Mas Hendi dan Ria masuk dengan wajah percaya diri. Dasar lelaki tak tahu malu, sudah menyakitiku, namun masih bisa menampakkan batang hidungnya di sini?
"Loh, kok bisa bareng?" tanya Mama pada mereka. "Iya, Tante. Tadi ketemu di depan," jawab Ria. "Di depan apanya." Tanpa sadar, aku mendumel. "Kenapa, Mel?" tanya Mama. Aku tersadar jika tadi sudah menggerutu, lalu menggelengkan kepala. "Nggak papa kok, Ma. Hehe," jawabku. Mas Hendi menatapku datar. Ya Allah, memang sudah tak ada lagi cinta di sana. "Ma, menurut Mama, kalau misal suami kita selingkuh dengan saudara kita sendiri, apa yang akan Mama lakukan?" tanyaku pada Mama. Mas Hendi melotot menatap ke arahku, sedangkan wajah Kak Ria tampak memucat. Aku tahu, ia tengah takut jika rahasianya terbongkar di sini. "Memangnya, kamu selingkuh, Hen?" tanya Mama. Mas Hendi yang tak siap dengan pertanyaan itu, tergagap menjawabnya dan berhasil membuatku tersenyum sinis. "Bukan, Ma, ini mah teman Meli. Menurut Meli, sangat jahat sekali. Iya kan? Apalagi biaya hidup si lelaki itu ditanggung oleh si perempuan," kataku. "Ish-ish! Masih ada lelaki kaya begitu? Kalau aku jadi dia sih, udah malu banget, ya? Kan kodratnya wanita itu dinafkahi, bukan menafkahi," ucap Viera. "Pasti ada alasannya tersendiri, Ra. Mungkin si cewek berinisiatif sendiri. Nggak dipinta sama lelakinya," ucap Mas Hendi dengan wajah kesal. "Loh, kok, Mas kaya tersinggung gitu, sih?" Viera tak mau kalah. Mama menghela napas, lalu berdehem. Mungkin beliau tak nyaman melihat anak dan menantunya berseteru. Bagaimana jika beliau tahu aku kini menghadapi masalah yang justru sangat pelik? "Sudah, ayo sarapan dulu. Mbok, sudah siap?" "Sudah, Bu." Kami beranjak ke belakang. Tak kuindahkan Ria yang sedari tadi menatapku kesal. Lah, kenapa jadi dia yang kesal? Seharusnya aku, dong? "Gimana kerjaan di kantor, Hen?" tanya Mama saat kami baru saja selesai makan. "Baik, Ma. Cuma mungkin Hendi akan merekrut beberapa karyawan bagian finishing." Aku menoleh ke arahnya. Kenapa tak memberitahuku dari sebelumnya? "Oh ya? Memang yang sebelumnya gimana, Mas? Bukankah sudah banyak?" Mas Hendi terlihat tak nyaman dengan pertanyaanku. Memang apa salahnya? Perusahaan itu adalah milikku. Kenapa dia seenak jidat mengatur tanpa berdiskusi dulu? "Loh, kamu nggak tahu, Mel?" tanya Mama. Aku menggeleng. "Harusnya kamu kasih tahu Meli dulu, Hen. Diskusikan. Karena bagaimanapun, perusahaan itu kan..." "Iya, itu milik Meli dan Hendi nggak ada hak di atasnya. Itu kan yang mau Mama bilang?" Mas Hendi menghentikan makannya dan pergi berlalu meninggalkan kami. Sungguh tak berattitude! "Kak Ria, nggak mau nyusul?" Ria terkejut mendengar penuturan Viera, begitupun denganku. Apakah dia mengetahui sesuatu? "Maksudmu apa, Ra?" Viera mengedikkan bahu. "Nggak ada." Mama tiba-tiba menarik tanganku dan dibawanya ke kamar. "Katakan pada Mama, apa yang sebenarnya terjadi?" "Nggak ada, Ma." "Jangan bohong, Meli. Jika Hendi sudah bertindak seenaknya dan menyakitimu, lebih baik, Mama turunkan dia dan kembalikan ke asalnya. Itu perusahaan peninggalan Nenek, jangan sampai orang lain membuatnya kacau." Kugenggam tangan Mama. Orang tua mana yang tak khawatir jika mengetahui rumah tangga anaknya tak beres? Ibu mana yang tega melihat anaknya hidup dengan pengkhianat? Namun, aku memutuskan untuk tak memberitahu beliau duduk permasalahannya. "Mama tenang, ya. Semuanya baik-baik aja. Oh iya, kunci kamar Meli bawa ya?" "Iya, kalau butuh apa-apa, ngomong. Oke?" Aku mengangguk, lalu melangkah keluar. Yolla melihatku dengan tatapan terluka. Pasti. Seumur dia hidup, tak pernah sekalipun kami berantem di depannya. Jika kami memiliki masalah, anak-anak selalu dibawa ke kamar. "Kalian masuk kamar Nenek dulu, ya?" ucapku. "Iya, Bunda." Mereka menuruti, tanpa banyak bertanya. Ya Allah, Nak, maafkan Bunda. Kuedarkan mata, ternyata Ria pun sudah tak ada di sini. Wanita itu, sudah mulai terang-terangan mengejar suamiku? "Viera, apa yang kamu tahu?" Viera mengembuskan napasnya, lalu menurunkan Ataya yang sudah kembali terleleap di keranjang bayi. "Kemarin ini, aku melihat mereka jalan di Mall, Kak." Mataku membulat mendengarnya. Di Mall? "Lalu?" "Tapi ada yang aneh." "Apanya?" "Aku melihat sekretaris Mas Hendi juga di sana." "Apa? Dina di sana?" Apa lagi kali ini?Kulalui hari seperti biasanya. Bersama mantan mertua, keluarga adik, dan juga keluargaku. Meskipun kadang aku merasa canggung jika berada di dekat Rio. Seperti saat ini, saat kami tengah menginap di villa milik keluarga Bisma. Sudah dua hari kami di sini, dan besok rencananya akan pulang. "Sayang, aku ngantuk. Tidur dulu, ya," ucap Kak Ria sambil mengambil bantal yang tadi dibawanya dari kamar. Kulihat Rio mengangguk, kemudian mengelus rambut Kak Ria. Aku tersenyum. Tentu saja cinta itu sudah tumbuh di antara mereka, apalagi sekarang sudah dua bulan lewat dari pernikahan mereka. "Kamu nggak mau nikah lagi, Mel?" tanya Ibu saat aku tengah membalikkan daging. Yolla dan Ika seakan tak ada bosannya makan sedari tadi. "Untuk apa, Bu? Aku hanya ingin hidup dengan anak-anak dan Ibu saja. Bagi Meli, kalian sudah lebih dari cukup. Untuk apa menikah lagi?" Ibu hanya diam, sementara aku tengah mencoba meredam rasa gugup dalam dada. Aku tahu, sedari tadi Rio tengah memperhatikanku. "Tapi,
Aku mengajak mereka untuk ke cafe yang baru saja dikunjungi oleh Rio. Ini tidak bisa dibiarkan, lebih baik dibuat jelas secepatnya. Kini aku, Rio, dan Kak Ria sudah duduk saling berhadapan. Kak Ria sedari tadi tak mau melihat ke arahku. Apakah ia marah? Wajar, sih. Aku pun bisa memposisikan andai jadi dirinya. Tak perlu lah andai, karena aku pun sudah pernah merasakannya. "Kak, aku minta maaf," ucapku. Hening, tak ada jawaban darinya. Mulutnya seakan terkunci. Aku semakin dilanda rasa tak enak. "Percaya lah, Kak. Kita ini sudah tua. Sudah bukan waktunya lagi untuk bermarah-marahan hanya karena kesalah pahaman. Aku pun tak berniat untuk mengkhianati Kakak. Tadi Rio memelukku, karena ia terlampau senang karena akan menikah dengan Kakak." "Mel..." Aku mengangkat tanganku di hadapan Rio. Ini bukan waktunya untuk berbicara. "Kak, aku ini masih trauma sama percintaan. Umurku sudah empat puluh lebih. Malu rasanya mau cinta-cintaan itu.""Mel...""Ya?" "Kalau kamu dan Rio saling menci
"Tadi apa?" tanyaku, karena tak kunjung mendengar penjelasan dari Dina. Wanita itu malah sibuk menggulung-gulung ujung bajunya. "Kita bawa Ibu ke rumah sakit dulu ya, Mbak? Boleh bantuin, nggak?" Aku mengangguk, lalu meminta Si Mbok untuk keluar dan meminta bantuan warga. Sementara Yolla terlihat sedang menangis. Kulirik Ika, tak ada air mata di sana. Mungkin karena ia kecewa telah 'dibuang' begitu saja oleh ayahnya dulu. "Sebelah sini, Pak." Aku menyingkir saat Si Mbok datang dengan dua orang pemuda dan beberapa tetangga. Aku pun gegas keluar dan membuka kunci mobil. Dina langsung masuk, sementara Si Mbok membantu memasukkan tubuh Ibu ke dalam mobil. "Yolla naik ojek aja nanti, Bun. Biar Ika aja yang ikut Bunda," ucap Yolla. "Jangan, Kak. Kakak di depan aja bareng aku," jawab Ika. "Nggak boleh, Ka. Nanti ada polisi." Akhirnya Ika menurut, kulajukan mobil menuju rumah sakit terdekat. Ibu pernah ada riwayat stroke. Aku takut, jika itu bisa datang lagj. Aku menatap Dina, seben
"Apa tidak bisa kamu saja yang menghadirinya?" tanyaku. "Nggak bisa, Mbak. Mereka minyanya pimpinan direktur yang datang.""Tapi aku mau pergi sama Viera loh," ucapku. " Lah? Ke mana? Kok dia nggak ngomong apa-apa sama aku?" tanya Bisma. "Lah, mana Mbak tahu. Ya sudah, Mbak mau pulang dulu. Katakan pada perwakilan dari Blue Ocean, kalau Mbak sedang ada masalah penting." "Hemm, ya sudah." Aku pun akhirnya pulang. Sebelum sampai, aku menyempatkan diri untuk membeli makanan. Tadi memang aku menyuruh Si Mbok untuk tidak masak saja. Aku mampir ke kedai makan langganan kami, lalu memesan ayam goreng, capcay, dan juga sup bakso. Saat menunggu pesanan, mataku tertuju pada seseorang yang sepertinya kukenal. "Darwin?" Lelaki itu menoleh, lalu tersenyum lebar padaku. Aku pun tak kalah senang, sebab sudah puluhan tahun kami tak bersua. "Meli?"Aku mengangguk, lalu kami berpelukan. Darwin adalah teman satu gengku dulu. Ya, aku memang pernah tomboy pada masanya. Bisa dibilang, aku adalah s
Dari kejauhan, aku masih menatap Rio yang jalan dengan Kak Ria. Haruskah kurelakan lagi, cinta yang mungkin saja baru bersemi ini, untuk kupadamkan? Haruskah aku berkorban perasaan lagi? Ah, lagian aku ini siapa? Belum tentu Rio juga mencintaiku, kan? Dasar, sudah pede lebih dulu. "Meli!" Aku tersentak saat Kak Ria memanggilku. Jadi, dari tadi aku melamun? Hingga tak sadar bahwa mereka telah memergokiku yang memperhatikan mereka? Aku tersenyum kaku, sambil melambaikan tangan. Ah, aku sudah lupa bagaimana patah hati versi remaja dulu. Aku menegakan tubuh, saat mereka datang mendekat ke arahku. Rio terus menatapku, hingg membuatku tak nyaman. Sementara Kak Ria langsung memelukku. Sudah beberapa hari ini dia tak datang ke rumah, kupikir ia sibuk dengan kerjaan. Nyatanya malah sibuk dengan dunia percintaannya. "Kamu ngapain di sini?" tanya Kak Ria. "Habis bertemu Dina, Kak.""Dina? Selingkuhan suamimu dulu?" Aku mengangguk. "Kita makan, yuk? Kakak laper, sekalian kamu ceritain so
"Yolla, Ika, sebaiknya kalian ke kamar dulu. Mama mau berbicara penting dengan ayah kalian," ucapku.Yolla dan Ika mengangguk, lalu berlalu ke kamar. Mas Hendi masih menatap buah hatinya, tampak kerinduan tersirat di sana."Apakah kalian nggak hidup bersama, Mas?" tanyaku."Setahun setelah menikah dengan Dina, aku melakukan praktek poligami, Mel."Mataku membeliak lebar. Apa katanya? Poligami? G*la!"Jadi, itu alasanmu keluar dari kantor?"Mas Hendi mengangguk."Aku bertemu dengan teman kantorku dulu. Hidupnya sekarang sudah bahagia, dia memperkenalkan aku dengan teman istrinya, namanya Elia. Elia berjanji akan memenuhi hidupku dengan uang. Nyatanya...""Yang kamu lakukan itu bukan poligami, Mas," ucapku memotong kalimatnya."Hah?""Iya. Kamu bukan poligami melainkan berselingkuh karena nafsu. Orang jaman sekarang menjadikan poligami sebagai topeng untuk perselingkuhan mereka.Lagipula aku tak habis pikir, bisa-bisanya, kamu malah menyia-nyiakan Dina yang sudah kamu pilih. Bukankah ka