Dokter Fredy ternyata menyewa sebuah vila untuk acara pernikahannya. Vila dengan pemandangan sawah juga hutan yang asri begitu indah dipandang mata. Suara gemericik sungai menambah indah suasana. Sekilas sangat cocok untuk yang sedang berbulan madu.
Sebuah taman disulap menjadi begitu indah dengan tenda yang dibentuk sedemikian rupa. Aneka makanan terhidang menggugah selera. Padahal tamu yabg hadir tidak sampai dua puluh orang. Rena datang beserta adiknya, dan Kiai Ahmad--guru ngaji Bayu--juga Kang Hafidz putra beliau yang Rena minta menjadi saksi pernikahannya. Tidak ada orang lain yang diundang. Terlebih karena lokasi pernikahan diadakan jauh di luar kota.
Sedangkan dari pihak Dokter Fredy, nampak beberapa sahabat dekatnya saja yang hadir. Tidak ada satu pun keluarganya yang diberi tahu, sesuai permintaan Rena, jika mereka ingin menyembunyikan pernikahan itu. Entah sampai kapan.
Dua orang dari kantor urusan agama sebagai pencatat pernikahan juga yang diminta sebagai wali hakim juga turut hadir di sana.
Rena tampil sederhana namun cantik. Sebuah kebaya putih tulang dengan bawahan batik cantik begitu pas di tubuhnya. Riasan tipis namun begitu menonjolkan kecantikan Rena menjadi sempurna.
Dokter Fredy dan Rena duduk bersebelahan di depan penghulu. Dengan satu tarikan napas, dia mengucap ijab kabul dengan lantang tanpa harus mengulang. Ucap syukur juga doa terdengar riuh dari tamu undangan.
Selesai akad, para tamu pun menikmati hidangan yang disediakan. Sang pengantin pria mengambil sepiring nasi dan lauknya. Kemudian duduk kembali di kursi pelaminan.
"Rena, haaa ...," pinta Dokter Fredy menyendok sesuap nasi. Mata Rena membulat.
"Ayo makan dulu. Aku suapain," bisiknya lirih. Rena menggeleng.
"Gak mau!" tolak Rena pelan.
"Please! Setidaknya tunjukan di depan para tamu kalau kita adalah pasangan bahagia," ujar Dokter Fredy seraya mengedipkan sebelah matanya. Rena memutar bola matanya, jengah. Namun, akhirnya membuka mulutnya. Dokter Fredy tersenyum.
"Nah, gitu dong, biar gak kurus," godanya. Rena tak menjawab.
Selesai acara, para tamu undangan ada yang berjalan-jalan menikmati suasana vila yang asri. Ada yang langsung pulang karena ada keperluan lain. Ada pula yang beristirahat di kamar-kamar yang telah disewa, termasuk Rena salah satunya. Walaupun Dokter Fredy mengajak untuk berkeliling, tapi Rena menolaknya dengan alasan cape. Akhirnya lelaki itu harus rela berjalan-jalan ditemani Yudha, sahabatnya.
Rena membersihkan badan, lalu berbaring di kasur yang terasa begitu empuk. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang membayangkan saat-saat bersama ibunya. Tak terasa ia jatuh terlelap.
Beberapa saat kemudian Dokter Fredy masuk ke kamar itu. Memandang takjub pada perempuan yang telah sah menjadi istrinya. Dia duduk perlahan di pinggir ranjang, lalu menjangkau beberapa helai rambut yang menutupi wajah Rena.
"Maaf, aku tak bermaksud menyakitimu," bisiknya seraya membelai rambut istrinya. Rena tersadar karena sentuhan itu. Dia terperanjat kaget karena melihat lelaki itu berada di kamarnya. Dengan cepat Rena bangun dan duduk. Matanya menatap nyalang pada lelaki itu.
"Kenapa kamu di sini?" tanyanya sinis. Dokter Fredy tersenyum.
"Kamu lupa kalau ini juga kamarku? Kita sudah menikah, masa aku tidur di kamar yang lain. Apa kata orang nanti?" ucap Dokter Fredy. Walau enggan, apa yang diucapkan lelaki itu ada benarnya juga.
"Ok, tapi sesuai perjanjian kita, tidak ada hubungan suami istri di antara kita." Rena mengingatkan, Dokter Fredy mengangguk pelan. "Aku tidur di sofa nanti, biar kamu nyaman." Dokter Fredy bangkit lalu pergi ke kamar mandi. Namun, baru beberapa langkah dia berbalik.
"Oh iya, aku sampai lupa. Aku belikan kamu ponsel baru, sudah lengkap dengan nomor baru juga. Ambilah!" ucapnya menunjuk ke nakas di samping ranjang. Rena menoleh dan mendapati sebuah kotak dalam kantong plastik putih. Rena mengangguk. "Terima kasih," ucapnya pelan. Dokter Fredy tersenyum tipis lalu melanjutkan langkahnya.
Malam itu mereka lalui tidak seperti para pengantin pada umumnya. Rena duduk di ranjang sambil asyik mengotak-atik ponsel barunya yang jauh lebih canggih. Sementara, Dokter Fredy duduk di sofa menonton TV. Sesekali matanya melirik pada Rena yang nampak bahagia untuk ponsel barunya.
"Rena ...," panggilnya. Gadis itu menoleh sekilas.
"Besok kita pulang. Kamu akan pulang ke rumahku, sedangkan Bayu langsung ke asrama. Untuk menunggu pendaftaran mahasiswa baru, kamu bisa privat bahasa asing untuk mengisi waktu. Dan ... sesuai perjanjian kita, kita tidak akan tinggal sekamar, sampai ... kamu sendiri yang menerimaku, atau ... justru kamu menemukan seseorang yang baru dan aku akan melepasmu," ungkap Dokter Fredy. Rena meletakan ponselnya, lalu matanya memandang lekat pada lelaki di depannya.
"Maaf, Dokter. Entah aku harus berterima kasih atau justru harus marah padamu. Aku berada di posisi ini karena terjebak keadaan. Aku terpaksa menikah denganmu, hanya untuk menutupi statusku yang tidak jelas. Kenapa dulu kau tidak ajukan saja untuk menikahiku? Kenapa kau justru membeli tubuhku dengan cara haram? Menjijikan!" bentak Rena. Dokter Fredy terdiam.
"Ya, maaf," jawabnya pelan.
"Tapi, apakah kau mau menikah denganku, dengan tanpa paksaan seperti ini? Aku rasa kau tidak akan mau," lanjut lelaki itu. Mata Rena membulat.
"Jadi? Maksudnya kau menjebakku agar aku mau menikah denganmu? Heh, menjijikan!" teriak Rena.
"Kau tau? Aku semakin membencimu!" Tangis Rena pecah. Dokter Fredy segera bangkit menghampiri. Dia peluk perempuan yang begitu membencinya. Rena berontak, dia memukul dada suaminya bertubi-tubi.
"Kenapa aku harus bertemu denganmu?!" tangisnya lirih. Dokter Fredy makin mengeratkan pelukannya.
"Maaf, aku akan berusaha menebus semuanya," bisiknya lirih.
***
Sore ini Rena mulai kursus bahasa Inggris di sebuah tempat kursus ternama. Gadis itu bersiap untuk pergi ketika pintu ruang yang dipakai sebagai klinik suaminya diketuk. Dokter Fredy masih berada di kamarnya. Rena melirik ke arah pintu kamar suaminya yang tertutup.Dia ragu untuk memanggil, segera saja dia menuju pintu klinik.
Saat pintu dibuka, nampak seorang wanita cantik dengan pakaian perawat tersenyum ke arahnya dan nampak sedikit heran.
"Sore, Mbak. Saya Dewi, bidan yang membantu Dokter Fredy di klinik ini. Mbak siapa ya? Sepertinya saya baru lihat," ucap gadis itu ramah.
"Saya, is ... eh, saya Rena. Saya--"
"Siapa, Ren? Oh, Dewi. Masuk Dew!" Dokter Fredy masuk ke ruangan itu.
"Kamu sudah makan belum? Ayo makan dulu! Tadi saya beli banyak makanan," tawar Dokter Fredy.
"Ah, makasih, Dok. Saya masih kenyang," tolak Dewi.
"Ah, ayo, jangan malu-malu! Mumpung belum ada pasien. Beneran saya tadi beli banyak makanan. Ayo!" tawar Dokter Fredy lagi. Dewi tersenyum manis.
"Emh, gimana ya? Kalau Dokter memaksa sih, ya udah deh," jawab Dewi dengan roman manja. Rena memperhatikan gerak gerik keduanya.
"Dih, dasar genit!" desisnya ngedumel, lalu pergi meninggalkan mereka. Rena begitu kesal melihat keduanya.
Sementara itu, Dewi masih penasaran dengan Rena.
"Yang barusan siapa, Dok? Cantik," tanya Dewi yang tengah menikmati sepiring kecil sushi di meja makan, sementara Dokter Fredy asyik dengan laptopnya di sofa ruang tengah yang bersebelahan dengan ruang makan. Lelaki itu menoleh sekilas.
"Oh, itu ... itu ... anaknya temenku," jawab Dokter Fredy gelagapan.
Mendengar itu, Dewi mengernyitkan dahinya, curiga.
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun