Share

Bab 2

"Tidak semua perempuan siap berbagi, Yum. Apalagi Gus Hanan itu lebih muda dari kamu juga tampan, tentu banyak perempuan yang menginginkannya menjadi suami. Kalau misal gusmu itu ...." Ibu geleng-geleng kepala. "Tidak!"

"Tidak apa, Bu?"

"Itu tidak akan terjadi. Ibu tidak mau membayangkan segala kemungkinan yang terjadi. Intinya bersabar saja karena rezeki itu sudah diatur sama Allah."

"Ibu benar, Dek. Kamu lebih baik bersabar menanti rezeki itu daripada bersabar karena berbagi cinta dengan terpaksa. Mas benar, kan?"

Aku terkejut bukan main ketika Mas Hanan muncul secara tiba-tiba. "Mas, kenapa gak ngucapin salam?"

"Ngucapin, cuman kamu sama ibu terlalu serius ngobrolnya."

Ibu kemudian pamit karena sebentar lagi azan zuhur. Aku ingin bertanya kenapa Mas Hanan harus pulang dari masjid karena biasanya menunggu waktu saja di sana, tetapi sekarang sudah ada jawaban.

Lelaki yang selalu menyejukkan hati dan jiwaku itu segera melangkah masuk ke kamar mandi. Aku mengekor, tetapi berakhir duduk di depan meja rias menatap pantulan diri dalam cermin.

"Apa Mas Hanan akan selalu setia dengan keadaan kami yang hanya berdua?" tanyaku pada diri sendiri.

Pantulan cermin yang menampilkan diriku sendiri itu seolah tertawa mengejek. Sejumput nyeri semakin merebak cepat dalam dada, ingin menangis, tetapi enggan. Ingin meraung, tetapi itu dilarang. Apakah diri hanya mengharap bayang-bayang?

Embusan napasku terdengar berat karena hati merasa gundah luar biasa. Bagaimana mungkin aku merelakan Mas Hanan untuk perempuan lain? Huh, pikiran sedang kacau saat ini.

***

Lepas salat zuhur aku masih sendiri di rumah karena Mas Hanan masih mengajar di masjid. Siang ini jadwalnya anak-anak belajar qur'an kelas ula yang meliputi tajwid, tahsin dan tahfiz. Satu jam jelang asar disusul kelas lughoh.

Kaki melangkah berat ke rumah ibu karena hanya berjarak tujuh langkah. Pintu rumah yang terbuka tidak membuatku menunggu. Tidak ada Mas Dika karena dia masih bekerja, sementara ayah dan ibu sibuk mengobrol.

Aku tidak tahu topik apa yang sebenarnya mereka bahas karena mimik wajah yang begitu serius. Begitu ibu melihatku, dia langsung mengedipkan sebelah matanya pada ayah untuk memberi kode.

"Gak tidur siang?" tanya ibu.

Tentu saja itu pertanyaan basa-basi. Bagaimana mungkin ibu bisa bertanya demikian sementara ragaku sudah ada di depan matanya. "Tidak, Bu," jawabku lesu.

"Anak ibu sudah besar, hampir masuk kepala tiga. Cuman kenapa kayak anak kecil yang pengen mainan?"

Aku hanya memanyunkan bibir karena kalau menggubris pertanyaan ibu malah bisa memancing air mata untuk mengucur deras. Aku mengubah posisi menghadap ayah.

Sosok lelaki yang tidak lagi muda itu tengah tersenyum tulus seakan senyumannya mampu memeluk jiwa. Tanpa bisa mengelabui hati, akhirnya air mata menggenang juga.

"Ayah, kalau saja ibu tidak punya anak ... apa Ayah akan mencari istri kedua?"

"Tentu saja tidak. Tujuan kita menikah bukan memaksa istri untuk melahirkan anak-anak. Istri belum hamil itu bukan berarti dia yang bermasalah, bisa jadi salah kita sendiri." Ayah menjawab santai.

Aku merasa ayah menyembunyikan kesedihannya di hadapanku. Sosok putri kesayangannya memang mendapat suami tampan nyaris sempurna karena juga paham ilmu agama, tetapi sayang sekali harus mendapat ujian seberat ini.

Lagi dan lagi aku menelan saliva ketika bertanya, "bagaimana jika ibu ingin Ayah menikah lagi?"

"Keputusan ada di tangan ayah. Ayah mencintai ibumu itu tulus dari hati, jika ditakdirkan berdua selamanya, maka tidak apa-apa. Di luar sana bahkan teman ayah sendiri bahagia dengan keadaannya yang 20 tahun menikah tanpa dikaruniai anak. Mereka akhirnya memutuskan untuk mengadopsi anak yatim."

Aku melipat bibir sekilas. "Mengadopsi anak yatim memang bagus cuman ...." Akhirnya aku sengaja menggantung kalimat sebelum membuang napas kasar.

Ayah dan ibu tidak menanggapi lagi, melainkan mencari topik lain sebagai jawaban tidak setuju dengan keputusanku. Setelah puas berbincang santai, akhirnya aku berniat pamit lagi ke rumah.

"Yumna?" sapa Bu Wenda begitu melihatku.

"Iya, Bu? Ada yang bisa aku bantu?"

"Bukan, bukan. Aku yang mau bantu kamu sekarang!"

Aku membulatkan mata karena terkejut mendengar pernyataan itu. Bagaimana mungkin Bu Wenda hendak membantu sedangkan aku tidak meminta pertolongannya?

"Maksud Bu Wenda?"

"Kamu, kan, belum hamil. Gimana kalau aku carikan perempuan yang bisa melahirkan anak untuk suamimu. Istilahnya nyewa rahim, sebut saja sistem bayi tabung."

"Astagfirullahaladzim, Bu. Makasih banget karena sudah niat membantu, tetapi sepertinya aku harus pamit." Sebagai bentuk penghormatan, aku menakupkan kedua tangan di depan dada.

Selama menikah, Mas Hanan mengajariku banyak hal. Salah satunya adalah menghormati orang tua meski tidak ada hubungan darah, pun sangat benci pada kita.

Suamiku memang lebih muda dariku, tetapi dia jauh lebih bijaksana dan dewasa. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa umur tidak menjadi tolak ukur kedewasaan.

"Kamu ingat Syahdu? Dia mencintai suamimu. Bagaimana kalau dia menjadi adik madu kamu saja?" tanya Bu Wenda lagi dengan suara sedikit meninggi karena aku telah meninggalkannya beberapa langkah.

Kaki seolah terpaku di bumi mendengar kalimat itu. Aku tahu betul siapa Syahdu. Dia adalah perempuan muslimah yang taat pada Tuhan dan agamanya. Dia juniorku di Sekolah Dasar dulu, tetapi hanya satu tahun karena Syahdu harus pindah rumah.

Tiga tahun belakangan dia kembali tinggal di rumah neneknya yang tidak jauh dari sini. Fakta lainnya adalah Syahdu itu keponakan kandung Bu Wenda, bahkan beberapa kali menginap di rumahnya.

Rumor Syahdu menyukai Mas Hanan pun menyebar luas beberapa bulan terakhir. Kami sudah mengklarifikasi pada tetangga lain, tetapi mereka tidak percaya apalagi Syahdu ikut pengajian Mas Hanan bersama remaja lainnya.

Bukan hanya kelas lughoh, dia bahkan mengikuti kelas syariah juga al-qur'an sehingga dia dan Mas Hanan bertemu beberapa kali dalam sehari. Dengan susah payah aku menarik napas panjang agar hati kian tenang, kemudian melangkah cepat masuk rumah.

"Syahdu, haruskah kamu hadir sebagai orang ketiga dalam rumah tanggaku? Benarkah kamu mencintai Mas Hanan dan bisa memberinya kebahagiaan?"

Tubuhku meluruh ke lantai. Membayangkan saja sudah teramat sakit mengingat Syahdu jauh lebih baik dariku. Senyumnya begitu indah, aku tidak mampu mengelak telah kagum pada perempuan itu.

Ya, sebuah rasa kagum berselimutkan cemburu yang terus membara setiap hari.

"Kalau ini sudah menjadi takdir-Nya, aku siap menerima," lirihku lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status