Aku tak sanggup berada di antara mereka di ruang keluarga. Lebih memilih menghindar dan pergi ke kamar daripada terus disudutkan dan disalahkan. Di sini, aku bisa menumpahkan segala rasa yang menyesaki dada selama tiga bulan belakangan.
Kuhapus jejak air mataku sendiri tiap kali membayangkan sikap-sikap mereka padaku selama ini. Aku benar-benar tak paham mengapa mama dan ipar-iparku begitu membenciku. Seolah tak ada sisi baiknya dariku menurut mereka. "Erika itu cantik, menarik dan berpendidikan. Bibit, bebet dan bobotnya jelas karena kita mengenalnya sejak dia dilahirkan. Mama nggak habis pikir kenapa kamu tak menyukainya, Fal." Suara wanita yang telah melahirkan suamiku tiga puluh tahun lalu itu kembali terdengar. Volumenya meninggi seolah sengaja supaya aku bisa mendengar dengan jelas obrolan mereka di sana. "Erika bahkan menjadi primadona di kampusnya dulu, Fal. Banyak lelaki yang jatuh hati padanya bahkan melamarnya sebelum lulus kuliah, tapi dia tetap memilih kamu. Apa kamu nggak sadar itu?" Kembali kudengar pujian mama pada perempuan itu. Sepertinya mama begitu kesal karena anak lelaki semata wayangnya tak menyukai perempuan yang bernama Erika itu. Entah siapa dia, aku pun baru mendengar namanya disebut mama dan Mbak Rani hari ini. Mas Naufal sendiri tak pernah menceritakan mantan-mantannya. Dia hanya bilang memiliki satu mantan kekasih, itu pun sudah lama tak bertemu dan dia sudah melupakannya. Mungkinkah Erika yang dia maksud sebagai mantan? "Entah apa kurangnya Erika. Bisa-bisanya kamu menolak dia. Kamu tampan dan mapan, Fal. Erika juga cantik dan berpendidikan. Kalian serasi sekali, tapi kamu malah memilih Alya yang cuma tamatan SMA dan perempuan kampung pula. Mama benar-benar nggak habis pikir dengan selera kamu." Ucapan-ucapan mama kembali lalu lalang di benak. Seolah sengaja membuatku semakin sakit setelah aku membantah ucapannya dan tak mau minta maaf padanya beberapa menit lalu. Mama seolah sengaja membongkar kenangan-kenangan manis Mas Naufal bersama perempuan itu agar aku cemburu dan sakit hati. Tak ada bantahan dari laki-laki yang kini berstatus suamiku itu. Dia hanya diam mendengarkan semua cerita mama. Mungkin sesekali juga ingin membantah atau berkomentar, hanya saja tak ada sepatah katapun yang keluar. Seolah dia simpan kembali semua kalimat itu karena tak ingin tambah menyakiti hati mama. Sebegitu cintanya Mas Naufal pada sang mama. Sampai tak bisa melihat dengar jernih bagaimana sikap mama selama ini. Mas Naufal selalu beranggapan bahwa semua tentang mama adalah benar dan tak boleh ada seorang pun yang membantah.Padahal, cinta yang sebenarnya tak boleh sesaklek itu. Harus bisa memilah baik buruknya sebab setiap orang pasti memiliki kesalahan dan tak selamanya orang tua selalu benar. "Mbak Alya itu pendek, wajahnya kusam dan tak berpendidikan, Kak. Berbanding terbalik dengan Mbak Erika. Jangan-jangan kamu kena pelet sampai bisa memilih dia dibandingkan Mbak Erika." Ratna ikut berkomentar. Mereka semua seolah tak menganggapku ada dan berpikir jika aku sudah mati rasa. Sekalipun aku lebih memilih ke kamar, tapi suara mereka masih jelas terdengar dan aku tetap bisa mendengarkan obrolan mereka. "Sebelum menikah, Alya juga terawat, Rat. Alya memang tak tinggi, tapi menurutku dia cantik. Alisnya tebal, hidungnya bangir, bibirnya seksi dan matanya indah. Semua terlihat pas dan imut-imut menurutku. Entah mengapa sejak menikah wajahnya terlihat lebih kusam dan berjerawat. Mungkin karena terlalu banyak pekerjaan yang dia lakukan di rumah ini, sampai tak sempat merawat diri." Akhirnya kudengar pembelaan Mas Naufal. Meski cukup lirih, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Aku menghela napas. Setidaknya lelaki itu masih membelaku meski kutahu dia harus mengumpulkan kekuatan lebih untuk melakukan itu. "Jadi, kamu membenarkan ucapan Alya yang bilang jika selama menikah denganmu hanya dijadikan babu di rumah ini?" Seperti biasa, Mama kembali protes dan tak terima saat anak lelakinya membela sang istri. "Bukan begitu, Ma. Tapi ada beberapa hal yang benar dari ucapan Alya. Seharusnya memang tak semua pekerjaan itu ditumpukkan padanya. Ratna juga, dia bisa mencuci pakaiannya sendiri karena dia sudah dewasa. Tak elok meminta ipar untuk terus-menerus mencuci dan menyetrika baju-bajunya. Mbak Rani juga sebaiknya tak terlalu membebani Alya. Sebagai seorang istri dan ibu, Mbak Rani harus bisa menyiapkan yang terbaik untuk keluarga kecilnya. Kasihan Alya kalau selalu mengurusi kalian semua. Dia bisa sakit dan depresi jika terus seperti ini." "Naufal!" Teriakan itu terdengar bersamaan. Sepertinya mama dan Mbak Rani sama-sama membentak Mas Naufal setelah pembelaan panjangnya. "Mas Naufal benar-benar seperti dipelet. Bisa-bisanya dia membela orang lain dibandingkan keluarganya sendiri. Baru tiga bulan dia menikah, tapi rasanya sudah sangat berbeda. Mas Naufal berubah banyak. Tak seperti dulu yang selalu menjadi tameng untuk keluarganya." Suara Ratna semakin membuat suasana memanas. Ingin rasanya keluar kamar untuk membela Mas Naufal, tapi lagi-lagi kuurungkan. Aku nggak mau memperparah keadaan karena kuyakin Mas Naufal juga tak ingin aku membelanya. Walau bagaimanapun dia tetap menghormati mama dan kakak kandungnya. Mas Naufal tak ingin melihatku membantah mama dan kakaknya, sekalipun detik ini secara tak langsung dia sendiri sudah membantah kata-kata mereka."Alya nggak mungkin main pelet-pelet begitu, Ratna. Kamu jangan mengada-ada." Aku tersenyum tipis. Setidaknya laki-laki yang bergelar suamiku itu masih bisa berpikir jernih dan tak seburuk keluarganya. Meski banyak kurangnya, tapi pembelaan Mas Naufal tadi sudah membuatku sedikit lega. "Soal uang empat juta itu gimana, Fal? Apa kamu nggak curiga darimana istrimu dapatkan uang sebanyak itu?" Mama kembali mempertanyakan uangku tadi. Aku memang belum sempat menceritakan soal Nuri pada Mas Naufal karena tiap kali mau cerita selalu dipotong dan dibantah oleh mereka. Kenapa sekarang mama mencurigaiku macam-macam jika mendengar penjelasanku saja enggan. "Soal uang itu, nanti biar aku tanya pelan-pelan sama Alya, Ma. Mama tak perlu risau, InsyaAllah uang ini halal." "Halal gimana? Dia bahkan belum cerita apapun soal asal muasal uangnya, Fal. Kenapa kamu bisa seyakin itu kalau dia tak berbuat macam-macam? Kamu dengar sendiri dong, tadi dia bilang kalau selama ini nggak punya tabungan seperak pun, tapi kenapa setelah kita menginap di hajatan kemarin mendadak dia punya uang sebanyak itu?" Aku yakin mama mulai meracuni pikiran Mas Naufal agar dia ikut mencurigaiku macam-macam. "Mama nuduh Alya berbuat sesuatu yang buruk demi mendapatkan uang itu? Dia nggak mungkin mencuri atau menjual barang-barang di rumah ini, Ma. Tenang saja." "Mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu semalam nggak cuma dari mencuri atau menjual barang berharga, Naufal. Kamu sudah dewasa, tentu paham maksud mama." Suara Mbak Rani kembali terdengar. Apalagi yang mereka rencanakan? "Maksud mama dan Mbak Rani apa sih? Yang kutahu dari teman-teman, cara cepat dan mudah dapatkan uang itu salah satunya jadi ayam kampus. Memangnya Mbak Alya juga begitu?" Pertanyaan Ratna membuatku tercekat seketika. Aku tak menyangka jika mereka bisa berpikir sejauh itu. Apa mama dan Mbak Rani pikir aku j*ual diri demi uang empat juta itu? Ya Allah. "Astaghfirullah! Maksud mama dan Mbak Rani, Alya j*ual diri?" Suara Mas Naufal meninggi, membuatku buru-buru beranjak dari ranjang dan kembali ke ruang keluarga. Mereka benar-benar keterlaluan. Aku tak akan tinggal diam dan menerima begitu saja tuduhan mereka. Teganya mereka memfitnahku serendah itu! ***Kebaya berwarna putih gading dengan hiasan swarovski membuat penampilan Alya terlihat cantik dan elegan. Dilengkapi dengan polesan make up flawless dan senyum tipisnya, membuatnya semakin mempesona. Beberapa kali Azka menatapnya kagum lalu tersenyum saat tak sengaja bersirobok dengannya. Tak ingin semakin salah tingkah, Azka pamit untuk menemui tamu setelah selesai dimake up.Keluarga besar Azka dari Jogja datang semua ke Jakarta untuk menghadiri hari spesialnya. Mulai dari keluarga papa angkatnya, kakak tirinya dan keluarga ayah kandungnya pun ikut datang. Kebahagian Azka semakin bertambah saat melihat keluarga besarnya akur dan kumpul hari ini.Melihat keluarga besar Azka, Alya pun merasa bersyukur. Dia yang selama ini tak memiliki keluarga akhirnya mendapatkan keluarga baru yang begitu hangat dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Berulang kali Alya mengucapkan Hamdallah atas semua karunia-Nya. Dia yang selama ini mendapatkan banyak ujian, akhirnya kini mendapatkan kenikmatan berl
"Alya, maukah kamu menikah denganku?" Pertanyaan Azka saat makan malam itu masih teringat jelas di benak Alya. Sesekali dia tersenyum saat membayangkan kembali momen mendebarkan itu. Dengan sedikit jongkok, Azka membuka kotak cincin itu lalu mengangsurkannya ke arah Alya yang berdiri di depannya. Laras tersenyum tipis melihat keromantisan yang sudah direncanakan anak lelakinya untuk menyambut Alya. Ruangan tak terlalu lebar yang dihiasi beberapa bunga mawar putih dan balon berbentuk hati itu semakin membuat nuansa romantis di dalamnya. Lilin-lilin kecil di tepi dinding seolah menjadi sakti ungkapan cinta lelaki tampan itu. "Aku akan berusaha membuatmu bahagia. Akan kuletakkan bahagiamu di atas bahagiaku, Alya. Percayalah, karena bahagiamu adalah bahagiaku jua." Azka tersenyum tipis menatap Alya yang masih mematung. Dia terharu dengan semua perjuangan Azka selama ini. Berkali-kali ditolak dan diabaikan, berkali-kali pula dia bangkit dan membuktikan cinta tulusnya. Alya yang sebelum
Kasus Erika mulai masuk ke meja hijau. Alya didampingi Nuri, Laras dan Azka beserta pengacaranya sudah duduk di kursi yang disediakan. Para pelaku pun mengikuti sidang ini dan duduk tak jauh dari tempat Alya berada. Alya tampak begitu cemas setelah memberikan penjelasan tentang kejadian itu. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang saat Laras dan Nuri kembali meyakinkannya jika semua akan baik-baik saja. Tak banyak kata, Azka berusaha meyakinkan Alya dengan caranya. Senyum tipis dan tatapan lekatnya membuat Alya sedikit lebih tenang. Dia merasa banyak orang yang begitu menyayangi dan mendukungnya saat ini. Pengacara yang disewa Azka pun bukan pengacara sembarangan. Dia cukup kompeten di bidangnya bahkan termasuk pengacara terkenal yang berhasil memenangkan beragam kasus rumit. Azka ingin melakukan yang terbaik untuk Alya karena dia tahu orang tua Erika pasti juga akan melakukan beragam cara untuk membantu anak semata wayangnya. Sidang berjalan cukup sengit karena orang tua Erika dan
Erika meraung. Dia seperti kesurupan saat dua polisi itu membawanya pergi. Rengekan, permohonan dan linang air matanya seolah tak berarti. Dia memang pantas mendapatkan balasan setimpal atas semua yang pernah dilakukannya bukan? Melihat Erika histeris seperti itu, bukannya iba, Naufal justru semakin benci. Rasa bencinya semakin bertambah setelah dia tahu siapa yang diculik oleh istrinya itu. Benci, amarah dan muak seolah tercampur menjadi satu. Mamanya yang mendadak sakit pun semakin shock saat melihat menantu kesayangannya digelandang polisi bahkan mungkin akan segera dijebloskannya ke penjara. Sakit jantung yang sebelumnya hanya sandiwara, kini justru menjadi nyata. Allah telah mengabulkan ucapan wanita paruh baya itu. Bukankah ucapan bagian dari doa? Begitu pula Sumiwi yang sebelumnya berpura-pura sakit, kini dia benar-benar terbaring lemah dan tak berdaya di ranjang pasien karena sakit jantungnya. Wanita itu hanya membisu saat anggota keluarga dan kerabatnya menjenguk. Mungkin
"Telepon siapa sampai shock begitu?" Pertanyaan Naufal yang tiba-tiba membuat Erika semakin kaget. Dia tercekat lalu membalikkan badan. Keringat dingin mulai membasahi kening. Kali ini dia benar-benar ketakutan dengan gertakan Azka. Tak sekadar gertakan, Erika yakin ada sesuatu yang menimpa anak buahnya. Sejak semalam mereka memang nggak memberi kabar apapun pada Erika. Mereka takut kecerobohan Erika hanya akan membuat mereka tertangkap basah. Mereka, terutama Edward cukup tahu bagaimana sikap Erika yang sering gegabah dan tak bisa berpikir panjang saat melakukan sesuatu. "Siapa?" tanya Naufal lagi. Tanpa menunggu balasan Erika, Naufal menarik kasar benda pipih di tangan perempuan itu. Erika berusaha mempertahankan handphonenya, tapi Naufal berhasil mendapatkan bende mungil kesayangan Erika itu. Naufal menatap layar lalu mencari menu panggilan terakhir di handphone itu."Alya?!" ucap Naufal dengan mata membulat. Dia menoleh pada Erika yang kini mendadak diam. "Ngapain kamu telep
Naufal pergi dengan ekspresi kesal. Raut wajahnya memerah karena emosi. Alya tak lagi peduli. Baginya, laki-laki itu hanya bagian dari masa lalu yang harus dia lupakan. Alya tak ingin mengingatnya lagi karena semakin diingat, rasa sakit itu justru semakin terasa. "Benar mau menikah denganku?" tanya Azka lirih setelah Naufal keluar rumah. Alya tercekat. Alya tak menyangka jika Azka masih sadar karena dia pikir laki-laki itu sudah pingsan. Wajahnya memerah seketika saat menoleh pada Azka yang membenarkan letak duduknya. Salah tingkah. Alya benar-benar kikuk dan tak tahu harus membalas apa. "Benar mau menikah denganku, hmmm?" ulang Azka dengan senyum tipis membuat Alya sedikit kesal. "Pura-pura pingsan?" tanya Alya kemudian. "Ngapain pura-pura. Aku hanya diam saja menahan sakit. Nggak menyangka diamku ada gunanya juga," sambung laki-laki itu."Dasar!" rutuk Alya pendek lalu bangkit dari lantai, sementara Azka mengikuti Alya dengan berdiri perlahan dan duduk kembali ke sofa. "Sudahl