Share

BAB 4

Penulis: Jingga Rinjani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-15 18:34:56

"Hen, gimana sih? Kok malah jadi gagal begini?"

"Sabar dong, Sayang. Kamu jangan khawatir. Nanti malam, aku ke apartmenmu."

"Serius?"

"Iya. Udah kamu pulang aja naik taksi. Oke?"

"Bunda, lagi ngapain?"

Hampir saja aku terjungkal karena kaget mendengar suara Yolla. Gadis itu tengah menatapku bingung. Sementara adiknya tengah membuka kulkas, mungkin mencari makanan.

"Nggak papa. Sudah malam, tidur, ya?"

Friska langsung menutup kulkas, lalu menghampiriku.

"Tidur sama Bunda aja!"

"Eh, kan Bunda bilang apa?"

"Sudah besar, tidur sendiri, mandi sendiri, makan sendiri."

"Itu namanya apa?"

"Mandiri!"

"Apa itu mandiri?"

"Apa-apanya sendiri," jawab mereka sambil terkekeh. Menurut anak-anak, itu merupakan hal lucu. Aneh-aneh aja.

"Loh, Ma, kamu dari tadi di sini?" tanya Mas Hendi.

Aku menoleh ke arahnya yang sudah masuk. Karena posisiku di belakang pintu persis, makanya ia terkejut melihatku.

"Iya. Kenapa?"

"Eee nggak papa."

Mas Hendi masuk ke dalam kamar. Aku pun mengantar anak-anak ke kamarnya dan mengucapkan selamat malam.

Saat masuk kamar sendiri, aku melihat Mas Hendi tengah terpaku dengan ponselnya. Senyum terkembang di bibirnya yang tebal itu.

"Abis kerja itu mandi. Masa main hape, langsung naik ke ranjang lagi. Baru juga ketemu, masa udah kangen?"

Suamiku itu tergagap saat mendengar ucapanku. Mungkin ia mengira aku tak mengetahui belangnya. Permainannya dengan Kak Ria sungguh manis. Aku jadi ingin memakannya!

"Maksudmu apa, sih, Mel?"

"Apa? Udah sana mandi!"

Dengan langkah gontai, ia keluar untuk mandi. Setelah memastikan ada suara guyuran air, langsung buru-buru kusadap ponsel dan memasang gps di sana.

Kubaca lagi pesan-pesan yang masuk di ponsel suamiku. Terutama dari Kak Ria. Isinya sungguh sangat menjijikan. Kenapa ia bisa dengan tega merusak rumah tanggaku?

Ting!

Sebuah pesan masuk.

Untuk berjaga-jaga, aku membukanya lewat ponselku. Hmm, ternyata Kak Ria.

[Hen, jadi, kan?]

Sepertinya memang wanita itu ngebet banget sama suamiku. Tak pandang bulu meskipun aku adalah sepupunya.

"Mel, ngapain?"

Suara Mas Hendi membuatku terlonjak. Hampir saja gawaiku jatuh dibuatnya.

"Eh, anu, ini tadi ponselmu bunyi, Mas. Mau aku cek, malah keburu kamu keluar."

Mas Hendi segera mengambil ponselnya, ia terlihat sangat gugup sekali.

"Kamu sempat membukanya?"

Aku menggeleng.

"Lihat saja, bukankah pesannya masih belum terbuka?"

"Ah iya," jawabnya dengan menghembuskan napas lega.

"Kenapa memang, Mas? Penting, kah?"

"Nggak, kok. Cuma pemberitahuan lembur aja. Kayaknya malam ini aku bakal gak pulang. Besok kan sabtu, sekalian libur kan?"

Aku mendecih dalam hati. Lembar-lembur kepalamu semprul!

Pasti dalam hatinya, ia tengah merutuki kebodohanku yang mau saja percaya padanya. Padahal, aku tengah menyusun rencana untuk mereka.

"Ya sudah, biar kuat begadangnya, aku bikinkan kopi dulu, ya, Mas?" tawarku.

"Oh, iya, boleh, Mel. Kamu memang istri terbaik."

Istri terbaik tapi kamu nggak pandai mensyukurinya, Mas. Dasar kadal buaya!

Aku pun berjalan keluar menuju dapur. Meracik kopi yang biasa kusajikan untuknya, namun kali ini ada racikan spesial untuknya.

"Mas, kopinya nih!" ucapku ketika di depan pintu.

Kulihat ia tengah tersenyum sambil menatap ponselnya. Sudah pasti ia tengah merencanakan hal gila dan haram dengan perempuan itu.

"Enak, Mas?" tanyaku saat ia mencicipi kopi.

"As always. Kamu memang sempurna."

"Harusnya, nggak akan diselingkuhi kan, kalau sempurna?"

Ia terbatuk mendengar ucapanku.

"Maksudmu apa?"

"Kenapa, Mas? Memang benar, kan? Di luar sana banyak loh yang sempurna tapi malah diselingkuhin. Semoga kamu jangan, ya?"

"Hehe, iya."

Mas Hendi terlihat sekali panik dan gugupnya. Kupastikan dalam hatinya kini tengah mengutuk juga terheran karena melihatku seakan tahu tentang pengkhianatannya.

Usai minum kopi, kuajak ngobrol sebentar. Sampai obat tidur itu bekerja.

"Kok, Mas ngantuk, ya?"

"Loh, kok ngantuk? Bukannya mau ke kantor untuk menangani masalah?"

"Iya. Kenapa malah jadi gini, ya?"

Ia terus saja menggerutu. Hingga akhirnya ia pun terlelap. Kudorong tubuhnya agar tertidur di sofa, lalu memberikan bantal dan juga selimut.

Ting!

Sebuah pesan masuk ke ponsel Mas Hendi. Kali ini aku membuka langsung dari ponselnya karena dapat menebak siapa yang mengirimkannya.

[Hen kok lama? Katanya bentar lagi otw?]

Kubaca saja, tanpa berniat membalas. Dasar wanita tak tahu diri!

[Hen!]

[Baiklah. Terserah kamu, setelah ini, jangan lagi hubungi aku.]

[Oke.] balasku.

Enak saja dia akan menyetir suamiku. Aku yakin, sekarang Mas Hendi sedang khilaf saja.

Dulu, ia merupakan suami yang siaga, kenapa sekarang malah gampang tergoda gini?

-

"Bunda!"

Aku tersentak saat ia berteriak. Anak-anak pun sampai terjungkal karena mendengar suaranya.

"Apa sih, Mas?"

"Kenapa kamu tak bangunkan aku semalam? Aku harus lembur tahu, Mel!" ucapnya sedikit membentak.

"Mas! Apa-apaan sih, kamu? Sampai membentak begitu. Memangnya penting, meeting dengan si Ria?"

Ya, kali ini aku takkan memanggilnya kakak lagi, karena aku sudah muak dengannya.

"Iya."

"Eh?" ucapnya tak lama kemudian.

Aku tersenyum sinis.

"Jadi, benar, ya?"

"Mel, aku hanya salah ngomong."

"Anak-anak, ke kamar dulu dan jangan keluar sebelum Bunda perintahkan. Mengerti?!"

Anak-anak pun masuk ke dalam kamarnya. Aku tak akan membiasakan bertengkar di hadapan mereka. Karena aku tahu sakitnya, melihat orang yang kita cinta, justru malah bertengkar.

Kini kupandang Mas Hendi tajam. Saatnya untuk memberinya pelajaran!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   BAB 29

    Kulalui hari seperti biasanya. Bersama mantan mertua, keluarga adik, dan juga keluargaku. Meskipun kadang aku merasa canggung jika berada di dekat Rio. Seperti saat ini, saat kami tengah menginap di villa milik keluarga Bisma. Sudah dua hari kami di sini, dan besok rencananya akan pulang. "Sayang, aku ngantuk. Tidur dulu, ya," ucap Kak Ria sambil mengambil bantal yang tadi dibawanya dari kamar. Kulihat Rio mengangguk, kemudian mengelus rambut Kak Ria. Aku tersenyum. Tentu saja cinta itu sudah tumbuh di antara mereka, apalagi sekarang sudah dua bulan lewat dari pernikahan mereka. "Kamu nggak mau nikah lagi, Mel?" tanya Ibu saat aku tengah membalikkan daging. Yolla dan Ika seakan tak ada bosannya makan sedari tadi. "Untuk apa, Bu? Aku hanya ingin hidup dengan anak-anak dan Ibu saja. Bagi Meli, kalian sudah lebih dari cukup. Untuk apa menikah lagi?" Ibu hanya diam, sementara aku tengah mencoba meredam rasa gugup dalam dada. Aku tahu, sedari tadi Rio tengah memperhatikanku. "Tapi,

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   BAB 28

    Aku mengajak mereka untuk ke cafe yang baru saja dikunjungi oleh Rio. Ini tidak bisa dibiarkan, lebih baik dibuat jelas secepatnya. Kini aku, Rio, dan Kak Ria sudah duduk saling berhadapan. Kak Ria sedari tadi tak mau melihat ke arahku. Apakah ia marah? Wajar, sih. Aku pun bisa memposisikan andai jadi dirinya. Tak perlu lah andai, karena aku pun sudah pernah merasakannya. "Kak, aku minta maaf," ucapku. Hening, tak ada jawaban darinya. Mulutnya seakan terkunci. Aku semakin dilanda rasa tak enak. "Percaya lah, Kak. Kita ini sudah tua. Sudah bukan waktunya lagi untuk bermarah-marahan hanya karena kesalah pahaman. Aku pun tak berniat untuk mengkhianati Kakak. Tadi Rio memelukku, karena ia terlampau senang karena akan menikah dengan Kakak." "Mel..." Aku mengangkat tanganku di hadapan Rio. Ini bukan waktunya untuk berbicara. "Kak, aku ini masih trauma sama percintaan. Umurku sudah empat puluh lebih. Malu rasanya mau cinta-cintaan itu.""Mel...""Ya?" "Kalau kamu dan Rio saling menci

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   BAB 27

    "Tadi apa?" tanyaku, karena tak kunjung mendengar penjelasan dari Dina. Wanita itu malah sibuk menggulung-gulung ujung bajunya. "Kita bawa Ibu ke rumah sakit dulu ya, Mbak? Boleh bantuin, nggak?" Aku mengangguk, lalu meminta Si Mbok untuk keluar dan meminta bantuan warga. Sementara Yolla terlihat sedang menangis. Kulirik Ika, tak ada air mata di sana. Mungkin karena ia kecewa telah 'dibuang' begitu saja oleh ayahnya dulu. "Sebelah sini, Pak." Aku menyingkir saat Si Mbok datang dengan dua orang pemuda dan beberapa tetangga. Aku pun gegas keluar dan membuka kunci mobil. Dina langsung masuk, sementara Si Mbok membantu memasukkan tubuh Ibu ke dalam mobil. "Yolla naik ojek aja nanti, Bun. Biar Ika aja yang ikut Bunda," ucap Yolla. "Jangan, Kak. Kakak di depan aja bareng aku," jawab Ika. "Nggak boleh, Ka. Nanti ada polisi." Akhirnya Ika menurut, kulajukan mobil menuju rumah sakit terdekat. Ibu pernah ada riwayat stroke. Aku takut, jika itu bisa datang lagj. Aku menatap Dina, seben

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   BAB 26

    "Apa tidak bisa kamu saja yang menghadirinya?" tanyaku. "Nggak bisa, Mbak. Mereka minyanya pimpinan direktur yang datang.""Tapi aku mau pergi sama Viera loh," ucapku. " Lah? Ke mana? Kok dia nggak ngomong apa-apa sama aku?" tanya Bisma. "Lah, mana Mbak tahu. Ya sudah, Mbak mau pulang dulu. Katakan pada perwakilan dari Blue Ocean, kalau Mbak sedang ada masalah penting." "Hemm, ya sudah." Aku pun akhirnya pulang. Sebelum sampai, aku menyempatkan diri untuk membeli makanan. Tadi memang aku menyuruh Si Mbok untuk tidak masak saja. Aku mampir ke kedai makan langganan kami, lalu memesan ayam goreng, capcay, dan juga sup bakso. Saat menunggu pesanan, mataku tertuju pada seseorang yang sepertinya kukenal. "Darwin?" Lelaki itu menoleh, lalu tersenyum lebar padaku. Aku pun tak kalah senang, sebab sudah puluhan tahun kami tak bersua. "Meli?"Aku mengangguk, lalu kami berpelukan. Darwin adalah teman satu gengku dulu. Ya, aku memang pernah tomboy pada masanya. Bisa dibilang, aku adalah s

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   BAB 25

    Dari kejauhan, aku masih menatap Rio yang jalan dengan Kak Ria. Haruskah kurelakan lagi, cinta yang mungkin saja baru bersemi ini, untuk kupadamkan? Haruskah aku berkorban perasaan lagi? Ah, lagian aku ini siapa? Belum tentu Rio juga mencintaiku, kan? Dasar, sudah pede lebih dulu. "Meli!" Aku tersentak saat Kak Ria memanggilku. Jadi, dari tadi aku melamun? Hingga tak sadar bahwa mereka telah memergokiku yang memperhatikan mereka? Aku tersenyum kaku, sambil melambaikan tangan. Ah, aku sudah lupa bagaimana patah hati versi remaja dulu. Aku menegakan tubuh, saat mereka datang mendekat ke arahku. Rio terus menatapku, hingg membuatku tak nyaman. Sementara Kak Ria langsung memelukku. Sudah beberapa hari ini dia tak datang ke rumah, kupikir ia sibuk dengan kerjaan. Nyatanya malah sibuk dengan dunia percintaannya. "Kamu ngapain di sini?" tanya Kak Ria. "Habis bertemu Dina, Kak.""Dina? Selingkuhan suamimu dulu?" Aku mengangguk. "Kita makan, yuk? Kakak laper, sekalian kamu ceritain so

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   BAB 24

    "Yolla, Ika, sebaiknya kalian ke kamar dulu. Mama mau berbicara penting dengan ayah kalian," ucapku.Yolla dan Ika mengangguk, lalu berlalu ke kamar. Mas Hendi masih menatap buah hatinya, tampak kerinduan tersirat di sana."Apakah kalian nggak hidup bersama, Mas?" tanyaku."Setahun setelah menikah dengan Dina, aku melakukan praktek poligami, Mel."Mataku membeliak lebar. Apa katanya? Poligami? G*la!"Jadi, itu alasanmu keluar dari kantor?"Mas Hendi mengangguk."Aku bertemu dengan teman kantorku dulu. Hidupnya sekarang sudah bahagia, dia memperkenalkan aku dengan teman istrinya, namanya Elia. Elia berjanji akan memenuhi hidupku dengan uang. Nyatanya...""Yang kamu lakukan itu bukan poligami, Mas," ucapku memotong kalimatnya."Hah?""Iya. Kamu bukan poligami melainkan berselingkuh karena nafsu. Orang jaman sekarang menjadikan poligami sebagai topeng untuk perselingkuhan mereka.Lagipula aku tak habis pikir, bisa-bisanya, kamu malah menyia-nyiakan Dina yang sudah kamu pilih. Bukankah ka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status