Share

BAB 7

last update Huling Na-update: 2025-01-15 18:42:32

"Kamu serius, Ra?" tanyaku pada adikku itu.

"Apa aku kelihatan becanda, Kak?"

Aku manggut-manggut sambil mengetuk-etuk dagu. Menimbang-nimbang untuk apa Dina ikut? Apakah selama ini dia tahu tentang perselingkuhan Mas Hendi?

"Mungkin besok aku harus mengintrogasi Dina di kantor. Bisa-bisanya dia menyembunyikan fakta begini di belakangku."

"Setuju, Kak."

Aku terdiam. Kesalahan apa yang sudah kubuat? Kenapa harus menghadapi kehidupan pelik seperti ini?

"Kak, aku tahu ini berat. Tapi, Kakak pasti kuat, kok. Aku juga sudah muak banget sebenarnya. Kemarin sore ajak dia ke sini, karena pengen lihat reaksi dia berhadapan lagi sama Kakak itu kaya gimana. Ternyata, malah biasa aja. Udah nggak ada muka emang."

Kugeser kursi tempat dudukku agar lebih dekat dengannya lagi. Kuberi kode agar ia meletakkan Ataya yang sudah tertidur dalam gendongan ke box bayi.

"Tapi, Kak, apa nggak sebaiknya Kakak usir aja Mas Hendi? Aku yang orang luar aja udah gemes loh."

Aku tersenyum miris. Berbicara memang mudah, hanya saja rasanya berat meskipun ia sudah menyakiti hati.

"Kakak sudah nggak memikirkan cinta lagi, Dek. Cuma kasian anak-anak. Mereka masih butuh bimbingan ayahnya."

"Lalu bagaimana dengan Kakak sendiri?"

Aku menggeleng. Bagiku yang terpenting saat ini adalah anak-anak.

"Kamu tenang aja. Nanti, setelah waktunya tiba, pengkhianat itu pasti akan Kakak usir."

Viera menghela napas panjang. Selalu begitu jika apa yang diinginkannya tidak terkabul.

"Kamu baik-baik, jangan sampai masalah ini bocor ke Mama. Nanti penyakit jantungnya kumat."

Viera mengangguk. Aku masuk ke kamar Mama yang terbuka, lalu memanggil anak-anak.

"Sayang, pulang, yuk."

Yolla dan Friska segera keluar setelah sebelumnya memeluk Mama. Kami melambaikan saat mobil mulai berjalan meninggalkan halaman rumah.

Yolla tengah melamun. Entah apa yang dipikirkannya?

"Bunda."

"Ya?"

"Bunda sama Ayah, gak bakalan pisah, kan?"

Ciiit!

Kuinjak rem mendadak. Beruntung kami memakai sabuk pengaman. Pertanyaan Yolla membuatku terkejut.

Umpatan dari pengendara lain saling terdengar.

"Woi, kalo gak bisa nyetir, diam aja di rumah!"

"Mau mati, Lo!"

Aku hanya meringis sambil meminta maaf.

Aku menoleh pada anak sulungku itu, lalu membelai kepalanya

"Sayang, kenapa ngomong kaya gitu?"

"Yolla ingat sama ceritanya Melisa. Sebelum kedua orang tuanya berpisah, katanya mereka suka bertengkar. Mirip sama Ayah dan Bunda lakukan tadi. Gak lama kemudian, dia harus tinggal hanya dengan Mama dan neneknya, sementara papanya pergi entah ke mana. Lalu, mamanya menikah lagi, dan sekarang dia cuma tinggal sama neneknya. Yolla nggak mau kaya gitu, Ma."

Mata Yolla mulai berkaca. Astaghfirullah, aku harus bagaimana? Jika menuruti ego, aku kasihan pada anak-anak. Tapi, jika menurutinya, bagaimana denganku?

Aku hanya diam saja. Membiarkan anakku itu menangis, mengeluarkan semua sesak dalam dada. Mungkin nanti, aku akan memberinya sedikit pengertian. Pelan-pelan, mengingat dia masih kecil.

Sampai di rumah, Mas Hendi ternyata pulang. Aku pun masuk ke dalam rumah yang tak ditutup itu.

"Sayang, air kamar mandi rumahmu kok panas ... Ya?"

Ucapan Ria terjeda karena melihatku sudah berdiri di depan pintu. Aku mengode anak-anak untuk masuk ke dalam kamarnya.

Aku pun bertepuk tangan dan sukses membuat Mas Hendi yang sedari tadi di kamar, keluar. Aku tersenyum sinis padanya.

"Bagus, ya. Pergi dari rumah Mama, malah zina di sini."

Ria mendekatiku, berusaha meraih tangan ini.

"Kakak bisa jelaskan semuanya, Mel."

Kukibaskan tangannya, lalu mengusap tanganku seolah jijik karena habis dipegang olehnya.

Kutatap Mas Hendi yang sudah bertelanjang dada. Astaghfirullah, apa yang akan mereka lakukan di sini?

Buk!

Kupukul perutnya. Ia yang tak siap pun segera limbung. Namun itu tak lama karena ia kembali bangkit. Tangannya mengepal, lalu dilayangkan ke arahku.

Bukan Meli namanya jika tak bisa menghadapi ini. Kutangkap tangan itu dan kupelintir ke belakang.

"Aw, sakit, Meli!"

"Mel, lepasin Hendi!"

Kudorong tubuhnya, lalu membuka pintu semakin lebar.

"Keluar kalian dari rumah ini!"

"Ini juga rumahku, Meli! Aku pun ikut membantu membangunnya."

"Kamu hanya membagun garasi, Mas!"

"Tetap saja itu uang."

"Ya sudah, kalau begitu, kembalikan semua uang yang pernah kuberikan padamu!"

Mas Hendi meloto ke arahku.

"Jam, sepatu, baju, celana, dan juga jaket itu, aku yang beli. Letakan itu di atas meja. Bajumu hanya kolor dan baju butut saja. Awas kalau mengambil yang bagus-bagus karena itu semua milikku!"

Mas Hendi terus mengumpat. Aku melirik ke arah pintu kamar anak-anak, terlihat sedikit terbuka. Ya Allah, apakah Yolla mendengarnya?

"Dan kamu, Ria, kamu akan mendapat balasan yang setimpal atas ini semua!"

Ria menatapku sendu, lalu melangkah pergi.

"Aku melakukan ini, untuk kebaikanmu, Meli."

Aku tercenung. Aku tak salah mendengar, kan? Apa maksud Ria mengatakan demikian? Untuk kebaikanku?

Arrgh!

Terlalu banyak teka-teki. Aku harus mulai mengusutnya besok.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   BAB 7

    Pagi hari.Aku masuk ke kamar anak-anak karena sudah sedikit siang."Loh, Kakak sudah bangun? Kenapa nggak keluar? Sudah setengah enam, lho. Yuk, sholat!"Yolla keluar tanpa menjawab pertanyaanku. Tak lama kemudian, Friska menggeliat karena kugoyangkan tubuhnya."Ayo, Sayang, bangun.""Ika masih ngantuk, Ma.""Iya, Mama tahu. Tapi, apakah Ika bakalan terus mengantuk jika nanti dihadapkan dengan api neraka karena melalaikan sholat?"Mata yang sedari tadi tertutup, langsung terbuka lebar. Friska bangun dan berlari menuju dapur. Alhamdulillah, kedua anakku tak perlu susah-susah jika menyangkut kewajiban kita sebagai muslim.Selama mereka sholat, aku menyiapkan nasi goreng untuk sarapan, dan menggoreng nuget serta menumis sayuran untuk bekal mereka sekolah."Langsung mandi, ya!" perintahku."Oke, Bunda." Lagi, hanya Friska yang menjawab, Yolla masih bungkam.Usai mandi, mereka langsung menuju meja makan dan mulai menyuap makanan yang ada di hadapannya.Friska terlihat celingukan. Wajar, i

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   BAB 7

    "Kamu serius, Ra?" tanyaku pada adikku itu."Apa aku kelihatan becanda, Kak?" Aku manggut-manggut sambil mengetuk-etuk dagu. Menimbang-nimbang untuk apa Dina ikut? Apakah selama ini dia tahu tentang perselingkuhan Mas Hendi? "Mungkin besok aku harus mengintrogasi Dina di kantor. Bisa-bisanya dia menyembunyikan fakta begini di belakangku." "Setuju, Kak." Aku terdiam. Kesalahan apa yang sudah kubuat? Kenapa harus menghadapi kehidupan pelik seperti ini? "Kak, aku tahu ini berat. Tapi, Kakak pasti kuat, kok. Aku juga sudah muak banget sebenarnya. Kemarin sore ajak dia ke sini, karena pengen lihat reaksi dia berhadapan lagi sama Kakak itu kaya gimana. Ternyata, malah biasa aja. Udah nggak ada muka emang." Kugeser kursi tempat dudukku agar lebih dekat dengannya lagi. Kuberi kode agar ia meletakkan Ataya yang sudah tertidur dalam gendongan ke box bayi. "Tapi, Kak, apa nggak sebaiknya Kakak usir aja Mas Hendi? Aku yang orang luar aja udah gemes loh." Aku tersenyum miris. Berbicara mem

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   BAB 6

    Mas Hendi dan Ria masuk dengan wajah percaya diri. Dasar lelaki tak tahu malu, sudah menyakitiku, namun masih bisa menampakkan batang hidungnya di sini? "Loh, kok bisa bareng?" tanya Mama pada mereka. "Iya, Tante. Tadi ketemu di depan," jawab Ria. "Di depan apanya." Tanpa sadar, aku mendumel. "Kenapa, Mel?" tanya Mama. Aku tersadar jika tadi sudah menggerutu, lalu menggelengkan kepala. "Nggak papa kok, Ma. Hehe," jawabku. Mas Hendi menatapku datar. Ya Allah, memang sudah tak ada lagi cinta di sana. "Ma, menurut Mama, kalau misal suami kita selingkuh dengan saudara kita sendiri, apa yang akan Mama lakukan?" tanyaku pada Mama. Mas Hendi melotot menatap ke arahku, sedangkan wajah Kak Ria tampak memucat. Aku tahu, ia tengah takut jika rahasianya terbongkar di sini. "Memangnya, kamu selingkuh, Hen?" tanya Mama. Mas Hendi yang tak siap dengan pertanyaan itu, tergagap menjawabnya dan berhasil membuatku tersenyum sinis. "Bukan, Ma, ini mah teman Meli. Menurut Meli, sangat jahat se

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   Bab 5

    "Ayo, jelaskan." "Kamu tadi sengaja, kan, ngasih pertanyaan menjebak?" Mataku membeliak, sekarang ia mau melempar kesalahan? Pandai betol! "Pinter lah kamu, Mas! Kamu sendiri yang keceplosan, malah aku yang kau salahkan!" Mas Hendi terlihat menggeretukan giginya. Selama kami hidup bersama, baru kali ini kulihat ia bersikap seperti ini. Wah, sungguh hebat pengaruhmu, Ria! Kulangkahkan kaki untuk lebih dekat dengannya. Sepertinya, lelaki ini perlu diingatkan dari mana ia berasal. "Ingat, Mas, jangan banyak bertingkah kalau kamu tak mau aku balikkan ke tempat asal!" Dulu, Mas Hendi hanya seorang office boy, entah apa yang membuatku seakan buta menerima cintanya. Mama dulu pun tak suka, entah mengapa semenjak kelahiran Yolla, sikap Mama berubah seratus delapan puluh derajat. Mas Hendi tersenyum sinis. Sungguh, ini bukan suami yang kukenal! "Coba saja, Meli. Kamu takkan bisa apapun tanpaku." "Haha, Mas-Mas, apa kamu lupa, jika akulah yang mengajarkanmu tentang semua tetek bengek

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   BAB 4

    "Hen, gimana sih? Kok malah jadi gagal begini?" "Sabar dong, Sayang. Kamu jangan khawatir. Nanti malam, aku ke apartmenmu." "Serius?" "Iya. Udah kamu pulang aja naik taksi. Oke?" "Bunda, lagi ngapain?" Hampir saja aku terjungkal karena kaget mendengar suara Yolla. Gadis itu tengah menatapku bingung. Sementara adiknya tengah membuka kulkas, mungkin mencari makanan. "Nggak papa. Sudah malam, tidur, ya?" Friska langsung menutup kulkas, lalu menghampiriku. "Tidur sama Bunda aja!" "Eh, kan Bunda bilang apa?" "Sudah besar, tidur sendiri, mandi sendiri, makan sendiri." "Itu namanya apa?" "Mandiri!" "Apa itu mandiri?" "Apa-apanya sendiri," jawab mereka sambil terkekeh. Menurut anak-anak, itu merupakan hal lucu. Aneh-aneh aja. "Loh, Ma, kamu dari tadi di sini?" tanya Mas Hendi. Aku menoleh ke arahnya yang sudah masuk. Karena posisiku di belakang pintu persis, makanya ia terkejut melihatku. "Iya. Kenapa?" "Eee nggak papa." Mas Hendi masuk ke dalam kamar. Aku pun mengantar ana

  • KUIKUTI PERMAINAN MANISMU   BAB 3

    "Assalamu'alaikum," ucap seseorang dari luar. "Wa'alaikum salam." Kami semua ke depan, ternyats Viera baru datang. "Kamu ini, Dek. Kok malam gini baru datang?" "Iya, tuh yang ngejemput kelamaan." Lalu, muncullah Kak Ria. Dia sepupu terdekat kami, anak Uwak. "Loh, nggak diantar sama Bisma?""Nggak." "Apa kabar, Kak?" Aku mencium punggung tangannya. Ini seakan sudah menjadi tradisi. Setiap ada yang tua, kita mesti cium tangan. Umur Kak Ria selisih tiga tahun denganku. Kalian pasti berpikir bahwa aku yang muda? No! Kak Ria yang lebih muda. "Mel, di mobil ada buah. Ambilin ya. Kakak capek." "Oke." Aku pun berjalan ke mobil, lalu mengambil buah. Tapi tunggu! Aku berbalik lagi dan mengambil kemeja kemeja yang ada di jok mobil. Sepertinya, aku pernah melihat kemeja ini?! "Mel, udah?" tanya Kak Ria sambil menyusulku. "Nih! Katanya capek?" "Hehe, iya. Abisnya kamu lama banget," ujarnya sambil buru-buru menutup pintu mobil. Aku jadi semakin curiga. Apa yang sedang dia coba tutu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status