Share

Bab 10

Dokter Fredy ternyata menyewa sebuah vila untuk acara pernikahannya. Vila dengan pemandangan sawah juga hutan yang asri begitu indah dipandang mata. Suara gemericik sungai menambah indah suasana. Sekilas sangat cocok untuk yang sedang berbulan madu.

Sebuah taman disulap menjadi begitu indah dengan tenda yang dibentuk sedemikian rupa. Aneka makanan terhidang menggugah selera. Padahal tamu yabg hadir tidak sampai dua puluh orang.  Rena datang beserta adiknya, dan Kiai Ahmad--guru ngaji Bayu--juga Kang Hafidz putra beliau yang Rena minta menjadi saksi pernikahannya. Tidak ada orang lain yang diundang. Terlebih karena lokasi pernikahan diadakan jauh di luar kota.

Sedangkan dari pihak Dokter Fredy, nampak beberapa sahabat dekatnya saja yang hadir. Tidak ada satu pun keluarganya yang diberi tahu, sesuai permintaan Rena, jika mereka ingin menyembunyikan pernikahan itu. Entah sampai kapan.

Dua orang dari kantor urusan agama sebagai pencatat pernikahan juga yang diminta sebagai wali hakim  juga turut hadir di sana.

Rena tampil sederhana namun cantik. Sebuah kebaya putih tulang dengan bawahan batik cantik  begitu pas di tubuhnya. Riasan tipis namun begitu menonjolkan kecantikan Rena menjadi  sempurna.

Dokter Fredy dan Rena duduk bersebelahan di depan penghulu. Dengan satu tarikan napas, dia mengucap ijab kabul dengan lantang tanpa harus mengulang. Ucap syukur juga doa terdengar riuh dari tamu undangan.

Selesai akad, para tamu pun menikmati hidangan yang disediakan. Sang pengantin pria mengambil sepiring nasi dan lauknya. Kemudian duduk kembali di kursi pelaminan.

"Rena, haaa ...," pinta Dokter Fredy menyendok sesuap nasi. Mata Rena membulat.

"Ayo makan dulu. Aku suapain," bisiknya lirih. Rena menggeleng.

"Gak mau!" tolak Rena pelan.

"Please! Setidaknya tunjukan di depan para tamu kalau kita adalah pasangan bahagia," ujar Dokter Fredy seraya mengedipkan sebelah matanya. Rena memutar bola matanya, jengah. Namun, akhirnya membuka mulutnya. Dokter Fredy tersenyum.

"Nah, gitu dong, biar gak kurus," godanya. Rena tak menjawab.

Selesai acara, para tamu undangan ada yang berjalan-jalan menikmati suasana vila yang asri. Ada yang langsung pulang karena ada keperluan lain. Ada pula yang beristirahat di kamar-kamar yang telah disewa, termasuk Rena salah satunya. Walaupun Dokter Fredy mengajak untuk berkeliling, tapi Rena menolaknya dengan alasan cape. Akhirnya lelaki itu harus rela berjalan-jalan ditemani Yudha, sahabatnya.

Rena membersihkan badan, lalu berbaring di kasur yang terasa begitu empuk. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang membayangkan saat-saat bersama ibunya. Tak terasa ia jatuh terlelap.

Beberapa saat kemudian Dokter Fredy masuk ke kamar itu. Memandang takjub pada perempuan yang telah sah menjadi istrinya. Dia duduk perlahan di pinggir ranjang, lalu menjangkau beberapa helai rambut yang menutupi wajah Rena.

"Maaf, aku tak bermaksud menyakitimu," bisiknya seraya membelai rambut istrinya. Rena tersadar karena sentuhan itu. Dia terperanjat kaget karena melihat lelaki itu berada di kamarnya. Dengan cepat Rena bangun dan duduk. Matanya menatap nyalang pada lelaki itu.

"Kenapa kamu di sini?" tanyanya sinis. Dokter Fredy tersenyum.

"Kamu lupa kalau ini juga kamarku? Kita sudah menikah, masa aku tidur di kamar yang lain. Apa kata orang nanti?" ucap Dokter Fredy. Walau enggan, apa yang diucapkan lelaki itu ada benarnya juga.

"Ok, tapi sesuai perjanjian kita, tidak ada hubungan suami istri di antara kita." Rena mengingatkan, Dokter Fredy mengangguk pelan. "Aku tidur di sofa nanti, biar kamu nyaman." Dokter Fredy bangkit lalu pergi ke kamar mandi. Namun, baru beberapa langkah dia berbalik.

"Oh iya, aku sampai lupa. Aku belikan kamu ponsel baru, sudah lengkap dengan nomor baru juga. Ambilah!" ucapnya menunjuk ke nakas di samping ranjang. Rena menoleh dan mendapati sebuah kotak dalam kantong plastik putih. Rena mengangguk. "Terima kasih," ucapnya pelan. Dokter Fredy tersenyum tipis lalu melanjutkan langkahnya.

Malam itu mereka lalui tidak seperti para pengantin pada umumnya. Rena duduk di ranjang sambil asyik mengotak-atik ponsel barunya yang jauh lebih canggih. Sementara, Dokter Fredy duduk di sofa menonton TV. Sesekali matanya melirik pada Rena yang nampak bahagia untuk ponsel barunya.

"Rena ...," panggilnya. Gadis itu menoleh sekilas.

"Besok kita pulang. Kamu akan pulang ke rumahku, sedangkan Bayu langsung ke asrama. Untuk menunggu pendaftaran mahasiswa baru, kamu bisa privat bahasa asing untuk mengisi waktu. Dan ... sesuai perjanjian kita, kita tidak akan tinggal sekamar, sampai ... kamu sendiri yang menerimaku, atau ... justru kamu menemukan seseorang yang baru dan aku akan melepasmu," ungkap Dokter Fredy. Rena meletakan ponselnya, lalu matanya memandang lekat pada lelaki di depannya.

"Maaf, Dokter. Entah aku harus berterima kasih atau justru harus marah padamu.  Aku berada di posisi ini karena terjebak keadaan. Aku terpaksa menikah denganmu, hanya untuk menutupi statusku yang tidak jelas. Kenapa dulu kau tidak ajukan saja untuk menikahiku? Kenapa kau justru membeli tubuhku dengan cara haram? Menjijikan!" bentak Rena. Dokter Fredy terdiam. 

"Ya, maaf," jawabnya pelan.

"Tapi, apakah kau mau menikah denganku, dengan tanpa paksaan seperti ini? Aku rasa kau tidak akan mau," lanjut lelaki itu. Mata Rena membulat.

"Jadi? Maksudnya kau menjebakku agar aku mau menikah denganmu? Heh, menjijikan!"  teriak Rena.

"Kau tau? Aku semakin membencimu!" Tangis Rena pecah. Dokter Fredy segera bangkit menghampiri. Dia peluk perempuan yang begitu membencinya. Rena berontak, dia memukul dada suaminya bertubi-tubi.

"Kenapa aku harus bertemu denganmu?!" tangisnya lirih. Dokter Fredy makin mengeratkan pelukannya.

"Maaf, aku akan berusaha menebus semuanya," bisiknya lirih.

***

Sore ini Rena mulai kursus bahasa Inggris di sebuah tempat kursus ternama. Gadis itu bersiap untuk pergi ketika pintu ruang yang dipakai sebagai klinik suaminya diketuk. Dokter Fredy masih berada di kamarnya. Rena melirik ke arah pintu kamar suaminya yang tertutup.Dia ragu untuk memanggil, segera saja dia menuju pintu klinik.

Saat pintu dibuka, nampak seorang wanita cantik dengan pakaian perawat tersenyum ke arahnya dan nampak sedikit heran.

"Sore, Mbak. Saya Dewi, bidan yang membantu Dokter Fredy di klinik ini. Mbak siapa ya? Sepertinya saya baru lihat," ucap gadis itu ramah.

"Saya, is ... eh, saya Rena. Saya--"

"Siapa, Ren? Oh, Dewi. Masuk Dew!" Dokter Fredy masuk ke ruangan itu.

"Kamu sudah makan belum? Ayo makan dulu! Tadi saya beli banyak makanan," tawar Dokter Fredy.

"Ah, makasih, Dok. Saya masih kenyang," tolak Dewi.

"Ah, ayo, jangan malu-malu! Mumpung belum ada pasien. Beneran saya tadi beli banyak makanan. Ayo!" tawar Dokter Fredy lagi. Dewi tersenyum manis.

"Emh, gimana ya? Kalau Dokter memaksa sih, ya udah deh," jawab Dewi dengan roman manja. Rena memperhatikan gerak gerik keduanya.

"Dih, dasar genit!" desisnya ngedumel, lalu pergi meninggalkan mereka. Rena begitu kesal melihat keduanya.

Sementara itu, Dewi masih penasaran dengan Rena.

"Yang barusan siapa, Dok? Cantik," tanya Dewi yang tengah menikmati sepiring kecil sushi di meja makan, sementara Dokter Fredy asyik dengan laptopnya di sofa ruang tengah yang bersebelahan dengan ruang makan. Lelaki itu menoleh sekilas.

"Oh, itu ... itu ... anaknya temenku," jawab Dokter Fredy gelagapan. 

Mendengar itu, Dewi mengernyitkan dahinya, curiga.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Marthen yohanis Matatula
ko musti pake acara kunci segala
goodnovel comment avatar
Ida Yakoub
hari ini saya blm bisa baca padahal udh lihat iklat tapi masih kurang
goodnovel comment avatar
Pipit Kartini
bagaimn baca gratis
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status