Share

BAB 2

Bab 2

"Mel ...!

Suara Mas Iqbal membuatku tersadar dari lamunan. Setelah melihat video rekaman tadi, aku duduk termenung di dalam kamar sampai Mas Iqbal pulang.

Hari ini warung memang tutup lebih cepat, karena tadi ada yang memborong daganganku.

"Udah sore, ya?" gumamku segera melangkah keluar dari kamar dan menjumpai Mas Iqbal yang baru pulang.

"Bikinin kopi!" perintah Mas Iqbal padaku.

Aku mengangguk tanpa mengucapkan banyak kata. "Setelah menghinaku habis-habisan dan menjadikan aku bahan olok-olok, ternyata hanya untuk membuat secangkir kopi saja masih butuh tenagaku," gerutuku dalam hati.

Melihat wajah Mas Iqbal membuatku kembali meradang, tapi aku masih berusaha untuk menahan diri. Aku memang masih kesal dan kecewa, tapi aku lebih memilih untuk tidak membuat keributan. Mungkin untuk sementara waktu, aku akan berpura-pura tidak tahu mengenai kelakuan Mas Iqbal di belakangku.

Aku ingin tahu, apa lagi yang akan dilakukan oleh Mas Iqbal tanpa sepengetahuanku. Aku yakin, ini bukan pertama kalinya Mas Iqbal mengejekku di depan teman-temannya. Mas Iqbal pasti sudah sering melakukan hal ini secara diam-diam di belakangku.

"Buruan kopinya, Mel!" teriak Mas Iqbal padaku.

Aku mengaduk gelas kopi dengan tergesa-gesa. Kemudian segera kuantarkan kopi panas tersebut ke kamar di mana Mas Iqbal sedang beristirahat.

Kulihat Mas Iqbal sedang sibuk mengotak-atik ponselnya. Sepertinya Mas Iqbal akan menelepon seseorang.

"Ini kopinya, Mas," ucapku dengan suara datar.

"Taruh aja di situ!" tukas Mas Iqbal tanpa melihat ke arahku, matanya fokus menatap ponsel.

Aku masih berdiri di dekat Mas Iqbal. Tanpa mempedulikan keberadaanku, Mas Iqbal mulai asyik berbicara dengan temannya melalui telepon.

"Lusa kita jadi pergi 'kan?" tanya Mas Iqbal pada temannya.

"Aku udah ngajak ...." Mas Iqbal tidak melanjutkan kalimatnya. Ia menoleh ke arahku dan memintaku untuk menjauh.

"Kamu ngapain masih berdiri di situ? Aku lagi ada telepon penting!" bisik Mas Iqbal sembari memberi kode padaku untuk pergi meninggalkan kamar.

"Apa yang kamu rencanakan, Mas? Kamu mau pergi ke mana?" batinku penasaran.

Aku pun pergi dari hadapan Mas Iqbal, tetapi aku tidak benar-benar pergi meninggalkan kamar. Aku berdiri di depan pintu kamar kemudian menempelkan telingaku ke daun pintu. Aku ingin tahu, apa saja yang akan dibicarakan oleh Mas Iqbal dengan temannya.

"Kamu nggak akan bisa membohongi aku lagi, Mas! Mulai sekarang, aku akan mengawasimu!" gumamku.

"Aku udah ajak Bu Rosa buat ke acara pernikahannya Pak Irfan," ucap Mas Iqbal.

"Bu Rosa udah setuju kok. Lagian, nggak mungkin aku ngajak istriku pergi ke acara pernikahannya itu. Mau ditaruh di mana mukaku kalau aku ajak tukang pempek kucel dan bau amis itu? Yang ada dia cuma bikin aku malu," seru Mas Iqbal.

Kurang ajar, lagi-lagi Mas Iqbal menghinaku.

"Jadi kamu akan pergi ke acara pernikahan temen kamu sama perempuan lain, Mas!" geramku dengan suara lirih.

"Aku nggak akan ajak istriku. Aku juga nggak akan bilang sama dia kalau aku dapat undangan pernikahan dari teman," ujar Mas Iqbal lagi.

"Kalau aku ajak istriku terus orang-orang pada nanya soal dia, aku harus jawab apa? Masa' aku harus bilang kalau istriku tukang empek-empek? Mau ditaruh di mana mukaku?"

"Beda lagi kalau aku ngajak Bu Rosa. Bu Rosa 'kan cantik, fashionable, wangi lagi. Udah jelas dong Bu Rosa nggak akan malu-maluin kalau diajak pergi kondangan," imbuh Mas Iqbal diiringi gelak tawa. Suara Mas Iqbal memang tidak terlalu keras, tapi aku masih cukup jelas mendengarnya dari balik pintu kamar ini.

Mas Iqbal masih asyik berbincang dengan temannya tanpa tahu kalau aku sedang menguping di luar kamar.

"Aku ini seorang PNS, udah nggak selevel lagi dong sama penjual empek-empek, jadi aku udah nggak mau lagi pergi-pergi ngajak dia." Tambah Mas Iqbal lagi.

"Aku nggak akan bilang sama istriku, kalau aku pergi kondangan sama Bu Rosa. Paling nanti aku bilang kalau aku ada kerjaan mendadak di sekolah," sahut Mas Iqbal pada temannya.

Mas Iqbal membeberkan seluruh rencananya pada temannya itu. Tapi Mas Iqbal masih berusaha menutupi semua kebusukannya dariku.

"Udah dulu, ya. Besok kita bahas lagi di sekolah."

Sepertinya Mas Iqbal sudah mengakhiri panggilan teleponnya. Buru-buru aku menjauhkan telingaku dari daun pintu, sebelum Mas Iqbal mengetahui aku sudah menguping obrolannya.

Baru beberapa langkah aku berjalan meninggalkan pintu, tiba-tiba dari dalam kamar terdengar suara seperti orang menyemburkan air.

Byuuuur!

"Mel...! Ini kopinya kenapa asin sih!" teriak Mas Iqbal kaget campur kesal.

Aku tertawa jahat sebelum akhirnya berlalu. "Rasain kamu, Mas! Emang enak, untung cuma kucampur garam bukan sianida karena ini baru permulaan."

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Isabella
campur sianida biar tau rasa
goodnovel comment avatar
Ely MR
sekalian sianida......
goodnovel comment avatar
nurdianis
kasih pelajaran deh suami seperti itu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status