Hatiku berkecamuk saat aku dipaksa masuk ke dalam mobil. Ingin melawan, tapi aku tak punya cukup tenaga. Pasrah? Ya. Menyerah? Tidak! Memang kupasrahkan nasibku pada tuhan, tapi bukan berarti telah menyerah. Aku akan terus berjuang selama kesempatan masih ada.Tuhan? Ah! Sejak kapan aku mengingat-Nya. Kenapa di saat tersudut seperti ini aku baru menyebut nama-Nya. Ke mana saja aku selama ini? Kenapa aku sampai melupakan Sang pencipta!Mobil meluncur kencang membelah padatnya lalu lintas kota. Membawaku pergi jauh menuju tempat yang tak kuinginkan.Aku duduk di jok belakang, bersisian dengan laki-laki yang telah membeliku, sementara kedua anak buahnya ada di depan. Suasana terasa hening, tak terdengar percakapan sesama mereka. Aku melihat ke luar jendela, menatap kosong pada kendaraan yang tengah hilir mudik, sembari mencari-cari cara agar bisa terlepas dari mereka. Apa aku melompat saja ya? Ah, tidak! Jika aku melompat mungkin kematian akan menjemputku, atau setidaknya itu akan memb
“Teriak saja yang keras, Bu! Biar tetangga pada tahu kelakuan kalian yang telas menjualku.” Gertakku tak kalah seru.Wajah mantan mertuaku yang semula tampak garang, seketika berubah pucat. Begitu pula dengan mas Arga. Dia seperti orang bodoh yang kebingungan. Aku yakin mereka takut jika kejahatannya diketahui para tetangga.“Kok jadi seperti ini? Sebenarnya ini rumah siapa sih, Bu?” tanya Bik Wati setengah berbisik.“Nanti aku ceritakan di rumah, Bik!” jawabku lirih di dekat telinganya.“Ayo, Pak! Kita masuk saja!” ajakku pada kedua lelaki yang datang bersamaku. Kami berempat langsung menerobos masuk meskipun Ibu menghalangi sambil terus mencerocos enggak jelas.“Keluarkan sofa ini, Pak!” perintahku. Tanpa menunggu lama, mereka berdua langsung bergerak dengan sigap. Dalam sekejap, tempat duduk yang semula ada di ruang tamu, kini sudah berpindah ke atas mobil pick-up yang kami bawa.“Mas! Itu sofanya dinaikkan mobil kok diam saja sih!” gerutu Dini yang sedari tadi mengikutiku.“Terus
Aku memaksa membuka mata meskipun masih terasa lengket. Semalaman memang susah untuk terlelap. Bagaimana tidak, tinggal seatap dengan laki-laki yang bukan suamiku, tentu saja membuatku waswas, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Setelah mencuci wajah, gegas aku menuju taman belakang rumah untuk melakukan tugas sesuai perjanjian yang kami sepakati. Biarpun ini bukan pilihan terbaik, tapi setidaknya bukan yang terburuk. “Eh... Bu Kirana sudah bangun,” sapa bik Wati saat aku melewati dapur. “Iya, Bik!” jawabku sambil tersenyum ke arah perempuan paruh baya yang tengah memotong sayuran. “Kok pintunya masih dikunci, Bik!” tanyaku saat gagal membuka pintu belakang. “Kan ini masih pagi, Bu!” sahut Bik Wati, “Emangnya Bu Kirana mau ngapain?”“Mau nyiram bunga, Bik!” jawabku jujur.“ealah Bu Kirana, kan lagi hujan, masa mau nyiram tanaman,” jelas Bik Wati. Aku melongo saat mendengar penuturannya, kenapa aku bisa sebodoh ini. Bikin malu saja! Apa saking bingungnya sampai enggak s
“Dari mana saja kamu?” tanya Ryan setengah membentak. Terlihat jelas dari raut wajahnya bahwa dia tengah dikuasai amarah.“Dari rumah mas Arga,” jawabku sembari menundukkan pandangan. Aku tak berani melihat sorot matanya yang seolah ingin menguliti. “Ngapain kesana? Kangen?” Nada suara Ryan terdengar sinis menyerupai sebuah ejekan. “Aku hanya ambil barang-barangku saja kok, enggak lebih,” sahutku menahan kesal. Bagaimana mungkin aku menyimpan rindu untuk seseorang yang telah mengkhianati dan menjualku? Rindu ingin melihatnya semakin menderita sih, iya. “Kenapa enggak bilang dulu? Mereka itu berbahaya! Bagaimana nanti kalau kamu diikat lagi kaya kemarin? Harusnya kamu enggak usah ke sana!” sungutnya dengan wajah gusar.Ah! Kenapa Ryan seperti mengkhawatirkan aku? Bukankah tidak seharusnya dia semarah ini? “Iya, maaf,” sahutku lirih. “Minta maaf itu gampang. Anak kecil juga bisa!” cibirnya. Aku yang sedari tadi tertunduk takut, seketika punya keberanian untuk menatapnya tatkala
Tanpa terasa, dua bulan sudah aku tinggal di sini. Di rumah milik Ryan, laki-laki menyebalkan yang penuh teka-teki. Kalau boleh jujur, aku merasa betah. Meski terkadang rindu dengan kedua orang tuaku cukup menyiksa jiwa.Aku sudah mengabari mereka tentang perceraianku dengan mas Arga. Telah kuceritakan perihal mantan suamiku yang mendua, pun mengenai mantan mertuaku yang mendukung kesalahan anak laki-lakinya.“kamu harus sabar, Nak!” Masih terngiang jelas nasihat Ibu waktu itu. Walaupun hanya melalui sambungan telepon, aku bisa tahu betapa terpukulnya hati Ibu mendengar kabar anak perempuannya telah menjanda. Sebenarnya mereka memintaku pulang ke rumah, tapi aku tak mengiyakannya, karena aku masih harus di sini dua bulan lagi. Aku terpaksa berbohong pada mereka. Kukatakan aku sedang bekerja, padahal tidak. Tak mungkin juga kan kalau aku mengatakan telah dijual? Bisa copot jantung mereka nanti.Devi, sahabatku, sesekali datang berkunjung saat waktu luang. Beberapa hari yang lalu dia j
Hari ini aku bangun agak kesiangan akibat tidur terlalu larut. Sampai-sampai kewajibanku sebagai makhluk ciptaan tuhan, kutunaikan di penghujung waktu. Ah, aku memang bukan Hamba yang taat. Dengan buru-buru aku segera menuju taman belakang rumah untuk memulai rutinitas pekerjaanku. Meskipun aku penyuka bunga, tetapi kadang juga merasa bosan. Apalagi kalau pikiran lagi enggak karuan begini. Rasanya ingin kutinggalkan saja. Ya. Saat ini aku sedang tidak fokus pada semerbak bunga di sekelilingku. Aku masih saja memikirkan kata-kata yang Ryan ucapkan semalam. Walaupun aku tahu dia hanya asal bicara, tetapi tetap saja membuat hatiku berantakan. Sejenak, aku mencoba menepis bayang semu tentang Ryan. Berusaha berkonsentrasi agar pekerjaan ini cepat kelar, karena hari ini aku berencana mengunjungi rumah mantan suamiku. Ah, bukan. Tepatnya rumah yang baru aku beli. Selesai dengan pekerjaan ini, gegas aku kembali ke kamar untuk membersihkan diri, berdandan secantik mungkin, agar mas Arga se
pov. ArgaSetelah kepergian Dinda, mantan istriku, pikiranku semakin berkecamuk. Belum hilang rasa penasaran dari mana Dinda bisa punya uang untuk membeli rumah ini, Ibu menambah beban pikiranku, dengan meminta agar Dini mau menampung kami sementara waktu. Baiklah. Demi untuk hidup layak, aku akan mencoba merayu Dini, agar mau memberi tumpangan sampai kami bisa membeli rumah lagi. Dengan langkah penuh harap, gegas aku menemuinya di kamar. “Yang, kenapa kamu masukin pakaian ke koper? “ tanyaku heran saat melihat Dini, istri siriku mengemasi pakaiannya. “Mau pulanglah, rumah ini sudah bukan punya kamu lagi. Lebih baik aku pergi sekarang sebelum diusir sama pemiliknya.” Sahut Dini ketus. “Ya sudah, sekalian kemasi pakaianku juga ya, Yang. Kita pergi sama-sama,” pintaku. “Kemasi sendiri, dan pergi sendiri. Jangan meminta aku menampung kalian. Karena rumahku bukan panti asuhan,” tolaknya. “Aku kan suamimu, Yang! Masa kamu tega sih?” rayuku. “Halah, nikah siri saja diandalkan. Ting
Aku tersenyum bangga karena telah berhasil membuat keluarga mantan jadi gembel. Bagiku, semua yang aku lakukan pada mereka tak sebanding dengan luka yang kuterima. Jauh di lubuk hati, aku masih ingin terus membuat hidup mereka terhina. Sejenak, kuayunkan langkah memasuki rumah ini. Pandanganku mengitari sudut demi sudut dari kamar yang dulu pernah menjadi saksi perjalanan hidupku. Aku tersenyum kecut saat mengingat betapa bodohnya aku yang dulu termakan rayuan Arga, laki-laki keparat yang pernah menjadi suamiku.Tak ingin terus terbuai kenangan pahit, gegas aku beranjak keluar lalu mengunci rumah ini. Aku mengajak kedua laki-laki yang datang bersamaku untuk pulang. Tak butuh waktu lama, mobil yang kami kendarai telah berhenti di halaman rumah. Dengan santai aku turun lalu memasuki rumah. Aku terkejut saat melihat Ryan tengah duduk di ruang tamu dengan wajah kusut, tapi mencoba abai dan terus berjalan menuju kamarku. “Duduk!” perintah Ryan dengan nada suara terdengar gemetar.Sejena