เข้าสู่ระบบDua jam mengurung diri di kamar, Diana akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja.
Ia tidak peduli, meski hari ini seharusnya menjadi jatah liburnya. Nyatanya, berada di bawah satu atap dengan Reza justru membuatnya semakin frustasi. Dengan langkah lesu, Diana mengenakan flatshoes miliknya yang sudah kusam dan rusak. Ia lebih memilih kelelahan di tempat kerja daripada harus menatap wajah Reza yang memuakkan. "Kamu mau ke mana, Diana?" Diana melirik singkat ke arah Reza yang tampak gelisah duduk di sofa. Pria itu sesekali memutar gelas di tangannya, seolah sedang menyusun kata. "Bukannya hari ini kamu libur? Kok pakai seragam itu lagi?" Diana, yang hampir mencapai pintu, menoleh sambil menatapnya sinis. "Tentu saja bekerja. Aku butuh uang untuk makan." Tanpa menunggu reaksi Reza, ia langsung melangkah pergi. Tak ada salam, tak ada lambaian tangan, hanya derap langkah berat penuh amarah yang menghentak lantai. Rasa kesalnya terhadap Reza bukan lagi hal sederhana yang terlihat. melainkan rasa muak hingga ke ubun-ubun. Hidup bertahun-tahun namun yang di dapat hanya penderitaan. Siapa yang betah? "Aku harus lepas darinya. Bisa mati muda kalau terus begini," batinnya menggerutu. Ia menyusuri jalanan yang tersorot teriak matahari, udara bercampur polusi terasa menusuk hidungnya. Senyum baru muncul di wajahnya ketika bangunan yang cukup ramai terlihat dari kejauhan. Dengan semangat, Diana melangkah masuk ke dalam minimarket tempatnya mencari nafkah. "DIANA... OH TUHAN, AKHIRNYA KAMU DATANG!" teriakan lantang Amalia membuatnya kaget, juga menarik perhatian beberapa pengunjung yang sedang berbelanja. Diana meringis, lalu menepuk bahu rekannya itu, setengah malu. "Ada apa?" "Ada seseorang yang datang mencarimu, Diana," ucap Amalia dengan nada serius. Sambil tangannya cekatan membungkus pesanan pelanggan, mulutnya tetap aktif berbicara. "Totalnya, sembilan ratus ribu ya Kak." Amalia menyerahkan sebungkus kresek kepala pembeli. "Seseorang siapa?" Diana bertanya, penasaran. "Aku tidak tahu. Tapi dia... Ah, itu dia." Amalia menunjuk ke arah seorang pria yang mengenakan jas rapi, berdiri tegak di dekat rak. Kemudian kembali fokus menghitung uang. Diana menatap pria itu. Seolah tau ada yang mengawasinya, pria tersebut menoleh ke arah yang sama dengan Diana . pandangan mereka bertemu. Mata mereka saling terkunci. Pria itu tersenyum. Diana terbelalak dan segera mengalihkan tatapannya. "Dia siapa?" bisik Diana. "Kamu tanya padaku? Lalu aku harus tanya siapa?" jawab Amalia, ikut bingung. "Omoo... lihat, dia ke sini!" katanya panik ketika pria itu mulai melangkah mendekat. Amalia dengan gugup merapikan seragamnya dan tersenyum manis. Begitu sampai di hadapan mereka, pria itu langsung menatap Diana dan berkata. "Diana, bisa bicara sebentar denganmu?" suaranya dalam dan datar. Diana diam. Ia tidak mengenali pria ini, tapi reaksinya terasa sangat personal. "Maaf, Tuan, apa Anda mengenal teman saya?" Amalia bertanya, mewakili kebingungan Diana. ia bertanya se-ramah mungkin, senyum tak lekang dari bibirnya sekalipun pria itu tak melirik sama sekali. "Ya. Saya sangat mengenalnya," jawab pria itu, lalu menarik Diana yang masih tertegun. Wanita itu terlalu syok untuk bereaksi, tak menyadari sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Sedangkan Amalia turut menganga saat Diana di tarik begitu saja. "Apa pria itu berniat jahat?" gumamnya lirih. Diana segera melepas tautan mereka begitu sadar. Ia menatap punggung pria yang entah siapa namanya itu. "Siapa kamu?" tanya Diana waspada. Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya melangkah pelan menuju kursi yang tersedia di sisi luar toko, lalu duduk dengan tenang. Diana masih berdiri mematung, menanti jawaban yang tak kunjung datang. "Duduklah dulu," tukas pria itu, dengan senyum kecil di bibirnya. Matanya menyipit saat menatap tajamnya tatapan Diana yang penuh kecurigaan. Karena tidak mendapat jawaban, Diana menoleh ke sana kemari, memastikan situasi sekitar. Setelah merasa cukup aman, ia akhirnya memutuskan untuk duduk. Lagipula, mereka berada di tempat umum. Rasanya tidak mungkin pria itu punya niat buruk, kan? "Siapa kamu? dan apa tujuanmu?" tanya Diana lagi. Pria itu tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang rapi. Jambang tipis membingkai wajahnya, menunjukkan bahwa ia adalah pria dewasa yang matang, mungkin beberapa tahun lebih tua darinya. "Saya Bram. Saya ingin menawarkan sesuatu padamu." Diana mengerutkan dahi. "Maksudmu?" Bram mengulum senyum. "Saya tahu saat ini kalian sedang kesusahan. Atau bahkan berada di situasi yang sangat terjepit." "Bisa langsung saja? Jangan bertele-tele," potong Diana tak sabar. Ia melirik ke sekeliling, tetap waspada. Pria itu terkekeh pelan, seolah tak terganggu oleh sikap dingin Diana. "Saya akan membantumu membayar hutang suamimu. Tapi dengan satu syarat sebagai gantinya," ucapnya tenang. Ia mengeluarkan sebatang rokok dari saku jasnya, lalu menyalakannya. Sesapan pertama mengepulkan asap ke udara, membuat Diana sedikit terbatuk. "Aku tidak mengenalmu. Siapa kau, dan apa sebenarnya tujuanmu?" tanya Diana lagi. "Lagi pula, aku tidak butuh bantuanmu." Diana mengucapkannya dengan tenang, kemudian berdiri dan bersiap untuk pergi. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar kalimat Bram selanjutnya. "Saya tahu, suamimu terlilit hutang. Dan kalian harus segera melunasinya. Kalau tidak, dia bisa diseret ke penjara. Atau lebih buruk mereka bisa menjadikanmu pelampiasan nafsu mereka..." Diana menegang. Kakinya terasa terpaku di tempat. Ucapan Bram mengingatkannya akan kejadian pagi tadi. Siapa pria itu? dan dari mana dia tahu tentang hutang Reza? Apa mereka satu komplotan dengan Gunadi? "Kau mengenal suamiku?" tanya Diana menyelidik. "Apa hubunganmu dengan Reza?" pria itu tak menjawab namun mendekat ke arah Diana. "Hubungi saya jika kamu setuju. Saya akan segera membantu." Bram menyelipkan secarik kertas ke dalam genggaman Diana, lalu berlalu pergi meninggalkan toko. Diana masih berdiri di tempat, terdiam, matanya kosong. Pikirannya kacau. Namun saat tersadar pria itu sudah memasuki mobil. Diana berlari mengejar. Namun mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi. "Hei...Tunggu. Apa kau mengenal Reza?" Diana berteriak kencang mengabaikan tatapan aneh orang-orang padanya. Diana menatap kepergian mobil itu dengan rasa bingung sekaligus aneh. "Siapa dia? kenapa dia tiba-tiba ingin membantuku?Keributan terjadi di klub Viper, kekalahan Reza membuat pria itu tak terima. Ia memukul siapapun yang ada di dekatnya membuatnya di pukul balik oleh pengunjung lain. Kericuhan yang ia timbulkan membuatnya di seret satpam keluarBahkan rencana malam bersama Camilla, sang pelacur mahal harus gagal total sebelum mencicipi tubuh molek wanita itu.Langkahnya terhuyung, tubuhnya terasa remuk hingga ia memutuskan pulang. Kehilangan uang tak sedikit kembali membuatnya kesal dan marah namun apa daya, amarah hanya bisa ia telah, kecewa hanya bisa ia rasakan.Ia tak menyangka Dragon sehebat itu, ia sudah berlatih berkali-kali dan berkali-kali juga telah memenangkan pertaruhan namun kali ini ia gagal dalam satu putaran."Sial...pria itu Aku akan membunuhnya lain kali."Reza mendorong pintu rumahnya, matanya menangkap seorang wanita yang sangat di kenalinya.Diana.Wanita itu nampak sibuk menghitung lembaran merah yang sangat banyak, ia terkejut namun berusaha terlihat biasa saja.Perlahan ia mend
Suara teriakan dan desahan bercampur, menyatu dengan asap rokok dan tumpukan alkohol. Tak sedikit sepasang pria dan wanita memadu kasih dengan panas. Di sudut klub, sebuah meja melingkar dengan beberapa pria duduk di kursinya. Ketegangan meraup wajah mereka ketika dua kali putaran tak sekalipun meraup keuntungan. Namun lain hal dengan Reza, malam ini adalah malam keberuntungan, dalam dua kali putaran itu ia telah memenangkan dua ratus juta. Ia congkak, menatap remeh lawan-nya yang nampak panik dan marah. Celotehan-celotehan penonton dan pendukung semakin membuatnya besar kepala dan bangga. Sesekali mengecup singkat bibir sang wanita di pangkuan semakin menunjukan bahwa ialah rajanya malam ini. "Hahaha....kau hebat Reza. Malam ini kau sangat beringas, dua kali putaran kau selalu menang hahaha..." "Ya benar, aku tak menyangka anak muda sepertimu bisa melawan kami yang sudah lebih dari lima puluh tahun bermain judi." Reza semakin menaikan dagunya, tersenyum pongah. Dadanya
“Ada apa?”Diana menolehkan wajahnya ke arah suara. Seorang pria yang beberapa hari terakhir mengacaukan hidupnya berdiri tenang, kedua tangan terselip di saku celana.Tatapan datar dengan alis terangkat menjadi penyambutnya. Sejenak ia gugup untuk mengutarakan apa maksud kedatangannya.Setelah beberapa hari merenung, pada akhirnya Diana nekat kembali datang ke rumah mewah yang kini ia pijak. Untuk apa lagi selain mencari informasi tentang liontin yang harus ia cari.Bram yang melihat keterdiaman Diana perlahan mendekat. Langkahnya tenang dan hening hingga wanita yang biasanya menatap sinis itu tak menyadarinya.“Apa kau merindukan sentuhanku hingga kembali datang kemari?”Sebuah suara menyapa telinga Diana. Serak dan berat membuatnya tersentak, matanya melebar saat menyadari ujung sepatu pantofel mengkilap menabrak kakinya yang tak terbungkus apa pun.“Bu-bukan…a..aku...” ujarnya gugup. Tangannya bergerak gelisah berusaha menolak pertanyaan itu.Bram tak bereaksi lebih, namun tubuhny
"Cara apa yang harus ku lakukan untuk mendapatkan liontin itu." "Dan, di mana Reza menyimpan liontin itu." "Apakah mungkin di rumah ini? Tapi di mana?" Diana berputar-putar menatap sekeliling kamar. Otaknya berpikir keras mencari di mana letak liontin itu. "Bodoh. Bahkan bentuk liontin itu aku tidak tahu." Diana memukul kepalanya. "Lalu bagaimana caranya bisa tahu dan mencarinya?" Bahkan ia lupa bertanya pada Bram bentuk dan bagaiaman liontin itu. Tangannya membuka lemari, lemari yang dulu ia acak-acak kini kembali ia bongkar. Ia tak peduli pada tubuhnya yang terasa lelah remuk redam. "Di mana ya?" gumam Diana sambil menarik tumpukan pakaian Reza. Walaupun baju mereka dalam satu lemari yang sama namun tidak jadi satu tempat. Dan hanya lemari itu Diana mengijinkan Reza menyimpan barang yang sama ndgsna Diana. Dikarenakan mereka cukup lama pisah ranjang, lebih tepatnya sejak Reza berubah menjadi brengsek dan tak tahu diri itu. Bahkan ia tak peduli jika pria itu sakit bad
Matahari sudah cukup tinggi ketika Diana akhirnya berhasil bangun lagi. Tubuhnya masih terasa letih, tapi Bram sudah lebih dulu menariknya untuk turun ke ruang makan. Meja makan itu panjang, dengan taplak putih bersih dan peralatan makan berkilat rapi berjajar. Piring porselen putih di hadapan mereka hanya berisi menu bermacam-macam sup hangat, ayam panggang, beberapa olahan ikan dan potongan buah segar. Terlihat mewah bagia Diana yang terbiasa makan dengan orek tempe, aroma masakannya menusuk hidungnya, nikmat dan berkelas khas rumah besar dengan chef profesional. Namun anehnya, ruang makan yang luas itu terasa kosong. Hening. Tidak ada maid yang berbaris di sisi ruangan seperti kemarin, tidak ada bodyguard yang lalu-lalang menjaga. Hanya mereka berdua. Sunyi begitu kental hingga suara sendok menyentuh piring terdengar terlalu jelas. Diana duduk agak menunduk, berusaha makan dengan tenang, meski tangannya sedikit gemetar. Sementara Bram duduk tegap di ujung meja, menikmati mak
Perlahan, kelopak mata Diana terangkat. Pandangannya langsung tertumbuk pada dada bidang yang tengah merengkuhnya erat. Hangat. Nyaman. Dan… terlalu dekat.Ia terdiam sejenak, membiarkan telinganya menangkap dentum jantung Bram yang berdetak stabil di dadanya. Lengan kokoh pria itu melingkar di pinggangnya, membuatnya tak bisa bergerak kemana-mana. Pipi Diana memanas, semburat merah menjalar hingga telinganya.'Nafasnya begitu teratur… bahkan hembusannya saja bisa membuatku gugup begini.'Matanya pelan-pelan mengangkat kepala, menatap wajah Bram yang masih terpejam. Rambut hitam pria itu sedikit berantakan, garis rahangnya tegas, dan ada sedikit sisa lelah di rautnya. Namun justru di situlah letak ketampanannya wajah pria dewasa yang baru saja memberikan malam panjang tak terlupakan.Diana menahan napasnya. "Ya Tuhan, bagaimana bisa ia terlihat lebih tampan saat tidur begini?" Bibirnya bergerak tanpa suara, seperti ingin tersenyum tapi malu sendiri.Ia mencoba menarik tubuhnya menjauh







