แชร์

Bab 5

ผู้เขียน: Nn_Effendie
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-07-31 22:26:30

Diana kembali ke dalam toko dengan isi kepala yang penuh. Ribuan pertanyaan menggantung di otak membuatnya pening dalam sekejap.

Tiba-tiba di datangi seorang pria yang nampak bukan orang sembarangan siapa tak terkejut?

Belum lagi pernyataan sekaligus penawaran yang tak masuk akal itu?

"Hah..." Hembusan nafas berat kembali keluar dari bibir pucat Diana. Semua itu tak luput dari tatapan Amalia yang sejak tadi melihatnya.

"Kamu kenapa? Sejak bertemu dengan pria itu kamu terlihat seperti manusia penuh hutang."

Diana menoleh, menatap rekan kerja satu-satunya sejak 1 tahun terakhir.

"Ya...aku sedang di landa hutang dengan nominal yang tak kecil." Jawab Diana setengah berat.

Ia menunduk memandangi tumpukan kardus yang berantakan. Isinya bukan sekadar barang dagangan, melainkan simbol beban hidup yang terus menggunung.

"Kamu serius? Berapa? Siapa tahu aku bisa bantu." Lanjut Amalia lagi dengan penuh perhatian.

Diana tersenyum. Tapi bukan senyum senang. Melainkan senyum tipis, sinis, dan mengejek. "Wah...adik manis. Terimakasih atas niat baik itu tapi kurasa lebih baik kau simpan uangmu untuk beli permen." Tukas Diana meledek.

Amalia memutar matanya malas, senyum penuh ejekan Diana membuatnya ingin melempar sebotol kecap ke wajah itu.

"Padahal aku sungguh-sungguh. Memang berapa hutangmu? walau aku tak yakin kamu punya hutang kamu terlihat tidak terlihat susah sedikitpun."

"65 juta. Kamu serius mau bantu? Kurasa, menerima bantuan mu cukup meringankan beban pundakku,"

"Apa...65 juta?" Amalia berteriak kencang. Ia memegang dadanya yang syok "kamu serius? Itu tidak sedikit lho?"

Diana yang sedang menata gula di rak lain hanya tersenyum tipis.

"Menurutmu aku bercanda?"

Amalia menjawab dengan cepat. "Tentu saja. Kamu terlihat sangat irit dalam hal apapun. Kamu tidak terlihat wanita yang suka menghamburkan uang. Rasanya tidak mungkin kamu berhutang sebanyak itu."

Amalia menatap Diana, ia merasa tak percaya dengan apa yang Diana katakan. Selama bekerja dnegan wanita itu, tak pernah sekalipun Diana membeli hal mahal. Sekalipun ia membeli, paling hanya kebutuhan rumah seperti Rinso, sabun dan bumbu masak. Bahkan sekedar bedak ataupun lipstik tak Amalia lihat Diana pernah membeli.

"Aku memang Tidak berhutang pada siapapun." Katanya tenang. "Tapi suamiku," lanjutnya dalam hati.

"Sudahlah ayo kita bersihkan ini. Agar pak bos tak kembali mengamuk seperti singa."

Amalia mengangguk. Keduanya kembali sibuk menata dan membungkus barang-barang dari pesanan pembeli.

**

Sementara itu, di tempat lain...

Langit sore Jakarta mulai tenggelam dalam semburat oranye kelam, membiaskan cahaya hangat yang nyaris tak menyentuh kaca tebal hitam pekat di lantai tujuh belas Menara Prasetyo Corp.

Gedung itu bukan sekadar bangunan tinggi, ia adalah monumen kekuasaan. Bayangan raksasa dari ambisi, uang, dan darah yang mengalir pelan di balik gemerlap bisnis.

Dan di dalamnya, duduk satu nama yang tak pernah disebut dengan suara keras.

Bram Prasetyo.

Di balik meja kerja kayu walnut antik yang diimpor langsung dari Norwegia, Bram duduk tenang dengan punggung tegap. Sebuah gelas wine merah melingkar di tangan kanannya, berputar perlahan, seperti waktu yang sedang ia kendalikan sendiri.

Wajahnya tak bergerak. Tak ada kerutan emosi. Namun dari sorot matanya, terbaca kejam yang tak berbunyi seperti malam yang tak pernah peduli apakah manusia tidur atau mati.

Ia bukan pria biasa. Bukan sekadar pewaris perusahaan hiburan. Prasetyo Corporation yang kini ia pimpin bukan lagi hanya rumah produksi film besar, melainkan sebuah kerajaan ekonomi yang menjangkiti banyak sendi kehidupan negeri.

Prasetyo Corp memiliki saham di industri media, distribusi digital, e-commerce besar, tiga bank swasta, lima rumah sakit internasional, dan jaringan logistik bawah tanah yang bahkan tidak terdaftar resmi di kementerian manapun. Tak hanya bisnis legal, kabar yang beredar di kalangan terbatas menyebut Bram memiliki kontrol atas beberapa nama besar dalam daftar hitam Interpol meski tak pernah ada bukti.

Dia bisa mengatur perputaran berita. Menjatuhkan seorang publik figur dalam semalam. Membungkam skandal politik hanya dengan satu memo.

Ia bahkan bisa membeli nama seseorang, lalu menghapusnya dari sistem negara.

Bram tak membeli hal. Ia membeli kendali.

Dan dunia? Hanya papan catur yang terlalu lemah untuk membantahnya.

Tok! Tok!

“Masuk.”

Pintu terbuka, memperlihatkan sesosok pria muda dengan wajah penuh tekanan.

Giyo Santo.

Tangan kanan Bram yang sudah lama mengabdi, tahu betul betapa satu kesalahan kecil saja bisa berarti akhir dari karier, bahkan nyawanya.

“Tuan, semua laporan yang Anda minta sudah saya selidiki. Semua tersimpan rapi dalam map ini.” Giyo melangkah hati-hati, meletakkan map biru itu di meja besar berlapis kaca.

Bram tak berbalik. Ia hanya berdiri membelakangi Giyo, memandangi langit senja yang mulai berwarna tembaga. Aura dinginnya memenuhi ruangan.

“Kau sudah melakukan semua yang aku perintahkan?” tanyanya tanpa nada. Namun justru karena itulah, kalimat itu terdengar mengancam.

Giyo menelan ludah. Tengkuknya merinding. Tangannya berkeringat. Ia menunduk dalam-dalam meski tak melihat mata majikannya.

“Sudah, Tuan. Semua sudah saya lakukan. Dia tak akan menemukan jalan keluar lagi.”

Keheningan turun sejenak.

Bram berbalik. Tatapannya menusuk. Dingin. Tak ada keraguan.

Ia membuka map. Lembar demi lembar dibaca cepat. Matanya tajam, namun tenang. Layaknya predator yang membaca peta sebelum menyergap mangsa.

Sampai akhirnya...

Senyum tipis menghiasi wajahnya. Bukan senyum gembira. Tapi senyum seorang pengadil yang baru menemukan alasan untuk menghancurkan.

“Bagus.” Satu kata itu cukup membuat Giyo nyaris menghembuskan napas lega.

Namun kemudian Bram melangkah ke arah jendela, menatap ke luar. Matanya menyorot lalu lintas kota, gedung-gedung tinggi, dan manusia-manusia kecil yang berlalu lalang. Semua tampak seperti pion-pion kecil yang sedang berjalan sesuai rencana yang ia gambar.

Ia tak menyebut dirinya raja. Karena raja masih bisa dijatuhkan.

Bram Prasetyo adalah sistem.

Ia adalah algoritma kekuasaan. Tubuhnya mungkin manusia, tapi pikirannya telah menjadi mesin dingin yang hanya menyisakan tujuan: mengendalikan.

“Orang-orang di luar sana…” gumam Bram pelan, nyaris tak terdengar. “...hidup dalam ilusi. Mereka pikir mereka memilih. Mereka pikir mereka bebas. Mereka pikir dunia ini adil. Padahal semuanya... sudah ditentukan.”

Giyo menelan ludah.

“Apakah... dia target selanjutnya, Tuan?” tanya Giyo hati-hati.

Bram tak menjawab langsung. Ia memandangi satu titik di kejauhan.

Kemudian ia berkata lirih, namun cukup jelas “Bukan target. Tapi pintu masuk.”

"keluar!" ucapnya dingin.

Giyo langsung menunduk dan melangkah mundur, menutup pintu pelan.

Begitu ruangan kembali sunyi, Bram duduk. Dunia di luar terus berputar, tapi di ruangan itu, waktu terasa beku.

Ia menatap foto Diana sekali lagi. Sorotnya dingin. Bibirnya bergerak perlahan, seperti mantra kelam yang baru dibacakan.

“Nyawa dibalas nyawa. Darah dibalas darah.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 6

    Diana menyusuri jalan dengan langkah berat. Pundaknya condong ke depan seolah sedang memanggul karung berton-ton beban. Matanya sayu dan berkantung, sesekali berkedip kala debu menerpa masuk tanpa ampun.Pikirannya kacau. Berkecamuk tanpa henti penuh pertanyaan, penuh makian, entah ditujukan untuk siapa.Bram.Nama pria itu kembali menghantui benaknya. Membengkak dalam ruang pikir hingga dada terasa pengap.Tawaran Bram terus memutar di kepalanya bagai kaset rusak.“Sial…” desisnya pelan, “kenapa hidupku sial sekali?”Diana memasuki halaman rumah. Sunyi. Pinggiran jalan yang selalu sepi kini mencekam, hanya dipenuhi semak liar dan tanaman rambat. Matanya sempat melirik ke kiri dan kanan rumah-rumah tetangga tampak rapi, bahkan mewah.Kontras dengan rumah kontrakan reotnya yang lebih menyerupai kandang sapi.Saat membuka pintu, suara tawa kasar meledak menyambut.“Hahaha!!”Diana memejamkan mata cepat. Mengedip berkali-kali menahan perih. Aroma alkohol menyengat hidung, bercampur asap

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 5

    Diana kembali ke dalam toko dengan isi kepala yang penuh. Ribuan pertanyaan menggantung di otak membuatnya pening dalam sekejap.Tiba-tiba di datangi seorang pria yang nampak bukan orang sembarangan siapa tak terkejut?Belum lagi pernyataan sekaligus penawaran yang tak masuk akal itu?"Hah..." Hembusan nafas berat kembali keluar dari bibir pucat Diana. Semua itu tak luput dari tatapan Amalia yang sejak tadi melihatnya."Kamu kenapa? Sejak bertemu dengan pria itu kamu terlihat seperti manusia penuh hutang."Diana menoleh, menatap rekan kerja satu-satunya sejak 1 tahun terakhir."Ya...aku sedang di landa hutang dengan nominal yang tak kecil." Jawab Diana setengah berat.Ia menunduk memandangi tumpukan kardus yang berantakan. Isinya bukan sekadar barang dagangan, melainkan simbol beban hidup yang terus menggunung."Kamu serius? Berapa? Siapa tahu aku bisa bantu." Lanjut Amalia lagi dengan penuh perhatian.Diana tersenyum. Tapi bukan senyum senang. Melainkan senyum tipis, sinis, dan menge

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 4

    Dua jam mengurung diri di kamar, Diana akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja.Ia tidak peduli, meski hari ini seharusnya menjadi jatah liburnya. Nyatanya, berada di bawah satu atap dengan Reza justru membuatnya semakin frustasi.Dengan langkah lesu, Diana mengenakan flatshoes miliknya yang sudah kusam dan rusak. Ia lebih memilih kelelahan di tempat kerja daripada harus menatap wajah Reza yang memuakkan."Kamu mau ke mana, Diana?"Diana melirik singkat ke arah Reza yang tampak gelisah duduk di sofa. Pria itu sesekali memutar gelas di tangannya, seolah sedang menyusun kata."Bukannya hari ini kamu libur? Kok pakai seragam itu lagi?"Diana, yang hampir mencapai pintu, menoleh sambil menatapnya sinis."Tentu saja bekerja. Aku butuh uang untuk makan."Tanpa menunggu reaksi Reza, ia langsung melangkah pergi. Tak ada salam, tak ada lambaian tangan, hanya derap langkah berat penuh amarah yang menghentak lantai.Rasa kesalnya terhadap Reza bukan lagi hal sederhana yang terlihat. melainkan

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 3

    "sejak kapan kamu hutang uang, Mas? Dan buat apa uang itu sebenarnya?" Nada suara Diana tajam, matanya menyorot penuh kemarahan. Di depannya, Reza duduk menunduk di atas sofa yang usang dan robek di beberapa sisi. Kedua tangannya saling menggenggam, dingin oleh rasa takut dan malu. Pria itu tak langsung menjawab. Napasnya tertahan. “Jawab, Mas! Jangan cuma diam aja!” Sentakan Diana membuat bahunya terlonjak. Suaranya bergetar, tapi bukan karena lemah melainkan menahan emosi yang nyaris meledak. Matanya sudah memerah, menahan air mata yang ingin jatuh, bukan karena sedih, tapi karena kecewa. "A-ak… aku hutang… untuk…" "Untuk apa? Mabuk? Judi lagi?" Potong Diana cepat, penuh tuduhan yang tak bisa dibantah. Reza hanya mengangguk. Pelan. Malu. Lemas. Diana mengusap wajahnya kasar. Jari-jarinya mencengkram rambutnya sejenak. “Mas... kamu tuh mikir gak sih? Kita ini hidup udah pas-pasan, makan aja harus utang ke warteg. Tapi kamu malah buat masalah baru?! Buat beban baru?!” “Aku

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 2

    Pagi kembali datang. Diana terbangun dengan kepala pening dan hati jengkel. Padahal hari ini jatahnya libur, seharusnya bisa dipakai untuk memulihkan tenaga—jiwa dan raga. Tapi alih-alih tenang, suara bising yang menggelegar dari luar malah membuyarkan harapannya.“Sialan... sambutan pagi macam apa ini?” gerutunya sambil meraih daster kusam di gantungan pintu.Langkahnya cepat dan penuh kesal. Saat melewati ruang tamu, ia sempat melirik. Botol-botol minuman keras yang semalam berserakan ternyata sudah lenyap. Pasti Reza yang membereskan. Setidaknya pria itu tahu diri.Ia tak peduli. Saat ini, matanya tajam menyapu pintu depan yang sudah rusak gemboknya. Suara teriakan makin jelas terdengar.“Bayar utangmu, bangsat! susah enam bulan kau tak bayar. Jangan harap kau bisa lari dari kami!”Dahi Diana mengernyit dalam. Itu bukan suara tetangga, rumah mereka ada di ujung gang sempit, dan biasanya tak ada yang berani datang ke situ. Dengan cepat, Diana membuka pintu depan.Matanya langsung b

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 1.

    "Kamu mabuk lagi, Mas?" Nada suara Diana dingin, namun matanya bergetar menahan amarah dan sedih yang terus menumpuk. Ia berdiri mematung di ambang pintu ruang tamu yang remang dan berantakan. Lagi, sambutan ia pulang ke rumah bukanlah senyum manis sang suami, ataupun sekedar pertanyaan 'sayang apakah kamu lelah?' Tidak. Melainkan, botol-botol kosong bergelimpangan di lantai seperti serpihan kehidupan yang tak utuh. Beberapa tumpah, meninggalkan bekas lengket dan bau menusuk. Sisa makanan basi, asbak penuh puntung, dan baju kotor berserakan tanpa ampun di lantai rumah kecil yang semakin terasa pengap. Tangannya refleks menutup hidung. "Ya Tuhan, ini rumah atau tempat sampah, Mas?" Di sofa reyot yang busanya mencuat keluar, Reza terbaring. Kaos putihnya yang lusuh dan penuh jamur melorot dari bahu, celana pendeknya hampir melorot dari pinggang, rambut gondrongnya kusut dan berminyak. Matanya merah, bergerak liar tanpa arah, mulutnya bau alkohol. "Diana... Kamu pulang ya?" Suara

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status