Share

KSATRIA TIGA JAMAN
KSATRIA TIGA JAMAN
Penulis: Freya

MALAM JAHANAM

Malam itu di padepokan Macan Kumbang Lamajang, Wirota seorang bocah yatim piatu berumur 10 tahun sedang mengantarkan kendi air ke kamar gurunya Lembu Ampal. Wirota ketika masih berumur lima tahun ditemukan oleh Lembu Ampal di kota Paguhan saat mengungsi karena letusan gunung Kampud.  Anak itu menangis sendirian dan tampak kebingungan tanpa ada orang yang peduli. Karena merasa kasihan, Lembu Ampal, mengambil Wirota dan mengungsi ke Lamajang.

Selama lima tahun mereka hidup tenang di kota Lamajang, namun suatu hari ketenangan itu terusik kembali.

“Guru, ini minumannya,” ucap Wirota sambil meletakan kendi di meja.

“Terima kasih Wirota, setelah ini jangan lupa menutup gerbang di depan ya,” perintah Lembu Ampal.

“Baik, Guru.”

Wirota kemudian bergegas ke depan rumah untuk menutup gerbang. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat lima orang laki-laki bersenjata sudah berada di depan rumah mereka. Tatapan mereka tampak tak bersahabat, hawa membunuh tergambar di wajah mereka.

“Di mana Lembu Ampal?” tanya salah satu dari mereka tanpa basa-basi.

Wirota sangat ketakutan wajahnya pucat pasi dan gemetaran hingga tak kuasa menjawab. Dia hanya mampu menggelengkan kepalanya. Melihat cantrik itu ketakutan dan hanya diam seribu bahasa ketika ditanya, kelima orang itu bertambah jengkel dan bertanya lagi lebih keras.

“Di mana Lembu Ampal bersembunyi? Kalau kau tak mau menjawab, kami akan membunuhmu!”

Tangan orang itu sudah melayang di udara hendak merampungi cantrik itu namun tiba-tiba sebuah suara membuat mereka mengurungkan niatnya membunuh Wirota.

“Aku ada di sini, kalian tak perlu repot-repot membunuh bocah itu!” seru Lembu Ampal dari pendopo rumah.

Orang-orang itu langsung menoleh ke arah sumber suara, begitu mereka melihat Lembu Ampal, mulut mereka langsung berteriak memakinya.

“Pengkhianat terkutuk, kau telah mengkhianati Prabu Tohjoyo dan menghimpun tentara Tumapel untuk menentang kami. Gara-gara pengkhianatanmu, Prabu Tohjoyo gugur.  Sekarang katakan di mana keris Empu Gandring kau sembunyikan?!” tanya laki-laki yang berjubah hitam itu.

“Percuma kalian mencarinya, keris itu sudah kubuang di kawah gunung Kampud atas perintah Gusti Prabu Wisnuwardhana setelah dia memusnahkan kutukannya,” ujar Lembu Ampal.

“Bohong…! Kau pasti menyembunyikan keris Mpu Gandring itu untuk kau kuasai sendiri.  Bunuh dia!” perintah si jubah hitam dengan emosi.

Kelima orang itu langsung menyerang Lembu Ampal dengan jurus-jurus yang mematikan.  Lembu Ampal mencabut kerisnya dan mulai melawan serangan mereka. Pedang dan keris berkelebat, setiap saat pedang dan keris beradu, percikan-percikan api berhamburan karena kuatnya benturan. Namun ternyata kelima orang yang mengeroyoknya semuanya berilmu tinggi.  Dia pun mulai kewalahan melawan mereka.

Lembu Ampal semakin lemah, pedang-pedang mereka mulai mencacah tubuhnya dan akhirnya Lembu Ampal sudah roboh bersimbah darah. Wirota menyaksikan semuanya dari dalam sebuah lumbung padi di halaman rumah. Matanya mengintip dari celah-celah papan dinding lumbung dengan perasaan takut dan marah melihat gurunya dihabisi. Otaknya mulai bekerja mengingat-ingat wajah-wajah para pembunuh guru sekaligus ayah angkatnya itu.

Pria berjubah hitam itu memerintahkan, “Cepat geledah rumahnya dan cari keris Mpu Gandring itu!”

Salah satu dari mereka bertanya, “Dimana bocah yang membukakan pintu untuk kita tadi?”

“Aku sudah tidak melihatnya dari tadi, apakah dia perlu kita rampungi juga?”

 Pemimpin rombongan itu menukas, “Tidak usah, waktu kita sudah mepet, yang penting kita harus segera menemukan keris Mpu Gandring itu sebelum orang-orang kerajaan Singasari datang,” perintahnya.

Orang-orang tak dikenal itu, memasuki rumah Lembu Ampal mencari keberadaan keris kutukan itu. Namun sekian lama mereka mencari, mereka tak dapat menemukan keris Mpu Gandring di rumah Lembu Ampal.

“Sial, keris itu tidak ada di sini, ayo kita harus cepat pergi sebelum orang-orang kerajaan Singasari itu menemukan kita di sini!” perintah pria berjubah hitam itu kepada anak buahnya.

Sejurus kemudian orang-orang itu pergi meninggalkan Padepokan Pandanwangi. Dia menunggu sampai suara derap kaki kuda itu menghilang dibalik tikungan jalan.  Setelah dirasanya aman, Wirota berlari sambil menangis menghampiri Lembu Ampal yang sudah bersimbah darah

“Guru...!”

“Cepatlah pergi Wirota! Pergilah jauh-jauh selamatkan dirimu. Kemasi barang-barangmu dan ambillah uang di kamarku yang tersimpan di celengan bambu sebagai bekal," perintah Lembu Ampal.

Dengan tangan gemetar berlumuran darah, Lembu Ampal mengulurkan kerisnya dan berkata, “Ambilah keris pusaka Pulung Sakti ini, rawatlah baik-baik,” Setelah berpesan demikian, Lembu Ampal tak bergerak lagi, tinggalah Wirota menangis meratapi Lembu Ampal guru sekaligus pengganti orangtuanya yang sangat disayanginya.

Wirota kemudian segera mengemasi barang-barangnya, mengambil uang yang tersimpan di celengan bambu. Uang itu masih utuh, orang-orang itu ternyata tidak menginginkan uang, mereka ternyata hanya mencari keris Mpu Gandring. Wirota kemudian pergi meninggalkan padepokan Pandanwangi. Dia terus berjalan ke arah utara tanpa tujuan jelas, sesekali dia beristirahat di kasogatan (Biara Budha) atau Kasyiwan (Kuil Hindu) yang dilewatinya. Para Bhiksu di Kasogatan dan Brahmana di Kasyiwan memberinya makan ketika dia mampir beristirahat karena kasihan. Setelah berjalan beberapa waktu, keesokan harinya di saat matahari terbit, akhirnya sampailah dia di kota Singasari. 

         Kota Singasari adalah ibukota kerajaan yang padat penduduk. Pagi itu penduduk kota sudah bersiap-siap keluar rumah melakukan aktivitas. Wirota melangkahkan kakinya ke pasar, perutnya yang lapar membawanya berjalan menuju penjual jenang di depan pasar. Aneka jenang didalam kendil beraneka warna dan menyebarkan aroma pandan, santan dan gula merah menerbitkan seleranya. Dia berjalan menghampiri penjual jenang itu dan memesan jenang ganyong.  Dengan lahap dia memakan makanannya. Bagi Wirota jenang ganyong itu adalah makanan terenak yang pernah dia makan. 

 Wirota kemudian melanjutkan perjalanannya lagi berkeliling kota Singhasari menikmati keindahan kota. Tak jauh dari pasar berdirilah komplek Kerajaan Singhasari yang begitu luas dan megah. Para penjaga tampak mondar-mandir menjaga gapura yang terbuat dari bata merah.  Beberapa bangsawan, Pangreh Ageng dan Nayaka Praja dengan pakaiannya yang indah terbuat dari kain halus dan perhiasan yang raya tampak berjalan keluar masuk istana menjalankan tugasnya sebagai abdi negara.  Wirota memandangi mereka dengan penuh kekaguman. ‘Suatu saat aku harus bisa seperti mereka,’ batinnya.         

Hari sudah menjelang malam, ketika itu Wirota sedang beristirahat di sebuah emperan pasar yang sudah sepi setelah lelah berkeliling kota. Namun belum lama dia beristirahat, tiba-tiba sekelompok preman pasar sudah mendatanginya dan mengerumuni dirinya. Wirota ketakutan melihat wajah-wajah sangar mereka. 

Seorang pemimpinnya yang badannya paling besar berkata, “Hei bocah, sepertinya kau anak baru ya, serahkan uangmu sebagai uang pengamanan, kalau tidak kau yang akan kubunuh!”

Wirota meringkuk ketakutan di pojok teras, kawanan preman itu sudah makin dekat dengan dirinya. “Aku tidak punya uang, tolong jangan bunuh aku,” ratap Wirota ketakutan.

“Aah … jangan bohong, tadi kulihat kau sedang menghitung uangmu, bocah sekecil kamu punya banyak uang pasti kau anak orang kaya,” kata pemimpin preman itu lagi.

“Tidak! Aku tidak sudi memberikan uangku kepada kalian sampah masyarakat!” seru Wirota dengan lantang.

Entah dari mana datangnya keberanian itu sehingga akhirnya dia berani menghadapi para preman itu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sanemi
mantap juga ni novel
goodnovel comment avatar
Supriyonosusanto
mantap sejarah jawa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status