karna tak enak saja pada bos dan rekan yang lain. Meski pulangnya akan mendapat omelan panjang dari Kumala.

“Mengapa tidur disini?” Dirham terperanjat kaget saat terbangun di tengah malam dan mendapati tubuhnya tanpa kemeja lagi dan juga ada  Fiona di sampingnya dengan busana yang sudah tak utuh. Jangan lupa tangis sesugukan Fiona yang menyalahkan Dirham atas berakhirnya mereka di atas tempat tidur yang sama.

Dirham panik seketika, sebab biasanya jika ada rapat dan ia menenggak satu dua gelas alkohol maka dirinya akan segera pulang menemui istrinya, sensasi ranjang yang timbul dari pengaruh alhokol, buat dirinya harus melampiskan hasratnya tanpa jeda diatas tubuh Kumala. Meski omelan panjang wanita itu keluarkan namun tetap pasrah melayani dirinya. Tentu panasnya birahi yang membakar Dirham salurkan penuh rasa sayang dan cinta pada istrinya yang lemah lembut itu, mendengarkan suara manjanya, rengekannya juga…suara Kumala di akhir percintaan mereka.

Dirham terhenyak, kaget bukan main, saat ia buka pintu kamar hendak beristirahat, namun tak mendapati istrinya di pembaringan mereka. Seketika Dirham panik, ia coba buka kamar mandi.

“Sayang,”

“Mala,”

Dirham berlari menuruni tangga, barangkali Kumala ada di dapur atau di ruang TV, namun tak ada. Perasaan Dirham sudah tak enak.Dimana istrinya. Lalu ia buka pintu kamar tamu dan…lega. Campur aduk perasaan Dirham saat melihat Kumala meringkuk seperti bayi dalam kandungan diatas kasur berseprei biru. Rupanya istrinyatertidur di kamar tamu.

Lama Dirham perhatikan wajah polos tanpa makeup itu, kecantikan yang alami, bulu mata yang lentik, hidung yang mancung sesuai porsi wajahnya, dan sisa air mata yang enggan pergi dari netra coklat milik istrinya. Hati pria ini terenyuh. Begitu tega ia enam bulan ini, menduakan istrinya, membagi hangat tubuhnya pada wanita lain, padahal ada wanita desa nan lugu ini yang halal dan setia menunggunya di rumah.

Netra Dirham memerah, membayangkan sesakit apa perasaan istrinya yang sudah yatim sedari kecil ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status