“Va, bangun!” tepukan lembut pada pipi membuatku mengerjap. Tangan dingin Ibu membuatku yang tertidur lambat akhirnya bangun juga.“Sudah jam berapa, Bu?” Aku beringsut duduk dan bersandar pada tepian dipan.“Jam empat. Lekas mandi, wudhu terus solat ! Ibu sudah siapin air hangat buat kamu mandi.” Aku mengangguk, lantas membiarkan Ibu keluar dari kamar dan kembali ke kamarnya. Beberapa tetangga sudah bangun dan mulai merebus air di samping rumah. Nyala kayu bakar tampak terlihat dari pintu samping yang memang terbuka. Ada juga yang mulai menghangatkan kue-kue yang semalam sudah berhasil dibikin. Aku mengguyur tubuhku dengan air hangat yang Ibu siapkan. Terasa segar dan mengusir rasa pegal dan tak nyaman yang sejak semalam datang. Tak berlama-lama, lekas mengambil wudhu menunggu shubuh datang. Tak lupa bersiap menggunakan manset warna putih seperti instruksi MUA kemarin. Aku menuju kamar Ibu sambil menunggu tim perias datang. Ibu tampak tengah memakaikan kemeja lengan panjang pada
Aku melirik pada Mas Iqbal, tetapi raut wajahnya tampak biasa saja. Hal itu yang membuat aku semakin yakin jika di antara mereka memang sudah tak ada apa-apa lagi. “Permisi!” Perempuan itu menghampiri kami. Pakaian yang memang terbilang berani, jujur membuat pandangan beberapa pasang mata lelaki tertuju ke arahnya. Termasuk Mas Imam yang duduk tak jauh dari kami dan tengah menikmati hidangan bersama Putri. Sepertinya pagi tadi, kudengar mereka ada baikan dengan syarat-syarat. “Iya, Mbak. Ada apa, ya?” Aku menatapnya. Tersenyum dengan anggun dan tetap bersikap tenang. Bahkan aku pura-pura saja tak kenal, walau aku sangat hapal jika perempuan itu adalah yang ada di dalam foto bersama Mas Iqbal. Perempuan itu juga yang bertemu denganku dan Kenzo di tempat kerjaku kemarin itu. “Saya mau ketemu dengan Mas Iqbal, bukan dengan kamu.” Dia melirik sinis ke arahku. “Mas Iqbal itu sekarang suamiku, Mbak. Jadi bertemu dengannya atau denganku, sama saja.” Ah, hebat sekali bibir ini. Sepandai i
Hari yang panjang ini akhirnya selesai. Aku sedikit bernapas lega ketika acara resepsi ini selesai, perempuan tadi tak muncul lagi. Bahkan sampai semua tamu berangsur sepi dan bubar, semua baik-baik saja. Malam ini, Mas Iqbal memintaku menginap di sini. Aku tak menolak, karena aku yakin di rumah akan ada Mas Imam dan Putri yang menginap. Malas aku bertemu dengan mereka. Lagi pula kamar pengantin yang sudah dihias ya di rumah ini. Ibu dan Bapak pulang bersama Mas Imam dan Putri. Sementara itu, Mas Iqbal membimbingku masuk ke sebuah kamar yang berada paling belakang. Dia menggamit jemariku dan menutup pintu lantas membimbingku untuk duduk di tepi tempat tidur berhias taburan bunga mawar yang mendominasi ruangan. Kami akan melakukan sesi foto-foto dulu. Tak berapa lama pintu pun diketuk, sang fotografer pun muncul. “Maaf ganggu bentar, ya, Mas, Mbak!” tukasnya. Wajah lelaki itu tetap ramah walau seharian sudah bekerja keras secara total. “Iya gak apa, Mas." Mas Iqbal tersenyum dan ta
Kuambil kertas putih bertuliskan tangan yang Mas Iqbal tinggalkan. Segera kubaca dengan hati menerka-nerka. Kenapa harus pakai surat-suratan segala? Adakah hal yang begitu rahasia yang dan penting sampai-sampai dia harus menulis surat ini dan tak membangunkanku? Perlahan kubaca.[Maaf gak bangunin kamu, Va. Mas anter Kenzo dulu ke bandara. Awalnya mau dianter Papa, tapi dia sakit perut. Mas segera pulang kok.] Kenzo ke bandara? Oh berarti memang koper-koper yang semalam itu memang miliknya? Mau ke mana dia sampai-sampai sepagi ini harus sudah pergi. Ya sudahlah, mau dikata apa lagi? Mas Iqbalnya juga sudah pergi. Aku bergegas turun dan merapikan tempat tidur. Senyum terkulum ketika melihat bantal di mana kami tadi malam berada dalam jarak yang begitu dekat. Aku menggelengkan kepala dan lantas menuju ke kamar mandi yang ada di dapur untuk membersihkan diri. Masih sepi, sepertinya Bu Faridah memang belum bangun juga. Usai mandi, lekas menunaikan shalat shubuh. Hari pertama di rumah
Beberapa kado yang tadi kami bawa dari rumah Bu Faridah sudah bercampur dengan beberapa kado yang memang diterima di rumah. Ya, beginilah di kampung. Ada yang sengaja datang kondangan pas saat akad, katanya sambil melihat akad nikahnya. Ada juga yang memang ikut dengan jam resepsi yang tertera. Hanya saja, memang kado yang kami dapat tak terlalu banyak. Aku tak memiliki banyak teman dan kolega. Hanya dari teman-teman waktu aku kerja di tempat kursus ada juga dari anak-anak tetangga yang usianya sudah melewati tujuh belas. Ada istilah nindih, nanti biar aku bayar pas mereka nikahan. Aku ingat sekali kado terbungkus kertas berwarna merah dengan motif hati itu, bentuknya kecil sebesar album foto ukuran pos. Namun, kenapa sekarang gak ada, ya?Sudah kubolak-balik mencari, tetapi tak ketemu juga. “Apa jatuh, ya?” Aku berjongkok dan mengintip ke kolong tempat tidur, tetapi memang tak ada juga. Namun suara teriakan-teriakan disusul debuman pintu yang terdengar kencang membuatku menghentik
Aku menatap benda itu dengan tatapan yang entah. Apakah ini hanya perasaanku saja ketika beberapa hal dari Pangeran begitu lekat dengan sosok Kenzo. Lalu, apakah mungkin jika Pangeran itu Kenzo? Rasanya tak mungkin, Pangeran itu begitu lembut dan membuatku merasa nyaman, hanya saja entah kenapa dia tak memiliki nyali hanya sekadar bertemu denganku. Sementara itu, dengan Kenzo aku bertemu hampir tiap hari dan hanya wajah jutek, sikap ketus dan huru-hara yang melibatkan kami.“Va ….” Suara Mas Iqbal terdengar lagi. “Ahm itu, Mas. Dulu ada teman yang kasih ke aku jam tangan ini. Kok bisa banget kebetulan sama kado yang ini, sih?” Aku bangkit, lalu mengambil kotak jam tangan yang dulu diberikan Pangeran. Salah sendiri dia gak datang ke acara resepsi, jadi mana bisa kukembalikan. “Mas, ini gak ada kotaknya, ya? Simpan sini saja, ini kosong soalnya sebelah lagi.” Aku dan Pangeran ‘kan hanya berteman. Jadi memang benar jam ini dari temanku. Aku pun menyimpan dua jam tangan itu setelah Mas
“Matikan lampunya, ya …,” bisiknya lembut, hembusan napasnya bahkan sampai terasa menyapu telinga. “Ahm, Mas … kita belum shalat sunnah.” Aku mengucap seraya menatap pantulan wajahnya pada cermin. Mas Iqbal terkekeh sambil menjauhkan tubuhnya. “MasyaAllah, Mas sampai lupa.” Lantas dia menjauh dan segera keluar kamar untuk mengambil wudhu. Aku pun segera menyusulnya untuk mengambil wudhu. Setelahnya kami melakukan shalat sunnah dua rakaat. Aku masih duduk di belakangnya yang terduduk di atas sajadah. Kudengar dia kembali memanjatkan doa-doa. Setelahnya dia mengulurkan tangannya padaku. Aku menciumnya dengan penuh khidmat. Kami bangkit, dia melepas sarungnya dan menyimpannya ke dalam gantungan yang tersedia. Aku sibuk melipat mukena ketika lampu kamar tiba-tiba redup. Ah, entah seperti apa perasaanku sekarang. Bercampur baur tak karuan. Bahkan kemarin diberi kado lingerie oleh Bu Anne pun tak terpikir untuk kupakai sekarang. Kedua tangan kekar ini sudah menarikku menuju pembaring
“Ya, dua atau tiga bulan lagi, Va. Kenapa?” Lelaki itu menatapku. Aku menunduk, malu sebetulnya karena mungkin terlalu berlebihan pada adik sendiri. Gak enak juga karena takut dianggap tak percaya pada Mas Iqbal, tetapi aku hanya menjaga. Aku tak mau luka itu terulang kedua kali. Kemarin baru calon suami saja, sakitnya luar biasa. Aku tak mau membayangkan jika itu terjadi pada suami sendiri, seperti apa sakitnya.“Aku rasanya pengen kita ngontrak rumah dulu. Hmmm, menurut Mas bagaimana?” tanyaku pada akhirnya. Mas Iqbal menatap ke arahku penuh selidik.“Apakah dua bulan terlalu lama? Kita bisa di sini dulu ‘kan sambil jaga Bapak?” tanyanya. Dia seolah bingung dengan pemikiranku.Aku tersenyum, tetapi tak tahu harus menjawab apa. Lagi pula, mungkin benar terlalu berlebihan saja isi pikiranku. Bagaimanapun trauma itu masih belum hilang walau aku sudah berusaha merelakan. “Apa ada yang tengah kamu pikirkan?” Mas Iqbal menatapku lebih dalam ketika aku hanya terdiam. “Ahm, hanya sudah