Share

BAB 5 AKU INGIN SENYUM ITU

“Kamu langsung ke butik aja ya Nak, bunda tunggu di sana ajak mama kamu juga. Dari butik kita langsung ke toko perhiasan langganan bunda. Lalu makan malam di rumah bunda.” Suara Bunda di telfon.

“Iya bunda, habis ini Firza langsung berangkat. Bye bunda sampai ketemu.” Jawabku seraya mematikan telfon.

Hari pernikahanku semakin dekat dan persiapan pernikahan masih 50 persen. Mau tidak mau bunda turun tangan langsung untuk membantuku menyiapkan semuanya. Sejak pertemuan pertama kami di rumahku, Tante Ratna menyuruhku untuk memanggilnya bunda. Bunda sangat menyayangiku, meskipun aku belum resmi menjadi menantunya namun kasih sayang itu sudah sangat terlihat.

Hari ini kami berjanji untuk bertemu di butik, untuk finishing baju pernikahan. Tapi Endruw tidak bisa ikut, dia harus bekerja agar saat pernikahan nanti urusan pekerjaannya sudah selasai.

Sesampainya aku di butik, bunda sudah berada di sana. Aku menghampirinya lalu mencium punggung tangannya.

“Sayang.. mana mama kamu kok enggak ikut?” Tanya bunda sambil celingukan mencari mama.

“Mama kurang enak badan bun, tadi malam sempat masuk angin. Mungkin kecapean, hari ini biar mama istirahat aja di rumah.” Jawabku.

“Ya begitu mama kamu dari dulu enggak berubah. Dia itu enggak bisa ngerasain capek. Terus aja kerja, kalau udah sakit baru bilangnya kecapean.” Omel bunda. Bunda memang teman mama sejak remaja, jadi wajar kalau bunda tahu banyak hal tentang mama.

Tanpa terasa hari sudah sore, sepertina hari ini berlalu sangat cepat. Kakiku terasa pegal-pegal setelah berjalan kesana kemari mempersiapkan semuanya.

Aku sekarang berada di rumah Endruw. Di sini sepi, hanya ada bunda dan tiga orang asisten  rumah tangga. Endruw belum pulang, melalui pesan yang dia kirim dia akan pulang malam. Endruw juga merupakan anak tunggal di keluarga ini. Sama sepertiku Endruw juga anak yatim saat ini, tiga tahun yang lalu ayah Endruw pergi untuk selama-lamanya.

“Fir, kamu mandi dulu saja. Kamar Endruw ada di atas di pojok kiri. Bunda siapin makan malam dulu untuk kita”

“Iya bunda”, jawabku seraya melangkahkan kaki ke tempat yang di tunjukkan bunda.

Aku menaiki satu per satu anak tangga. Di dindingnya berjajar rapi beberapa figura yang memperlihatkan banyak foto. Aku berhenti sejenak, mengamati seluruh foto yang ada di sini. Semua figura ada fotonya Endruw, mulai dari bayi sampai Endruw dewasa. Terlihat juga foto almarhum ayahnya Endruw. “Pantesan Endruw ganteng banget, ayahnya juga ganteng banget” batinku. Kuamati lagi, foto-foto itu seperti cerita perjalaan hidup seorang Endruw, mulai dari bayi sampai dewasa yang berjajar rapi dan urut.

Tiba-tiba aku melihat sesuatu yang berbeda dari wajah Endruw. Wajah yang sama namun berbeda. Sepertinya foto itu belum terlalu lama diambil mungkin sekitar 4 tahun yang lalu. Disitu terlihat Endruw tertawa lepas, wajahnya terlihat sangat manis saat hiasan senyum lepas itu menghiasi wajahnya. Senyum yang lebih memukau dari senyum tipis yang selama ini dia tunjukkan ke aku. Senyum yang lebih lepas saat dia sedang bercanda denagn Rani. Senyum yang aku suka.

“Kenapa saat ini Endruw tidak pernah tersenyum seperti itu? Apa dia tidak bahagia? Atau ada yang membuat dia…”

Belum sempat aku memikirkan hal itu lebih jauh, bunda sudah memanggilku.

“Firza.. Kamu ngapain di situ? Buruan mandi Nak. Ini makananya sudah siap. Barusan Endruw telfon bunda dia bilang pekerjaannya sebentar lagi selesai dan dia bisa pulang agak cepet”

“Yang bener bunda?” tanyaku memastikan.

“Iya bener, makanya cepetan mandi terus dandan yang cantik”, perintah bunda. Aku pun segera berlari menuju kamar.

Dengan pelan kubuka knock pintu kamar Endruw. Ini kali pertama aku masuk ke kamar laki-laki. Ternyata aku dibuat takjub oleh pemandanagn yang aku lihat. Kamar Endruw terlihat sangat rapi, bahkan tiga kali lebih rapi daripada kamarku. Aku pun mengernyitkan dahiku, sambil berfikir apa jadinya kalau aku menikah dengan Endruw, Si Pemalas versus Si Rapi. Aku bergidik, kubuang jauh-jauh fikiran aneh-aneh yang ada di kepalaku.

“Hmm.. Baunya enak sekali. Ini Bunda yang masak?” Tanyaku  sambil mengendus-endus makanan di meja makan.

“Iya, ini masakan kesukaan Endruw. Kapan-kapan kamu harus mencoba memasak ini buat Endruw”, pinta bunda.

“Hehe,, Siap bunda!” Kataku tidak yakin namun kututup tutupi, biar enggak malu sama mertua.

“Sini bantu bunda siapin minuman di meja.” Perintah bunda. Aku menurut membantu bunda meletakkan minuman dan menata meja makan.

Tak lama terdengar suara mobil Endruw masuk ke halaman rumah, aku yang sudah menyangka itu Endruw langsung keluar untuk menjemputnya. Tanpa tau kalau saat ini bunda sedang tersenyum geli melihat tingkahku.

“Hai sayang”, sapaku sambil mencium punggung telapak tangan Endruw.

“Wah.. Jadi gini ya rasanya punya istri. Pulang kerja udah dijemput di depan. Ini istri udah masak apa belum?” Tanyanya sekaligus menggodaku.

“Udah dong, tapi bunda yang masak.hehe..”, jawabku sambil membawakan tas calon suamiku dan berjalan di sampingnya masuk ke rumah. Endruw hanya tersenyum tipis sambil sesekali mengelus kepalaku.

“Wah.. Makan besar ini. Langsung makan yuk!” Ajak Endruw yang tiba-tiba langsung menarik kursi dan akan meletakkan tubuhnya di atas kursi.

“Ih jangan ah, Endruw mandi dulu. Kotor tau.. Sekarang lagi musim penyakit aneh-aneh nanti kalau kamu bawa virus gimana?” Omelku ke Endruw.

Endruw tidak jadi duduk di kursi, dia malah bilang ke bunda sambil melirik ke arahku, “Nih, calon mantu bunda udah mulai cerewet. Bunda seneng kan ada temennya.”

“Ih dibilangin beneran”, serangku.

“Cerewet”, kata Endruw dengan penekanan, sambil tersenyum ke arahku. Dia memang sengaja menggodaku.

“Udah Endruw, jangan godain mantu bunda. Cepat mandi sana!” perintah bunda.

“Iya deh iya” kata Endruw sambil berlalu ke kamarnya. Tak lupa dia mengacak rambutku terlebih dahulu sambil menjulurkan lidahnya ke arahku.

Bunda yang menyaksikan hal itu  hanya mengelus dada. Mungkin di dalam hatinya dia berfikir, “ini calon suami istri kok jadi kayak kakak adek sih berantem mulu.”

Hari sudah semakin malam, aku harus pulang. Bunda memintaku untuk menginap namun aku tolak karena tadi pagi mama tidak enak badan. Endruw mengantarku pulang.

Aku dan Endruw memang belum terlalu mengenal satu sama lain, karena semua begitu cepat. Namun aku berusaha untuk mendekatkan diriku ke Endruw, agar dia nyaman bersamaku. Endruw pun juga seperti itu, terlihat sekali bagaimana usaha dia membuat aku merasa bahagia dan nyaman saat bersamanya. Endruw memang calon suami yang TOP. Aku akui bahwa aku sama sekali tidak tahu menahu tentang kehidupan masa lalunya, namun bagiku itu tidak terlalu penting. Toh kita akan menjalani masa depan berdua nantinya.

Di mobil aku tidak berhenti bercerita tentang semuanya, tentang pekerjaan, keluargaku, teman-temanku, apa yang aku suka, apa yang aku tidak suka. Seperti suara radio, aku terus saja bicara. Endruw selalu menanggapi ceritaku, dia adalah pendengar yang baik.

“Endruw, tadi aku lihat foto-foto kamu di tangga. Aku liat foto saat kamu senyum lebar. KAmu keliatan bahagia banget. Aku belum pernah liat kamu sebahagia itu. Ndruw, aku ingin senyum itu.” Kataku pada Endruw yang tanpa sadar perkataanku tadi membuat wajah Endruw sedikit berubah.

Endruw tidak menanggapi perkataanku, setelah wajahnya kembali seperti semula dia tersenyum tipis ke arahku. Yaa, hanya senyum tipis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status