“Abram di sini aja sama mamah, Pa.” Bocah jelang enam tahun itu berujar dalam gendongan, saat sang papa selangkah lagi mencapai ambang pintu.
Sementara tubuh masih mematung tak memercayai kalau lelaki yang selalu memesona di mataku, akan benar-benar memisahkan aku dengan darah dagingku juga.“Abram hanya pengen sama Mamah aja, Pa. Kasian mamah sendiri,” protes Abram tak dihiraukan Mas Rian. Lelaki bertubuh proporsional itu terus melangkah menuju tangga. Refleks kaki mengikuti Abram yang menengadah tangan ke arahku. Aku seperti sedang menyaksikan drama korea perpisahan antara ibu dan anak, tersebab kalah di persidangan dalam perebutan hak asuh. Cuman bedanya, di sini aku tak jadi penonton atau penikmat, melainkan pemeran utama. Ternyata berdobel-dobel sesak yang ditimbulkannya. Andai tak punya malu, mungkin aku akan histeris juga selayak sang aktris menghayati skenario.”Jangan pikirkan mamah, Sayang. Besok mamah akan membawakan bekal Abram sebelum ke sekolah,’ ujarku menenangkannya sebelum tubuh mereka sempurna keluar pintu utama. Entah Mas Rian mengijinkan keesokannya apa enggak. Jujur, aku pingin sekali itu terjadi, pun tak mau mempertontonkan adegan dramatis ke tetangga sekarang, terutama buat Bu Nelly, kupastikan diri kan menjadi perbincangan hangat selanjutnya bila itu terjadi. Abram terlihat mengangguk pelan, menghapus bening di pipinya dengan punggung tangan lalu melingkarkan lengannya kembali ke leher Mas Rian.Sekuat apa aku berusaha tampak tegar, air mata tetap mengiring kepergian mobil pajero sporty yang merayap di antara pikukan keramaian kendaraan ibu kota.Gontai kaki menuju lantai atas kembali, tempat peraduan yang terpikir sekarang. Sementara Tuti yang masih stand by, melihatku syahdu. Aku rasa ABG tanggung itu tak sulit memahami situasi meski baru pertama kali melihat Mas Rian.“ibu baik saja, kan?” ucap Tuti mengawasiku dengan sorot cemas, saat aku menaiki undakan anak tangga dengan menggenggam erat pegangannya. Aku rasa tangan memang sedang bergetar menahan sebah di dada.“Kamu boleh menutup toko lebih dini, Ti. Kalau belum makan, ambil saja di atas,” ujarku setelah mengangguk atas pertanyaannya tadi. Tuti memang tinggal di sini, ada ruangan khusus pekerja di bagian bawah, dekat gudang penyimpanan stok barang jualan. Kamarnya tak besar, tapi lengkap dapur dan toilet di dalamnya. Kalau toko semakin ramai, kemungkinan besar akan dibangun lantai tiga untuk memindahkan gudang stok barang-barang baru itu, dan tempatnya sekarang bisa dihuni pekerja lain. Kebetulan ada kakak lelaki Tuti yang siap masuk bila sewaktu-waktu toko ini buka lowongan lagi.Sayang sekali, usaha ini tak selancar kisah cintaku pada lelaki yang telah mengangkat derajat diri dan keluargaku. Aku berinisiatif memperbaharui wudhu lalu mengambil mushaf. Membaca ayat-ayat Al-Qur’an adalah salah satu caraku menenangkan diri dari lilitatan gundah yang tak mungkin pernah aku menangkan. Pelan kubaca ayat-perayat dengan khidmat, tetesan bening tak henti mengiringi suaraku yang bergetar. Ya, Rabb …. Jadikan setiap denyut sakit yang kurasa ini, pelebur dosaku yang belum mampu sepenuhnya ikhlas pada takdirMu. *Pagi-pagi sekali diri sudah rapi dengan bekal Abram. Aku membayangkan bocah itu pasti sudah merah matanya menatap pintu menunggu kedatanganku. 'Mudah-mudahan tidurmu nyenyak di sana, Nak?' Hanya itu yang kupinta pada sujud panjangku khusus malam ini.“Ada telpon, Bu, katanya ….”“Wakili saja, Ti. Sepertinya aku nunggu Abram sampai pulang,” potongku menepuk pundak Tuti yang menyodorkan telepon toko. Dia mengangguk patuh dan melanjutkan obrolan, sedang aku mengeluarkan mobil dari garasi.Karena jalanan masih sepi, tak cukup sepuluh menit sampai di rumah. Abram yang duduk di kursi teras depan langsung bersorai saat melihatku. Itu memang kebiasaan sekaligus tempat favoritnya, saat rindu dan menunggu. Seperti yang dilakukan ketika papanya tanpa kabar.Aku menarik napas dalam sebelum turun, menghirup oksigen banyak-banyak untuk membantu paru-paru dan jantung agar stabil menghadapi situasi yang sepertinya tak akan sesuai harapan. Andai bukan karena Abram, kemungkinan aku telah mengesampingkan harap dan cinta di hati dengan pergi membawah luka. Aku rasa, di belahan bumi mana pun, semua ibu akan rela menderita demi sesosok manusia yang pernah menghuni rahimnya. Walau dalam bentuk penderitaan yang berbeda siksanya, tetapi tetap sama sakitnya.Dan ajaibnya, kadang mata yang melihat, menganggap sebuah ketololan, kebodohan, kelemahan, atau apa saja namanya bila seorang ibu masih berusaha bertahan. ”Kenapa belum siap, Sayang?” kataku setelah turun, mendekat, dan meletakkan bokong di sisi Abram yang duduk dikursi ukiran kayu Jepara yang berukuran panjang, lalu memperhatikan wajahnya dengan seksama. Mobil kubiarkan terparkir di pinggir jalan. Garasi yang hanya cukup dua roda empat, kini terisi dengan lebih mengkilap. Tampak lingkaran sorot mata kelam warisan papanya itu, agak bengkak. Ada genangan yang tiba-tiba jatuh bersamaan tubuh Abram memelukku erat. Duh, Tuhan. Ini baru semalam. Aku tak bisa bayangkan andai sepekan, sebulan, seta ...Arhgt, biarkan orang di luar sana melabeliku apa! Jika rela menempuh jalan yang terlihat di atas batas kewajaran demi bersama putraku. “Nungguin mamah. Kenapa Mamah lama sekali baru datang,” jawab Abram setelah isakan tak terdengarnya berkurang. Namun, gerakan sedunya belum sepenuh reda. "Abram hari ini tak usah ke sekolah. Kami akan membawanya jalan-jalan." Suara berat Mas Rian menggema. Dia menatap kami sekilas setelah mengambil duduk di kursi yang diantarai meja, kemudian memalingkan pandangan ke mobil yang kukendarai tadi dengan mimik entah. Seperti biasa aku memilih diam. Toh, buat apa bicara? Selama ini hanya keputusannyalah yang selalu terjadi.Lagian urusan sekolah, diri yang tak berpendidikan ini tak perlu mendebatnya. Dia kan sudah lebih dari kata faham untuk urusan seperti itu. "Abram tak mau ikut. Aku mau ke sekolah sama mamah saja," ucap Abram masih menyandarkan kepala di dadaku. Sepertinya dia enggan mengurai pelukan. Entah kenapa anak ini, seakan ogah melihat papanya. "Kita akan jalan-jalan, Sayang. Beli apa saja yang kamu mau." Dokter Juwita tiba-tiba muncul bersamaan kedua tangannya menengadah ke arah Abram.Dokter kulit itu memang cantik. Pakaian warna merah menyala yang membungkus tubuh nyaris sempurna, sangat padu padan dengan kulit putih bak pualam.Betapa aku kerdil memantaskan diri."Enggak, aku nggak mau ikut." Abram menampik tangan dokter yang masih berbusana tidur saat hendak menariknya."Mas, semalam Abram mau, kok. Nanti setelah kedatangan ...." Ucapan wanita paripurna bergelar dokter itu terhenti saat aku menautkan alis ke arahnya. Apa maksudnya? Ia menatap Mas Rian tajam, lalu memutar badan masuk kembali. Ada apa? Kenapa kehadiranku yang seakan jadi masalah? Apakah tidak cukup Mas Rian saja diambilnya? Apa putraku juga akan ....? Ah, sesak sekali memikirnya. "Maaf kalau kehadiranku menganggu ketentraman, Mas." ujarku mendongak ke atas, menahan agar air mata tak tumpah. Seharusnya bukan aku yang patut mengucap itu. Tapi, sungguh, buncah di dada, tanpa sadar menuntun bibir merangkai kalimat merendah tersebut. Kini benar-benar kusadari, diri hanya tamu di rumah yang telah bertahun kuhuni merajut asa, pun tamu pada lelaki yang telah mengambil segalanya. ***"Cepatan dong, Tari. Ntar Abram ngambek." Mas Langit menarikku menuju mobil. Ini hari penerimaan hadiah Abram ikut lomba hafalan surah-surah pendek. Tentu saja lelaki dingin tapi sudah hangat itu paling senang, karena dialah pembimbingnya di rumah. "Dikit lagi, Mas. Tinggal warnain bibir aja, kok," protesku tetap melangkah.Tak lama berselang, Mas Langit segera melajukan kendaraan sambil berkali-kali melihat jam yang melingkar di tangannya setelah kami duduk dan menutup pintu mobil. Dia memang seperti itu kalau menyangkut masalah Abram. Kadang aku menganggap sikapnya terlalu berlebihan, itukan sama saja membiasakan anak terlalu bergantung."Mandiri tidak terbentuk dengan sendirinya saja, Tari. Tapi harus disertai dengan tanggung jawab, jujur, optimis, dan contoh dari orang terdekatnya," ujar Mas Langit seakan tahu isi hatiku dan entah keberapa sekian kali dia mengulang kalimat semacam ini. Ah, sudahlah ... Aku tak ingin mendebatkan perbedaan prinsip. Apalagi dia tidak sekedar bicar
Entah kenapa aku tak merasa kram dalam posisi berjongkok sambil kedua tangan menutup wajah. Untung tak ada Abram. Tidak bisa membayangkan andai anak itu melihat aku sebegitu terpuruk seperti sekarang, atau mengetahui ayahnya pergi lagi. Mungkin ....Mamah dan anak ini akan menangis bersama di sini."Apa kamu nggak malu diliatin?" Suara yang tiba-tiba sangat merdu terdengar diantara bisik-bisik. Aku tahu sedari tadi orang-orang memperhatikan, tapi diri tak perduli. Sedih ini harus segera dituntaskan.Cepat aku mengangkat wajah lalu berkali-kali mengusap mata untuk memastikan penglihatan.Ya, lelaki pembuat gulana itu berdiri di sana, betul, bukan mimpi atau halusinasi. Sementara Anggi di belakang tersenyum sambil menyeka sudut netranya. Sejak kepergian suami adik dan kedua orang tuanya, lelaki itu bertanggung jawab penuh sebagai kakak, jadi wajarlah memaksa Anggi ikut bila pindah kota seperti yang dilakukan sekarang. Dari pembicaraan Mbak Rima dan Anggi tadi pagi itulah, aku tahu peremp
Gegas aku turun dari mobil bermaksud mendahului Mas Langit. Seketika terlintas keinginan kuat untuk mencegah pamitnya ke Emak. Aku akan meminta dengan segala cara agar tak jujur ke wanita terbaikku itu. Meski dengan berbagai alasan dan kedustaan, biarlah diri yang dzolim ini menanggug semua dosanya, asalkan malaikat tak bersayapku tetap bahagia. Aku rasa semua anak akan melakukan sama jika berada di posisiku.Sepertinya niatku telah terlambat. Suara tangisan Emak terdengar saat aku memasuki pintu utama. Secepat itu lelaki dingin mengutarakan maksudnya, hingga tak melihat kondisi Emak yang masih dalam pemulihan. Benar-benar tak berperasaan! Emosi dan sedih, entah yang mana kudahulukan sekarang.Dengan menyeret kaki aki memasuki kamar Emak, suasana hatiku benar-benar down sekarang. Akulah satu-satunya anak yang menjadi penyebab utama kepergian kedua orang tuanya. Menyadari itu, tungkai seketika tak bisa menahan bobot tubuh."Ke sini, Nduk." Gontai aku mendekat ke beliau. Mas Langit meng
Setelah salat Subuh, Abram telah siap dengan jaket, biasanya pagi-pagi sekali Mas Langit sudah datang menjenguk Emak lantas membawa Abram jalan-jalan dan sepulangnya membawa aneka makanan yang masih hangat. Tiga hari lalu Emak diijinkan pulang dan sekarang sedang proses pemulihan di rumah."Kok, lama, ya, Mah," keluh Abram mulai tak sabar. Ufuk timur mulai terang, menandakan pagi telah menjelang. Tak biasanya Mas Langit datang terlambat."Coba cek ke rumahnya, Tari. Katanya dia gak bermalam di sini karena lagi pembenahan barang," kata Emak yang tampaknya menunggu seperti Abram. Lelaki itu memang tipe pembuat rindu."Emak dan Abram mau makan apa, biar aku bikinin," tawarku hendak ke dapur. Melihat sikap dinginnya ke aku menciptkan canggung dan malu yang teramat bila harus nyusul ke rumahnya. Kecuali kalau dia sendiri yang datang.Emak dan Abram tak ada jawaban. Itu menandakan mereka tak menyetujui saranku. Huft ... Sungguh dilema diri ini. Haruskah memaksa Mas Langit tetap bertahan d
Ruang ICUAku mengenggam erat tangan Emak yang terbaring tak berdaya. Banyak alat medis tidak kutahu nama dan fungsi tepasang di tubuh rentanya.Mataku pasti sangat bengkak sekarang, hanya menangis yang mampu kukakukan, hampir dua belas jam berlalu, tapi beliau belum siuman. Dadanya saja terlihat naik turun menandakan masih ada ruh di jasad, itupun sangat lemah dibanding biasanya.Ya, Tuhan ... Cobaan apa lagi ini? "Sudah tahu penyebab Emak pinsang?" tanyaku ke Gilang, dia yang menemani Emak. Adikku itu baru saja kutugaskan mencari informasi di hajatan tetangga yang kemarin Emak datangi."A-anu, Mbak," jawab gilang gagap. Tuh, tak salah lagi, di sana sumbernya. "Apa orang membicarakanku?" ujarku to the point. Aku pikir tak perlu lagi berbasa-basi. Situasinya darurat."I-iya, Mbak." Aku mengangguk cepat agar Gilang bercerita tanpa sungkan. "Ada yang melihat Mas Langit di kota seberang. Dan tetangga menyimpulkan Mbak sekarang menjanda lagi," lanjut Gilang menatapku sedih. Inilah yang
"Pintu rumah selalu terbuka lebar, jika Mas ingin menjumpai Abram." Selesai berucap, aku segera bergegas ke luar. Sementara Abram masih menunggu papanya bereaksi. Dokter itu masih setia menekuri lantai saat aku melaluinya.Sebelum mencapai ambang, aku sempatkan melihat ke belakang. Mas Rian menarik putranya dalam pelukan, lama sekali, sambil menangis lirih. Ya, perpisahan memang menyakitkan. Namun, bertahan dalam gerogotan luka yang tak pernah hilang, sama saja bunuh diri secara perlahan.[Kupinta maafmu dari prilaku dosa, salah, dan khilaf selama hidup bersamaku, Mas. Meski hubungan kita telah usai, tak ada niat sama sekali untuk menjauhkanmu dengan Abram ke depannya. Tetaplah jadi papa yang terbaik, pun suami yang bertanggung jawab. Semoga kita semua dalam lindungan Allah sampai maut memanggil]Tak memungkiri, air mata jatuh jua mengiring pesan singkatku. Baru kali aku sempat dan sepenuh hati meluangkan waktu menulis kata maaf dan perpisahan setelah hampir setahun jatuh talak. Seras