“Kamu langsung ke butik aja ya Nak, bunda tunggu di sana ajak mama kamu juga. Dari butik kita langsung ke toko perhiasan langganan bunda. Lalu makan malam di rumah bunda.” Suara Bunda di telfon.
“Iya bunda, habis ini Firza langsung berangkat. Bye bunda sampai ketemu.” Jawabku seraya mematikan telfon.
Hari pernikahanku semakin dekat dan persiapan pernikahan masih 50 persen. Mau tidak mau bunda turun tangan langsung untuk membantuku menyiapkan semuanya. Sejak pertemuan pertama kami di rumahku, Tante Ratna menyuruhku untuk memanggilnya bunda. Bunda sangat menyayangiku, meskipun aku belum resmi menjadi menantunya namun kasih sayang itu sudah sangat terlihat.
Hari ini kami berjanji untuk bertemu di butik, untuk finishing baju pernikahan. Tapi Endruw tidak bisa ikut, dia harus bekerja agar saat pernikahan nanti urusan pekerjaannya sudah selasai.
Sesampainya aku di butik, bunda sudah berada di sana. Aku menghampirinya lalu mencium punggung tangannya.
“Sayang.. mana mama kamu kok enggak ikut?” Tanya bunda sambil celingukan mencari mama.
“Mama kurang enak badan bun, tadi malam sempat masuk angin. Mungkin kecapean, hari ini biar mama istirahat aja di rumah.” Jawabku.
“Ya begitu mama kamu dari dulu enggak berubah. Dia itu enggak bisa ngerasain capek. Terus aja kerja, kalau udah sakit baru bilangnya kecapean.” Omel bunda. Bunda memang teman mama sejak remaja, jadi wajar kalau bunda tahu banyak hal tentang mama.
Tanpa terasa hari sudah sore, sepertina hari ini berlalu sangat cepat. Kakiku terasa pegal-pegal setelah berjalan kesana kemari mempersiapkan semuanya.
Aku sekarang berada di rumah Endruw. Di sini sepi, hanya ada bunda dan tiga orang asisten rumah tangga. Endruw belum pulang, melalui pesan yang dia kirim dia akan pulang malam. Endruw juga merupakan anak tunggal di keluarga ini. Sama sepertiku Endruw juga anak yatim saat ini, tiga tahun yang lalu ayah Endruw pergi untuk selama-lamanya.
“Fir, kamu mandi dulu saja. Kamar Endruw ada di atas di pojok kiri. Bunda siapin makan malam dulu untuk kita”
“Iya bunda”, jawabku seraya melangkahkan kaki ke tempat yang di tunjukkan bunda.
Aku menaiki satu per satu anak tangga. Di dindingnya berjajar rapi beberapa figura yang memperlihatkan banyak foto. Aku berhenti sejenak, mengamati seluruh foto yang ada di sini. Semua figura ada fotonya Endruw, mulai dari bayi sampai Endruw dewasa. Terlihat juga foto almarhum ayahnya Endruw. “Pantesan Endruw ganteng banget, ayahnya juga ganteng banget” batinku. Kuamati lagi, foto-foto itu seperti cerita perjalaan hidup seorang Endruw, mulai dari bayi sampai dewasa yang berjajar rapi dan urut.
Tiba-tiba aku melihat sesuatu yang berbeda dari wajah Endruw. Wajah yang sama namun berbeda. Sepertinya foto itu belum terlalu lama diambil mungkin sekitar 4 tahun yang lalu. Disitu terlihat Endruw tertawa lepas, wajahnya terlihat sangat manis saat hiasan senyum lepas itu menghiasi wajahnya. Senyum yang lebih memukau dari senyum tipis yang selama ini dia tunjukkan ke aku. Senyum yang lebih lepas saat dia sedang bercanda denagn Rani. Senyum yang aku suka.
“Kenapa saat ini Endruw tidak pernah tersenyum seperti itu? Apa dia tidak bahagia? Atau ada yang membuat dia…”
Belum sempat aku memikirkan hal itu lebih jauh, bunda sudah memanggilku.
“Firza.. Kamu ngapain di situ? Buruan mandi Nak. Ini makananya sudah siap. Barusan Endruw telfon bunda dia bilang pekerjaannya sebentar lagi selesai dan dia bisa pulang agak cepet”
“Yang bener bunda?” tanyaku memastikan.
“Iya bener, makanya cepetan mandi terus dandan yang cantik”, perintah bunda. Aku pun segera berlari menuju kamar.
Dengan pelan kubuka knock pintu kamar Endruw. Ini kali pertama aku masuk ke kamar laki-laki. Ternyata aku dibuat takjub oleh pemandanagn yang aku lihat. Kamar Endruw terlihat sangat rapi, bahkan tiga kali lebih rapi daripada kamarku. Aku pun mengernyitkan dahiku, sambil berfikir apa jadinya kalau aku menikah dengan Endruw, Si Pemalas versus Si Rapi. Aku bergidik, kubuang jauh-jauh fikiran aneh-aneh yang ada di kepalaku.
“Hmm.. Baunya enak sekali. Ini Bunda yang masak?” Tanyaku sambil mengendus-endus makanan di meja makan.
“Iya, ini masakan kesukaan Endruw. Kapan-kapan kamu harus mencoba memasak ini buat Endruw”, pinta bunda.
“Hehe,, Siap bunda!” Kataku tidak yakin namun kututup tutupi, biar enggak malu sama mertua.
“Sini bantu bunda siapin minuman di meja.” Perintah bunda. Aku menurut membantu bunda meletakkan minuman dan menata meja makan.
Tak lama terdengar suara mobil Endruw masuk ke halaman rumah, aku yang sudah menyangka itu Endruw langsung keluar untuk menjemputnya. Tanpa tau kalau saat ini bunda sedang tersenyum geli melihat tingkahku.
“Hai sayang”, sapaku sambil mencium punggung telapak tangan Endruw.
“Wah.. Jadi gini ya rasanya punya istri. Pulang kerja udah dijemput di depan. Ini istri udah masak apa belum?” Tanyanya sekaligus menggodaku.
“Udah dong, tapi bunda yang masak.hehe..”, jawabku sambil membawakan tas calon suamiku dan berjalan di sampingnya masuk ke rumah. Endruw hanya tersenyum tipis sambil sesekali mengelus kepalaku.
“Wah.. Makan besar ini. Langsung makan yuk!” Ajak Endruw yang tiba-tiba langsung menarik kursi dan akan meletakkan tubuhnya di atas kursi.
“Ih jangan ah, Endruw mandi dulu. Kotor tau.. Sekarang lagi musim penyakit aneh-aneh nanti kalau kamu bawa virus gimana?” Omelku ke Endruw.
Endruw tidak jadi duduk di kursi, dia malah bilang ke bunda sambil melirik ke arahku, “Nih, calon mantu bunda udah mulai cerewet. Bunda seneng kan ada temennya.”
“Ih dibilangin beneran”, serangku.
“Cerewet”, kata Endruw dengan penekanan, sambil tersenyum ke arahku. Dia memang sengaja menggodaku.
“Udah Endruw, jangan godain mantu bunda. Cepat mandi sana!” perintah bunda.
“Iya deh iya” kata Endruw sambil berlalu ke kamarnya. Tak lupa dia mengacak rambutku terlebih dahulu sambil menjulurkan lidahnya ke arahku.
Bunda yang menyaksikan hal itu hanya mengelus dada. Mungkin di dalam hatinya dia berfikir, “ini calon suami istri kok jadi kayak kakak adek sih berantem mulu.”
Hari sudah semakin malam, aku harus pulang. Bunda memintaku untuk menginap namun aku tolak karena tadi pagi mama tidak enak badan. Endruw mengantarku pulang.
Aku dan Endruw memang belum terlalu mengenal satu sama lain, karena semua begitu cepat. Namun aku berusaha untuk mendekatkan diriku ke Endruw, agar dia nyaman bersamaku. Endruw pun juga seperti itu, terlihat sekali bagaimana usaha dia membuat aku merasa bahagia dan nyaman saat bersamanya. Endruw memang calon suami yang TOP. Aku akui bahwa aku sama sekali tidak tahu menahu tentang kehidupan masa lalunya, namun bagiku itu tidak terlalu penting. Toh kita akan menjalani masa depan berdua nantinya.
Di mobil aku tidak berhenti bercerita tentang semuanya, tentang pekerjaan, keluargaku, teman-temanku, apa yang aku suka, apa yang aku tidak suka. Seperti suara radio, aku terus saja bicara. Endruw selalu menanggapi ceritaku, dia adalah pendengar yang baik.
“Endruw, tadi aku lihat foto-foto kamu di tangga. Aku liat foto saat kamu senyum lebar. KAmu keliatan bahagia banget. Aku belum pernah liat kamu sebahagia itu. Ndruw, aku ingin senyum itu.” Kataku pada Endruw yang tanpa sadar perkataanku tadi membuat wajah Endruw sedikit berubah.
Endruw tidak menanggapi perkataanku, setelah wajahnya kembali seperti semula dia tersenyum tipis ke arahku. Yaa, hanya senyum tipis.
Pagi ini berbeda dari pagi-pagi biasanya, suasana pagi ini sepi. Tidak terdengar omelan mama yang sudah menjadi alarm bagiku. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 07.00, “tumben mama belum bangunin” batinku. Kulirik kalender duduk di meja sebelah kasur, terlihat tinggal seminggu lagi menuju tanggal dengan lingkaran hati yang kubuat sendiri untuk menandai kalau hari itu adalah hari pernikahanku. Aku tersenyum kecil, sedikit membayangkan bagaimana jadinya kalau aku masih sering telat bangun pagi, “apa kata Endruw”, batinku meracau.Aku segera bergegas ke kamar mandi, setelah mengingat bahwa hari ini aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan di kantor. Sebelum aku resign dari kantorku, aku harus menyelesaikan semua kewajibanku agar nantinya aku tidak terbebani. Ya, setelah menikah aku memang berniat untuk resign dari kantorku bekerja. Aku ingin membuka usaha sendiri, agar waktuku tidak terlalu terbuang banyak di luar. Atas saran dari Endruw tentunya.
“Nak, setelah kami bermusyawarah akad nikah kamu dan Endruw akan dilaksanakan saat ini juga di depan jenazah mama” bunda berusaha menjelaskan apa yang tengah mereka bicarakan tadi.Bagai kena petir di siang bolong, tangisku seketika menjadi-jadi mendengar penjelasan bunda. Bagaimana bisa hari bahagia dilaksanakan di saat seperti ini. Endruw datang memelukku, dia mengusap-usap rambutku berusaha menenangkan. Air mata yang mengalir sederas hujan membasahi bagian dada baju putih yang dipakai Endruw.“Kamu harus kuat ya Fir, semua untuk kebaikan kita. Saya akan selalu menjaga kamu.” Ucap Endruw sambil mengecup keningku.Aku tak kuasa untuk bergerak dari tempat dudukku semula, hanya terdiam sambil melihat jenasah mama yang sudah terbungkus rapi. Bunda dan beberapa paman bibiku mulai sibuk menyiapkan pernikahan mendadak ini. Semua orang berjalan kesana kemari dengan kesibukan masing-masing. Mungkin mereka juga bingung harus bahagia
Bulan ini adalah bulan Agustus, dimana biasanya musim kemarau sudah datang. Awan yang biasanya menutupi matahari pada musim kemarau mereka akan pergi menjauh entah karena bosan atau hanya ingin sedikit menghindar, sehingga membuat matahari lebih terik. Suhu sudah mulai panas dan lembab. Tanah pun juga mulai retak.Namun tidak untuk saat ini. Meskipun kemarau datang di bulan Agustus tapi Agustus saat ini berbeda dengan biasanya. Agustus sekarang lebih bersahabat, atau malah merupakan tanda awal dari sebuah bencana. Ya, beberapa hari di bulan Agustus hujan datang mengguyur. Tidak hanya rintik-rintik gerimis, namun juga hujan deras dan petir yang menyambar.Entah apa yang sudah Tuhan rencanakan. Keadaan seperti ini pasti akan sangat membuat para petani merugi. Gagal panen sudah jelas dirasakan oleh mereka begitu juga para pekerja lain yang menggantungkan pekerjaannya pada musim. Pasti akan sangat merugi.Hari ini dua minggu pernikahanku, yang berarti sudah du
Aku setengah berlari saat mendengar nada dering ponselku berbunyi. Terlihat nama Endruw di layar, aku tersenyum melihatnya. Tidak bisa kupungkiri, saat ini aku merindukan Endruw. Setelah Rani pulang, aku mulai bertekat untuk bangkit dari keterpurukan demi suamiku. Kugeser tombol hijau di layar ponsel.“Firza, kamu kenapa? Apa kamu baik-baik saja? Kenapa lama sekali mengangkat telfonnya.” Suara Endruw di seberang terdengar keras dengan nada khawatir.“Enggak apa-apa, tadi aku habis mandi”, jawabku yang otomatis membuat Endruw terkejut. Memang beberapa hari ini Endruw yang mengurus segalanya.“Jadi kamu sudah mandi?” Tanyanya tidak percaya.“Sudah”, jawabku lirih.“Siapa yang bantuin?”“Mandi sendiri lah, ngapain mandi dibantuin”, jawabku sedikit menyeringai. Aku lupa kalau biasanya Endruw yang membantuku mandi, menyiapkan air hangan dan menggandengku berjala
Kubuka mataku pelan, saat sinar matahari menyeruak menembus celah kecil korden kamarku. Aku mendengus kesal saat merasakan sentuhan panas sang mentari yang tepat mengenai wajahku. Kucoba menarik selimut untuk melindungi wajah. Namun selimut yang menempel di tubuhku tidak dapat kutarik. “Seperti ada yang menghalangi? Apa ini? Jangan-jangan monster yang kayak di film-film”, pekikku yang langsung terperanjat kaget. Dengan cepat aku merubah posisi yang semula tidur menjadi duduk.Seketika aku tersenyum saat kulihat Endruw sedang tidur di sebelahku sambil tangannya mencengkeram selimut dengan erat. “Pantesan selimutnya enggak bisa ditarik”, batinku.Lama aku terdiam melihat wajah Endruw yang tidur di sebelahku. Ini memang bukan kali pertama Endruw tidur di sampingku, namun baru kali ini kulihat wajah suamiku sampai puas. Wajah membuat aku jatuh cinta. Kutundukkan wajahku, kukecup kening dan pipi Endruw dengan pelan. Pipiku merona karenanya, ini
“Iya bentar lagi berangkat, ini udah di depan.” Teriakku di telfon yang sampai membuat para asisten di rumah melihat ke arahku. Siapa lagi yang aku teriaki kalau bukan Rani, sahabat tercintaku yang hari ini akan bertunangan. Sebenarnya acara pertunangannya nanti malam, tapi bukan Rani namanya kalau enggak heboh sendiri. Ya, Rani bertunangan dengan kekasih yang baaru saja dipacarinya. Agak aneh memang, cewek seperti Rani bisa memutuskan menikah dalam waktu secepat ini. Tapi sudahlah, sudah cinta mati katanya.Aku menyetir mobilku sendirian, biasanya Endruw tidak memperbolehkanku untuk keluar sendiri. Bang Asep supirnya bunda lah yang Endruw percaya untuk mengantarkanku kemanapun aku mau. Tapi hari ini Bang Asep sedang sakit, akhirnya mau tidak mau Endruw membiarkanku menyetir. Eh jangan salah, sebelum membiarkanku menyetir aku harus mendengarkan wejangan Endruw dulu. Gak boleh ngebut lah, gak boleh parkir sembarangan lah, ini lah, itu lah. “Dikata aku ABG lab
Cemburu. Ah mungkin itu hanyalah sebuah kata teregois yang ada di benakku saat ini. “Endruw hanya ingin menenangkan orang yang dia kenal. Suami perempuan itu telah mengorbankan nyawanya untukmu. Apakah sekarang saatnya yang tepat untuk cemburu?” Beberapa kalimat yang aku coba buat untuk menenangkan diriku sendiri.“Permisi mbak, bisa saya meminta keterangannya sebentar tentang kejadian ini? Mbak adalah perempuan yang ditolong korban kan?” Suara tegas itu membuatku bergidik. Kulihat ke sumber suara ternyata seorang polisi sudah berdiri di sebelahku.“Baik, tapi saya panggil suami saya dulu ya pak”, pintaku kepada polisi tersebut yang diikuti oleh anggukan kepala darinya.Aku berjalan mendekati Endruw yang tengah menenangkan perempuan itu. Kupegang bahunya berharap dia akan menoleh ke aarahku. Namun aku salah, dia terlalu konsentrasi denga napa yang dilakukannya sampai tidak menghiraukan aku. Aku berbalik arah berj
Kulirik jam tangan di pergelangan tanganku, menunjukkan pukul 18.00 artinya Rani terlambat tiga puluh menit. Sore ini aku mengajak Rani untuk bertemu di kafe tempat biasa kami nongkrong. Aku sengaja mengundangnya kemari untuk meminta maaf karena tidak bisa menghadiri acara pertunangannya kemarin. Kupasang wajah senetral mungkin, aku tidak ingin Rani sampai tahu masalah yang tengah membuatku kacau seperti ini.“Kemarin kamu kemana aja Fir? Ditelfon berkali-kali enggak diangkat. Aku telfon ke rumah kata bibik kamu udah berangkat. Kamu enggak apa-apa Fir?” Cerocos seseorang dari kejauhan.Aku menoleh ke arah sumber suara yakin jika kalimat-kalimat itu ditujukan untukku. Dan benar, ternyata yang punya suara itu adalah Rani. Dari jauh dengan sedikit berlari dia mendekatiku sembari mengatakan kalimat-kalimat itu. “Gila ya kamu, enggak malu apa dilihatin banyak orang?” kataku kepada Rani lirih saat dirinya sudah duduk di sebelahku.