Share

BAB 9

Penulis: Besse Suriana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-10 15:12:54

"Kalau Mas ingin membawa Abram jalan-jalan, ntar aku ijinin ke gurunya," kataku setelah berfikir. Buat apa meruncingkan masalah, kalau bisa diselesaikan dengan aman. 

Perdebatan menurutku hanya tambah mengeraskan hati saja, pun semakin menggemukkan nafsu yang memang tak pernah kenyang. 

Ya, benarlah kata ibu dan bapak, kalau anaknya ini memiliki jiwa lebih banyak mengalah. Aku rasa itu tak salah, karena merekalah yang mendidik seperti itu. 

Bukankah anak seperti kertas kosong? Orang tualah yang menulis pertama, juga terakhir, hingga kertas itu penuh. Apa yang dicoret orang tua, terlihat dari kepribadian anak itu nantinya.

Mungkinkah Abram akan memperlakukan seorang wanita kelak seperti papanya memperlakukanku? 

Ya, Rabb ....

Aku tahu buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kumohon jatuhkan buah pohon kami ke sungai, agar ada seseorang yang menemukannya, hingga menjadi pelepas dahaga yang sangat bermanfaat.

Jadikan juga putraku demikian. Hanya Engkau tempat memohon paling tepat.

Lelaki berpustur tegap itu tak bereaksi, apalagi menjawab. Mata kelamnya memandang jalanan. 

Aku kemudian mengikuti arah pandangannya, menatap daun mangga yang tersapu angin kemarau. Sepertinya musim penghujang akan lama tiba. Selama derita di hati yang entah kapan berakhir.

"Baiklah, kalau Mas tak jadi membawanya, biarkan aku mengantar Abram ke sekolah," kataku lagi setelah melihat arloji di tangan, kurang lima belas menit pukul tujuh. Masih ada sekitar setengah jam bersiap. 

"Aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Mas Rian setelah aku hendak berdiri. Namun, segera aku memperbaiki duduk kembali. Sepertinya dia akan berbicara penting. wajahnya terlihat sangat serius. 

"Aku ingin mengakhiri hubungan yang-"

"Sebaiknya kita bicarakan itu saat tak ada Abram, Mas." Ucapannya seketika terhenti saat aku menyela. 

Aku tahu pasti kalimat terpotong itu. Ingin mengakhiri hubungan pernikahan yang menyesakkan, menurutnya.

Ah, ini bukan tentang hati seorang istri yang tersakiti saja, tapi seorang anak akan mengalami luka batin dibawah sadar, pun tanpa kita sadari.

Kenapa dokter itu tidak memikir sampai di sana? Kenapa lelaki perpendidikan itu seakan menganggap sepele perkembangan darah daging sendiri? 

Sememuncak itukah bahagia si dadanya hingga seakan buta akan sekeliling? Termasuk mengabaikan seorang putra yang diciptakatan dari tulang sulbinya? 

Diri mahfum kalau aku tak dianggap, disisih, digeser, dan apapun namanya. Tapi Abram? Putra yang tak pernah minta dilahirkan dari papa mana? Apa pantas menerima duka yang bahkan dia sendiri tak paham?

Arght! Meski aku telah mencoba menimbulkan benci dengan berbagai ekpektasi, tetap saja rasa cinta ini tak mudah dikubur. 

Ataukah potongku tadi pada kalimatnya, karena memang diri belum benar-benar siap ditinggalkan? Lalu menjadikan Abram alasan utama? Entahlah ... Aku butuh tempat meluapkan ganjalan ini. 

"Maaf, aku antar Abram. Mas boleh melanjutkan percakapan tadi setelah dia belajar di kelasnya. Kalau enggan bertemu, biar lewat telepon saja." Suaraku pasti terdengar serak, karena memang sedang menahan sesak. 

Sungguh, dada ini seakan ingin meledak. Aku tahu semua akan terjadi. Aku paham posisiku tak akan berubah.  

Tetap saja perih mengaliri setiap pori, saat berada pada kenyataan. 

"Nanti kita mandi dan berkemas di toko,  Sayang,"  kataku pada Abram dalam gendongan, lalu berlalu sambil menyusut bening di pipi. Sekuat apa tetap ingin kuat, air mata selalu saja tak bisa diajak berdamai.

Pelan aku melajukan mobil. Masih sempat kulihat dari kaca spion, Dokter Juwita keluar sambil menyedekapkan kedua tangan depan dada, tersenyum sumringah, lalu duduk ke dekat Mas Rian yang tanpa ekspresi. 

Sudah puaskah kalian menyakiti wanita tiada daya ini? 

***

[Sepulang dari kantor, aku akan jemput Abram. Persiapkan memang semua barangnya sebelum aku datang] pesan Mas Rian saat aku masih menunggu Abram di sekolahnya.

Tangan tak bisa satupun mengetik, hanya memandang deretan kalimat yang sangat menyayat hati. 

[Aku tahu kamu telah paham semuanya. Jadi, nggak usah mempersulit. Hanya semakin membuat luka saja] pesannya lagi dengan kalimat menyudutkan. 

Lelaki yang dulu kuketahui lembut itu, betul-betul tak mampu kukenal lagi. Kini setiap rangkaian kalimatnya bak goresan silet yang memerihkan. 

[Iya] balasku singkat, ketika melihat di layar dia sedang mengetik. Tak sanggup rasanya membaca pesan berikut yang kupastikan lebih menusuk. 

Aku menonaktifkan benda pipih itu dan menyimpannya di tas, lalu menuju wastafel sekolah yang bersih. 

Aku tak bisa lagi menunggu rumah untuk menangis. Biarlah di sini kutumpahkan semua gumpalan yang sakan mengganjal di tenggorakan. Sempit sekali rasanya, meski hanya untuk menarik dan membuang oksigen.

Mereka saja yang saling mencintai kadang berpisah di tengah jalan. Kenapa diri begitu menangisi diri? Yang memang tak pernah diharap, dirindui, apalagi dikasihi? 

Okelah, kalau diri yang tak berharga ini dianggap tak punya perasaan, tapi pantas jugakah, diperlakukan seperti robot, yang hanya dikontrol seakan tak punya hak sama sekali? 

Mataku seakan mulai mengering, menyesali harap yang tak akan pernah sampai. Menangisi nasib baik yang entah kapan berpihak.

"Mamah kenapa nangis?" tanya Abram menyelidik. Anak itu menarik lenganku ke parkiran usai bel pulang berbunyi, pun doa-doa penutup pelajaran selesai dibacakan. 

"Mamah nangis-"

"Agar mata tak kering, kan? Supaya mata sehat, kan, Mah?" potong Abram mengingatkan tentang penjelasanku kemarin. Daya tangkap dan ingatan anak ini, terutama dalam hal pelajaran,  memang cepat. Lagi-lagi mirip papanya. 

"Kata bu guru, terlalu banyak nangis juga gak boleh, Mah. Bisa buta matanya. Seperti cerita nabi Ya'qub yang diceritain bu guru tadi."  

Sambil fokus menyetir, aku mendengarkan cerita Abram. itu memang ciri khasnya, setiap pulang sekolah atau dari mana saja, seperti ketika dibawah jalan-jalan sama papa dan Dokter Juwita dulu. Dia akan berceloteh panjang sepulangnya. Aku rasa yang diurai itu, sangat berkesan baginya. 

"Terus dari cerita Abram tadi. Mamah harus bagaimana?" lanjutku bertanya setelah sampai di toko, pun meletakkan bokong pada sofa di ruang keluarga.

Abram ikut menyamai posisi, tanpa berganti pakaian dulu. Aku begitu penasaran ingin mengetahui kesimpulan kisah yang didengar dari gurunya, yang telah diceritakan antusias di mobil tadi 

Kisah yang menakjubkan. Sangat jarang lagi disebut di jaman serba digital sekarang. Dan lebih menakjubkannya lagi, aku teringat kisah itu, setelah putraku yang masih duduk di bangku TK, mengurainya dengan detail. 

Mulai dari saudara-saudara Nabi Yusuf yang cemburu, lalu membuaang Nabi Yusuf ke sumur, kemudian Nabi Ya'kub -sang ayah- menyesal atas kejadian itu, hingga Nabi Ya'kub buta akibat terlalu banyak menangis.

Kisah yang penuh hikmah, tentang pentingnya menghindari iri hati, cemburu, dendam, dan ketidak sabaran.

"Abram takut mamah buta, akibat banyak nangis," jawab Abram memelukku, suaranya langsung berubah serak. 

Bagaimana air mata ini tak luruh, jika dia bersikap begini? Bagaimana diri tak sesak bila memikir papanya akan memisahkan kami? Bagaimana ...?

"M-mas ...?!" ujarku kaget ketika melihat sosok Mas Rian berdiri tak jauh dari sofa, tatapnya tajam ke arahku. 

Apakah ini waktu mamah kandung ini akan dipisahkan dengan darah dagingnya? 

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Siti Juleha
udiiiiiinnnn jangan nangis mulu, bener kata Abram, nanti buta, bilang aja gak bisa pisah sama anak kandung, toh Juwita juga bisa kasih anak, apa si dokter pelakor mandul kah?
goodnovel comment avatar
Nur Nia
kasih karma dong buat rian
goodnovel comment avatar
Justina Gabril
sangat2 kejam ya suaminya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • KUKEMBALIKAN SUAMI PADA CINTA PERTAMANYA   BAB 45 (BONUS)

    "Cepatan dong, Tari. Ntar Abram ngambek." Mas Langit menarikku menuju mobil. Ini hari penerimaan hadiah Abram ikut lomba hafalan surah-surah pendek. Tentu saja lelaki dingin tapi sudah hangat itu paling senang, karena dialah pembimbingnya di rumah. "Dikit lagi, Mas. Tinggal warnain bibir aja, kok," protesku tetap melangkah.Tak lama berselang, Mas Langit segera melajukan kendaraan sambil berkali-kali melihat jam yang melingkar di tangannya setelah kami duduk dan menutup pintu mobil. Dia memang seperti itu kalau menyangkut masalah Abram. Kadang aku menganggap sikapnya terlalu berlebihan, itukan sama saja membiasakan anak terlalu bergantung."Mandiri tidak terbentuk dengan sendirinya saja, Tari. Tapi harus disertai dengan tanggung jawab, jujur, optimis, dan contoh dari orang terdekatnya," ujar Mas Langit seakan tahu isi hatiku dan entah keberapa sekian kali dia mengulang kalimat semacam ini. Ah, sudahlah ... Aku tak ingin mendebatkan perbedaan prinsip. Apalagi dia tidak sekedar bicar

  • KUKEMBALIKAN SUAMI PADA CINTA PERTAMANYA   BAB 44 (TAMAT)

    Entah kenapa aku tak merasa kram dalam posisi berjongkok sambil kedua tangan menutup wajah. Untung tak ada Abram. Tidak bisa membayangkan andai anak itu melihat aku sebegitu terpuruk seperti sekarang, atau mengetahui ayahnya pergi lagi. Mungkin ....Mamah dan anak ini akan menangis bersama di sini."Apa kamu nggak malu diliatin?" Suara yang tiba-tiba sangat merdu terdengar diantara bisik-bisik. Aku tahu sedari tadi orang-orang memperhatikan, tapi diri tak perduli. Sedih ini harus segera dituntaskan.Cepat aku mengangkat wajah lalu berkali-kali mengusap mata untuk memastikan penglihatan.Ya, lelaki pembuat gulana itu berdiri di sana, betul, bukan mimpi atau halusinasi. Sementara Anggi di belakang tersenyum sambil menyeka sudut netranya. Sejak kepergian suami adik dan kedua orang tuanya, lelaki itu bertanggung jawab penuh sebagai kakak, jadi wajarlah memaksa Anggi ikut bila pindah kota seperti yang dilakukan sekarang. Dari pembicaraan Mbak Rima dan Anggi tadi pagi itulah, aku tahu peremp

  • KUKEMBALIKAN SUAMI PADA CINTA PERTAMANYA   BAB 43

    Gegas aku turun dari mobil bermaksud mendahului Mas Langit. Seketika terlintas keinginan kuat untuk mencegah pamitnya ke Emak. Aku akan meminta dengan segala cara agar tak jujur ke wanita terbaikku itu. Meski dengan berbagai alasan dan kedustaan, biarlah diri yang dzolim ini menanggug semua dosanya, asalkan malaikat tak bersayapku tetap bahagia. Aku rasa semua anak akan melakukan sama jika berada di posisiku.Sepertinya niatku telah terlambat. Suara tangisan Emak terdengar saat aku memasuki pintu utama. Secepat itu lelaki dingin mengutarakan maksudnya, hingga tak melihat kondisi Emak yang masih dalam pemulihan. Benar-benar tak berperasaan! Emosi dan sedih, entah yang mana kudahulukan sekarang.Dengan menyeret kaki aki memasuki kamar Emak, suasana hatiku benar-benar down sekarang. Akulah satu-satunya anak yang menjadi penyebab utama kepergian kedua orang tuanya. Menyadari itu, tungkai seketika tak bisa menahan bobot tubuh."Ke sini, Nduk." Gontai aku mendekat ke beliau. Mas Langit meng

  • KUKEMBALIKAN SUAMI PADA CINTA PERTAMANYA   BAB 42

    Setelah salat Subuh, Abram telah siap dengan jaket, biasanya pagi-pagi sekali Mas Langit sudah datang menjenguk Emak lantas membawa Abram jalan-jalan dan sepulangnya membawa aneka makanan yang masih hangat. Tiga hari lalu Emak diijinkan pulang dan sekarang sedang proses pemulihan di rumah."Kok, lama, ya, Mah," keluh Abram mulai tak sabar. Ufuk timur mulai terang, menandakan pagi telah menjelang. Tak biasanya Mas Langit datang terlambat."Coba cek ke rumahnya, Tari. Katanya dia gak bermalam di sini karena lagi pembenahan barang," kata Emak yang tampaknya menunggu seperti Abram. Lelaki itu memang tipe pembuat rindu."Emak dan Abram mau makan apa, biar aku bikinin," tawarku hendak ke dapur. Melihat sikap dinginnya ke aku menciptkan canggung dan malu yang teramat bila harus nyusul ke rumahnya. Kecuali kalau dia sendiri yang datang.Emak dan Abram tak ada jawaban. Itu menandakan mereka tak menyetujui saranku. Huft ... Sungguh dilema diri ini. Haruskah memaksa Mas Langit tetap bertahan d

  • KUKEMBALIKAN SUAMI PADA CINTA PERTAMANYA   BAB 41

    Ruang ICUAku mengenggam erat tangan Emak yang terbaring tak berdaya. Banyak alat medis tidak kutahu nama dan fungsi tepasang di tubuh rentanya.Mataku pasti sangat bengkak sekarang, hanya menangis yang mampu kukakukan, hampir dua belas jam berlalu, tapi beliau belum siuman. Dadanya saja terlihat naik turun menandakan masih ada ruh di jasad, itupun sangat lemah dibanding biasanya.Ya, Tuhan ... Cobaan apa lagi ini? "Sudah tahu penyebab Emak pinsang?" tanyaku ke Gilang, dia yang menemani Emak. Adikku itu baru saja kutugaskan mencari informasi di hajatan tetangga yang kemarin Emak datangi."A-anu, Mbak," jawab gilang gagap. Tuh, tak salah lagi, di sana sumbernya. "Apa orang membicarakanku?" ujarku to the point. Aku pikir tak perlu lagi berbasa-basi. Situasinya darurat."I-iya, Mbak." Aku mengangguk cepat agar Gilang bercerita tanpa sungkan. "Ada yang melihat Mas Langit di kota seberang. Dan tetangga menyimpulkan Mbak sekarang menjanda lagi," lanjut Gilang menatapku sedih. Inilah yang

  • KUKEMBALIKAN SUAMI PADA CINTA PERTAMANYA   BAB 40

    "Pintu rumah selalu terbuka lebar, jika Mas ingin menjumpai Abram." Selesai berucap, aku segera bergegas ke luar. Sementara Abram masih menunggu papanya bereaksi. Dokter itu masih setia menekuri lantai saat aku melaluinya.Sebelum mencapai ambang, aku sempatkan melihat ke belakang. Mas Rian menarik putranya dalam pelukan, lama sekali, sambil menangis lirih. Ya, perpisahan memang menyakitkan. Namun, bertahan dalam gerogotan luka yang tak pernah hilang, sama saja bunuh diri secara perlahan.[Kupinta maafmu dari prilaku dosa, salah, dan khilaf selama hidup bersamaku, Mas. Meski hubungan kita telah usai, tak ada niat sama sekali untuk menjauhkanmu dengan Abram ke depannya. Tetaplah jadi papa yang terbaik, pun suami yang bertanggung jawab. Semoga kita semua dalam lindungan Allah sampai maut memanggil]Tak memungkiri, air mata jatuh jua mengiring pesan singkatku. Baru kali aku sempat dan sepenuh hati meluangkan waktu menulis kata maaf dan perpisahan setelah hampir setahun jatuh talak. Seras

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status