"Coba pikir, darimana istrimu dapat uang segitu? Dia kan nggak kerja dan nggak punya tabungan sama sekali. Bahkan harus jual rumah ibunya buat bayar hutang, kan? Lantas darimana duit itu?" Mama kembali mengompori anak lelakinya. Seolah tak peduli jika detik ini aku sudah berdiri di sampingnya.
"Alya, kamu bisa jelaskan ke mama dan Mbak Rani kalau tuduhan mereka salah besar kan? Aku percaya kamu nggak mungkin melakukan itu." Mas Naufal menatapku lekat sembari menghela napas panjang. Aku mengangguk lalu duduk di sampingnya. "Aku memang miskin bahkan kini yatim piatu, Ma. Tapi, aku nggak terima jika difitnah sekeji itu apalagi oleh keluarga suamiku sendiri. Aku benar-benar tak menyangka jika mama yang sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri dan Mbak Rani yang kupikir bisa menjadi kakak terbaikku bisa menuduhku serendah itu. Dari tadi aku berusaha menjelaskan darimana asal uang itu, tapi kalian selalu memotong dan seolah tak percaya dengan penjelasanku. Kenapa setelah aku pergi justru kalian berasumsi macam-macam?" Mama mencebik."Jangan banyak alasan kamu, Al. Jelaskan saja kamu dapat uang itu darimana. Nggak usah berbelit-belit!" Mama kembali membentak. "Uang itu kudapatkan dengan cara halal, bukan cara haram seperti yang mama dan Mbak Rani tuduhkan. Semuanya dari hasil usahaku sendiri. Kebetulan--Belum sempat melanjutkan jawaban, mama kembali memotong ucapanku. Seperti sebelumnya, mama memang sengaja tak memberiku waktu untuk menjelaskan. Tadi aku memang mengalah dan memilih pergi, tapi sekarang tak akan lagi. Mereka harus tahu jika aku mendapatkan uang itu dengan cara halal. Terserah mereka mau percaya atau tidak. "Usaha apa? Memangnya kamu ada dana buat usaha? Jangan ngelantur, Al! Jangan-jangan usaha kamu itu memang j*ual diri!"sentak mama lagi. "Ma, kenapa mama terus membahas itu. Alya nggak mungkin begitu, Ma," bela Mas Naufal lagi."Kamu baru menikah dengannya tiga bulan, Fal. Nggak tahu masa lalunya bagaimana. Memangnya kamu percaya begitu saja dengan penjelasan istrimu? Dia bilang uang itu dari usahanya selama ini. Usaha apa? Dia cuma di rumah tiap hari. Empat juta bukan duit sedikit yang bisa didapatkan dalam sekejap mata, Naufal. Kecuali usahanya seperti yang mama sebutkan tadi," ucap mama begitu kasar sembari melipat kedua tangan ke dada. "Kalau memang benar j*ual diri. Mana ada om-om yang mau sama perempuan kucel, burik, jerawatan dan nggak ada seksi-seksinya seperti itu, Ma? Mas Naufal saja yang terlalu bucin. Bisa-bisanya cinta sama perempuan seperti dia. Kaya nggak ada perempuan lain saja," balas Ratna cepat sembari melirikku sinis. "Soal penampilan bisa diubah dengan make up, Ratna." Mama tak mau kalah. "Terserah apa dan bagaimana pendapat mama. Yang pasti aku memang memiliki usaha dan itu halal. Nggak jual dir* seperti yang mama tuduhkan!" Tak tahan difitnah, aku pun sedikit membentak. "Alya!" bentak Mas Naufal sembari menatapku tajam."Yang sopan sama mama. Kamu tahu kan kalau-- "Iya, Mas. Aku tahu kalau orang tua wajib dihormati dan disayang sebab ridhoNya tergantung pada ridho kedua orang tua kita. Aku juga tahu kalau surga suami berada di telapak kaki ibunya, sementara surga istri terletak pada keridhoan suami. Tapi mama sudah fitnah aku, masa aku diam saja?" sambungku cepat. "Lihat istri yang kamu bilang penurut dan tak pernah membangkang itu, Fal. Dia sudah berani membentak Mama sekarang. Mana mungkin mama bisa akur sama dia kalau caranya seperti itu. Nggak ada sopan-sopannya. Mungkin almarhum kedua orang tuanya nggak pernah mengajari dia sopan santun." Mama kembali menyindir bahkan sampai hati menjelek-jelekkan ibu dan bapakku yang telah tiada."Nggak perlu menyudutkan ibu dan bapakku, Ma. Mereka adalah orang tua terbaik yang aku punya," sahutku cepat dengan penekanan penuh. "Turunkan volume suaramu, Alya. Kamu bisa menjelaskan semuanya dengan baik, tanpa harus membentak!" sentak Mas Naufal sembari menatapku tajam. Apa dia lupa kalau aku sudah berusaha menjelaskan baik-baik sejak tadi, tapi selalu disergah dan dipotong mama?"Kalau dipikir-pikir, ucapan mama ada benarnya kok. Misal istrimu jualan online, dia pasti kirim-kirim paket dong, Fal. Nyatanya selama di sini saja dia nggak pernah kirim-kirim pesanan. Pegang handphone juga jarang karena sibuk beberes. Bahkan dia saja sampai nggak kenal tetangga karena jarang keluar rumah. Kali aja semalam dia beraksi saat nggak ada satu orang pun di rumah ini." Mbak Rani menatapku sinis.Mas Naufal kembali bergeming lalu menghela napas kasar. Apa dia mulai mempercayai penjelasan ngawur mama dan kakak perempuannya? "Jelaskan padaku darimana kamu mendapatkan uang itu padaku, Al. Usaha apa yang sebenarnya kamu lakukan. Jika masuk akal, InsyaAllah aku lebih percaya padamu sebab aku tahu kamu tak akan mungkin melakukan hal sekeji itu," ucap Mas Naufal kemudian. "Apa-apaan kamu ini, Fal. Kenapa jauh lebih percaya istrimu daripada mama dan saudara kandungmu sendiri?!" Mama kembali melotot kesal."Bukan begitu, Ma. Naufal tahu Alya nggak mungkin begitu. Kita dengarkan saja dulu penjelasannya," ucap Mas Naufal mulai sedikit lebih tenang. "Terserahlah. Kamu sudah dibutakan cinta," sentak mama sembari melempar bantal sofa ke arahku. Mas Naufal hanya memijit kening lalu menggeleng kepala pelan melihat sikap mamanya."Aku ada usaha sama Nuri, Mas. Dia teman SMAku yang kini menetap di Bandung dengan neneknya. Kebetulan sebelum menikah denganmu aku pinjamkan tabunganku padanya. Ternyata uang itu bukan untuk kebutuhannya, tapi untuk tambahan modal usaha laundry-nya dan aku mendapatkan bagi hasilnya," ucapku jujur berharap Mas Naufal percaya dengan penjelasanku. "Bulshitlah, Mas. Mana mungkin hasil bagi usaha laundry bisa sebanyak itu. Semua cuma karangan dan akal-akalannya saja pasti. Hari Sabtu kemarin aku lihat Mbak Alya ngobrol sama laki-laki di depan gerbang. Jangan-jangan uang itu dari dia, Mas," ucap Ratna lagi. Mas Naufal tersentak lalu mengalihkan pandangannya kembali padaku. Aku hanya mengernyitkan dahi tak mengerti. Siapa laki-laki yang dimaksud Ratna."Bener, Al?" Suara Mas Naufal mulai meninggi dan tak enak didengar. "Aku nggak paham apa maksud Ratna loh, Mas. Keluar rumah aja nggak pernah kecuali sama kamu. Bisa-bisanya nuduh aku ngobrol sama lelaki lain. Makin aneh saja keluargamu, Mas. Selalu menuduhku macam-macam seolah aku ini perempuan yang tak punya harga d*iri." Aku menatap tajam mereka satu persatu. Setidaknya agar mereka tahu aku tak akan lagi pasrah dan mengalah seperti dulu."Coba aja lihat cctv dari rumah Pak Rudi. Pasti kelihatan dari sana kalau ucapanku tadi benar adanya," ucap Ratna lagi.Mas Naufal semakin gelisah. Dia mengalihkan pandangannya dariku. Aku berusaha menjelaskan sedetail mungkin tapi sepertinya Mas Naufal lebih condong mempercayai ucapan Ratna daripada mendengarkan penjelasanku. "Lihat ini, Mas. Bukti transferan dari Nuri. Aku nggak terbiasa bohong karena itu dosa besar. Sekarang terserah kamu percaya atau nggak dengan bukti dan penjelasanku." Kusodorkan bukti transfer dari Nuri padanya. Mas Naufal cukup shock saat melihat nominalnya. "Sebelas juta, Al? Apa benar jika uang itu dari usaha laundry bersama teman SMAmu itu? Sebelas juta bukan uang yang sedikit, Alya. Apa aku harus percaya dengan kata-katamu sementara bukti transfer sebanyak itu justru membuatku curiga." Mas Naufal kembali geleng-geleng tak percaya."Jujur, Al. Apa benar uang itu halal? Atau uang itu memang dari lelaki lain seperti yang Ratna katakan?" Laki-laki yang mengucapkan janji sucinya padaku tiga bulan lalu itu menatapku dengan berkaca. Aku benar-benar tak menyangka jika akhirnya Mas Naufal sama seperti keluarganya yang mencurigaiku macam-macam. Selama ini hanya dia yang membuatku bertahan. Namun, jika dia mulai rapuh dan tak mempercayaiku, apa iya aku harus terus mempertahankan rumah tangga ini? ***Kebaya berwarna putih gading dengan hiasan swarovski membuat penampilan Alya terlihat cantik dan elegan. Dilengkapi dengan polesan make up flawless dan senyum tipisnya, membuatnya semakin mempesona. Beberapa kali Azka menatapnya kagum lalu tersenyum saat tak sengaja bersirobok dengannya. Tak ingin semakin salah tingkah, Azka pamit untuk menemui tamu setelah selesai dimake up.Keluarga besar Azka dari Jogja datang semua ke Jakarta untuk menghadiri hari spesialnya. Mulai dari keluarga papa angkatnya, kakak tirinya dan keluarga ayah kandungnya pun ikut datang. Kebahagian Azka semakin bertambah saat melihat keluarga besarnya akur dan kumpul hari ini.Melihat keluarga besar Azka, Alya pun merasa bersyukur. Dia yang selama ini tak memiliki keluarga akhirnya mendapatkan keluarga baru yang begitu hangat dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Berulang kali Alya mengucapkan Hamdallah atas semua karunia-Nya. Dia yang selama ini mendapatkan banyak ujian, akhirnya kini mendapatkan kenikmatan berl
"Alya, maukah kamu menikah denganku?" Pertanyaan Azka saat makan malam itu masih teringat jelas di benak Alya. Sesekali dia tersenyum saat membayangkan kembali momen mendebarkan itu. Dengan sedikit jongkok, Azka membuka kotak cincin itu lalu mengangsurkannya ke arah Alya yang berdiri di depannya. Laras tersenyum tipis melihat keromantisan yang sudah direncanakan anak lelakinya untuk menyambut Alya. Ruangan tak terlalu lebar yang dihiasi beberapa bunga mawar putih dan balon berbentuk hati itu semakin membuat nuansa romantis di dalamnya. Lilin-lilin kecil di tepi dinding seolah menjadi sakti ungkapan cinta lelaki tampan itu. "Aku akan berusaha membuatmu bahagia. Akan kuletakkan bahagiamu di atas bahagiaku, Alya. Percayalah, karena bahagiamu adalah bahagiaku jua." Azka tersenyum tipis menatap Alya yang masih mematung. Dia terharu dengan semua perjuangan Azka selama ini. Berkali-kali ditolak dan diabaikan, berkali-kali pula dia bangkit dan membuktikan cinta tulusnya. Alya yang sebelum
Kasus Erika mulai masuk ke meja hijau. Alya didampingi Nuri, Laras dan Azka beserta pengacaranya sudah duduk di kursi yang disediakan. Para pelaku pun mengikuti sidang ini dan duduk tak jauh dari tempat Alya berada. Alya tampak begitu cemas setelah memberikan penjelasan tentang kejadian itu. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang saat Laras dan Nuri kembali meyakinkannya jika semua akan baik-baik saja. Tak banyak kata, Azka berusaha meyakinkan Alya dengan caranya. Senyum tipis dan tatapan lekatnya membuat Alya sedikit lebih tenang. Dia merasa banyak orang yang begitu menyayangi dan mendukungnya saat ini. Pengacara yang disewa Azka pun bukan pengacara sembarangan. Dia cukup kompeten di bidangnya bahkan termasuk pengacara terkenal yang berhasil memenangkan beragam kasus rumit. Azka ingin melakukan yang terbaik untuk Alya karena dia tahu orang tua Erika pasti juga akan melakukan beragam cara untuk membantu anak semata wayangnya. Sidang berjalan cukup sengit karena orang tua Erika dan
Erika meraung. Dia seperti kesurupan saat dua polisi itu membawanya pergi. Rengekan, permohonan dan linang air matanya seolah tak berarti. Dia memang pantas mendapatkan balasan setimpal atas semua yang pernah dilakukannya bukan? Melihat Erika histeris seperti itu, bukannya iba, Naufal justru semakin benci. Rasa bencinya semakin bertambah setelah dia tahu siapa yang diculik oleh istrinya itu. Benci, amarah dan muak seolah tercampur menjadi satu. Mamanya yang mendadak sakit pun semakin shock saat melihat menantu kesayangannya digelandang polisi bahkan mungkin akan segera dijebloskannya ke penjara. Sakit jantung yang sebelumnya hanya sandiwara, kini justru menjadi nyata. Allah telah mengabulkan ucapan wanita paruh baya itu. Bukankah ucapan bagian dari doa? Begitu pula Sumiwi yang sebelumnya berpura-pura sakit, kini dia benar-benar terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang pasien karena sakit jantungnya. Wanita itu hanya membisu saat anggota keluarga dan kerabatnya menjenguk. Mungkin
"Telepon siapa sampai shock begitu?" Pertanyaan Naufal yang tiba-tiba membuat Erika semakin kaget. Dia tercekat lalu membalikkan badan. Keringat dingin mulai membasahi kening. Kali ini dia benar-benar ketakutan dengan gertakan Azka. Tak sekadar gertakan, Erika yakin ada sesuatu yang menimpa anak buahnya. Sejak semalam mereka memang nggak memberi kabar apapun pada Erika. Mereka takut kecerobohan Erika hanya akan membuat mereka tertangkap basah. Mereka, terutama Edward cukup tahu bagaimana sikap Erika yang sering gegabah dan tak bisa berpikir panjang saat melakukan sesuatu. "Siapa?" tanya Naufal lagi. Tanpa menunggu balasan Erika, Naufal menarik kasar benda pipih di tangan perempuan itu. Erika berusaha mempertahankan handphonenya, tapi Naufal berhasil mendapatkan bende mungil kesayangan Erika itu. Naufal menatap layar lalu mencari menu panggilan terakhir di handphone itu."Alya?!" ucap Naufal dengan mata membulat. Dia menoleh pada Erika yang kini mendadak diam. "Ngapain kamu telep
Naufal pergi dengan ekspresi kesal. Raut wajahnya memerah karena emosi. Alya tak lagi peduli. Baginya, laki-laki itu hanya bagian dari masa lalu yang harus dia lupakan. Alya tak ingin mengingatnya lagi karena semakin diingat, rasa sakit itu justru semakin terasa. "Benar mau menikah denganku?" tanya Azka lirih setelah Naufal keluar rumah. Alya tercekat. Alya tak menyangka jika Azka masih sadar karena dia pikir laki-laki itu sudah pingsan. Wajahnya memerah seketika saat menoleh pada Azka yang membenarkan letak duduknya. Salah tingkah. Alya benar-benar kikuk dan tak tahu harus membalas apa. "Benar mau menikah denganku, hmmm?" ulang Azka dengan senyum tipis membuat Alya sedikit kesal. "Pura-pura pingsan?" tanya Alya kemudian. "Ngapain pura-pura. Aku hanya diam saja menahan sakit. Nggak menyangka diamku ada gunanya juga," sambung laki-laki itu."Dasar!" rutuk Alya pendek lalu bangkit dari lantai, sementara Azka mengikuti Alya dengan berdiri perlahan dan duduk kembali ke sofa. "Sudahl