LOGINDiana kembali ke dalam toko dengan isi kepala yang penuh. Ribuan pertanyaan menggantung di otak membuatnya pening dalam sekejap.
Tiba-tiba di datangi seorang pria yang nampak bukan orang sembarangan siapa tak terkejut? Belum lagi pernyataan sekaligus penawaran yang tak masuk akal itu? "Hah..." Hembusan nafas berat kembali keluar dari bibir pucat Diana. Semua itu tak luput dari tatapan Amalia yang sejak tadi melihatnya. "Kamu kenapa? Sejak bertemu dengan pria itu kamu terlihat seperti manusia penuh hutang." Diana menoleh, menatap rekan kerja satu-satunya sejak 1 tahun terakhir. "Ya...aku sedang di landa hutang dengan nominal yang tak kecil." Jawab Diana setengah berat. Ia menunduk memandangi tumpukan kardus yang berantakan. Isinya bukan sekadar barang dagangan, melainkan simbol beban hidup yang terus menggunung. "Kamu serius? Berapa? Siapa tahu aku bisa bantu." Lanjut Amalia lagi dengan penuh perhatian. Diana tersenyum. Tapi bukan senyum senang. Melainkan senyum tipis, sinis, dan mengejek. "Wah...adik manis. Terimakasih atas niat baik itu tapi kurasa lebih baik kau simpan uangmu untuk beli permen." Tukas Diana meledek. Amalia memutar matanya malas, senyum penuh ejekan Diana membuatnya ingin melempar sebotol kecap ke wajah itu. "Padahal aku sungguh-sungguh. Memang berapa hutangmu? walau aku tak yakin kamu punya hutang kamu terlihat tidak terlihat susah sedikitpun." "65 juta. Kamu serius mau bantu? Kurasa, menerima bantuan mu cukup meringankan beban pundakku," "Apa...65 juta?" Amalia berteriak kencang. Ia memegang dadanya yang syok "kamu serius? Itu tidak sedikit lho?" Diana yang sedang menata gula di rak lain hanya tersenyum tipis. "Menurutmu aku bercanda?" Amalia menjawab dengan cepat. "Tentu saja. Kamu terlihat sangat irit dalam hal apapun. Kamu tidak terlihat wanita yang suka menghamburkan uang. Rasanya tidak mungkin kamu berhutang sebanyak itu." Amalia menatap Diana, ia merasa tak percaya dengan apa yang Diana katakan. Selama bekerja dnegan wanita itu, tak pernah sekalipun Diana membeli hal mahal. Sekalipun ia membeli, paling hanya kebutuhan rumah seperti Rinso, sabun dan bumbu masak. Bahkan sekedar bedak ataupun lipstik tak Amalia lihat Diana pernah membeli. "Aku memang Tidak berhutang pada siapapun." Katanya tenang. "Tapi suamiku," lanjutnya dalam hati. "Sudahlah ayo kita bersihkan ini. Agar pak bos tak kembali mengamuk seperti singa." Amalia mengangguk. Keduanya kembali sibuk menata dan membungkus barang-barang dari pesanan pembeli. ** Sementara itu, di tempat lain... Langit sore Jakarta mulai tenggelam dalam semburat oranye kelam, membiaskan cahaya hangat yang nyaris tak menyentuh kaca tebal hitam pekat di lantai tujuh belas Menara Prasetyo Corp. Gedung itu bukan sekadar bangunan tinggi, ia adalah monumen kekuasaan. Bayangan raksasa dari ambisi, uang, dan darah yang mengalir pelan di balik gemerlap bisnis. Dan di dalamnya, duduk satu nama yang tak pernah disebut dengan suara keras. Bram Prasetyo. Di balik meja kerja kayu walnut antik yang diimpor langsung dari Norwegia, Bram duduk tenang dengan punggung tegap. Sebuah gelas wine merah melingkar di tangan kanannya, berputar perlahan, seperti waktu yang sedang ia kendalikan sendiri. Wajahnya tak bergerak. Tak ada kerutan emosi. Namun dari sorot matanya, terbaca kejam yang tak berbunyi seperti malam yang tak pernah peduli apakah manusia tidur atau mati. Ia bukan pria biasa. Bukan sekadar pewaris perusahaan hiburan. Prasetyo Corporation yang kini ia pimpin bukan lagi hanya rumah produksi film besar, melainkan sebuah kerajaan ekonomi yang menjangkiti banyak sendi kehidupan negeri. Prasetyo Corp memiliki saham di industri media, distribusi digital, e-commerce besar, tiga bank swasta, lima rumah sakit internasional, dan jaringan logistik bawah tanah yang bahkan tidak terdaftar resmi di kementerian manapun. Tak hanya bisnis legal, kabar yang beredar di kalangan terbatas menyebut Bram memiliki kontrol atas beberapa nama besar dalam daftar hitam Interpol meski tak pernah ada bukti. Dia bisa mengatur perputaran berita. Menjatuhkan seorang publik figur dalam semalam. Membungkam skandal politik hanya dengan satu memo. Ia bahkan bisa membeli nama seseorang, lalu menghapusnya dari sistem negara. Bram tak membeli hal. Ia membeli kendali. Dan dunia? Hanya papan catur yang terlalu lemah untuk membantahnya. Tok! Tok! “Masuk.” Pintu terbuka, memperlihatkan sesosok pria muda dengan wajah penuh tekanan. Giyo Santo. Tangan kanan Bram yang sudah lama mengabdi, tahu betul betapa satu kesalahan kecil saja bisa berarti akhir dari karier, bahkan nyawanya. “Tuan, semua laporan yang Anda minta sudah saya selidiki. Semua tersimpan rapi dalam map ini.” Giyo melangkah hati-hati, meletakkan map biru itu di meja besar berlapis kaca. Bram tak berbalik. Ia hanya berdiri membelakangi Giyo, memandangi langit senja yang mulai berwarna tembaga. Aura dinginnya memenuhi ruangan. “Kau sudah melakukan semua yang aku perintahkan?” tanyanya tanpa nada. Namun justru karena itulah, kalimat itu terdengar mengancam. Giyo menelan ludah. Tengkuknya merinding. Tangannya berkeringat. Ia menunduk dalam-dalam meski tak melihat mata majikannya. “Sudah, Tuan. Semua sudah saya lakukan. Dia tak akan menemukan jalan keluar lagi.” Keheningan turun sejenak. Bram berbalik. Tatapannya menusuk. Dingin. Tak ada keraguan. Ia membuka map. Lembar demi lembar dibaca cepat. Matanya tajam, namun tenang. Layaknya predator yang membaca peta sebelum menyergap mangsa. Sampai akhirnya... Senyum tipis menghiasi wajahnya. Bukan senyum gembira. Tapi senyum seorang pengadil yang baru menemukan alasan untuk menghancurkan. “Bagus.” Satu kata itu cukup membuat Giyo nyaris menghembuskan napas lega. Namun kemudian Bram melangkah ke arah jendela, menatap ke luar. Matanya menyorot lalu lintas kota, gedung-gedung tinggi, dan manusia-manusia kecil yang berlalu lalang. Semua tampak seperti pion-pion kecil yang sedang berjalan sesuai rencana yang ia gambar. Ia tak menyebut dirinya raja. Karena raja masih bisa dijatuhkan. Bram Prasetyo adalah sistem. Ia adalah algoritma kekuasaan. Tubuhnya mungkin manusia, tapi pikirannya telah menjadi mesin dingin yang hanya menyisakan tujuan: mengendalikan. “Orang-orang di luar sana…” gumam Bram pelan, nyaris tak terdengar. “...hidup dalam ilusi. Mereka pikir mereka memilih. Mereka pikir mereka bebas. Mereka pikir dunia ini adil. Padahal semuanya... sudah ditentukan.” Giyo menelan ludah. “Apakah... dia target selanjutnya, Tuan?” tanya Giyo hati-hati. Bram tak menjawab langsung. Ia memandangi satu titik di kejauhan. Kemudian ia berkata lirih, namun cukup jelas “Bukan target. Tapi pintu masuk.” "keluar!" ucapnya dingin. Giyo langsung menunduk dan melangkah mundur, menutup pintu pelan. Begitu ruangan kembali sunyi, Bram duduk. Dunia di luar terus berputar, tapi di ruangan itu, waktu terasa beku. Ia menatap foto Diana sekali lagi. Sorotnya dingin. Bibirnya bergerak perlahan, seperti mantra kelam yang baru dibacakan. “Nyawa dibalas nyawa. Darah dibalas darah.”Keributan terjadi di klub Viper, kekalahan Reza membuat pria itu tak terima. Ia memukul siapapun yang ada di dekatnya membuatnya di pukul balik oleh pengunjung lain. Kericuhan yang ia timbulkan membuatnya di seret satpam keluarBahkan rencana malam bersama Camilla, sang pelacur mahal harus gagal total sebelum mencicipi tubuh molek wanita itu.Langkahnya terhuyung, tubuhnya terasa remuk hingga ia memutuskan pulang. Kehilangan uang tak sedikit kembali membuatnya kesal dan marah namun apa daya, amarah hanya bisa ia telah, kecewa hanya bisa ia rasakan.Ia tak menyangka Dragon sehebat itu, ia sudah berlatih berkali-kali dan berkali-kali juga telah memenangkan pertaruhan namun kali ini ia gagal dalam satu putaran."Sial...pria itu Aku akan membunuhnya lain kali."Reza mendorong pintu rumahnya, matanya menangkap seorang wanita yang sangat di kenalinya.Diana.Wanita itu nampak sibuk menghitung lembaran merah yang sangat banyak, ia terkejut namun berusaha terlihat biasa saja.Perlahan ia mend
Suara teriakan dan desahan bercampur, menyatu dengan asap rokok dan tumpukan alkohol. Tak sedikit sepasang pria dan wanita memadu kasih dengan panas. Di sudut klub, sebuah meja melingkar dengan beberapa pria duduk di kursinya. Ketegangan meraup wajah mereka ketika dua kali putaran tak sekalipun meraup keuntungan. Namun lain hal dengan Reza, malam ini adalah malam keberuntungan, dalam dua kali putaran itu ia telah memenangkan dua ratus juta. Ia congkak, menatap remeh lawan-nya yang nampak panik dan marah. Celotehan-celotehan penonton dan pendukung semakin membuatnya besar kepala dan bangga. Sesekali mengecup singkat bibir sang wanita di pangkuan semakin menunjukan bahwa ialah rajanya malam ini. "Hahaha....kau hebat Reza. Malam ini kau sangat beringas, dua kali putaran kau selalu menang hahaha..." "Ya benar, aku tak menyangka anak muda sepertimu bisa melawan kami yang sudah lebih dari lima puluh tahun bermain judi." Reza semakin menaikan dagunya, tersenyum pongah. Dadanya
“Ada apa?”Diana menolehkan wajahnya ke arah suara. Seorang pria yang beberapa hari terakhir mengacaukan hidupnya berdiri tenang, kedua tangan terselip di saku celana.Tatapan datar dengan alis terangkat menjadi penyambutnya. Sejenak ia gugup untuk mengutarakan apa maksud kedatangannya.Setelah beberapa hari merenung, pada akhirnya Diana nekat kembali datang ke rumah mewah yang kini ia pijak. Untuk apa lagi selain mencari informasi tentang liontin yang harus ia cari.Bram yang melihat keterdiaman Diana perlahan mendekat. Langkahnya tenang dan hening hingga wanita yang biasanya menatap sinis itu tak menyadarinya.“Apa kau merindukan sentuhanku hingga kembali datang kemari?”Sebuah suara menyapa telinga Diana. Serak dan berat membuatnya tersentak, matanya melebar saat menyadari ujung sepatu pantofel mengkilap menabrak kakinya yang tak terbungkus apa pun.“Bu-bukan…a..aku...” ujarnya gugup. Tangannya bergerak gelisah berusaha menolak pertanyaan itu.Bram tak bereaksi lebih, namun tubuhny
"Cara apa yang harus ku lakukan untuk mendapatkan liontin itu." "Dan, di mana Reza menyimpan liontin itu." "Apakah mungkin di rumah ini? Tapi di mana?" Diana berputar-putar menatap sekeliling kamar. Otaknya berpikir keras mencari di mana letak liontin itu. "Bodoh. Bahkan bentuk liontin itu aku tidak tahu." Diana memukul kepalanya. "Lalu bagaimana caranya bisa tahu dan mencarinya?" Bahkan ia lupa bertanya pada Bram bentuk dan bagaiaman liontin itu. Tangannya membuka lemari, lemari yang dulu ia acak-acak kini kembali ia bongkar. Ia tak peduli pada tubuhnya yang terasa lelah remuk redam. "Di mana ya?" gumam Diana sambil menarik tumpukan pakaian Reza. Walaupun baju mereka dalam satu lemari yang sama namun tidak jadi satu tempat. Dan hanya lemari itu Diana mengijinkan Reza menyimpan barang yang sama ndgsna Diana. Dikarenakan mereka cukup lama pisah ranjang, lebih tepatnya sejak Reza berubah menjadi brengsek dan tak tahu diri itu. Bahkan ia tak peduli jika pria itu sakit bad
Matahari sudah cukup tinggi ketika Diana akhirnya berhasil bangun lagi. Tubuhnya masih terasa letih, tapi Bram sudah lebih dulu menariknya untuk turun ke ruang makan. Meja makan itu panjang, dengan taplak putih bersih dan peralatan makan berkilat rapi berjajar. Piring porselen putih di hadapan mereka hanya berisi menu bermacam-macam sup hangat, ayam panggang, beberapa olahan ikan dan potongan buah segar. Terlihat mewah bagia Diana yang terbiasa makan dengan orek tempe, aroma masakannya menusuk hidungnya, nikmat dan berkelas khas rumah besar dengan chef profesional. Namun anehnya, ruang makan yang luas itu terasa kosong. Hening. Tidak ada maid yang berbaris di sisi ruangan seperti kemarin, tidak ada bodyguard yang lalu-lalang menjaga. Hanya mereka berdua. Sunyi begitu kental hingga suara sendok menyentuh piring terdengar terlalu jelas. Diana duduk agak menunduk, berusaha makan dengan tenang, meski tangannya sedikit gemetar. Sementara Bram duduk tegap di ujung meja, menikmati mak
Perlahan, kelopak mata Diana terangkat. Pandangannya langsung tertumbuk pada dada bidang yang tengah merengkuhnya erat. Hangat. Nyaman. Dan… terlalu dekat.Ia terdiam sejenak, membiarkan telinganya menangkap dentum jantung Bram yang berdetak stabil di dadanya. Lengan kokoh pria itu melingkar di pinggangnya, membuatnya tak bisa bergerak kemana-mana. Pipi Diana memanas, semburat merah menjalar hingga telinganya.'Nafasnya begitu teratur… bahkan hembusannya saja bisa membuatku gugup begini.'Matanya pelan-pelan mengangkat kepala, menatap wajah Bram yang masih terpejam. Rambut hitam pria itu sedikit berantakan, garis rahangnya tegas, dan ada sedikit sisa lelah di rautnya. Namun justru di situlah letak ketampanannya wajah pria dewasa yang baru saja memberikan malam panjang tak terlupakan.Diana menahan napasnya. "Ya Tuhan, bagaimana bisa ia terlihat lebih tampan saat tidur begini?" Bibirnya bergerak tanpa suara, seperti ingin tersenyum tapi malu sendiri.Ia mencoba menarik tubuhnya menjauh







