Pagi kembali datang.
Diana terbangun dengan kepala pening dan hati jengkel. Padahal hari ini jatahnya libur, seharusnya bisa dipakai untuk memulihkan tenaga—jiwa dan raga. Tapi alih-alih tenang, suara bising yang menggelegar dari luar malah membuyarkan harapannya. “Sialan... sambutan pagi macam apa ini?” gerutunya sambil meraih daster kusam di gantungan pintu. Langkahnya cepat dan penuh kesal. Saat melewati ruang tamu, ia sempat melirik. Botol-botol minuman keras yang semalam berserakan ternyata sudah lenyap. Pasti Reza yang membereskan. Setidaknya pria itu tahu diri. Ia tak peduli. Saat ini, matanya tajam menyapu pintu depan yang sudah rusak gemboknya. Suara teriakan makin jelas terdengar. “Bayar utangmu, bangsat! susah enam bulan kau tak bayar. Jangan harap kau bisa lari dari kami!” Dahi Diana mengernyit dalam. Itu bukan suara tetangga, rumah mereka ada di ujung gang sempit, dan biasanya tak ada yang berani datang ke situ. Dengan cepat, Diana membuka pintu depan. Matanya langsung bertemu pemandangan yang membuat tubuhnya menegang. Seorang pria tua berbadan besar dengan perut menggantung berdiri di halaman rumah. Wajahnya penuh tato pudar dan senyum miring tak menyenangkan. Di belakangnya, dua pria berotot berdiri seperti pengawal pribadi, lengkap dengan tampang sangar dan tangan bersilang di dada. Tak jauh dari mereka, Reza berlutut dengan wajah panik. Tangannya terangkat, mencoba menjelaskan, memohon, membela diri. Mulutnya komat-kamit dengan suara yang terdengar cemas. Diana melangkah maju dengan geram. “Hei! Apa-apan ini?! Siapa kalian?! Apa yang kalian lakukan di rumah saya?!” bentaknya keras, suaranya menggema. Tiga pria itu langsung menoleh. Si pria tua melirik Diana dari atas ke bawah, seperti menilai barang dagangan di pasar loak. Mata tuanya berbinar dengan sesuatu yang membuat bulu kuduk Diana berdiri. “Diana, masuk! SEKARANG JUGA!” Reza berteriak, wajahnya pucat pasi, keringat dingin menetes dari pelipis. Tapi Diana tetap berdiri di tempatnya. Tak sedikit pun ia bergeming. Justru ia menantang pandang pria tua itu dengan tatapan menyala. “Aku tanya, siapa kalian?! Dan urusan apa kalian dengan suamiku?!” Pria tua itu tertawa pelan, serak dan menjijikkan. Ia mengeluarkan cerutu dari kantong kemeja lusuhnya, menyalakannya tanpa terburu-buru. “Jadi... bocah tengil ini suamimu?” katanya sambil menunjuk Reza dengan dagu. “Menarik... sangat menarik,” gumamnya sembari menyeringai. Salah satu anak buahnya menyenggolnya dan berbisik sesuatu. Mendengar itu, pria tua itu mendelik puas. Tatapannya kembali ke Diana, lebih lama dari sebelumnya. “Cantik juga... apalagi kalau lihat dari dekat.” Ia menjilat bibirnya pelan. Menjijikkan. Diana mundur selangkah, jijik bercampur takut. “Saya akan bayar hutangnya!” potong Reza cepat, suara gemetar. Ia berdiri dan maju beberapa langkah, mencoba menutupi Diana. “Jangan ganggu istri saya. Dia nggak ada urusannya!” Pria tua itu tertawa keras. Kali ini terbahak. Anak buahnya ikut tergelak, seakan apa yang dikatakan Reza adalah lelucon terbesar pagi itu. “Laki-laki ini lucu, ya?” katanya. “Kau pikir aku datang ke sini buat uang recehanmu, hah? Enam bulan! Enam bulan aku bersabar! Dan sekarang... aku pikir aku tak butuh uang itu lagi.” Ia melangkah mendekat. Sepatu bot tuanya menginjak kerikil di halaman. “Kau bisa bayar dengan cara lain.” Suaranya menggantung. Tatapannya kini sepenuhnya pada Diana. Diana membeku. Reza menoleh cepat. “Jangan! Jangan berani-beraninya, Pak!” Reza membentak, namun suaranya pecah, nyaris tak terdengar tegas. “Tubuh istrimu... sepertinya cukup mahal untuk menutup utangmu, ya?” ucap pria tua itu pelan, nyaris seperti desahan. Diana mendongak, menatap langsung ke mata si pria tua. “Kalau kau berani menyentuhku, kau akan menyesal,” desisnya rendah. Pria tua itu terkekeh pelan. “Oh, aku suka wanita galak... Rasanya lebih menantang kalau sudah dijinakkan.” “BERHENTI!!!” Reza mendorong pria itu mundur. Anak buahnya langsung bergerak maju, tapi pria tua mengangkat tangan menghentikan mereka. “Tenang, tenang... kita belum selesai bicara.” Diana meraih lengan Reza, menariknya ke belakang. Matanya menatap tajam, kini bukan hanya takut. Ia muak. “Kau utang apa sebenarnya, Mas? dan siapa dia?” Reza terdiam. Rahangnya mengatup. Ia tak menjawab. “JAWAB, MAS!” “Tiga puluh juta...” gumam Reza lirih. “Untuk judi... dan... minum. Dia Gunadi rentenir tempat aku utang.” Dunia Diana seperti terhenti. Nafasnya tercekat. Ia menatap tak percaya Reza yang terdiam. “Dan sekarang... bunganya sudah jadi enam puluh lima juta,” pria tua itu menambahkan dengan santai. “Tapi jangan khawatir. Aku bisa lunasi semuanya... asal istrimu bersedia menemaniku... seminggu saja.” PLAK!! Diana menampar pria itu sekuat tenaga. Tangan kirinya bergetar, pipinya memerah karena emosi. Anak buah pria tua itu langsung bergerak. Tapi si pria tua malah tertawa makin keras. “Aku suka... aku benar-benar suka wanita ini.” Ia mengusap pipinya dengan puas. “Kalian punya waktu... dua hari,” ucapnya sambil melangkah pergi. “Kalau tidak, aku akan datang lagi. Tapi waktu itu, aku tak akan minta izin.” Mereka pergi sambil tertawa. Suara sepatu mereka menjauh, meninggalkan keheningan yang mencekik. Diana masih berdiri di ambang pintu. Matanya menatap nanar ke arah Reza. “Kau utang... dan menjualku?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar. "Tidak! aku Tidka mungkin menjualmu, Diana." "Lalu itu? apa namanya jika tidak menjual?" Reza tak mampu berkata apa-apa. Dan saat itu juga, sesuatu dalam diri Diana seperti patah dan hancur berserakan. Suaminya utang uang namun ia tak tahu wujud uang itu seperti apa, kini ia harus terseret dalam lembah menjijikan akibat Reza yang seenaknya."Cara apa yang harus ku lakukan untuk mendapatkan liontin itu." "Dan, di mana Reza menyimpan liontin itu." "Apakah mungkin di rumah ini? Tapi di mana?" Diana berputar-putar menatap sekeliling kamar. Otaknya berpikir keras mencari di mana letak liontin itu. "Bodoh. Bahkan bentuk liontin itu aku tidak tahu." Diana memukul kepalanya. "Lalu bagaimana caranya bisa tahu dan mencarinya?" Bahkan ia lupa bertanya pada Bram bentuk dan bagaiaman liontin itu. Tangannya membuka lemari, lemari yang dulu ia acak-acak kini kembali ia bongkar. Ia tak peduli pada tubuhnya yang terasa lelah remuk redam. "Di mana ya?" gumam Diana sambil menarik tumpukan pakaian Reza. Walaupun baju mereka dalam satu lemari yang sama namun tidak jadi satu tempat. Dan hanya lemari itu Diana mengijinkan Reza menyimpan barang yang sama ndgsna Diana. Dikarenakan mereka cukup lama pisah ranjang, lebih tepatnya sejak Reza berubah menjadi brengsek dan tak tahu diri itu. Bahkan ia tak peduli jika pria itu sakit bad
Matahari sudah cukup tinggi ketika Diana akhirnya berhasil bangun lagi. Tubuhnya masih terasa letih, tapi Bram sudah lebih dulu menariknya untuk turun ke ruang makan. Meja makan itu panjang, dengan taplak putih bersih dan peralatan makan berkilat rapi berjajar. Piring porselen putih di hadapan mereka hanya berisi menu bermacam-macam sup hangat, ayam panggang, beberapa olahan ikan dan potongan buah segar. Terlihat mewah bagia Diana yang terbiasa makan dengan orek tempe, aroma masakannya menusuk hidungnya, nikmat dan berkelas khas rumah besar dengan chef profesional. Namun anehnya, ruang makan yang luas itu terasa kosong. Hening. Tidak ada maid yang berbaris di sisi ruangan seperti kemarin, tidak ada bodyguard yang lalu-lalang menjaga. Hanya mereka berdua. Sunyi begitu kental hingga suara sendok menyentuh piring terdengar terlalu jelas. Diana duduk agak menunduk, berusaha makan dengan tenang, meski tangannya sedikit gemetar. Sementara Bram duduk tegap di ujung meja, menikmati mak
Perlahan, kelopak mata Diana terangkat. Pandangannya langsung tertumbuk pada dada bidang yang tengah merengkuhnya erat. Hangat. Nyaman. Dan… terlalu dekat.Ia terdiam sejenak, membiarkan telinganya menangkap dentum jantung Bram yang berdetak stabil di dadanya. Lengan kokoh pria itu melingkar di pinggangnya, membuatnya tak bisa bergerak kemana-mana. Pipi Diana memanas, semburat merah menjalar hingga telinganya.'Nafasnya begitu teratur… bahkan hembusannya saja bisa membuatku gugup begini.'Matanya pelan-pelan mengangkat kepala, menatap wajah Bram yang masih terpejam. Rambut hitam pria itu sedikit berantakan, garis rahangnya tegas, dan ada sedikit sisa lelah di rautnya. Namun justru di situlah letak ketampanannya wajah pria dewasa yang baru saja memberikan malam panjang tak terlupakan.Diana menahan napasnya. "Ya Tuhan, bagaimana bisa ia terlihat lebih tampan saat tidur begini?" Bibirnya bergerak tanpa suara, seperti ingin tersenyum tapi malu sendiri.Ia mencoba menarik tubuhnya menjauh
Diana menelan ludah kasar. Lidahnya mendadak kaku dan mata yang tak bisa mengalihkan dari pemandangan itu.Otaknya mendadak kosong.Mainkan?Seperti makan lolipop?Apakah itu artinya dia harus memasukkan benda itu ke dalam mulutnya? Benda besar dan sepanjang itu?Diana bergidik ngeri saat melirik lengannya yang sama dengan senjata Bram.Pria itu duduk angkuh, menatap Diana yang dilema. Raut tak sabar terpancar di wajah Bram.“Cepat, Diana!”Diana tersentak, tangannya sigap memegang benda itu.Panas dan keras. Wajahnya memerah.Ia melirik Bram dengan keraguan besar, namun pria itu mengedikan dagu, seolah berkata mainkan! tanpa sedikitpun menerima bantahan.Diana menarik napas panjang, namun yang terasa aroma berbeda merasuk ke dalam hidungnya. Entah apa ia harus menyebut itu, tapi ia tahu aroma itu berasal dari kejantanan Bram yang perlahan mengeluarkan cairan bening di ujungnya.Ia menjulurkan lidah, menjilat benda keras itu dengan jantung berdegup kencang. Tanpa ia sadari, tangannya
Tanpa memberi kesempatan menjawab, Bram tiba-tiba menarik tengkuk Diana dan menyatukan bibir mereka. “Mmhh—!” Diana spontan berontak. Tangannya menekan dada Bram, berusaha menjauh. Namun tenaga besarnya seperti tembok kokoh yang tak tergoyahkan. Bram melumat bibir Diana dengan kasar, tak memberi celah sekecil apa pun untuknya bernapas. “T-tunggu…” suara Diana teredam, tubuhnya bergetar. Napasnya terengah-engah ketika akhirnya Bram melepaskan tautan itu. Wajahnya memerah, bibirnya berdenyut perih, matanya memandang tajam penuh amarah. “Kau… hampir membunuhku!” bentaknya sambil mengusap bibir yang basah. Alih-alih merasa bersalah, Bram hanya terkekeh. “Mungkin… tapi bukankah suatu kehormatan mati di bawah kungkunganku?” Urat di leher Diana menegang, tubuhnya merinding. “Gila!” Bram mengangkat bahu santai, lalu menarik Diana hingga berdiri. Tubuhnya hampir limbung jika saja pria itu tak menahan pinggangnya. Kini mereka begitu dekat, tubuhnya di himpit diantara meja. D
“Pembunuh?” ulang Diana berbisik. Ia menunduk menatap tanganya yang tiba-tiba bergetar hebat. “Ya,” Bram menjawab datar. “Bukankah aku sudah tunjukkan videonya kemarin?” Diana mengangguk pelan, lalu Bram kembali bertanya. “Kau… kau tak tahu siapa pria itu?” Diana menggeleng, bibirnya kering. “Salah satunya adalah suamimu.” “TIDAK! TIDAK MUNGKIN!!” Diana menatap Bram dengan napas memburu. Reza memang bukan suami yang baik. Dia brengsek, kasar, bahkan tak pernah benar-benar menganggapnya istri. Tapi membunuh orang? Tidak. Itu terlalu jauh. Ia mengenal Reza… setidaknya, ia yakin begitu. “Apakah bukti itu masih kurang valid?” Bram tiba-tiba menjambak rambut Diana, memaksa wajahnya mendongak. “Shhh… sakit!” jerit Diana, tangannya berusaha melepaskan cengkeraman itu. “Kau tahu, aku sudah menunggu 15 tahun untuk calon pewaris