Share

KUIKHLASKAN SUAMI MENIKAH LAGI
KUIKHLASKAN SUAMI MENIKAH LAGI
Penulis: Bintu Hasan

Bab 1

"Yum, kamu kok udah tujuh tahun nikah belum juga punya anak? Apa jangan-jangan ...?" Bu Wenda yang masih suka duduk di depan warung Mpok Asih menegurku untuk ke sekian kali.

Aku hanya mampu beristigfar dalam hati melihat Bu Wenda yang belum juga berubah. Sejak dua tahun lalu, Mas Hanan mengajakku membangun rumah di samping rumah ibu.

Pak Kyai sudah lama meninggal sehingga Mas Hanan lebih memilih menyerahkan urusan itu pada sang kakak. Dia juga bilang ingin mengajar anak-anak yang tidak mampu ke pesantren.

"Kamu kenapa gak ikut promil? Misalnya saja minum susu atau apa gitu," timpal Bu Arin.

"Mohon maaf, Ibu-ibu semua." Aku memaksakan senyum. "Aku sudah berusaha semaksimal mungkin juga berdoa setiap saat agar Allah menitipkan rezeki itu pada kami hanya saja mungkin belum waktunya."

"Alah ... kamu jangan diam saja kalau begitu. Kasihan loh Gus Hanan, di usia begini dia belum punya anak, ke mana-mana bawa keponakan doang!"

Kalimat Bu Arin sungguh menusuk hati, tetapi aku harus tegar dan berlapang dada menerimanya. Tidak ingin meladeni perbincangang tanpa ujung ini, aku lekas membayar belanjaan pada Mpok Asih.

"Makasih, Mpok. Pamit dulu!"

"Ya, hati-hati," jawab Mpok Asih seadanya.

Baru saja kaki hendak melangkah, tiba-tiba Bu Wenda mencekal tanganku. Dia memindai wajahku dengan mimik serius sebelum akhirnya bertanya, "apa kamu perempuan tak sempurna?"

"Astagfirullahaladzim." Aku mengelus dada yang semakin perih. "Maksud Bu Wenda apa? Jelas-jelas aku perempuan tulen."

"Maksudnya, apa jangan-jangan kamu tidak memiliki rahim atau mungkin mandul?"

Air mata perlahan jatuh membasahi pipi. Aku tidak lagi sanggup untuk menatap mereka. Kata mandul terlalu menyakiti hati karena aku jadi merasa bersalah pada Mas Hanan.

Dia memang tidak pernah mendesakku untuk memiliki anak bahkan selalu menasihati ketika aku sedikit meronta. Akan tetapi, tetap saja setiap lelaki normal pasti ingin menimang bayi.

Sesampainya di rumah, aku meletakkan gula dan terigu tadi ke rak hijau dalam dapur, kemudian menemui Mas Hanan yang masih sibuk duduk muthola'ah kitab Riyadus Sholihin.

"Mas, ada yang mau aku sampaikan."

"Tentang?"

Aku menunduk ragu. Sepanjang perjalanan tadi tiba-tiba kembali terbesit sebuah ide yang mungkin terdengar konyol. Akan tetapi, aku tidak ingin egois dengan terus menjadi pemilik hati suamiku seutuhnya.

Dia harus bahagia dan volume cinta paling besar adalah ketika bahagia melihat kekasih kita sekalipun dengan orang lain. Setiap insan ujiannya berbeda, aku yakin mampu melapangkan hati untuk lebih ikhlas dan sabar.

"Aku ... aku ikhlas jika harus dimadu, Mas," gumamku masih menunduk.

Setelah mengucapkan kalimat itu dengan bibir gemetar, dada tiba-tiba merasa sesak. Napas begitu memburu hingga aku mengusap wajah beberapa kali.

Mas Hanan hanya bergeming, aku memejamkan mata karena khawatir dia murka. Namun, jika bukan dengan cara seperti ini, maka kebahagiaan tidak akan pernah sempurna menyelimuti jiwa kami.

"Cinta butuh pengorbanan, cinta butuh perjuangan. Aku ikhlas, Mas. Aku tidak mungkin terus-terusan egois seperti ini," lanjutku masih dengan perasaan yang kacau balau.

"Tidak. Mas tidak mau menikah lagi!" tegasnya.

"Mas, aku mohon. Sudah tujuh tahun kita menikah dan aku sama sekali belum pernah hamil. Bukankah poligami itu diperbolehkan apalagi jika keadaan kita seperti ini?" Aku memberanikan diri mengangkat kepala menatap Mas Hanan yang berwajah masam.

Suamiku membuang pandangan, air matanya berlinang dengan bibir terlipat. Aku menggenggam tangannya erat. "Aku selalu mencintaimu, Mas. Percayalah, aku ikhlas jika harus berbagi asalkan keluarga kita dilengkapi dengan tawa dan tangisan dari malaikat kecil."

Akhirnya, air mata berbaris indah di pipinya yang putih. Dia kemudian menatapku dalam seperti mencari kejujuran. Tidak, aku tidak sanggup sehingga menunduk dalam.

Mas Hanan langsung membawa tubuh kecil ini dalam pelukannya. Dia menenangkan dengan mengelus pundakku juga mengingatkan bahwa kita harus lebih bersabar lagi menunggu rezeki itu tiba.

"Tapi, Mas–"

"Di luar sana ada kok yang sepuluh tahun, dua puluh tahun baru punya anak. Ada juga yang baru sebulan menikah sudah hamil atau seumur hidup hanya berdua dengan suami. Rezeki sudah diatur sama Allah." Suara Mas Hanan selalu mendamaikan hati.

"Mas, kebahagiaan itu ketika sepasang insan sudah dikaruniai anak. Kita tidak akan bahagia dengan berdua seumur hidup."

"Apa kamu tidak bahagia hidup berdua denganku selama tujuh tahun ini?" Mas Hanan mengurai pelukan, lalu menatapku lekat.

"Bahagia, Mas."

"Jangan dengar omongan tetangga. Allah tidak pernah tidur, Dia selalu mendengar doa-doa kita. Mungkin Allah pengennya kita lebih semangat lagi berdoa pada-Nya atau kita belum pantas jadi orangtua."

Sebelum kembali mengeluarkan unek-unek, Mas Hanan lekas berdiri karena jam sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya pada jam ini dia kembali mengajar di masjid yang tidak jauh dari rumah.

Aku mencium punggung tangan suami penuh takzim. Setelah dia benar-benar pergi, aku melanjutkan pekerjaan rumah yang belum selesai.

Hal yang perlu aku syukuri adalah Mas Hanan tidak pernah memaksaku untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah dalam satu hari bahkan dia kerap kali membantu dengan dalih semua itu tugas suami.

Menjelang zuhur, ibu bertamu ke rumah. Tepatnya dia membawa opor ayam kesukaan Mas Hanan. Sebelum ibu kembali pulang, aku buru-buru mencegat, memintanya duduk sebentar.

"Bu, tolong carikan perempuan yang pantas menjadi adik maduku!" pintaku dengan suara parau.

"Adik madu? Maksud kamu apa, Nduk?" Ibu menatapku tidak percaya. Permintaan ini pasti bagai sambaran petir di siang bolong.

"Mas Hanan berhak memiliki anak, Bu. Aku sudah berusaha dan berdoa semaksimal mungkin, tetapi Allah belum pernah menitip anak dalam rahimku. Mungkin saja jika menikahi perempuan yang masih muda bisa–"

"Memangnya apa kata suamimu? Apa Gus Hanan menuntut memiliki anak?" kejar ibu, bahkan dia memotong kalimatku karena tidak sabaran.

Aku menghela napas panjang karena jauh di lubuk hati ada luka yang terus menganga jika mengingat harus memiliki adik madu. Di dunia ini mungkin tidak ada perempuan yang benar-benar ikhlas berbagi sekalipun dia jauh lebih cantik dari adik madu.

Walau Mas Hanan bisa berlaku adil, tentu kelak aku selalu terbakar api cemburu. Prasangka lain yang juga timbul dalam hati adalah Mas Hanan pasti lebih menyayangi istri yang melahirkan anak untuknya.

"Aku tidak boleh egois, Bu. Mas Hanan memang tidak pernah menuntut, tetapi hati kecilnya menginginkan anak. Makanya selama ini dia membawa Fatimah ke mana-mana jika libur sekolah," jawabku setelah hati sibuk bertempur dengan pikiran.

Sebagai sesama perempuan juga sebagai sosok yang telah melahirkanku ke dunia, ibu bisa merasakan perih yang merajai hati. Matanya merah, kemudian bulir bening itu jatuh membentuk anak sungai. "Aku ikhlas dimadu, Bu," lirihku lagi sebelum akhirnya tangis kembali pecah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status