Share

Bab 4

Author: Nn_Effendie
last update Last Updated: 2025-07-12 22:13:05

Dua jam mengurung diri di kamar, Diana akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja.

Ia tidak peduli, meski hari ini seharusnya menjadi jatah liburnya. Nyatanya, berada di bawah satu atap dengan Reza justru membuatnya semakin frustasi.

Dengan langkah lesu, Diana mengenakan flatshoes miliknya yang sudah kusam dan rusak. Ia lebih memilih kelelahan di tempat kerja daripada harus menatap wajah Reza yang memuakkan.

"Kamu mau ke mana, Diana?"

Diana melirik singkat ke arah Reza yang tampak gelisah duduk di sofa. Pria itu sesekali memutar gelas di tangannya, seolah sedang menyusun kata.

"Bukannya hari ini kamu libur? Kok pakai seragam itu lagi?"

Diana, yang hampir mencapai pintu, menoleh sambil menatapnya sinis.

"Tentu saja bekerja. Aku butuh uang untuk makan."

Tanpa menunggu reaksi Reza, ia langsung melangkah pergi. Tak ada salam, tak ada lambaian tangan, hanya derap langkah berat penuh amarah yang menghentak lantai.

Rasa kesalnya terhadap Reza bukan lagi hal sederhana yang terlihat. melainkan rasa muak hingga ke ubun-ubun. Hidup bertahun-tahun namun yang di dapat hanya penderitaan. Siapa yang betah?

"Aku harus lepas darinya. Bisa mati muda kalau terus begini," batinnya menggerutu.

Ia menyusuri jalanan yang tersorot teriak matahari, udara bercampur polusi terasa menusuk hidungnya.

Senyum baru muncul di wajahnya ketika bangunan yang cukup ramai terlihat dari kejauhan. Dengan semangat, Diana melangkah masuk ke dalam minimarket tempatnya mencari nafkah.

"DIANA... OH TUHAN, AKHIRNYA KAMU DATANG!" teriakan lantang Amalia membuatnya kaget, juga menarik perhatian beberapa pengunjung yang sedang berbelanja.

Diana meringis, lalu menepuk bahu rekannya itu, setengah malu.

"Ada apa?"

"Ada seseorang yang datang mencarimu, Diana," ucap Amalia dengan nada serius.

Sambil tangannya cekatan membungkus pesanan pelanggan, mulutnya tetap aktif berbicara. "Totalnya, sembilan ratus ribu ya Kak." Amalia menyerahkan sebungkus kresek kepala pembeli.

"Seseorang siapa?" Diana bertanya, penasaran.

"Aku tidak tahu. Tapi dia... Ah, itu dia." Amalia menunjuk ke arah seorang pria yang mengenakan jas rapi, berdiri tegak di dekat rak. Kemudian kembali fokus menghitung uang.

Diana menatap pria itu. Seolah tau ada yang mengawasinya, pria tersebut menoleh ke arah yang sama dengan Diana . pandangan mereka bertemu. Mata mereka saling terkunci.

Pria itu tersenyum.

Diana terbelalak dan segera mengalihkan tatapannya.

"Dia siapa?" bisik Diana.

"Kamu tanya padaku? Lalu aku harus tanya siapa?" jawab Amalia, ikut bingung. "Omoo... lihat, dia ke sini!" katanya panik ketika pria itu mulai melangkah mendekat. Amalia dengan gugup merapikan seragamnya dan tersenyum manis.

Begitu sampai di hadapan mereka, pria itu langsung menatap Diana dan berkata. "Diana, bisa bicara sebentar denganmu?" suaranya dalam dan datar.

Diana diam. Ia tidak mengenali pria ini, tapi reaksinya terasa sangat personal.

"Maaf, Tuan, apa Anda mengenal teman saya?" Amalia bertanya, mewakili kebingungan Diana. ia bertanya se-ramah mungkin, senyum tak lekang dari bibirnya sekalipun pria itu tak melirik sama sekali.

"Ya. Saya sangat mengenalnya," jawab pria itu, lalu menarik Diana yang masih tertegun.

Wanita itu terlalu syok untuk bereaksi, tak menyadari sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Sedangkan Amalia turut menganga saat Diana di tarik begitu saja.

"Apa pria itu berniat jahat?" gumamnya lirih.

Diana segera melepas tautan mereka begitu sadar. Ia menatap punggung pria yang entah siapa namanya itu.

"Siapa kamu?" tanya Diana waspada.

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya melangkah pelan menuju kursi yang tersedia di sisi luar toko, lalu duduk dengan tenang.

Diana masih berdiri mematung, menanti jawaban yang tak kunjung datang.

"Duduklah dulu," tukas pria itu, dengan senyum kecil di bibirnya. Matanya menyipit saat menatap tajamnya tatapan Diana yang penuh kecurigaan.

Karena tidak mendapat jawaban, Diana menoleh ke sana kemari, memastikan situasi sekitar. Setelah merasa cukup aman, ia akhirnya memutuskan untuk duduk. Lagipula, mereka berada di tempat umum. Rasanya tidak mungkin pria itu punya niat buruk, kan?

"Siapa kamu? dan apa tujuanmu?" tanya Diana lagi.

Pria itu tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang rapi. Jambang tipis membingkai wajahnya, menunjukkan bahwa ia adalah pria dewasa yang matang, mungkin beberapa tahun lebih tua darinya.

"Saya Bram. Saya ingin menawarkan sesuatu padamu."

Diana mengerutkan dahi. "Maksudmu?"

Bram mengulum senyum. "Saya tahu saat ini kalian sedang kesusahan. Atau bahkan berada di situasi yang sangat terjepit."

"Bisa langsung saja? Jangan bertele-tele," potong Diana tak sabar. Ia melirik ke sekeliling, tetap waspada.

Pria itu terkekeh pelan, seolah tak terganggu oleh sikap dingin Diana. "Saya akan membantumu membayar hutang suamimu. Tapi dengan satu syarat sebagai gantinya," ucapnya tenang.

Ia mengeluarkan sebatang rokok dari saku jasnya, lalu menyalakannya. Sesapan pertama mengepulkan asap ke udara, membuat Diana sedikit terbatuk.

"Aku tidak mengenalmu. Siapa kau, dan apa sebenarnya tujuanmu?" tanya Diana lagi. "Lagi pula, aku tidak butuh bantuanmu."

Diana mengucapkannya dengan tenang, kemudian berdiri dan bersiap untuk pergi. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar kalimat Bram selanjutnya.

"Saya tahu, suamimu terlilit hutang. Dan kalian harus segera melunasinya. Kalau tidak, dia bisa diseret ke penjara. Atau lebih buruk mereka bisa menjadikanmu pelampiasan nafsu mereka..."

Diana menegang. Kakinya terasa terpaku di tempat. Ucapan Bram mengingatkannya akan kejadian pagi tadi.

Siapa pria itu? dan dari mana dia tahu tentang hutang Reza?

Apa mereka satu komplotan dengan Gunadi?

"Kau mengenal suamiku?" tanya Diana menyelidik. "Apa hubunganmu dengan Reza?"

pria itu tak menjawab namun mendekat ke arah Diana.

"Hubungi saya jika kamu setuju. Saya akan segera membantu."

Bram menyelipkan secarik kertas ke dalam genggaman Diana, lalu berlalu pergi meninggalkan toko.

Diana masih berdiri di tempat, terdiam, matanya kosong. Pikirannya kacau.

Namun saat tersadar pria itu sudah memasuki mobil. Diana berlari mengejar. Namun mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi.

"Hei...Tunggu. Apa kau mengenal Reza?" Diana berteriak kencang mengabaikan tatapan aneh orang-orang padanya.

Diana menatap kepergian mobil itu dengan rasa bingung sekaligus aneh.

"Siapa dia? kenapa dia tiba-tiba ingin membantuku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 6

    Diana menyusuri jalan dengan langkah berat. Pundaknya condong ke depan seolah sedang memanggul karung berton-ton beban. Matanya sayu dan berkantung, sesekali berkedip kala debu menerpa masuk tanpa ampun.Pikirannya kacau. Berkecamuk tanpa henti penuh pertanyaan, penuh makian, entah ditujukan untuk siapa.Bram.Nama pria itu kembali menghantui benaknya. Membengkak dalam ruang pikir hingga dada terasa pengap.Tawaran Bram terus memutar di kepalanya bagai kaset rusak.“Sial…” desisnya pelan, “kenapa hidupku sial sekali?”Diana memasuki halaman rumah. Sunyi. Pinggiran jalan yang selalu sepi kini mencekam, hanya dipenuhi semak liar dan tanaman rambat. Matanya sempat melirik ke kiri dan kanan rumah-rumah tetangga tampak rapi, bahkan mewah.Kontras dengan rumah kontrakan reotnya yang lebih menyerupai kandang sapi.Saat membuka pintu, suara tawa kasar meledak menyambut.“Hahaha!!”Diana memejamkan mata cepat. Mengedip berkali-kali menahan perih. Aroma alkohol menyengat hidung, bercampur asap

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 5

    Diana kembali ke dalam toko dengan isi kepala yang penuh. Ribuan pertanyaan menggantung di otak membuatnya pening dalam sekejap.Tiba-tiba di datangi seorang pria yang nampak bukan orang sembarangan siapa tak terkejut?Belum lagi pernyataan sekaligus penawaran yang tak masuk akal itu?"Hah..." Hembusan nafas berat kembali keluar dari bibir pucat Diana. Semua itu tak luput dari tatapan Amalia yang sejak tadi melihatnya."Kamu kenapa? Sejak bertemu dengan pria itu kamu terlihat seperti manusia penuh hutang."Diana menoleh, menatap rekan kerja satu-satunya sejak 1 tahun terakhir."Ya...aku sedang di landa hutang dengan nominal yang tak kecil." Jawab Diana setengah berat.Ia menunduk memandangi tumpukan kardus yang berantakan. Isinya bukan sekadar barang dagangan, melainkan simbol beban hidup yang terus menggunung."Kamu serius? Berapa? Siapa tahu aku bisa bantu." Lanjut Amalia lagi dengan penuh perhatian.Diana tersenyum. Tapi bukan senyum senang. Melainkan senyum tipis, sinis, dan menge

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 4

    Dua jam mengurung diri di kamar, Diana akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja.Ia tidak peduli, meski hari ini seharusnya menjadi jatah liburnya. Nyatanya, berada di bawah satu atap dengan Reza justru membuatnya semakin frustasi.Dengan langkah lesu, Diana mengenakan flatshoes miliknya yang sudah kusam dan rusak. Ia lebih memilih kelelahan di tempat kerja daripada harus menatap wajah Reza yang memuakkan."Kamu mau ke mana, Diana?"Diana melirik singkat ke arah Reza yang tampak gelisah duduk di sofa. Pria itu sesekali memutar gelas di tangannya, seolah sedang menyusun kata."Bukannya hari ini kamu libur? Kok pakai seragam itu lagi?"Diana, yang hampir mencapai pintu, menoleh sambil menatapnya sinis."Tentu saja bekerja. Aku butuh uang untuk makan."Tanpa menunggu reaksi Reza, ia langsung melangkah pergi. Tak ada salam, tak ada lambaian tangan, hanya derap langkah berat penuh amarah yang menghentak lantai.Rasa kesalnya terhadap Reza bukan lagi hal sederhana yang terlihat. melainkan

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 3

    "sejak kapan kamu hutang uang, Mas? Dan buat apa uang itu sebenarnya?" Nada suara Diana tajam, matanya menyorot penuh kemarahan. Di depannya, Reza duduk menunduk di atas sofa yang usang dan robek di beberapa sisi. Kedua tangannya saling menggenggam, dingin oleh rasa takut dan malu. Pria itu tak langsung menjawab. Napasnya tertahan. “Jawab, Mas! Jangan cuma diam aja!” Sentakan Diana membuat bahunya terlonjak. Suaranya bergetar, tapi bukan karena lemah melainkan menahan emosi yang nyaris meledak. Matanya sudah memerah, menahan air mata yang ingin jatuh, bukan karena sedih, tapi karena kecewa. "A-ak… aku hutang… untuk…" "Untuk apa? Mabuk? Judi lagi?" Potong Diana cepat, penuh tuduhan yang tak bisa dibantah. Reza hanya mengangguk. Pelan. Malu. Lemas. Diana mengusap wajahnya kasar. Jari-jarinya mencengkram rambutnya sejenak. “Mas... kamu tuh mikir gak sih? Kita ini hidup udah pas-pasan, makan aja harus utang ke warteg. Tapi kamu malah buat masalah baru?! Buat beban baru?!” “Aku

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 2

    Pagi kembali datang. Diana terbangun dengan kepala pening dan hati jengkel. Padahal hari ini jatahnya libur, seharusnya bisa dipakai untuk memulihkan tenaga—jiwa dan raga. Tapi alih-alih tenang, suara bising yang menggelegar dari luar malah membuyarkan harapannya.“Sialan... sambutan pagi macam apa ini?” gerutunya sambil meraih daster kusam di gantungan pintu.Langkahnya cepat dan penuh kesal. Saat melewati ruang tamu, ia sempat melirik. Botol-botol minuman keras yang semalam berserakan ternyata sudah lenyap. Pasti Reza yang membereskan. Setidaknya pria itu tahu diri.Ia tak peduli. Saat ini, matanya tajam menyapu pintu depan yang sudah rusak gemboknya. Suara teriakan makin jelas terdengar.“Bayar utangmu, bangsat! susah enam bulan kau tak bayar. Jangan harap kau bisa lari dari kami!”Dahi Diana mengernyit dalam. Itu bukan suara tetangga, rumah mereka ada di ujung gang sempit, dan biasanya tak ada yang berani datang ke situ. Dengan cepat, Diana membuka pintu depan.Matanya langsung b

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 1.

    "Kamu mabuk lagi, Mas?" Nada suara Diana dingin, namun matanya bergetar menahan amarah dan sedih yang terus menumpuk. Ia berdiri mematung di ambang pintu ruang tamu yang remang dan berantakan. Lagi, sambutan ia pulang ke rumah bukanlah senyum manis sang suami, ataupun sekedar pertanyaan 'sayang apakah kamu lelah?' Tidak. Melainkan, botol-botol kosong bergelimpangan di lantai seperti serpihan kehidupan yang tak utuh. Beberapa tumpah, meninggalkan bekas lengket dan bau menusuk. Sisa makanan basi, asbak penuh puntung, dan baju kotor berserakan tanpa ampun di lantai rumah kecil yang semakin terasa pengap. Tangannya refleks menutup hidung. "Ya Tuhan, ini rumah atau tempat sampah, Mas?" Di sofa reyot yang busanya mencuat keluar, Reza terbaring. Kaos putihnya yang lusuh dan penuh jamur melorot dari bahu, celana pendeknya hampir melorot dari pinggang, rambut gondrongnya kusut dan berminyak. Matanya merah, bergerak liar tanpa arah, mulutnya bau alkohol. "Diana... Kamu pulang ya?" Suara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status