Pagi ini terlihat mendung setelah semalam hujan deras mengguyur. Rasanya dingin, sejuk, dan segar tentunya. Dan kalau cuacanya terus seperti ini paling enak memang menarik selimut dan lalu melanjutkan tidur lagi. Meskipun suara dari luar kamar sangat berisik, tapi aku tetap merasa nyaman berada di atas kasur sambil memejamkan mata, sedikit demi sedikit menyelesaikan mimpi yang entah kenapa sejak tadi belum juga selesai.
Hingga tiba-tiba, sepertinya atap rumahku bocor. Wajahku terkena air, makin lama makin banyak.
“Astaga ini anak dari tadi dipanggil nggak bangun-bangun. Diciprat-cipratin air juga nggak mau bangun. Maunya diapain? Digerojok air, hah? Sayang kasurnya, Nak. Kamu itu udah gede, udah seharusnya nikah. Masak iya nanti mama masih ciprat-cipratin air ke mukamu? Kan malu mama sama suamimu, Nak.”
Setiap pagi kalimat itulah yang aku dengar. Entah kenapa mama kalau membangunkanku kalimatnya itu itu aja diulang-ulang setiap hari sampai mungkin tetangga yang mendengar aja hafal. Kadang aku bertanya-tanya apakah emak-emak di seluruh antero dunia juga suka begitu? Atau hanya mamaku saja.
“Iya Mama.. Enggak usah bawa-bawa suami. Nanti orang takut buat nikahin anaknya Mama. Takut sama calon mertuanya yang galak“, kataku sambil bergelotan manja di pelukan mama.
“Makanya cepetan bangun Nak, mandi, sarapan, terus berangkat kerja. Kalau kamu telat nanti gajinya dipotong lo.”
“Siap bosque”, kataku sambil menaruh telapak tangan di alis mata kananku memberikan hormat untuk mama. Kemudian aku berlalu ke kamar mandi untuk mandi dan segala pekerjaan yang bisa dilakukan di kamar mandi. Dan mamaku? Mama tidak keluar kamar, dengan kekuatan supernya mama menata sprei, bantal guling, dan banyak lagi, sambil ngomel. Dan kalimat omelannya juga masih saja sama dari omelan kemarin. Yah begitulah mamaku. Mama tercintaku.
“Firza.. nanti pulang kerja kamu mampir ke tokonya Abah Mujib ya, tolong mama beliin gula dua kilo, teh, kopi yang mereknya ABCD, tepung terigu merk Ajib eh jangan yang merk Sip aja dua kilo, terus garam, kecap yang merk Gunting ingat yang merk Gunting jangan salah lo fir, kemarin kamu beliinnya merk Kertas, @@@@@@@@. “
“ OK Ma.. Firza sudah hafal. Firza berangkat ya.. Bye mama.. “, kataku sambil mencium punggung tangan mama dan cepat-cepat berlalu.
Bukannya aku tidak mempedulikan apa perintah mama, aku memang udah hafal sama daftar belanjaan mama, merk barang belanjaan mama, dan juga seberapa banyak belinya. Pernah sih keliru belanjanya, tapi tidak masalah paling hanya diomelin.
Firza Agatha, inilah aku. Namaku adalah pemberian almarhum papa. Papa meninggal saat aku masih berusia 5 tahun. Setelah kepergian papa, mama tidak mau menikah lagi. Meskipun mama juga sadar kalau hidupnya tidak sempurna tanpa suami, tetapi mama tetap bersikukuh ingin membesarkanku dengan perjuangannya sendiri. Untungnya alamarhum papa memiliki sedikit tabungan yang bisa mama gunakan untuk memulai usahanya. Dengan perjuangan keras dan hanya seorang diri, mama akhirnya mampu memberikan aku hidup yang layak tanpa kekurangan dan bisa menyekolahkanku hingga lulus S2. Memang berat jalan hidup yang harus dilalui mama, tetapi mama tidak pernah mengeluh. Mama selalu tersenyum dihadapanku, mama selalu berusaha menjadi seorang ibu dan ayah yang ideal buatku. Tak jarang lamaran dari seorang pria kepada mama datang, tapi dengan halus mama selalu menolak. Saat aku tanya kenapa jawabannya selalu sama, tidak ada yang bisa lebih baik dari papa untuk bisa menjadi suami mama dan menjadi papa kamu.
Saat ini aku bisa dikatakan gila kerja. Bagaimana tidak, sejak lulus S2 dan bekerja di perusahaan tempat kerjaku sekarang aku jadi sangat sibuk. Keluar kota, lembur sampai malam, adalah makanan sehari-hari bagiku. Sebagai salah satu tenaga ahli diperusahaan ini atasanku sering mempercayakan beberapa proyek untuk aku handle. Dan hasilnya pun juga cukup membuat beliau bangga.
Makanya, Diusia 28 ini aku masih betah untuk sendiri alias jomblo. Sepertinya aku sampai tidak punya waktu buat mikir jodoh. Eitss, jangan salah bukannya enggak laku, laku kok. Banyak cowok di luaran sana yang mendekatiku. Aku enggak nolak, tetapi selalu saja tidak pas. Karena aku ingin saat aku menemukan seseorang yang cocok langsung nikah saja, tidak perlu main-main. Lagipula menurutku hal yang semacam itu tidak bisa buat dijadikan mainan. Jadi kalau ada cowok yang mendekatiku cuma buat main-main saja, tidak aku ladenin. Mungkin hal seperti inilah yang membuatku sampai saat ini masih sendiri.
Aku memarkirkan mobilku dengan rapi di tempat parkir kantorku. Kemudian berjalan dengan santai menuju lobby kantor.
“Firza.. Firza.. Firza..”
Nah, kalau yang panggil-panggil ini namanya Rani. Dia teman SMAku, udah lama hilang kontak tahu-tahu bertemu lagi dikantor ini dan pastinya dia bawahanku,hehe..
“Bisa gak sih gak pake teriak”, serangku sambil membalikkan badanku ke belakang kearah Rani.
“Gak bisa, mulut aku udah setelannya kayak gini”, kata Rani seraya menggandeng tanganku dan mengajakku berjalan masuk ke kantor.
“Makanya tiap pagi jangan makan pisang”
“Ih.. kamu pikir aku monyet. “
“Loh bukannya iya,haha...”
“Ya udah deh enggak papa aku monyet, jadi kan kamu bosnya monyet, Haha..”
Ya begitulah Rani, dia itu sangat bawel. Ngomongnya banyakdan selalu menggunakan volume maksimal. Jadi susah kalau sedang membicarakan orang, terdengar sampai mana-mana. Tapi dia teman terbaik aku, baik hati, gak sombong, suka menabung, tapi pelit.
Drrttt…Drrt…Drrtt…Suara ponselku berbunyi. Setiap berada di kantor, aku memang sengaja menggunakan getar untuk notif panggilan dan lainnya. Aku melirik ponselku yang kutaruh disebelah computer. Nama “MAMA” terpampang jelas di layar ponsel. “Tumben mama telfon di jam kerja”, batinku. Segera aku angkat ponselku dan kugeser tombol hijau di layar.“Halo Ma, Mama kenapa? “, tanyaku cemas. Mendapat telfon dari mama dijam seperti ini membuatku berfikir yang tidak-tidak.“Halo Firza, kamu nanti pulang jam berapa?“, suara mama dari seberang.“Mama kenapa? Mama baik-baik saja? Vertigo Mama kambuh lagi kah? Atau Mama masuk angin. Si siti masih di rumah kan Ma? Minta tolong Ssti buat kerokin sama bikinin teh panas ya Ma. Bentar lagi aku pulang. Mama sih sukanya begadang. Udah dibilangin kalau nonton drakor itu siang aja. Tapi Mama pagi, siang, sore, malam, tengah malam, sepertiga malam, sampe
“Hai Endruw kesini Sayang, ini temen bunda sama anaknya.“ Kata Tante Ratna yang otomatis membuatku kembali ke alam nyata.Namanya Endruw, cowok yang akan dijodohkan denganku. Endruw bisa dikategorikan sebagai cowok ganteng, eh bukan yang benar ganteng banget. Endruw berperawakan tinggi, besar, kekar, memiliki kulit yang putih bersih. Matanya hitam, saat dia melihatmu kamu pasti akan merasa terintimidasi atau malah jatuh hati. Pakaiannya rapi dengan setelan jas coklat dipadukan dengan sepatu senada membuatku benar-benar lupa kalau ini daratan tubuhku serasa mengapung di kolam. Dan jika kemajanya dilepas pasti akan terlihat roti sobek yang menghiasi perutnya. Dan jika aku pegang salah satu bagian dari roti sobek itu..“Au…”, suaraku keluar begitu saja saat tangan mama mencubit lenganku.“Mama ih”, bisikku.“Balik Fir, balik ke daratan. Jangan mengapung terus di kolam nanti masuk angin”, bisik mama sambi
“Wah.. Cantik banget kamu Fir. Foto dulu yuk, siapa tahu ketularan dapat jodoh.”Cekrek, cekrek, cekrek..Siapa lagi kalau bukan Rani. Setelah tahu kabar pertunanganku, dia adalah orang yang paling sibuk. Nyari gaun, sepatu, tas, asesoris, make up. Tapi itu semua buat dirinya sendiri, bukan buat aku. Selama satu minggu dia sibuk menyiapkan segala sesuatu kebutuhan untuk dirinya sendiri, untuk menghadiri pertunanganku.Tepat hari ini pertunanganku digelar. Tidak ada acara istimewa, hanya syukuran sederhana yang dihadiri oleh keluarga dan teman-teman dekat kami.“Fir, kamu kok bisa sih dapat calon suami seganteng Endruw?”, tanya Rani. Dari dulu dia paling suka menggoda cowok ganteng, tapi tidak pernah berhasil.“Gak tau, mungkin karena aku cantik kali. Makanya Endruw mau”, kataku sekenanya sambil menebalkan lipstick di bibirku.“Ih PD banget sih kamu Fir.”“Lah bukannya kamu sendiri
“Kamu langsung ke butik aja ya Nak, bunda tunggu di sana ajak mama kamu juga. Dari butik kita langsung ke toko perhiasan langganan bunda. Lalu makan malam di rumah bunda.” Suara Bunda di telfon.“Iya bunda, habis ini Firza langsung berangkat. Bye bunda sampai ketemu.” Jawabku seraya mematikan telfon.Hari pernikahanku semakin dekat dan persiapan pernikahan masih 50 persen. Mau tidak mau bunda turun tangan langsung untuk membantuku menyiapkan semuanya. Sejak pertemuan pertama kami di rumahku, Tante Ratna menyuruhku untuk memanggilnya bunda. Bunda sangat menyayangiku, meskipun aku belum resmi menjadi menantunya namun kasih sayang itu sudah sangat terlihat.Hari ini kami berjanji untuk bertemu di butik, untuk finishing baju pernikahan. Tapi Endruw tidak bisa ikut, dia harus bekerja agar saat pernikahan nanti urusan pekerjaannya sudah selasai.Sesampainya aku di butik, bunda sudah berada di sana. Aku menghampirinya lalu menciu
Pagi ini berbeda dari pagi-pagi biasanya, suasana pagi ini sepi. Tidak terdengar omelan mama yang sudah menjadi alarm bagiku. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 07.00, “tumben mama belum bangunin” batinku. Kulirik kalender duduk di meja sebelah kasur, terlihat tinggal seminggu lagi menuju tanggal dengan lingkaran hati yang kubuat sendiri untuk menandai kalau hari itu adalah hari pernikahanku. Aku tersenyum kecil, sedikit membayangkan bagaimana jadinya kalau aku masih sering telat bangun pagi, “apa kata Endruw”, batinku meracau.Aku segera bergegas ke kamar mandi, setelah mengingat bahwa hari ini aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan di kantor. Sebelum aku resign dari kantorku, aku harus menyelesaikan semua kewajibanku agar nantinya aku tidak terbebani. Ya, setelah menikah aku memang berniat untuk resign dari kantorku bekerja. Aku ingin membuka usaha sendiri, agar waktuku tidak terlalu terbuang banyak di luar. Atas saran dari Endruw tentunya.
“Nak, setelah kami bermusyawarah akad nikah kamu dan Endruw akan dilaksanakan saat ini juga di depan jenazah mama” bunda berusaha menjelaskan apa yang tengah mereka bicarakan tadi.Bagai kena petir di siang bolong, tangisku seketika menjadi-jadi mendengar penjelasan bunda. Bagaimana bisa hari bahagia dilaksanakan di saat seperti ini. Endruw datang memelukku, dia mengusap-usap rambutku berusaha menenangkan. Air mata yang mengalir sederas hujan membasahi bagian dada baju putih yang dipakai Endruw.“Kamu harus kuat ya Fir, semua untuk kebaikan kita. Saya akan selalu menjaga kamu.” Ucap Endruw sambil mengecup keningku.Aku tak kuasa untuk bergerak dari tempat dudukku semula, hanya terdiam sambil melihat jenasah mama yang sudah terbungkus rapi. Bunda dan beberapa paman bibiku mulai sibuk menyiapkan pernikahan mendadak ini. Semua orang berjalan kesana kemari dengan kesibukan masing-masing. Mungkin mereka juga bingung harus bahagia
Bulan ini adalah bulan Agustus, dimana biasanya musim kemarau sudah datang. Awan yang biasanya menutupi matahari pada musim kemarau mereka akan pergi menjauh entah karena bosan atau hanya ingin sedikit menghindar, sehingga membuat matahari lebih terik. Suhu sudah mulai panas dan lembab. Tanah pun juga mulai retak.Namun tidak untuk saat ini. Meskipun kemarau datang di bulan Agustus tapi Agustus saat ini berbeda dengan biasanya. Agustus sekarang lebih bersahabat, atau malah merupakan tanda awal dari sebuah bencana. Ya, beberapa hari di bulan Agustus hujan datang mengguyur. Tidak hanya rintik-rintik gerimis, namun juga hujan deras dan petir yang menyambar.Entah apa yang sudah Tuhan rencanakan. Keadaan seperti ini pasti akan sangat membuat para petani merugi. Gagal panen sudah jelas dirasakan oleh mereka begitu juga para pekerja lain yang menggantungkan pekerjaannya pada musim. Pasti akan sangat merugi.Hari ini dua minggu pernikahanku, yang berarti sudah du
Aku setengah berlari saat mendengar nada dering ponselku berbunyi. Terlihat nama Endruw di layar, aku tersenyum melihatnya. Tidak bisa kupungkiri, saat ini aku merindukan Endruw. Setelah Rani pulang, aku mulai bertekat untuk bangkit dari keterpurukan demi suamiku. Kugeser tombol hijau di layar ponsel.“Firza, kamu kenapa? Apa kamu baik-baik saja? Kenapa lama sekali mengangkat telfonnya.” Suara Endruw di seberang terdengar keras dengan nada khawatir.“Enggak apa-apa, tadi aku habis mandi”, jawabku yang otomatis membuat Endruw terkejut. Memang beberapa hari ini Endruw yang mengurus segalanya.“Jadi kamu sudah mandi?” Tanyanya tidak percaya.“Sudah”, jawabku lirih.“Siapa yang bantuin?”“Mandi sendiri lah, ngapain mandi dibantuin”, jawabku sedikit menyeringai. Aku lupa kalau biasanya Endruw yang membantuku mandi, menyiapkan air hangan dan menggandengku berjala