Brak!
Sebuah pemandangan yang menyakitkan tersaji di depan mata. Hatiku terasa hancur. Kedua tungkai terasa lemas luar biasa. Dia, adik yang kusayangi sudah tak lagi berbusana dan menutup tubuhnya dengan seprai. Pakaiannya berserakan di mana-mana. Tanda merah, aku melihatnya dengan jelas menyebar pada lehernya.“P—Putri, k—kamu tega sekali sama, Mbak?!” pekikku dengan tangan mengepal. Aku memandangnya dengan nanar.Sekelumit bayangan itu kembali membuat air mata ini luruh. Setelah kejadian itu, bukan hanya aku yang terluka, tetapi juga Ibu. Perempuan yang sama menggantungkan harapannya pada Putri sepertiku.“Kenapa kamu tega, Put?” lirih batinku mengulangi pertanyaan serupa yang tak pernah akan ada jawabannya. Karena dia yang sudah melukai kami, bahkan tengah bersuka cita karena akan segera menikah.Ketukan pada daun pintu, terdengar beruntun. Aku menoleh. Lekas kuseka air mata yang mengalir membasahi pipi. Tak mau lagi menunjukkan pada orang serapuh apa aku. Bahkan setiap kali di depan Putri maupun Mas Imam, aku sudah mencoba memasang senyuman. Aku ingin terlihat tegar di hadapan mereka. Aku ingin tunjukkan kalau perbuatan hina mereka tak melukaiku. Meskipun semua itu adalah bohong.Daun pintu bercat putih terdorong dari luar. Aku sudah menggosokkan kedua telapak tangan agar memunculkan efek hangat, lantas kuseka pada mata agar tak terlihat sembab.“Va, bisa bantu anterin wajik ini buat Bu Faridah, ya! Dia kemarin pesan buat oleh-oleh anaknya katanya.”Ibu mengangsurkan satu kantong plastik berisi wajik. Ibu memang suka buat kue, tapi kalau ada yang pesan saja. Satu biji kue dihargai seribu rupiah. Kadang buat wajik, kadang buat cucur, apa saja yang penting jadi uang. Meski untung gak seberapa, awalnya kami bahu membahu demi masa depan yang kami gantungkan pada Putri.“Iya, Bu.”Aku mengambil plastic berisi wajik dari Ibu. Sebetulnya agak malas untuk ke rumah Bu Faridah. Aku gak nyaman tiap kali ketemu Kenzo---kakak kelas SMA-ku dulu. Kami pernah terlibat dalam perseteruan. Dulu aku ketua Osis, sedangkan Kenzo adalah anak populer yang gak mau diatur. Aku melaporkan geng dia yang merokok ngumpet-ngumpet di kantin ke kepala sekolah, alhasil Om Rafael---ayah Kenzo dipanggil ke sekolah dan dimarahinya habis-habisan, katanya. Sejak saat itu, setiap kali ketemu Kenzo dia selalu mengibarkan bendera perang.Lekas kuraih kerudung instan bahan jersey warna hitam. Kerudung yang menuntai hingga ke perut ini nyaman sekali terasa. Setiap akum au pergi-pergi ke warung atau beli gorengan ke depan, selalu pakai ini. Sampai-sampai Bi Munah tukang gorengan hapal walau baru lihat aku keluar dari depan rumah.Kuhela napas panjang dan menguatkan hati. Semoga Mas Imam lagi gak ke sini hari ini. Bagaimanapun aku masih terasa sakit, setiap kali bertemu dengannya, terbayang semua pengkhianatan yang dilakukannya selalu.Andai Bapak tak lagi sakit, aku mungkin sudah pergi mengontrak saja. Namun, kucoba kuatkan hati sampai mereka nikah. Toh rumah Mas Imam sudah jadi, nantinya mungkin dia dan Putri akan tinggal di sana dan aku bisa tetap di rumah mengurus Bapak.Aku melangkah ke depan. Ruang tengah sepi, gak ada orang. Akhirnya aku bernapas lega. Putri sepertinya lagi di kamar.Kutenteng plastic berisi wajik ini dan lekas membuka pintu. Namun, nasib baik tak berpihak lama-lama. Deru sepeda motor yang sangat tak asing kudengar. Tak berselang lama, muncul sosok yang membuat aku segera membuang pandang.Aku berjalan cepat, tetapi Mas Imam malah menghentikan sepeda motornya, lalu meraih lengan kiriku.“Diva! Mas mau bicara.”Kutepis tangannya. Namun, dia genggam erat.“Lepas, Mas. Gak ada lagi yang perlu dibicarakan.” Aku berucap dengan datar. Sekuat mungkin menekan letupan-letupan rasa benci yang sudah mengakar.“Mas minta maaf.” Dia kembali berucap.“Aku sudah memaafkan. Sekarang, lepaskan!” Aku menghentakkan tangan agar lepas.Namun, suara seseorang tiba-tiba terdengar dari arah belakang.“Mbak, Diva! Kamu jangan coba-coba pengaruhin Mas Imam lagi, ya! Kami akan segera menikah!”Nyesss!Rasa sakit itu kian menghujam. Suara Putri terdengar penuh kemarahan. Mas Imam melepaskan cekalan tangannya sehingga akhirnya aku bisa bergegas pergi meninggalkan dia dengan Putri. Tak kujawab sepatah kata pun tuduhan Putri. Aku hanya tengah menghemat energi dan mencoba abai.Aku berjalan cepat sambil menunduk. Rasanya semua orang tengah memandang dan berbisik-bisik membicarakan. Mungkin ada yang mengasihani, ada juga yang menyumpahi atau mungkin hanya perasaanku saja. Namun, rasanya aku sekarang seolah tak punya muka.Rumah Bu Faridah berpagar tinggi. Ada pohon mangga aromanis pada kedua ujung pagarnya yang rimbun. Sepertinya sedang ada tamu, soalnya pagar masih terbuka dan sebuah honda jazz warna merah dengan plat Jakarta terparkir di halamannya yang luas. Aku baru hendak memijit bell ketika terdengar suara keributan dari dalam rumah. Lantas keluar seorang perempuan berkulit putih cantik dengan postur tinggi berjalan cepat. Seorang lelaki dengan rambut sebahu mengejarnya. Aku tahu itu Kenzo. Ketika SMA rambutnya hanya gondrong saja, tetapi ternyata setelah lulus sekolah bukannya dipangkas, malah jadi sebahu panjangnya.Mau tak mau, aku menyaksikan adu mulut antara Kenzo dan perempuan itu. Hingga honda jazz merah itu keluar dengan kasar dari pekarangan luasnya. Aku menunduk, menepi sedikit agar tak tertabrak. Sengaja aku berdiri mepet pagar agar Kenzo tak melihatku. Namun, sepertinya gagal.“Hey, lo ngapain disitu? Lagi ngintipin gue?!” bentaknya dengan suara kasar.Aku, entah kenapa bukannya muncul, malah membalikkan badan dan hendak kembali pulang. Namun sialnya karena terburu-buru, satu kakikku malah terperosok.“Lo ngapain duduk disitu?!“ Suara Kenzo terdengar jelas, sosoknya sudah berada beberapa langkah tak jauh dariku.Aku bangun sambil meringis, pergelangan kaki terasa sakit. Lantas kusodorkan kantung plastik berisi wajik itu padanya.“Pesanan Bu Faridah!” tukasku. Akhirnya mau tak mau, bertatap muka lagi dengannya.“Sini!” Dia menarik dengan kasar. Dia langsung berbalik badan dan hendak meninggalkanku.“Hey, tunggu!” teriakku. Dia belum bayar kuenya soalnya.Dia berhenti, lalu menoleh dan sepasang mata elangnya menatap tajam.“Ngapain lo manggil-manggil gue! Jangan pernah mikir mau godain gue! Perawan gak laku!”Plak!Entah setan dari mana yang menggerakkan tanganku. Kalimatnya begitu menyakitkan hati. Kutelan saliva dan menatap tajam penuh benci.“Dua kali hati ini disakiti oleh dua orang lelaki. Akan kubuat kalian mengemis-ngemis cintaku di kemudian hari!” batinku berucap. Janji pada diri sendiri. Sakit karena dikhianati belum pergi. Kini ditambah lagi bertemu manusia laknat yang ucapannya melukai harga diri.“Hey, tunggu!” teriakku. Dia belum bayar kuenya soalnya. Dia berhenti, lalu menoleh dan sepasang mata elangnya menatap tajam. “Ngapain lo manggil-manggil gue! Jangan pernah mikir mau godain gue! Perawan gak laku!” Plak!Entah setan dari mana yang menggerakkan tanganku. Kalimatnya begitu menyakitkan hati. Kutelan saliva dan menatap tajam penuh benci. “Dua kali hati ini disakiti oleh dua orang lelaki. Akan kubuat kalian mengemis-ngemis cintaku di kemudian hari!” batinku berucap. Janji pada diri sendiri. Sakit karena dikhianati belum pergi. Kini ditambah lagi bertemu manusia laknat yang ucapannya melukai harga diri.“Lo nampar gue?” Sepasang mata Kenzo menatap tajam. Tiba-tiba adegan ini seoalh dejavu. Memoriku sekilas berlari pada Kenzo dengan seragam putih abu dan rambut dicat berwarna magoni. Pandangan itu masih sama, lekat kebencian tertanam di sana. Bahkan ucapannya pun hampir serupa, “Lo laporin gue ke kepala sekolah? Jang sok jadi cewek, deh!” Aku menggeleng kepala. Mengembal
“Ya gak bisa gitu dong, Mbak! Aku juga ‘kan capek harus kuliah, masa harus beres-beres rumah juga!” Dia tetap melawan. “Oh, terus gimana? Kuliah capek, ya? Kalau gitu kita gantian, kamu yang kerja dan bantuin Ibu bikin kue, biar Mbak yang kuliah lagi dan urus rumah? Adil kan?” tantangku dengan pandangan mata yang tajam. Putri tampak kaget. Mungkin seumur hidup seatap denganku, baru kali ini aku bicara agak keras padanya. “Mbak, kenapa Mbak teriak-teriak? Mbak lupa kalau di rumah ini ada Bapak yang lagi sakit? Mbak gak mikirin perasaan Bapak, ya? Dia sedang stroke, Mbak. Jangan sampai kondisinya makin drop kalau dengar kita ribut-ribut kayak gini?” Aku menelan saliva. Ingin rasanya menyumpal mulut Putri itu. Namun, sadar. Putri bukan orang yang bisa diajak bicara. Berdebat dengannya hanya menghabiskan tenaga. Sementara itu, ada Bapak yang butuh aku, ada Ibu yang harus kubantu. “Kalau kamu gak mau ikutin aturan, Mbak. Mulai hari ini, Mbak akan pernah ngeluarin sepeser pun buat kebu
Hidup memang terus melaju. Esok yang tak kukehendaki pun akhirnya tiba. Usai menikmati satu piring nasi goreng kencur buatan Ibu dan segelas teh pahit hangat, aku beranjak. Ada sesuatu yang terasa hampa, ketika dulu setiap pagi, Mas Imam-lah yang menjemputku ke sini dan kami berangkat kerja bersama. Aku panaskan sepeda motor bebek yang biasa dipakai Putri kuliah. Toh, kini dia sudah ambil cuti, acara nikahan dengan Mas Imam akan dilaksanakan dua mingguan lagi. “Mbak kok pake motor? Aku mau pergi.” Dia melongokkan wajah dari balik pintu. “Mbak mau kerja. Kuliah kamu ‘kan sudah cuti juga.” Aku menoleh sekilas ke arahnya. Lantas berjalan masuk dan meninggalkan sepeda motor beat keluaran lama yang sedang di panaskan di teras rumah. Kuhanya melirik sekilas padanya yang tengah memoles perwarna bibir warna orange, lalu duduk pada kursi kayu yang ada di ruang tengah dan mengenakan kaos kaki. Putri tampak sudah rapi. Aku menatapnya dari atas hingga bawah. Selalu saja tampilannya seksi. Dia
Aku sudah mengajukan izin pada Bu Ratna---selaku pimpinan LPC Al Huda atau Lembaga Professional Course Al-Huda di mana aku bekerja, pastinya setelah berbincang dengan Mbak Ana. Dia yang biasanya menggantikan tugas pentingku ketika akan ada keperluan seperti sekarang.Pakaian hitam putih sudah rapi kukenakan. Kupoles wajah dengan bedak, tetapi sayangnya malah aneh. Kulitku yang gelap ketimpa bedak yang putih malah terkesan dipaksakan. Akhirnya kucuci lagi muka dan hanya memakai foundation seharga sepuluh ribuan. Tak memunculkan efek apa-apa, hanya saja setidaknya tak terasa terlalu kering. Kupoles lip balm warna natural agar bibirku tampak segar. Kerudung warna hitam menjadi pilihan. Kulipat kerudung segi empat itu dan kupertemukan dua sisinya. Lekas kupakai dengan simetris. Setelah tersemat jarum pentul, lekas aku mengambil tas yang sebetulnya hanya berisikan ballpoint, dompet kecil, ponsel, kotak makan segi empat dan air mineral.“Bu, Diva berangkat dulu!” Aku menghampiri Ibu yang t
Menunggu pengumuman hasil interview sudah seperti nunggu yang ngapel di malam minggu. Meskipun itu dulu,. Berulang kali lihat jam, lihat tanggal, bahkan bolak-balik check email. Huh … tiga hari berasa tiga bulan. Hari ketiga sudah terlewati, tetapi kabar belum juga kudapatkan. Aku, hanya bisa pasrah dan mengirim lamaran lain lagi. Mungkin belum rejekiku di sana. Sementara itu, yang sibuk persiapan pernikahan sudah mulai sebar undangan. Tiap hari sampai bosan lihat wajah-wajah manusia tanpa dosa berkeliaran di rumah. Bahkan, hampir setiap saat pamer kemesraan. Sabaar, Diva! Setelah mereka resmi nikah, mereka akan tinggal di rumah barunya. Setidaknya, kamu bisa menghirup udara bebas.Sore itu, sepulang kerja. Aku diminta Ibu mengantar Bu Minah---tukang pijat yang habis mijat Bapak. Sekalian aku bawa kue untuk dikirim ke salah satu pelanggan Ibu. Ponselku berdering dan menampilkan nomor baru. Bu Minah sudah naik ke atas boncengan, terpaksa aku minta dia turun lagi. “Hallo, Selamat S
Maaf, aku tak lagi peduli. Lekas aku melajukan sepeda motor dan meninggalkan hingar bingar. Jalanan yang macet, akhirnya kulalui. Ketika tiba di depan tempat kerja baruku. Tampak sebuah mobil yang familiar. Aku menautkan alis. Rasa-rasanya hapal plat nomor mobil tersebut. Lekas aku masuk dan menuju lobi. Benar saja dugaanku, sosok perempuan berparas lembut yang tak lain adalah Bu Faridah---Ibunya Kenzo ada di dalam. Sepertinya dia salah satu pelanggan dari klinik kecantikan di sini. “Pagi, Mbak Intan!” “Pagi, Mbak Diva!” Aku menyapa resepsionis sekaligus kasir yang baru kutahu namanya Intan ketika kemarin mengirimkan email kontrak untukku. Sosok berkerudung warna salem yang tengah memilih produk skincare tersebut menoleh. “Eh ada Diva?” Perempuan yang tak lain adalah Bu Faridah itu menatapku. “Ibu lagi apa di sini? Langganan juga, ya?” Aku menghampirinya lalu menyalaminya dengan khidmat.“Ahm, Mbak Diva!” Aku menoleh pada Intan yang memanggilku. Namun, dari sudut matanya dia ta
“Hey, kamu! Tolong kerja samanya, ya! Tolong buat wajah aku secantik bidadari.” Aku menepuk benda mati itu, seolah dia bisa mendengar apa yang kuucapkan. Lantas aku mengambil sabun mukanya dan gegas membersihkan wajah. Kuabaikan hiruk pikuk dan hingar bingar para tetangga yang sedang rewang dan para kerabat yang juga ikut membantu-bantu. “Eh, Diva, kok baru kelihatan, sih?” Pertanyaan dari Bi Asih terlontar ketika aku kembali ke kamar mandi untuk wudhu dan sekaligus cuci muka. Kalau dulu, aku cuci muka hanya dengan facial wash yang harganya lima belas ribuan. Kali ini, beda. Aku cuci muka dengan facial wash bagus, tapi gratisan. Ah, andai bisa gratis tiap hari. “Iya, Bi! Habis kerja, hari pertama masa mau izin.” Aku tersenyum. “Oh kamu pindah kerja. Iya, kalau ada kerjaan, mending kerja, lagian di sini sudah banyak yang bantu juga.” “Iya, Bi.” Ah, malas berlama-lama. Gegas wudhu dan mencuci muka. Lalu aku kembali masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Kuapplikasikan skin
Dia tampak duduk dan memainkan gawai. Aku hanya meliriknya sesekali lantas asik makan dan menyuap dengan semangat hingga sebuah chat masuk dari akun bernama pangeran. [Lagi apa?] tulisnya.[Makan. Kamu?] balasku.[Lagi bete. Punya pegawai songong kelewatan.] tulisnya lagi.[Dih, kok, bisa? Yang sabar, ya?] Aku menghiburnya. [Mentang-mentang jam istirahat, gak mau diganggu. Padahal paling mereka juga sempat-sempatnya nyuri waktu kalau lagi kerja. Si*lan memang.] [Sabar, ya. Lagian datangnya jam istirahat.] Aku menanggapinya.[Biasa pesanan nyokap, gak bisa di entar-entar. Tuh, ‘kan bener sudah nelpon. Dah dulu, ya!] Kolom pesan tertutup. “Hallo, Ma! Iya sudah di sini. Lagi pada istirahat! Gak ada orang!” Itulah penggalan kalimat yang kudengar dari Kenzo sebelum dia pergi keluar. Aku menautkan alis, kok bisa nyambung, ya? Baru saja Pangeran bilang ada telepon, eh lelaki menyebalkan itu juga mengangkat telepon, Hmmm … lalu si Kenzo juga panggil Mama, Pangeran bilang nyokap. Hmm, s