Share

BAB 8

“Abram di sini aja sama mamah, Pa.” Bocah jelang enam tahun itu berujar dalam gendongan, saat sang papa selangkah lagi mencapai ambang pintu. 

Sementara tubuh masih mematung tak memercayai kalau lelaki yang selalu memesona di mataku, akan benar-benar memisahkan aku dengan darah dagingku juga.

“Abram hanya pengen sama Mamah aja, Pa. Kasian mamah sendiri,” protes Abram tak dihiraukan Mas Rian. Lelaki bertubuh proporsional itu terus melangkah menuju tangga. Refleks kaki mengikuti Abram yang menengadah tangan ke arahku.  

Aku seperti sedang menyaksikan drama korea perpisahan antara ibu dan anak, tersebab kalah di persidangan dalam perebutan hak asuh. Cuman bedanya, di sini aku tak jadi penonton atau penikmat, melainkan pemeran utama. 

Ternyata berdobel-dobel sesak yang ditimbulkannya. Andai tak punya malu, mungkin aku akan histeris juga selayak sang aktris menghayati skenario.

”Jangan pikirkan mamah, Sayang. Besok mamah akan membawakan bekal Abram sebelum ke sekolah,’ ujarku menenangkannya sebelum tubuh mereka sempurna keluar pintu utama. 

Entah Mas Rian mengijinkan keesokannya apa enggak. Jujur, aku pingin sekali itu terjadi, pun tak mau mempertontonkan adegan dramatis ke tetangga sekarang, terutama buat Bu Nelly, kupastikan diri kan menjadi perbincangan hangat selanjutnya bila itu terjadi. 

Abram terlihat mengangguk pelan, menghapus bening di pipinya dengan punggung tangan lalu melingkarkan lengannya kembali ke leher Mas Rian.

Sekuat apa aku berusaha tampak tegar, air mata tetap mengiring kepergian mobil pajero sporty yang merayap di antara pikukan keramaian kendaraan ibu kota.

Gontai kaki menuju lantai atas kembali, tempat peraduan yang terpikir sekarang. 

Sementara Tuti yang masih stand by, melihatku syahdu. Aku rasa ABG tanggung itu tak sulit memahami situasi meski baru pertama kali melihat Mas Rian.

“ibu baik saja, kan?” ucap Tuti mengawasiku dengan sorot cemas, saat aku menaiki undakan anak tangga dengan menggenggam erat pegangannya. Aku rasa tangan memang sedang bergetar menahan sebah di dada.

“Kamu boleh menutup toko lebih dini, Ti. Kalau belum makan, ambil saja di atas,” ujarku setelah mengangguk atas pertanyaannya tadi. 

Tuti memang tinggal di sini, ada ruangan khusus pekerja di bagian bawah, dekat gudang penyimpanan stok barang jualan. Kamarnya tak besar, tapi lengkap dapur dan toilet di dalamnya. 

Kalau toko semakin ramai, kemungkinan besar akan dibangun lantai tiga untuk memindahkan gudang stok barang-barang baru itu, dan tempatnya sekarang bisa dihuni pekerja lain. Kebetulan ada kakak lelaki Tuti yang siap masuk bila sewaktu-waktu toko ini buka lowongan lagi.

Sayang sekali, usaha ini tak selancar kisah cintaku pada lelaki yang telah mengangkat derajat diri dan keluargaku. 

Aku berinisiatif memperbaharui wudhu lalu mengambil mushaf. Membaca ayat-ayat Al-Qur’an adalah salah satu caraku menenangkan diri dari lilitatan gundah yang tak mungkin pernah aku menangkan. 

Pelan kubaca ayat-perayat dengan khidmat, tetesan bening tak henti mengiringi suaraku yang bergetar. 

Ya, Rabb …. Jadikan setiap denyut sakit yang kurasa ini, pelebur dosaku yang belum mampu sepenuhnya ikhlas pada takdirMu. 

*

Pagi-pagi sekali diri sudah rapi dengan bekal Abram. Aku membayangkan bocah itu pasti sudah merah matanya menatap pintu menunggu kedatanganku. 

'Mudah-mudahan tidurmu nyenyak di sana, Nak?' Hanya itu yang kupinta pada sujud panjangku khusus malam ini.

“Ada telpon, Bu, katanya ….”

“Wakili saja, Ti. Sepertinya aku nunggu Abram sampai pulang,” potongku menepuk pundak Tuti yang menyodorkan telepon toko. Dia mengangguk patuh dan melanjutkan obrolan, sedang aku mengeluarkan mobil dari garasi.

Karena jalanan masih sepi, tak cukup sepuluh menit sampai di rumah. Abram yang duduk di kursi teras depan langsung bersorai saat melihatku. 

Itu memang kebiasaan sekaligus tempat favoritnya, saat rindu dan menunggu. Seperti yang dilakukan ketika papanya tanpa kabar.

Aku menarik napas dalam sebelum turun, menghirup oksigen banyak-banyak untuk membantu paru-paru dan jantung agar stabil menghadapi situasi yang sepertinya tak akan  sesuai harapan. 

Andai bukan karena Abram, kemungkinan aku telah mengesampingkan harap dan cinta di hati dengan pergi membawah luka. 

Aku rasa, di belahan bumi mana pun, semua ibu akan rela menderita demi sesosok manusia yang pernah menghuni rahimnya. Walau dalam bentuk penderitaan yang berbeda siksanya, tetapi tetap sama sakitnya.

Dan ajaibnya, kadang mata yang melihat, menganggap sebuah ketololan, kebodohan, kelemahan, atau apa saja namanya bila seorang ibu masih berusaha bertahan. 

”Kenapa belum siap, Sayang?” kataku setelah turun, mendekat, dan meletakkan bokong di sisi Abram yang duduk dikursi ukiran kayu Jepara yang berukuran panjang, lalu memperhatikan wajahnya dengan seksama. 

Mobil kubiarkan terparkir di pinggir jalan. Garasi yang hanya cukup dua roda empat, kini terisi dengan lebih mengkilap. 

Tampak lingkaran sorot mata kelam warisan papanya itu, agak bengkak. Ada genangan yang tiba-tiba jatuh bersamaan tubuh Abram memelukku erat. 

Duh, Tuhan. Ini baru semalam. Aku tak bisa bayangkan andai sepekan, sebulan, seta ...

Arhgt, biarkan orang di luar sana melabeliku apa! Jika rela menempuh jalan yang terlihat di atas batas kewajaran demi bersama putraku. 

“Nungguin mamah. Kenapa Mamah lama sekali baru datang,” jawab Abram setelah isakan tak terdengarnya berkurang. Namun, gerakan sedunya belum sepenuh reda. 

"Abram hari ini tak usah ke sekolah. Kami akan membawanya jalan-jalan." 

Suara berat Mas Rian menggema. Dia menatap kami sekilas setelah mengambil duduk di kursi yang diantarai meja, kemudian memalingkan pandangan ke mobil yang kukendarai tadi dengan mimik entah. 

Seperti biasa aku memilih diam. Toh, buat apa bicara? Selama ini hanya keputusannyalah yang selalu terjadi.

Lagian urusan sekolah, diri yang tak berpendidikan ini tak perlu mendebatnya. Dia kan sudah lebih dari kata faham untuk urusan seperti itu. 

"Abram tak mau ikut. Aku mau ke sekolah sama mamah saja," ucap Abram masih menyandarkan kepala di dadaku. Sepertinya dia enggan mengurai pelukan. Entah kenapa anak ini, seakan ogah melihat papanya. 

"Kita akan jalan-jalan, Sayang. Beli apa saja yang kamu mau." Dokter Juwita tiba-tiba muncul bersamaan kedua tangannya menengadah ke arah Abram.

Dokter kulit itu memang cantik. Pakaian warna merah menyala yang membungkus tubuh nyaris sempurna, sangat padu padan dengan kulit putih bak pualam.

Betapa aku kerdil memantaskan diri.

"Enggak, aku nggak mau ikut." Abram menampik tangan dokter yang masih berbusana tidur saat hendak menariknya.

"Mas, semalam Abram mau, kok. Nanti setelah kedatangan ...." Ucapan wanita paripurna bergelar dokter itu terhenti saat aku menautkan alis ke arahnya. Apa maksudnya? 

Ia menatap Mas Rian tajam, lalu memutar badan masuk kembali. Ada apa? Kenapa kehadiranku yang seakan jadi masalah? Apakah tidak cukup Mas Rian saja diambilnya? Apa putraku juga akan ....? Ah, sesak sekali memikirnya. 

"Maaf kalau kehadiranku menganggu ketentraman, Mas." ujarku mendongak ke atas, menahan agar air mata tak tumpah. 

Seharusnya bukan aku yang patut mengucap itu. Tapi, sungguh,  buncah di dada, tanpa sadar menuntun bibir merangkai kalimat merendah tersebut. 

Kini benar-benar kusadari, diri hanya tamu di rumah yang telah bertahun kuhuni merajut asa, pun tamu pada lelaki yang telah mengambil segalanya. 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wanita tolol yg cuma bisa mengasihani diri sendiri. pasif tapi punya mimpi tinggi. berjuanglah tolol jgn hanya ngebacot dlm hati mu yg menye2
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status