“K--Kenzo?” Aku melongo. Kok bisa-bisanya makhluk menyebalkan itu malah ikut dan bergabung bareng kami. “Lo duduk di belakang!” Kenzo berucap tanpa melirik. Wajahnya tampak masih ditekuk dan posisinya tak berubah sama sekali.Aku melirik pada Mas Iqbal yang mengedik, tetapi tampak sebuah anggukan pelan dari kepalanya. Aku pun lekas pindah ke kursi belakang. Mas Iqbal langsung melajukan mobil yang kami tumpangi menuju kediaman Nur Laela. Mobil berhenti dan aku lekas memanggil nomor sahabatku itu. Kenzo tampak menatap Nur Laela tetapi tak ada sapaan apapun terlontar padanya.“Va, kok ada Kenzo?” Nurlaela yang kaget melihat kehadiran Kenzo, berbisik. Aku hanya mengedik. Namun, sepertinya suara Nur laela yang berbisik agak kencang itu terdengar oleh orang yang duduk di depan. “Kenapa, masalah kalau gue ikut?” Kenzo bicara ketus tanpa menoleh. Nurlaela melirik ke arahku, lengannya menyenggol lenganku. “Dia dengar,” kekehnya tanpa suara. Aku hanya tersenyum dan menutup bibir dengan te
Sejak pertengkaranku dengan Mas Imam. Aku semakin menjaga jarak dengannya. Hanya saja sebaliknya, dia semakin sering ke rumah. Alasannya pasti siapa lagi kalau bukan Putri. “Bu, Putri minta dibawakan sambel buatan Ibu.” “Bu, Putri katanya minta sayur asem buatan Ibu.” “Bu, Putri katanya minta kue pukis buatan Ibu.” Ibu, Ibu dan Ibu terus menjadi alasan Mas Imam. Aku semakin hilang respect padanya. Bahkan berulang kali kutegaskan jika aku minta dia panggil, Mbak. Namun, dia tak acuh dan selalu saja mencuri kesempatan. Hubunganku dengan Mas Iqbal semakin baik. Dia bahkan kini lebih banyak waktu untuk sekedar meluangkan chat di sela-sela kesibukanku. Hanya saja, semenjak malam itu kami nonton bersama. Tepatnya aku, Mas Iqbal dan Nurlaela, Kenzo semakin sering nongkrong di tempat kerja.“Pagi Bu Anne! Kok ruangannya diberesin,Bu?” Aku menatap Bu Anne yang tengah sibuk merapikan dokumennya dan memindahkan beberapa barang ke bawah dibantu Intan. “Hay, Pagi Diva! Iya, pindah ruangan!”
Setelah mengalami pergulatan panjang di dalam benakku. Akhirnya kuputuskan untuk mendekat. Berulang kali logika menolak, tetapi entah kenapa nurani mengarahkan berbeda. Sudah sejak tiga hari lalu aku menginformasikan pada Bu Anne kalau aku akan mulai aktif di setiap kantor cabang. Padahal, biasanya aku lebih senang bekerja di rumah dan memantau semuanya secara virtual. Namun, pesona Diva tak bisa terelakkan. Aku sengaja meminta Bu Anne untuk tak bercerita dulu pada staff yang ada di sana. Entah kenapa, ingin sekali lihat ekspresi Diva ketika melihatku berada di sana secara tiba-tiba. Kelebat senyuman dan kerlingannya ketika bersama Bang Iqbal, jujur buat dadaku panas. Otakku menolak dan meminta untuk berontak. Aku gak suka mereka dekat. Sedikit kecewa ketika melihat raut wajahnya yang hanya memunculkan ekspresi kaget ketika aku membukakan ruangan yang hanya dibatasi dinding kaca ini. Padahal dah ngarep kalau dia senyum senang atau excited gitu. Hanya saja, mau gak mau aku harus kece
Semenjak kehadiran Kenzo di tempat kerja dan memiliki ruangan kerja di sini. Pekerjaan yang semula ringan dan membuatku bersemangat, mendadak menjadi berat dan terasa menekan. Setiap hari ada saja perintahnya ini dan itu. Bahkan kerap sekali mengacaukan acaraku dengan Mas Iqbal. Entah apa dosaku padanya, sejak dulu, dia tak pernah mau melihat hidupku tenang. Seperti hari ini, padahal aku sudah janjian sama Mas Iqbal buat naik bianglala sambil makan kebab. Gak berdua, aku juga sudah mengajak Nurlaela juga. Dia mau pergi mengajak Habib, katanya. Namun, sepertinya harus gagal karena si lelaki menyebalkan ini memintaku lembur. Perasaan suntuk dan kesal gegas kualihkan. Bagaimanapun, aku banyak bersyukur karena pekerjaanku di sini aku mendapatkan uang tambahan. Kuliah kelas karyawanku pun sudah dimulai. Sebagian dilakukan virtual, tetapi kadang datang juga ke kampus sesuai jadwal. Hanya saja memang untuk kelas karyawan ini tak sepadat kelas regular. Deretan tugas dari Bos Kenz yang meny
Pov KenzoAku tengah mengikat rambut sebahuku ketika tampak sosok tinggi tegap menaiki anak tangga tergesa. Seketika sebuah benturan terasa menghantam dada. Bang Iqbal tampak menenteng plastik bening yang didalamnya, aku sangat hapal isinya apa. Dia membawa kebab yang sama seperti yang tengah kupesan sekarang. “How f*ck you are!” Aku mengepal ketika Abangku melewati ruanganku tanpa menoleh sedikitpun, lalu ke mejanya dan disambut senyuman manis yang tak pernah diberikannya padaku. Rasa marah yang meluap, membuatku lekas mematikan laptop dan gegas pergi dan memakai hoodie warna hitamku. Melihat sepasang manusia itu saling lempar senyuman, entah kenapa membuat rasa panas membakar di dalam sini. Aku berjalan menuruni tangga. Aku baru hendak mendorong pintu kaca dan meninggalkan bangunan yang kujadikan tempat usaha ini ketika seorang tukang ojol dengan jaket hijau mendekat. Dia menenteng plastik kebab.“Selamat sore, Pak! Apa sudah tutup, ya?” tukang ojol itu mendekat ke arahku yang bar
Pov DivaAku duduk pada kursi kayu yang ada di dapur. Lantas meneliti pengirim paket itu. Seketika kedua netraku membulat melihat nama pengirim yang tertera di sana. Setelah nama asli dan alamat lengkapku, dia menuliskan satu kata yang membuat aku langsung terhenyak dan kaget luar biasa. Dari Pangeran, untuk Cinderella. Aku bangkit dan mengambil gunting untuk memotong lakban yang melapisi paketan ini. Kubuka perlahan dengan hati penuh tanya. Siapa sebetulnya sosok Pangeran. Kenapa dia bisa tahu alamatku, sedangkan kami sendiri sama sekali tak saling kenal dan belum pernah bersua. Apakah Pangeran itu Mas Iqbal? Ah, kuharap iya. Paketan ini juga datang pada saat setelah acara lamaran selesai. Semoga saja, jika benar, maka aku akan teramat sangat bersyukur. Sosok asing yang sudah membuatku merasa nyaman itu tak lain adalah calon suamiku sendiri. Senyum terukir di bibirku, mengingat tak ada lagi tersangka yang bisa aku tuduh selain dia. Ya, siapa lagi kalau bukan dia, entah kenapa aku
Pov Putri “Putri! Mbak sebetulnya yang kasihan sama kamu. Kenapa sih, gak berhenti recokin kehidupan, Mbak. Asal kamu tahu, Mbak bukan orang beg* yang gak paham, itu semua foto-foto lama. Asal kamu tahu, yang harus kamu waspadai itu suami kamu, Put.” Tiba-tiba Mbak Diva berbicara seperti itu. Kalimat yang mampu membuatku terkejut luar biasa. Setahuku, Mbak Diva gak pernah mengurusi atau mencampuri kehidupan orang lain, apalagi hidupku. Meskipun, aku tetap ingin mencampuri hidupnya. Entah kenapa hati kecilku begitu gak rela lihat Mbak Diva yang selalu lebih disayang Ibu dan Bapak itu hidup lebih bahagia dariku. “Mbak hapal betul, itu Mas Imam. Dan itu foto baru, lihat saja tanggal yang tertera pada saat pengambilan foto itu. Jadi, sebaiknya kamu urus saja suami kamu, jangan terus-terusan recokin hidup, Mbak. Mbak dan Mas Iqbal akan tetap menikah dan kami sudah saling percaya!” tukasnya dengan tegas dan menatapnya tajam. Aku yang tengah mengunduh file yang dia kirimkan menelan saliv
Pov Imam Andai waktu bisa kuputar kembali. Aku ingin sekali mengubah semuanya seperti semula. Diva yang kutinggalkan, semakin hari, justru semakin mempesona. Sementara itu, perempuan yang kunikahi, ternyata hanya membuat kepala semakin nyut-nyutan setiap hari. Putri, perempuan yang sudah membuatku ketagihan dengan pelayanannya di atas ranjang, perlahan menunjukkan sisinya yang lain. Dia tak hanya boros, tetapi sama sekali tak bisa membedakan mana priortas dan mana keinginan. Bahkan, kerap kali dia mengungkit uang yang memang sejak dulu kujatahkan untuk Ibu dan adik-adikku. Sebulan pertama menikah, hubungan kami harusnya sedang manis-manisnya. Hanya saja, sayangnya, dia selalu saja membahas masalah keuangan. Hal yang benar-benar membuat aku merasa tak dihargai sebagai suami. Aku masih berusaha sabar, meskipun hal itu sudah kerap menimbulkan riak-riak tengkar kecil dalam hubungan kami yang belum seumur jagung. Kuberikan dia pengertian perlahan, tetapi ternyata tak masuk sedikit pun