Tak menyangka istriku memilih pergi dan menggugat cerai setelah aku menikah lagi. Kupikir dia tak akan seberani itu karena dia tak punya keluarga selain aku. Dia yatim piatu dan tak punya penghasilan sendiri. Dia bilang, lebih baik hidup di jalanan daripada tinggal bersama madu.
View More"Al, bajuku udah disetrika belum?" tanya Mbak Rani saat aku masih sibuk menjemur baju di belakang.
"Belum, Mbak. Belum kepegang soalnya, cucian banyak banget. Maaf belum sempat," ucapku cepat sembari menggantungkan beberapa baju yang sudah kucuci. Bukan hanya bajuku dan baju Mas Naufal saja, tapi baju ipar-iparku dan mertua juga. "Gimana sih, Al?! Itu baju mau aku pakai sekarang kok malah belum disetrika? Harusnya nyetrika baju dulu, Al. Nyucinya nanti belakangan kalau kita sudah pergi ke hajatan. Kamu kan di rumah beberes." Mbak Rani bersungut kesal. Kedua matanya melotot tajam ke arahku yang masih sibuk dengan tumpukan baju setengah kering. "Iya, maaf, Mbak. Soalnya ini mumpung cuaca panas, biar lekas kering," balasku lagi. "Alasan aja. Baju mama juga sudah ditungguin itu. Buruan, lelet banget sih kaya putri Solo!" Buru-buru kuletakkan ember di samping mesin cuci. Mesin yang rusak, hanya pengeringnya saja yang masih jalan. Berulang kali kuminta Mas Naufal memanggil tukang servis tapi sampai sekarang belum dipanggil juga. Kadang badan rasanya tak karuan tiap hari mencuci baju segitu banyak tanpa bantuan siapapun. Baju mama mertua, bajuku dan Mas Naufal, baju adik iparku Ratna dan baju keluarga kecil Mbak Rani. Semua aku yang mencuci. Awalnya tak terlalu bermasalah karena ada mesin cuci, tapi akhir-akhir ini masalah pun terjadi setelah mesin cuci rusak dan mereka tak ada yang peduli. Mereka benar-benar kompak memperlakukanku seperti babu. Apalagi tiap kali ada acara keluarga, pasti aku tak pernah diajak serta. Sengaja ditinggal di rumah untuk beberes ini dan itu. Tiap kali Mas Naufal tanya kenapa aku belum siap-siap, mereka selalu sahut menyahut menyudutkanku. Parahnya, Mas Naufal selalu percaya ucapan mereka sebab mereka lebih banyak sementara aku hanya sendiri. Aku tak tahu kenapa keluarga suamiku begitu tega memperlakukanku seperti itu. Awalnya aku begitu bahagia saat dipersunting Mas Naufal. Aku selalu bermimpi memiliki keluarga baru yang hangat dan merasakan kasih sayang seorang ibu, kakak juga adik yang tak pernah kurasakan selama ini. Sayangnya semua hancur berantakan sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Mereka yang sebelumnya tampak hangat ternyata hanya bersandiwara agar aku mau menikah dengan Mas Naufal hingga mereka bebas menjadikan aku sebagai babu gratisannya. Entah mengapa tiga bulan menikah dengan Mas Naufal, hidupku justru nelangsa. Berulang kali kubilang sikap mama, kakak dan adiknya yang tak pernah menganggapku ada, tapi mas Naufal selalu tak percaya. Dia bahkan lebih percaya pada keluarganya dibandingkan pada istrinya sendiri. Ingin rasanya pergi, tapi aku tak tahu harus tinggal di mana. Rumah peninggalan ibu sudah kujual untuk melunasi hutang almarhum bapak yang membengkak karena riba. Bahkan Mas Naufal ikut membayar empat juta agar semua hutang benar-benar lunas. Mungkin karena itu pula keluarga Mas Naufal seolah begitu berjasa melepaskanku dari jeratan riba, hingga mereka bebas menyuruhku ini dan itu sesuka hati mereka. "Alya! Setrika yang bener. Jangan melamun. Itu baju mahal. Memangnya kamu sanggup menggantinya kalau baju itu sampai gosong?" Mama tiba-tiba sudah berdiri di depanku. Entah sejak kapan beliau ada di sana. Terlalu fokus membayangkan masa lalu hingga membuatku lupa jika detik ini ada tumpukan baju yang harus kusetrika secepatnya. "Iy-- iya, Ma. Maaf," balasku cepat lalu kembali fokus menyetrika satu persatu baju milik mama dan ipar dan keponakanku itu. Tak peduli peluh membanjiri pipi. Aku harus segera menyelesaikannya. Barangkali setelah selesai semua, Mas Naufal mau mengajakku ke hajatan itu. Dia yang kini masih di kantor dan baru perjalanan pulang. Beberapa menit kemudian, urusan persetrikaan kelar. Aku buru-buru menyambar handuk setelah membaca pesan dari Mas Naufal yang telah terkirim dua puluh menit lalu agar aku segera siap-siap. Baru saja memasuki kamar mandi, mobil Mas Naufal sudah memasuki garasi. Mama, ipar dan keponakanku menyambutnya dengan ceria. "Ayo, Fal. Kita sudah telat ini. Acara kumpul keluarga jam empat sore. Harusnya kita sudah sampai sana, ini malah baru mau berangkat," ucap mama sembari menarik lengan Mas Naufal. Aku masih mematung di depan pintu kamar mandi menyaksikan obrolan mereka."Alya mana, Ma?" "Istrimu itu lelet, bukannya buru-buru mandi malah sibuk mainan handphone. Sudah, biar dia di rumah saja istirahat. Sepertinya dia juga kurang enak badan. Kita berangkat sekarang, malu kalau sampai serombongan telat semua," ucap mama lagi disertai anggukan Mbak Rani dan Ratna."Tapi, Ma ....""Sudahlah, Fal. Istrimu memang lelet. Sepertinya dia juga nggak niat mau ikut. Biar saja di rumah." Beberapa saat kemudian suasana mendadak hening. Sesak ini kembali menjalar. Berulang kali Mas Naufal tak memiliki nyali untuk mematahkan perintah mama dan kakaknya. Menganggap semua ucapan mereka benar tanpa menyelidiki kebenarannya sendiri. Entah sampai kapan aku harus bersabar. Tiga bulan tinggal di rumah ini, rasanya seperti setahun. Mungkin jika aku bisa memiliki penghasilan sendiri, mereka tak akan meremehkanku seperti ini. Setidaknya aku bisa mengembalikan uang Mas Naufal yang empat juta itu. Aku harus bekerja, tapi di mana? Aku hanya tamatan SMA yang tak memiliki keahlian apa-apa. Jikalaupun bisa bekerja, Mas Naufal tak pernah mengizinkanku bekerja di luar rumah. Setelah selesai mandi, aku mengambil handphone dari atas meja. Mendadak kedua mataku membola melihat pesan dari Nuri di aplikasi biruku. Nuri adalah sahabatku sejak SMA. Sudah cukup lama aku tak bertemu dengannya sebab dia pindah ke Bandung bersama neneknya setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun silam. Meski begitu, aku masih sering berhubungan dengannya via maya. |Sesuai janjiku padamu, Al. Setelah enam bulan, aku akan merinci semua pengeluaran dan pendapatan dari usaha laundry kita. Aku akan membagi hasilnya sesuai modal yang kamu titipkan padaku enam bulan lalu ya? Aku sudah transfer sebelas juta ke rekeningmu. Itu bagi hasil untukmu selama enam bulan ini, rinciannya bisa kamu cek sendiri. Mulai sekarang, aku akan transfer bagi hasil kita tiap bulan ya, Al. Kalau kamu mau, kita bisa bekerja sama lagi untuk bikin laundry kedua. InsyaAllah sama-sama menjanjikan sebab di sini memang area kampus dan perkantoran| Air mataku menetes seketika saat melihat bukti transfer yang dikirimkan Nuri. Aku cek di mobile banking, uang itu benar-benar sudah masuk ke rekeningku. Aku tak menyangka jika uang empat juta dari hasil menjual perhiasanku enam bulan lalu ternyata menghasilkan keuntungan berlipat. Nuri memang pintar berniaga dan wirausaha. Sesuai dengan kuliahnya yang jurusan bisnis. Tak salah aku menitipkan modal itu padanya. Kini, usahanya semakin maju bahkan ingin membuka cabang baru. Dengan uang itu aku bisa mengembalikan uang Mas Naufal dan menambah modal untuk cabang laundry yang baru. Lihat saja, setelah ini aku pasti bisa mematahkan keangkuhan mereka semua.💕💕💕Kebaya berwarna putih gading dengan hiasan swarovski membuat penampilan Alya terlihat cantik dan elegan. Dilengkapi dengan polesan make up flawless dan senyum tipisnya, membuatnya semakin mempesona. Beberapa kali Azka menatapnya kagum lalu tersenyum saat tak sengaja bersirobok dengannya. Tak ingin semakin salah tingkah, Azka pamit untuk menemui tamu setelah selesai dimake up.Keluarga besar Azka dari Jogja datang semua ke Jakarta untuk menghadiri hari spesialnya. Mulai dari keluarga papa angkatnya, kakak tirinya dan keluarga ayah kandungnya pun ikut datang. Kebahagian Azka semakin bertambah saat melihat keluarga besarnya akur dan kumpul hari ini.Melihat keluarga besar Azka, Alya pun merasa bersyukur. Dia yang selama ini tak memiliki keluarga akhirnya mendapatkan keluarga baru yang begitu hangat dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Berulang kali Alya mengucapkan Hamdallah atas semua karunia-Nya. Dia yang selama ini mendapatkan banyak ujian, akhirnya kini mendapatkan kenikmatan berl
"Alya, maukah kamu menikah denganku?" Pertanyaan Azka saat makan malam itu masih teringat jelas di benak Alya. Sesekali dia tersenyum saat membayangkan kembali momen mendebarkan itu. Dengan sedikit jongkok, Azka membuka kotak cincin itu lalu mengangsurkannya ke arah Alya yang berdiri di depannya. Laras tersenyum tipis melihat keromantisan yang sudah direncanakan anak lelakinya untuk menyambut Alya. Ruangan tak terlalu lebar yang dihiasi beberapa bunga mawar putih dan balon berbentuk hati itu semakin membuat nuansa romantis di dalamnya. Lilin-lilin kecil di tepi dinding seolah menjadi sakti ungkapan cinta lelaki tampan itu. "Aku akan berusaha membuatmu bahagia. Akan kuletakkan bahagiamu di atas bahagiaku, Alya. Percayalah, karena bahagiamu adalah bahagiaku jua." Azka tersenyum tipis menatap Alya yang masih mematung. Dia terharu dengan semua perjuangan Azka selama ini. Berkali-kali ditolak dan diabaikan, berkali-kali pula dia bangkit dan membuktikan cinta tulusnya. Alya yang sebelum
Kasus Erika mulai masuk ke meja hijau. Alya didampingi Nuri, Laras dan Azka beserta pengacaranya sudah duduk di kursi yang disediakan. Para pelaku pun mengikuti sidang ini dan duduk tak jauh dari tempat Alya berada. Alya tampak begitu cemas setelah memberikan penjelasan tentang kejadian itu. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang saat Laras dan Nuri kembali meyakinkannya jika semua akan baik-baik saja. Tak banyak kata, Azka berusaha meyakinkan Alya dengan caranya. Senyum tipis dan tatapan lekatnya membuat Alya sedikit lebih tenang. Dia merasa banyak orang yang begitu menyayangi dan mendukungnya saat ini. Pengacara yang disewa Azka pun bukan pengacara sembarangan. Dia cukup kompeten di bidangnya bahkan termasuk pengacara terkenal yang berhasil memenangkan beragam kasus rumit. Azka ingin melakukan yang terbaik untuk Alya karena dia tahu orang tua Erika pasti juga akan melakukan beragam cara untuk membantu anak semata wayangnya. Sidang berjalan cukup sengit karena orang tua Erika dan
Erika meraung. Dia seperti kesurupan saat dua polisi itu membawanya pergi. Rengekan, permohonan dan linang air matanya seolah tak berarti. Dia memang pantas mendapatkan balasan setimpal atas semua yang pernah dilakukannya bukan? Melihat Erika histeris seperti itu, bukannya iba, Naufal justru semakin benci. Rasa bencinya semakin bertambah setelah dia tahu siapa yang diculik oleh istrinya itu. Benci, amarah dan muak seolah tercampur menjadi satu. Mamanya yang mendadak sakit pun semakin shock saat melihat menantu kesayangannya digelandang polisi bahkan mungkin akan segera dijebloskannya ke penjara. Sakit jantung yang sebelumnya hanya sandiwara, kini justru menjadi nyata. Allah telah mengabulkan ucapan wanita paruh baya itu. Bukankah ucapan bagian dari doa? Begitu pula Sumiwi yang sebelumnya berpura-pura sakit, kini dia benar-benar terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang pasien karena sakit jantungnya. Wanita itu hanya membisu saat anggota keluarga dan kerabatnya menjenguk. Mungkin
"Telepon siapa sampai shock begitu?" Pertanyaan Naufal yang tiba-tiba membuat Erika semakin kaget. Dia tercekat lalu membalikkan badan. Keringat dingin mulai membasahi kening. Kali ini dia benar-benar ketakutan dengan gertakan Azka. Tak sekadar gertakan, Erika yakin ada sesuatu yang menimpa anak buahnya. Sejak semalam mereka memang nggak memberi kabar apapun pada Erika. Mereka takut kecerobohan Erika hanya akan membuat mereka tertangkap basah. Mereka, terutama Edward cukup tahu bagaimana sikap Erika yang sering gegabah dan tak bisa berpikir panjang saat melakukan sesuatu. "Siapa?" tanya Naufal lagi. Tanpa menunggu balasan Erika, Naufal menarik kasar benda pipih di tangan perempuan itu. Erika berusaha mempertahankan handphonenya, tapi Naufal berhasil mendapatkan bende mungil kesayangan Erika itu. Naufal menatap layar lalu mencari menu panggilan terakhir di handphone itu."Alya?!" ucap Naufal dengan mata membulat. Dia menoleh pada Erika yang kini mendadak diam. "Ngapain kamu telep
Naufal pergi dengan ekspresi kesal. Raut wajahnya memerah karena emosi. Alya tak lagi peduli. Baginya, laki-laki itu hanya bagian dari masa lalu yang harus dia lupakan. Alya tak ingin mengingatnya lagi karena semakin diingat, rasa sakit itu justru semakin terasa. "Benar mau menikah denganku?" tanya Azka lirih setelah Naufal keluar rumah. Alya tercekat. Alya tak menyangka jika Azka masih sadar karena dia pikir laki-laki itu sudah pingsan. Wajahnya memerah seketika saat menoleh pada Azka yang membenarkan letak duduknya. Salah tingkah. Alya benar-benar kikuk dan tak tahu harus membalas apa. "Benar mau menikah denganku, hmmm?" ulang Azka dengan senyum tipis membuat Alya sedikit kesal. "Pura-pura pingsan?" tanya Alya kemudian. "Ngapain pura-pura. Aku hanya diam saja menahan sakit. Nggak menyangka diamku ada gunanya juga," sambung laki-laki itu."Dasar!" rutuk Alya pendek lalu bangkit dari lantai, sementara Azka mengikuti Alya dengan berdiri perlahan dan duduk kembali ke sofa. "Sudahl
Nuri memijit keningnya beberapa kali. Nyaris semalaman dia tak bisa tidur karena memikirkan sahabatnya, Alya. Setelah subuh, dia memilih ke dapur untuk membuat bubur dan teh hangat untuk sarapan. Perutnya terasa melilit karena lapar. Tak lupa membalas beberapa pesan yang masuk ke messengernya. Pesan dari Naufal yang menanyakan soal Alya karena semalam Nuri memang memberikan kabar pada laki-laki itu soal penculikan Alya. Nuri tahu jika saat ini Naufal tak ada hubungan dengan Alya lagi setelah perpisahan itu terjadi, hanya saja Nuri kehilangan akal dan dia tak tahu harus minta pertolongan siapa lagi selain mantan suami sahabatnya itu. Azka memang sudah gerak cepat, tapi sampai saat ini belum juga memberikan kabar untuknya. Nuri benar-benar tak tenang dan hanya menginginkan yang terbaik untuk Alya karena menurutnya semakin banyak yang mencari keberadaan Alya maka akan semakin cepat menemukannya. Lagi dan lagi Nuri hanya ingin Alya segera ditemukan dengan keadaan baik tanpa kekurangan s
"Sudah bangun, Sayang?" tanya laki-laki bernama Edward itu singkat dengan senyum tipisnya. Alya menatap tajam laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit bersih itu. Dia berusaha menghindar saat tangan kekar laki-laki itu berusaha menyentuhnya. Hanya saja, dia tak bisa bergerak banyak karena tangan dan kakinya diikat, sementara mulutnya dilakban. Keringat dingin mulai menetes di keningnya. Alya benar-benar ketakutan melihat ada orang asing satu kamar dengannya. "Maaf harus mengikatmu seperti ini. Terpaksa karena aku nggak mau kamu pergi. Tunggu sampai pagi, setelah itu kita akan pergi," ucap laki-laki itu lagi. Alya kembali ketakutan. Dia tak ingin diajak pergi oleh laki-laki tak dikenalnya itu. Alya masih berusaha memberontak, tapi tangan kekar itu berhasil menyentuh kepalanya. "Jangan jual mahal, Sayang," lirih laki-laki itu sembari mengusap wajah cantik Alya. Hijab yang dipakainya sudah terlepas. Rambut hitam panjangnya pun berantakan karena tarikan kasar laki-laki itu. "Kamu lebi
[Dia anak buah Mas Bemo, Bos. Mas Bemo masih di sel karena kasus shabu lima bulan lalu. Saya sama Erik sudah ketemu basecampnya, tapi nggak tahu apakah mereka di dalam atau keluar. Suasana di rumah itu cukup sepi dan temaram] Pesan dari Molen, salah satu anak buah Azka muncul di layar. Dia teman dekat Erik yang tak lain tangan kanannya. Erik dan Mollen dulu sama-sama preman di kawasan taman Arjuna. Mereka nyaris merampok Azka saat pulang dari cafe Bianglalanya. Namun, berkat sering latihan beladiri di Jogja, Azka berhasil membekuk dua laki-laki itu. Alih-alih memenjarakan keduanya, Azka justru memberikan tawaran yang lebih menguntungkan mereka. Dua lelaki itu dijadikan karyawan oleh Azka agar memiliki penghasilan bulanan dan tak merampok lagi. Erik menjadi asisten pribadinya sementara Molen menjadi satpam di cafe bianglala. Sejak saat itu, perangai keduanya mulai berubah membaik sampai akhirnya menjadi tangan kanan Azka. [Awasi rumah itu. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan segera
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments