Tring ...
Pagi ini, ponsel itu berdering dan bergetar di atas meja kerjanya, aku yang saat itu berdiri tak jauh dari benda tersebut, sedang menyiapkan sarapan, merasa tergelitik dan ingin tahu, intuisiku mengatakan bahwa tidak akan ada seorang karyawan pun yang akan menghubungi General Manager sepagi ini, perlahan aku menghitung langkah mendekat dengan napas tertahan dan benar saja, layarnya berpendar dengan nama Eleanor di sana. Ingin kujawab panggilan itu, namun kulihat dari arah kamar suamiku datang untuk mengambil benda itu. "Eh, Mas, ini lho, hapenya terus menerus bunyi," kataku berpura-pura. "Oh, ya, makasih sayang," jawabnya sambil menyunggingkan senyum dan memberi isyarat dengan mimik wajah dan tangannya agar dia diberi waktu untuk menjauh sebentar dariku. Ia terlihat berjalan dengan santainya sambil menjawab telepon itu, "Ya ... Ini saya Randy, ada apa Bu?" Memuakkan permainannya. "Siapa Mas," tanyaku sekembalinya ia dari menelepon dengan kekasihnya. "Itu, kepala pemasaran dari Moon insurance mereka ingin membuat kesepakatan bisnis dengan perusahaan kita," jelasnya. "Perusahaan media dan asuransi?" "Iya, sayang, penting kan, untuk mengamankan aset dan masa depan perusahaan kita, mana tahu terjadi sesuatu yang membuat kita merugi, asuransi bisa mengcover kerugian tersebut." "Benarkah, tapi preminya?" "Gak terlalu besar kok, sayang sekitar lima puluh juta perbulan," terangnya. "Apa?" Aku terpana mendengarnya. "Mas Randy, kurasa itu gak terlalu penting deh, mending uang lima puluh juta tersebut untuk kesejahteraan karyawan atau diputar kembali jadi modal, itu lumayan besar lho sayang," kataku berusaha menolaknya. "Perusahaan kita juga besar, dengan pendapatan laba 60 persen pertahun, kurasa ... Aku tak perlu menyebut nominalnya dalam rupiah, yang pastinya itu milyaran dan kamu gak perlu khawatir dengan angka lima puluh juta, sayang." "Dengar Mas, aku tahu Mas yang mengelola managemen perusahaan, namun ...." Aku sedikit bimbang, namun jika aku meneruskan perdebatan ini, maka nantinya pembicaraan akan semakin meruncing. "Percayalah, sayang." Ia menepuk punggung tanganku, "aku akan selalu menjaga amanat papamu, untuk menjaga bisnis yang sudah dia bangun dari nol, dan menjaga anak kesayangannya sayang," katanya sambil mendekat dan menciumiku. Ia mulai mengambil sandwich dan mulai mengunyah dengan bersemangat. Sedang aku masih terdiam, sambil meremas jemari dan meggigit bibir sendiri. "Jangan bimbang, ayo dong, makan," bujuknya sambil menyuapiku yang melihatku sedikit merajuk. Mau tak mau kuterima suapan itu dengan hati yang sudah demikian tak nyamannya. "Dan ya, sayang, karena tadi kamu sudah membahasnya, maka aku putuskan untuk pergi menemui kantor perusahaan itu, untuk menandatangani kontrak kami," katanya. "Lalu?" "Aku akan pergi sore nanti?" Jawabnya. "Di mana kantornya?"selidikku. "Di ... di ... jalan DI.Panjaitan," jawabnya. "Uhm, baik." Aku mengiyakan kemauannya. "Aku juga mau ke kantor, Mas," cetusku tiba-tiba yang sukses membuatnya terperangah. "A ... apa?" Ia terlihat menganga dan gugup. "Kok Mas gitu ekspresinya?" "Uhm, g-gak ada sayang, pergi saja," jawabnya terbata-bata. "Bareng kamu," kataku. "Oh, eh, ba-baik." Aku tahu ia tak nyaman, aku tahu ia tak suka, namun jika aku juga tak mengatur langkah dan bermanuver, kurasa aku akan mengalami kekalahan telak. ** Sore pukul 15:32 Aku telah berkeliling dan memeriksa seluruh kantor dari lantai bawah hingga lantai lima untuk memastikan bahwa wanita itu memang bukan bawahan suamiku, dengan dalih sidak mendadak aku meminta daftar nama karyawan, laporan keuangan dan regulasi perusahaan dengan cepat ke mejaku. "Ini, Bu, daftar transaksi keuangan perusahaan dan transaksi pribadi Pak Randy," kata Mia, asisten pribadiku yang sudah lama bekerja di perusahan kami. "Terima kasih, silakan duduk, boleh saya bertanya?" kataku sambil tersenyum ramah. "Iya, Bu." "Apakah ada transaksi yang aneh atau luput dari laporan tidak?" "Tidak ada, Bu." "Pernahkah, kamu melihat suami saya membawa tamu yang bukan karyawan di sini," selidikku. Sedang wanita yang kutanyai terlihat mengernyit heran. "Ehm, maksudku aku hanya ingin tahu saja," kataku sambik tersenyum tipis. "Tamu Pak Randi banyak, hanya saja, tapi saya kurang yakin, Bu, maaf saya takut salah." "Katakan saja, jangan ragu, saya menjaminmu," bujukku lagi. "Ya, seorang wanita sering berkunjung kemari," katanya dengan nada pelan. "Dengan tujuan apa?" "Saya tidak tahu, Bu. Karena tak seperti tamu lain yang harus mendaftar dulu di bagian informasi, wanita itu bebas melenggang ke ruangan Pak Randi kapan saja." "Benarkah?" "Iya,. Bu." Seketika amarahku terbakar, napasku sesak dan emosiku menjadi-jadi. Namun akubta menunjukkannya di depan Mia, karena aku harus menjaga imageku sebagai pemilik dari perusahaan. "Seberapa sering dia kemari," tanyaku lagi. "Sering Bu, hampir tiap hari," jawabnya. "Baik, terima kasih, kamu bisa kembali ke mejamu Mia," kataku mempersilahkan. Ia menggangguk hormat lalu bangkit dan meninggalkanku dengan tumpukan map dan rasa sakit yang terhingga. Dia ... Suamiku, berani sekali dia, leluasa sekali ia memadu kasih di kantor ayahku, dan wanita itu, tak tahu malu, aku akan menghancurkan hidup dan karirnya, lihat saja nanti.Di pagi yang cerah di awal musim penghujan, istriku yang telah berbadan dua dan menjelang minggu-minggu terakhir kehamilannya terlihat sangat payah dan sejak pagi terus meringis memegangi perutnya."Ada apa, Sayang?" tanyaku menghampirinya yang sedang menggosok sepatuku di dekat meja sepatu."Gak apa-apa, Mas, lagi kontraksi palsu aja kali," jawabnya.Kuraih sepatu dari tanganya dan menuntunnya untuk duduk, "kalo akut gak usah merepotkan diri Sayang, aku masih bisa siapkan sendiri," kataku."Meski punya asisten, Mas tahu kan, kalo dari dulu aku lebih suka menyiapkan segala keperluan suami sendiri," balasnya."Iya, tapi perutmu sudah besar dan itu membuatku kepayahan, Sayang," ucapku sambil menciumi jemarinya."Gak apa, Mas." Ia bangkit perlahan lalu beringsut menuju meja makan namun sesaat kemudian ia terlihat menghentikan kegiatannya dan terlihat tegang sambil memegangi perut buncitnya."Ada apa, Imel?" Aku mendekatinya dan kulihat buliran peluh mulai timbul dari keningnya."A-aku ga
Aku mengenal dia di masa kuliah, gadis yang bertubuh sedikit tambun dan memiliki senyuman manis mencuri menawan hatiku. Dia sangat baik dan penuh dengan perhatian, pertama kali berjumpa dia bertanya padaku di mana lokasi perpustakan dan aku pun menunjukkan padanya, di awal pertemuan itulah hubungan kami berlanjut.Hari demi Hari berlalu dengan pertemanan yang semakin erat, aku merasa semakin hari semakin dekat padanya, Ia pun tidak pernah lupa untuk menyapa memberi perhatian kecil mengirimkan ucapan selamat pagi ditambah emoji lucu lewat ponsel juga sering mengingatkan diriku beribadah dan berbuat baik kepada sesama. Jujur, hal itu membuatku menjadi sangat menyukainya. Dialah Imelda Subroto gadis yang terkenal kaya namun rendah hati di lingkungan kampus kami.Karena kedekatan itu maka kuputuskan untuk serius melamarnya, meski aku tahu aku tak punya apa-apa. Tapi, kuberjanji bahwa aku akan memberinya kebahagiaan seutuhnya."Apakah Mas yakin mau menikahiku?" tanyanya dengan raut waj
Hari itu tanggal 12 November, dalam kesyahduan pagi yang penuh berkah.***Aku mengalami sakit kepala hebat dan entah mengapa sejak Agi tadi aku tak mengerti sebabnya. Kutinggalkan kantor dan menitipkan semua urusan lanjutan pada Mia, asisten setiaku yag kini sudah beerhijrah mengenakan pakaian syar'i dan makin Istiqomah."Mia aku pulang, ya," pamitku."Lho, Bu. Ibu mau mau kemana, kan ada rapat dengan para staf," jawabnya heran."Aku merasa mendadak pusing dan lemas," Jawabku."Bagaimana kalo kita bawa ke rumah sakit?""Ga usah aku aku pulang aja," tolakku.Baru saja akan kulangkahkan kaki keluar dari lobi utama tiba-tiba mataku berkunang kunang, telingaku berdenging lalu semuanya gelap seketika.**Kucoba membuka mata dengan sangat kuat, samar samar kulihat ruangan yang kini kupastikan adalah rumah sakit, berdinding putih, peralatan infus dan tensi, peerawat yang berlalu lalang dan bau obat, khas rumah sakit."Bu Imelda," sapa Mia yang terlihat khawatir padaku."Duh," aku berusaha b
Musim berganti setelah sekian purnama, matahari berpendar digantikan cahaya bulan yang silih berganti seperti itu, saling menyertai, namun tidak denganku. Aku masih betah menyendiri.Kususuri ruang dalam rumah ini, kuraba dinginnya dinding yang menjulang menemaniku selama bertahun-tahun merajut hari dalam sepi. Aku kesepian, sungguh, ketika di satu sisi kesendirian itu membuatku tangguh namun saat yang bersamaan juga membuatku rapuh.Aku merindukan seseorang dalam hidupku, kerena jujur aku masih normal dan aku butuh teman berbagi, namun sekali lagi trauma luka yang terdalam itu masih membekas dan membuatku, sedikit tertutup.*Kukenakan hijab dan memasang Bros sebagai pemanis,kupulas bedak dan sedikit lisptik, meraih tas lalu bersiap menjalani rutinitasku.Gawai berdering ketika aku sedang sarapan, kuambil benda itu dari dalam tas dan melihat nama kontak yang tengah memanggil adalah Mia, asisten pribadiku selama bertahun-tahun, ia ia telah menikah dan memiliki satu orang putra dan te
Beberapa tahun berlalu setelah perjumpaan terakhirnya dengannya. Semilir angin meniupkan ranting dan menggugurkan daun kering, menerbangkannya lalu terhemoas jatuh ke aspal jalan. Berkali kali kupandangi kejadian serupa di bangku taman ini, tempat yag kini selalu menjadi tempat favoritku untukelepas lelah taman dengan pepohonan yang tinggi dan rindang yang tak jauh dari lokasi kantorku.Peralihan musim dari kemarau ke musim hujan membuat beberapa pepohonan menggugurkan daunnya agar tidak merangas kekurangan air. Dan sinilah aku tiap sore melihat daun daun itu berguguran. Dalam cuaca seperti ini, beberpaa orang menikmatinya dengan berfoto ria dengan pasangannya, anak dengan orang tuanya, dan sebagiam lagi remaja dengan teman teman mereka berpose dengan gaya saling saling melempar daun daun kering ke udara. Sedangkan aku yang duduk di sini hanya tersenyum menatap mereka.Kubenahi jaket yang membalut tubuh, serasa angin yang berembus barusan mempermainkan anak rambut dan cukup menusukka
Siang ini aku berniat menemui Mas Randy untuk memintanya menandatangani berkas perceraian kami, sekaligus aku ingin memberi tahunya berita duka bahwa kekasihnya telah meninggal dunia.Begitulah, setelah 25 menit berkendara dari kantor, maka sampailah aku di rutan tempat mas Randy di tahan. Ia baru di pindahkan kemari setelah kemarin sempat satu bulan ditahan di kantor polisi."Bu Imelda," sapa salah seorang petugas yang pernah kutemui di pengadilan kemarin."Ya ... Ada ada Pak?""Ibu mau kemana?""Saya akan menemui Pak Randy," jawabku."Kebetulan ini saya mau menitipkan surat," katanya sambil menyodorkan kertas beramplop coklat."Dari siapa?""Dari mendiang Nona Elea, kami menggeledah selnya dan menemukan sepucuk surat yang ditujukan pada anda dan saudara Randy," jawabnya.Kupegang amplop itu dan berkali kali kutimbang untuk membuka dan membaca isinya. Kutepikan diri sejenak di bangku koridor rutan.Kubuka sisi amplop dan mengeluarkan selembar kertas yang bertulis di sana, Dear Mbak