LOGIN"sejak kapan kamu hutang uang, Mas? Dan buat apa uang itu sebenarnya?"
Nada suara Diana tajam, matanya menyorot penuh kemarahan. Di depannya, Reza duduk menunduk di atas sofa yang usang dan robek di beberapa sisi. Kedua tangannya saling menggenggam, dingin oleh rasa takut dan malu. Pria itu tak langsung menjawab. Napasnya tertahan. “Jawab, Mas! Jangan cuma diam aja!” Sentakan Diana membuat bahunya terlonjak. Suaranya bergetar, tapi bukan karena lemah melainkan menahan emosi yang nyaris meledak. Matanya sudah memerah, menahan air mata yang ingin jatuh, bukan karena sedih, tapi karena kecewa. "A-ak… aku hutang… untuk…" "Untuk apa? Mabuk? Judi lagi?" Potong Diana cepat, penuh tuduhan yang tak bisa dibantah. Reza hanya mengangguk. Pelan. Malu. Lemas. Diana mengusap wajahnya kasar. Jari-jarinya mencengkram rambutnya sejenak. “Mas... kamu tuh mikir gak sih? Kita ini hidup udah pas-pasan, makan aja harus utang ke warteg. Tapi kamu malah buat masalah baru?! Buat beban baru?!” “Aku cuma... aku cuma pengen cari pelarian, Diana. Kepala aku sumpek. Hidup kita begini-begini aja...” “Pelarian?! Dan caramu itu minum sampai mabuk tiap malam? Main kartu sama lintah darat? Itu solusi menurut kamu?” Reza diam. Tak ada pembelaan. "kalau memang mau kaya, Kerja Mas, Kerja!. Bukan malah hamburin uang buat foya-foya." Diana tertawa pahit, lalu bersandar di dinding. Tubuhnya seketika kaku, ketika bayangan wajah pria tua bermulut bau rokok yang pernah menggoda mesum padanya muncul di benaknya. Bayangan yang membuatnya muak. Perutnya tiba-tiba bergolak ingin muntah. "Dan sekarang kamu bayar hutangnya pakai apa, hah?! Jual motor udah, gadai KTP, BPKB juga entah kemana. Apa sekarang kamu mau jual rumah kontrakan ini juga?!" Reza masih bungkam. Matanya memohon belas kasihan. Tapi Diana menatapnya seperti menatap debu di bawah kaki. “Kamu yang pakai uang itu, kamu juga yang harus lunasin! Aku gak ikut pakai, jadi aku gak mau ikut campur. Jangan harap aku bantu kamu!” “Diana, tolong. Aku gak tahu harus gimana lagi. Uangnya banyak. 65 juta… Aku bener-bener bingung sekarang. Kalau gak dibayar, mereka ngancam...” "Bukan cuma kamu yang takut diancam, aku juga? Aku tiap hari harus kerja dari pagi sampe malam buat bayar kebutuhan kita, Mas! Kamu pikir aku gak stress?! Tapi aku gak kabur ke botol minuman kayak kamu!” “Kamu beda. kamu kerja sedangkan aku nggak." "Makanya mas, kerja! udah berapa kali aku bilang, KERJA!" "Kamu berubah, Diana…” suara Reza lirih, nyaris tak terdengar. “Dulu kamu selalu bantu aku. Kamu sabar. Kamu... kamu peduli. Sekarang? Bahkan kalau aku mati pun kamu kayaknya gak bakal nangis…” Diana menoleh cepat, menatapnya tajam. “Kalau aku gak peduli, Mas, aku udah meninggalkan kamu sejak lama! Kalau aku gak peduli, aku gak akan masakin kamu tiap hari meskipun kamu gak pernah ngasih nafkah sepeser pun! Bahkan beras buat kita makan aja aku yang beli. Listrik? Aku yang bayar. Air? Aku juga! Lalu kamu? Ngasih apa ke aku? Selain capek, malu, dan sekarang...hutang?!” Reza menunduk makin dalam, seperti hendak menghilang ke dalam sofa yang lapuk. “Aku juga gak makan uang hasil mabuk dan judimu, Mas! Jadi jangan harap aku bantu bayar sepeser pun! Kamu yang buat lubang ini, kamu sendiri yang harus gali jalan keluarnya!” Diana menutup kata-katanya dengan melangkah tegas menuju kamar. Tapi sebelum pintu tertutup, suara Reza menyusul. “Jadi kamu rela lihat aku dipukulin? Dihajar? Dijeblosin ke penjara?” Diana membalikkan badan, wajahnya datar. "kalau itu yang terbaik, mau bagaimana lagi? selagi bukan aku yang mendekam di balik jeruji tidak masalah." “Kamu pikir selama ini aku gak nahan sakit, Mas? Setiap malam kamu pulang mabuk, mukul aku, maki aku, aku diem. Sekarang giliran kamu yang ngerasain akibatnya. Jangan minta dikasihani.” Pintu kamar menutup dengan keras. Reza terduduk lemas. Napasnya berat. Matanya kosong. Tangan kanannya mengepal lalu menghantam bantal sofa. “Sial! Sial! Harus cari duit dari mana?!” Kepalanya berdenyut. Keningnya berkeringat dingin. Ia memegangi rambutnya, seperti ingin mencabut semuanya. 65 juta. Angka itu memantul-mantul di kepalanya, mengiringi degupan jantung yang makin tak karuan. Diana kembali mengurung diri dalam kamar, selimut usang berbau apek ia lilitkan di tubuhnya yang kurus. Matanya terpejam lelah namun rasa kantuk sudah hilang sirna. Yang tersisa hanyalah rasa ingin berteriak se kencang mungkin. "Tuhan, cobaan apa lagi yang kau berikan ini. Apa kau tidak sedikitpun iba padaku? Aku rasanya lelah dan tak sanggup." Diana menatap kosong atap kamar. Mengingat rumah ini, ia Adi rindu rumahnya yang dulu. Serba mewah dan nyaman sangat berbanding terbalik dengan yang ia huni saat ini. Bahkan kontrakan sepetak ini lebih besar kamar mandinya dulu. "Ibu...Bagaimana kabarmu? apakah kamu masih marah padaku Bu? ataukah Benci aku?" Dulu sebelum menikah dengan Reza hidup Diana sangat mewah bergelimang harta. Apapun yang ia mau semua terpenuhi dalam sekejap namun sekarang sekedar untuk makan saja ia harus menunggu satu bulan gaji. Itupun tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Bahkan untuk memoles wajahnya saja Diana merasa sayang uangnya. "Mungkin jika dulu aku tak menerima lamaran Reza, aku tak seperti ini. Ta-tapi siapa yang akan tahu kalau hidup susah begini? kalau tahu aku tidak akan Sudi menerima lamarannya saat itu." Gerutu-gerutuan terus terlontar dari bibir Diana. Wanita 21 tahun yang terjebak dalam kesengsaraan yang tak berkesudahan. Hidup dalam tekanan finansial yang menyesakkan jantung.Keributan terjadi di klub Viper, kekalahan Reza membuat pria itu tak terima. Ia memukul siapapun yang ada di dekatnya membuatnya di pukul balik oleh pengunjung lain. Kericuhan yang ia timbulkan membuatnya di seret satpam keluarBahkan rencana malam bersama Camilla, sang pelacur mahal harus gagal total sebelum mencicipi tubuh molek wanita itu.Langkahnya terhuyung, tubuhnya terasa remuk hingga ia memutuskan pulang. Kehilangan uang tak sedikit kembali membuatnya kesal dan marah namun apa daya, amarah hanya bisa ia telah, kecewa hanya bisa ia rasakan.Ia tak menyangka Dragon sehebat itu, ia sudah berlatih berkali-kali dan berkali-kali juga telah memenangkan pertaruhan namun kali ini ia gagal dalam satu putaran."Sial...pria itu Aku akan membunuhnya lain kali."Reza mendorong pintu rumahnya, matanya menangkap seorang wanita yang sangat di kenalinya.Diana.Wanita itu nampak sibuk menghitung lembaran merah yang sangat banyak, ia terkejut namun berusaha terlihat biasa saja.Perlahan ia mend
Suara teriakan dan desahan bercampur, menyatu dengan asap rokok dan tumpukan alkohol. Tak sedikit sepasang pria dan wanita memadu kasih dengan panas. Di sudut klub, sebuah meja melingkar dengan beberapa pria duduk di kursinya. Ketegangan meraup wajah mereka ketika dua kali putaran tak sekalipun meraup keuntungan. Namun lain hal dengan Reza, malam ini adalah malam keberuntungan, dalam dua kali putaran itu ia telah memenangkan dua ratus juta. Ia congkak, menatap remeh lawan-nya yang nampak panik dan marah. Celotehan-celotehan penonton dan pendukung semakin membuatnya besar kepala dan bangga. Sesekali mengecup singkat bibir sang wanita di pangkuan semakin menunjukan bahwa ialah rajanya malam ini. "Hahaha....kau hebat Reza. Malam ini kau sangat beringas, dua kali putaran kau selalu menang hahaha..." "Ya benar, aku tak menyangka anak muda sepertimu bisa melawan kami yang sudah lebih dari lima puluh tahun bermain judi." Reza semakin menaikan dagunya, tersenyum pongah. Dadanya
“Ada apa?”Diana menolehkan wajahnya ke arah suara. Seorang pria yang beberapa hari terakhir mengacaukan hidupnya berdiri tenang, kedua tangan terselip di saku celana.Tatapan datar dengan alis terangkat menjadi penyambutnya. Sejenak ia gugup untuk mengutarakan apa maksud kedatangannya.Setelah beberapa hari merenung, pada akhirnya Diana nekat kembali datang ke rumah mewah yang kini ia pijak. Untuk apa lagi selain mencari informasi tentang liontin yang harus ia cari.Bram yang melihat keterdiaman Diana perlahan mendekat. Langkahnya tenang dan hening hingga wanita yang biasanya menatap sinis itu tak menyadarinya.“Apa kau merindukan sentuhanku hingga kembali datang kemari?”Sebuah suara menyapa telinga Diana. Serak dan berat membuatnya tersentak, matanya melebar saat menyadari ujung sepatu pantofel mengkilap menabrak kakinya yang tak terbungkus apa pun.“Bu-bukan…a..aku...” ujarnya gugup. Tangannya bergerak gelisah berusaha menolak pertanyaan itu.Bram tak bereaksi lebih, namun tubuhny
"Cara apa yang harus ku lakukan untuk mendapatkan liontin itu." "Dan, di mana Reza menyimpan liontin itu." "Apakah mungkin di rumah ini? Tapi di mana?" Diana berputar-putar menatap sekeliling kamar. Otaknya berpikir keras mencari di mana letak liontin itu. "Bodoh. Bahkan bentuk liontin itu aku tidak tahu." Diana memukul kepalanya. "Lalu bagaimana caranya bisa tahu dan mencarinya?" Bahkan ia lupa bertanya pada Bram bentuk dan bagaiaman liontin itu. Tangannya membuka lemari, lemari yang dulu ia acak-acak kini kembali ia bongkar. Ia tak peduli pada tubuhnya yang terasa lelah remuk redam. "Di mana ya?" gumam Diana sambil menarik tumpukan pakaian Reza. Walaupun baju mereka dalam satu lemari yang sama namun tidak jadi satu tempat. Dan hanya lemari itu Diana mengijinkan Reza menyimpan barang yang sama ndgsna Diana. Dikarenakan mereka cukup lama pisah ranjang, lebih tepatnya sejak Reza berubah menjadi brengsek dan tak tahu diri itu. Bahkan ia tak peduli jika pria itu sakit bad
Matahari sudah cukup tinggi ketika Diana akhirnya berhasil bangun lagi. Tubuhnya masih terasa letih, tapi Bram sudah lebih dulu menariknya untuk turun ke ruang makan. Meja makan itu panjang, dengan taplak putih bersih dan peralatan makan berkilat rapi berjajar. Piring porselen putih di hadapan mereka hanya berisi menu bermacam-macam sup hangat, ayam panggang, beberapa olahan ikan dan potongan buah segar. Terlihat mewah bagia Diana yang terbiasa makan dengan orek tempe, aroma masakannya menusuk hidungnya, nikmat dan berkelas khas rumah besar dengan chef profesional. Namun anehnya, ruang makan yang luas itu terasa kosong. Hening. Tidak ada maid yang berbaris di sisi ruangan seperti kemarin, tidak ada bodyguard yang lalu-lalang menjaga. Hanya mereka berdua. Sunyi begitu kental hingga suara sendok menyentuh piring terdengar terlalu jelas. Diana duduk agak menunduk, berusaha makan dengan tenang, meski tangannya sedikit gemetar. Sementara Bram duduk tegap di ujung meja, menikmati mak
Perlahan, kelopak mata Diana terangkat. Pandangannya langsung tertumbuk pada dada bidang yang tengah merengkuhnya erat. Hangat. Nyaman. Dan… terlalu dekat.Ia terdiam sejenak, membiarkan telinganya menangkap dentum jantung Bram yang berdetak stabil di dadanya. Lengan kokoh pria itu melingkar di pinggangnya, membuatnya tak bisa bergerak kemana-mana. Pipi Diana memanas, semburat merah menjalar hingga telinganya.'Nafasnya begitu teratur… bahkan hembusannya saja bisa membuatku gugup begini.'Matanya pelan-pelan mengangkat kepala, menatap wajah Bram yang masih terpejam. Rambut hitam pria itu sedikit berantakan, garis rahangnya tegas, dan ada sedikit sisa lelah di rautnya. Namun justru di situlah letak ketampanannya wajah pria dewasa yang baru saja memberikan malam panjang tak terlupakan.Diana menahan napasnya. "Ya Tuhan, bagaimana bisa ia terlihat lebih tampan saat tidur begini?" Bibirnya bergerak tanpa suara, seperti ingin tersenyum tapi malu sendiri.Ia mencoba menarik tubuhnya menjauh







