"Mobinya rusak, Mah?" Pertanyaan Abram tak langsung kutanggapi. Anak itu pasti heran melihatku hanya memegang stir lama tapi tak memutar kunci kontak.
Tubuhku benar-benar seperti tak bisa difungsikan. Jangankan menginjak gas, memutar stir, apalagi untuk fokus ke jalanan, menstarter mobil saja tak mampu. Percakapan dua sejoli yang baru saja melewati gendang telinga, membuat otak dan perangkat-perangkat tubuh lainnya seketika vakum. Aku rasa inilah yang disebut syok.Entah kenapa tubuh bereaksi terlalu. Sedang enam tahun silam, hal ini sudah terprediksi dari alam bawah sadar pun sebaliknya. Mungkinkah itu disebabkan oleh rasa berlebih yang begitu dalam mengharap? Atau memang cinta telah mengakar kuat di tubuh?Sepertinya aku harus percaya pada pendapat sebagain orang, kalau mencintai lebih tanpa berbalas meski pada pasangan halal, bisa mengundang penyakit, atau bahasa kasarnya, sama dengan bunuh diri. Entah, walau tahu, tapi rasa ini sungguh tak mampu kutepis."Mamah ...." Sentuhan tangan mungil Abram di pundak menyadarkanku dari kunkungan pikiran putus asa. Segera aku mengucap zikir untuk berlindung dari godaan syetan. Hampir saja diri terjerembab dalam pedaya musuh manusia itu, dengan mengatas namakan kecewa, marah, benci, dan sesal. Bukankah sebagian besar penyakit, atas kerja syetan yang kadang manusia tak sadari? Ah, meski paham, tetap saja belum mampu tuk menghindar. Ada-ada saja hal yang menyebabkan hati tergincir. Inilah akibat jika hanya dunia menjadi tujuan. Ampuni hamba yang dzolim ini, Ya, Rabb ...."Kenapa, sayang?" tanyaku saat kesadaran terkumpul. Abram menatapku dengan sorot cemas, dia memegang ponselku yang terus berdering. "Aku ke sana sekarang, Ti," jawabku setelah menyentuh tombol jawab. Tuti asistenku di toko. Dia gadis putus pendidikan seperti aku dulu, mencari nafkah apa saja dengan cara halal di usia belia adalah solusi membantu ekonomi keluarga. Mudah-mudahan kisah cintanya tak seperti diriku yang tak beruntung."Mamah sakit?" Abram berdiri menyentuh keningku. Perlakuan Malaikat kecil ini, membuatku tak bisa menahan bulir di pipi, hampir saja diri terlupa kehadirannya, akibat teramat menyesalkan sikap papanya. Ya, Allah ..., jika memang lelaki bergelar suami itu harus pergi. Kumohon, tetapkan anak ini bersama wanita yang telah melahirkannya dalam segala kondisi. "Maafkan mamah, Sayang," ucapku sambil menariknya dalam pelukan. Aku tahu dia juga hanya titipan, tapi dengan kehadirannya dalam hidup, sungguh perjalanan ruh yang sementara ini, sangat berwarna karenanya. Abram memindai wajahku dengan kedua tangan mungilnya, lalu perlahan mengusap bening itu sambil menggeleng gemes. "Kalau anak kecil saja dilarang nangis, apa mama-mama tidak malu melakukannya?" ujarnya polos. Begitulah Mas Rian memperlakukannya saat dia bersedih. Kini dia mempraktekkan padaku. Anak memang peniru yang hebat. "Menangis juga punya manfaat, Sayang. Selain meluapkan rasa bahagia atau sedih dalam tubuh, air yang dikeluarkannya, bisa melembabkan mata agar terhindar dari kering dan iritasi, juga sebagai nutrisi pada mata." Entah anak itu paham apa tidak, dia terlihat mengangguk-angguk. Ya, kadang memang orang tua punya alasan mengada-ada jika dinasehati anak, entah mereka malu, tersinggung, tidak mau kalah pengetahuan, atau tak ingin dibantah, yang jelas, alasan yang kujabarkan pada Abram memang benar. Begitulah kira-kira pemahanku pada pelajaran biologi waktu sekolah. Lagi-lagi, penjelasan ini seharusnya Mas Rianlah yang pantas mengurai, tersebab ahli di bidang itu. Tapi, apa kira-kira lelaki berbagai prestasi dan medali itu, masih punya luang menjelaskan pada darah dagingnya setelah menghadiahinya pengabaian yang menyesakkan? Semoga aku saja yang merasakan demikian.*"Maaf, membuat Anda menunggu. Ada urusan keluarga sedikit," kataku pada seorang wanita yang sedang duduk di kursi ayunan. Tempat itu salah satu penarik pelanggang, diletakkan depan toko bersama permainan lainnya. Ayunannya terbuat dari besi, bisa diduduki sekitar delapan anak dengan posisi berhadapan, pun untuk empat orang dewasa. Tunggu! Sepertinya wajah wanita yang kuperkirakan tak jauh beda umurnya denganku ini familiar? Aku pernah mengenal garis wajah yang hampir persis. Tapi, di mana? Kapan?Arhg, kemampuan memory dalam mengingat kini betul-betul tak bisa diandalkan. Mungkin juga ini bagian efek terpusatnya otak hanya pada satu orang? Huft, mengingat lelaki yang telah memiliki dua istri itu, menciptakan gulana di sudut hati.*Jam lima sore, aku masih berbetah-betah di toko. Biasanya jika Mas Rian tak keluar kota, makanan kesukaannya telah tertata di meja makan, Abram, rumah, dan semua isinya sudah rapi.Entah itu disebut pengabdian atau apa, diri mencontoh wanita yang melahirkanku saat beliau merawat kami dan bapak berpuluh tahun. Orang tua memang teladan utama bagi anak-anaknya, maka wajarlah mereka disematkan gelar malaikat tak bersayap, pun madrasah pertama bagi setiap insan bergelar anak. Aku rasa semua telah berbeda. Apa kira-kira lelaki yang telah memberi keturunan itu masih membutuhkan yang sama lagi? Setelah wanita yang diidamkannya telah kembali? Alangkah mustahilnya diri menunggu hujan di tengah teriknya mentari.“Kita bermalam di sini saja ya, Mah?” ucap Abram seusai menyimpan buku Iqra’ di atas lemari belajarnya. Ini rutinitas kami setiap selesai salat Isa. Ada atau tak ada papanya. Meski tak pernah duduk di bangku pesantren, mengajarkan anak dasar-dasar Al-Qur’an, juga baca tulis, aku rasa tak terlalu sulit. Kecuali kalau sudah masuk tingkat pemahaman, baru perlu bimbingan guru, itu menurut sebagian orang yang berpendidikan rendah sepertiku. “Kenapa? Nggak rindu sama papa?” Sebenarnya aku senang dengan permintaan Abram, setidak diri punya alasan agar tak kembali ke rumah. Sungguh hunian yang menjadi tempat terdamai dalam merajut asa dan mimpi, kini seperti kastil yang mengerikan buatku.Tapi ada penasaran bercokol jua di hati, alasan apa yang membuat putraku seakan enggan ke sana. Apa anak itu merasakan gundah mamahnya? Ataukah kehilangan kontak selama hampir dua bulan dengan papanya telah membuat rindu itu benar-benar menguap? Atau ada yang lain tanpa sepengetahuanku?”Papa ….” Teriakan Abram membuatku terkesiap, posisi jantung seakan ikut bergeser dari posisi menyadari lelaki pembuat gulana itu berdiri di ambang pintu memeluk putranya. Okey, lain kali saja aku tanyakan alasan Abram enggan pulang ke rumah.“Tempatnya adem, apa Abram yang request model dan warna cat ini?” Netra Mas Rian memindai setiap sudut, sampai ke ruangan di luar kamar. Ini memang pertama kali dia melihat langsung bekas tempat prakteknya setelah aku renov bagian lantai atas dengan membuat bilik pribadi, kamar Abram, ruang tamu, keluarga, dapur, dan pavilium. Ya, semua sangat minimalis. Berbanding terbalik di rumah utama yang megah dan besar. “Maaf, Mas. Aku rencana mau minta saran Mas itu hari, tapi ….” Aku menghentikan kalimat saat lelaki berwibawa di mataku itu mengangkat tangan tanda …? Entah bagaimana memaknai maksudnya.“kita pulang di rumah yuk, Jagoan?!” ajaknya mengangkat tubuh Abram ke sofa minimalis dekat jendela, tampak sekali tak ada niat menanggapi kalimatku. Tak apa! Diri ini sudah terbiasa diabaikan. Dia datang di sini saja meski bukan aku tujuan, sudah hal istimewah. Ah, sesederhana itu aku bahagia.Abram tak menjawab, matanya kuyu melihatku.“Ntar kapan-kapan ketemu mamah lagi.” Ucapan lelaki yang kunanti hatinya tanpa melihat ke arahku meski sejenak apalagi berdiskusi itu seketika membuatku terpaku. Apakah itu artinya rencana memisahkan aku dengan Abram bukan sebatas isapan jempol belaka?Tetapi, kini sedang dimulainya? Duh, hati. Baru saja melambung, seketika berganti durja.***“Abram di sini aja sama mamah, Pa.” Bocah jelang enam tahun itu berujar dalam gendongan, saat sang papa selangkah lagi mencapai ambang pintu. Sementara tubuh masih mematung tak memercayai kalau lelaki yang selalu memesona di mataku, akan benar-benar memisahkan aku dengan darah dagingku juga.“Abram hanya pengen sama Mamah aja, Pa. Kasian mamah sendiri,” protes Abram tak dihiraukan Mas Rian. Lelaki bertubuh proporsional itu terus melangkah menuju tangga. Refleks kaki mengikuti Abram yang menengadah tangan ke arahku. Aku seperti sedang menyaksikan drama korea perpisahan antara ibu dan anak, tersebab kalah di persidangan dalam perebutan hak asuh. Cuman bedanya, di sini aku tak jadi penonton atau penikmat, melainkan pemeran utama. Ternyata berdobel-dobel sesak yang ditimbulkannya. Andai tak punya malu, mungkin aku akan histeris juga selayak sang aktris menghayati skenario.”Jangan pikirkan mamah, Sayang. Besok mamah akan membawakan bekal Abram sebelum ke sekolah,’ ujarku menenangkanny
"Kalau Mas ingin membawa Abram jalan-jalan, ntar aku ijinin ke gurunya," kataku setelah berfikir. Buat apa meruncingkan masalah, kalau bisa diselesaikan dengan aman. Perdebatan menurutku hanya tambah mengeraskan hati saja, pun semakin menggemukkan nafsu yang memang tak pernah kenyang. Ya, benarlah kata ibu dan bapak, kalau anaknya ini memiliki jiwa lebih banyak mengalah. Aku rasa itu tak salah, karena merekalah yang mendidik seperti itu. Bukankah anak seperti kertas kosong? Orang tualah yang menulis pertama, juga terakhir, hingga kertas itu penuh. Apa yang dicoret orang tua, terlihat dari kepribadian anak itu nantinya.Mungkinkah Abram akan memperlakukan seorang wanita kelak seperti papanya memperlakukanku? Ya, Rabb ....Aku tahu buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kumohon jatuhkan buah pohon kami ke sungai, agar ada seseorang yang menemukannya, hingga menjadi pelepas dahaga yang sangat bermanfaat.Jadikan juga putraku demikian. Hanya Engkau tempat memohon paling tepat.Lelaki berp
"Abram masuk, cuci tangan dan kaki, lalu bergantian pakaian, ya?!" pintaku pada bocah penurut itu usai mencium punggung tangan papanya. Meski seakan ada konflik tak terlihat yang merusak suasana. Aku pikir hubungan anak dan papa, akan cepat stabil seperti dulu. Aku? Tak ingin memikirnya, yang penting darah dagingku bahagia. "Maaf, Mas. Saya belum menyediakan pakaian Abram," ujarku sopan, mengingat titahnya di telepon.Lelaki itu bergeming, ketika aku menyodorkan tangan hendak takzim seperti biasa.Diri sudah paham kalau sekarang dia tak menyambutnya, kulitku memang tak ada apa-apa dibanding istri tercintanya di sana. Ah, lagi-lagi sesak datang tak undang bila mengingat kedudukan yang tak pernah dihargai. "Aku ingin akhiri hubungan ini. Carilah lelaki yang lebih bisa membahagiakanmu," ucapnya tanpa ekspresi, pun tanpa sedikit ada niat meraih tanganku yang masih menggantung di udara menunggu uluran tangannya. Aku mundur bersandar di dinding memahami makna pernyataan tajam itu, tiba-
"Mamah ikut, kan?" tanya Abram di sela aku mengemasi barangnya."Mamah kurang sehat, Sayang. Abram sama papa dan tante Juwita saja, ya?!" Wajah dan mata sembab habis menangis tadi kutunjukkan, agar dia yakin dengan alasanku."Ada Mbak Tuti yang nemanin mamah," kataku lagi memaknai tatapan cemasnya."Biar pakaiaan Abram papa yang lanjutin masukin di tas ya, Sayang. Sepertinya Mbak Tuti sedang kewalahan di bawah." Aku memencet pelan hidung mancung Abram sebelum berlalu, dia mengangguk sambil tertawa gemes.Selain dari tadi dering panggilan ponsel Tuti bergetar, juga ingin menunjukkan keadaan senatural ke Abram. Ya, aku rasa, hanya ini yang mampu kulakukan agar perpisahan kedua orang tuanya tak mempengaruhi fase perkembangannya.Terlihat Mas Rian yang sedari tadi di balkon mengamati suasana ke bawah, seketika berderap ketika Abram memanggilnya. Lelaki yang selalu tampak memesona di mataku itu, menautkan alis, saat kami berpapasan di ruang keluarga.Tak perlu menjelaskan seribu tanya di b
”Abram mana?” tanyaku masih penasaran, sekaligus tak ingin mendengar dia melanjutkan kalimat-kalimat menyudutkannya. Bukan takut beradu argumen, tak ingin perdebatan ini terdengar Tuti, tetangga, bahkan pembeli. Bukankah mengalah tidak berarti kalah? Mundur bukan berarti pecundang? ”Abram ingin kamu ikut,” kata Mas Rian masih ekspresi sama. Rahang mengeras dengan mengalih dari pandanganku, tapi tak mengurangi ketampanannya sama sekali.Refleks aku menggoyangkan tangan ke depan wajah, sebagai ekspresi kemustahilan. Bagaimana mungkin aku serta, jika Dokter Juwita ada? Apa ini juga bagian rencana Mas Rian untuk menambahkan lagi poin penderitaan istri pelariannya?“Kami juga tak mungkin selalu menjaganya, sementara di sana ada beberapa agenda rapat.” Mimiknya tiba-tiba berubah.“Lalu kenapa Mas bersikeras memaksanya? Toh, selama ini dia sudah terbiasa ditinggalkan meski tanpa alasan yang jelas,” sanggahku. Kembali Mas Rian menatapku syarat amarah, terlihat dari tonjolan urat bagian pel
Aku memperlambat pergerakan ketika suara Abram memanggil, bersamaan tanganku diraih, pun tubuhnya muncul menyejari langkahku. Ah, anak ini benar-benar jauh lebih peka, perhatian, dan penyayang dibanding papanya. Dadaku seakan membesar menahan buncah atas sikapnya di saat-saat genting. Aku langsung menggenggam tangan mungil itu, lalu kami bergandengan tangan tanpa memerdulikan suara-suara perdebatan di belakang yang mulai lagi terbawa angin, kupastikan penyebabnya karena Abram memilih ikut denganku. Hufft, sekuat apapun diri berusaha menciptakan situasi kondusif di masa tumbuh kembangnya, keadaan tak selalu sesuai dengan cita-cita. Buktinya, dua manusia terpelajar itu, tak bisa menjadi teladan.“Abram kuat jalan sampai ke perempatan itu, kan?” Aku menunjuk ke depan, sekitar lima ratus meter sampai ke jalanan umum dengan melewati penurunan sekarang. Aku tak yakin ada taksi atau kendaraan umun di sana, memperhatikan kondisi yang sangat lengan. Nantilah dipikir.Abram mengangguk cepat,
Setelah mereka turun, tanpa sadar kaki ke arah balkon, untuk melihat jelas kedua sejoli itu. Aku rasa masih penasaran kegaduhan yang ditimbulkannya tadi. Ataukah spontanitas ini adalah rasa cemburu? Kalau tidak, kenapa hatiku terasa kembali perih?”Maaf, Bu. Saya tak menyangka wanita itu naik, kirain hanya pembeli tadi,” suara Tuti mengalihkan pandanganku ke roda empat yang telah berbaur dengan pengendara lain. ”Dia seorang dokter, seprofesi dengan Mas Rian,” kataku menarik nafas dalam, lalu membuangnya gundah. Aku rasa saat inilah dia harus tahu siapa mereka dan status wanita yang ditempatinya bekerja.“Keduanya menjalin hubungan sebelum aku hadir, lalu bertemu setelah perpisahan lama. Mereka pasangan ideal. Sementara aku adalah orang ketiga.” Kepala mendongak ke atas di akhir kalimatku, menahan sesak selalu saja tak bisa terbendung mengingat keadaan yang tak berpihak. ”Tapi …, kemarin Pak Dokter ….?” Tuti menjeda kalimatnya. Aku menautkan alis melihat anak itu seakan loading denga
"Bagaimana kabar kalian?" tanya Mas Rian tergesa menghentikan langkahku."Alhamdulillah baik," jawabku setelah berbalik. Aku rasa tak mengapa meladeninya. Dia memang berhak tahu keadaan putranya. "Aku belum sempat ketemu Abram. Kare-""Kami sibuk dan baru semalam datang dari luar negeri." Sosok Dokter Juwita tiba-tiba muncul, lantas memotong ucapan Mas Rian. Kedua tangannya bergelayut ke lengan lelaki yang berpakaian biru itu.Jangan tanya keadaanku sekarang! Andai punya laci ajaib Doraemon, tentu sudah menghilang secepatnya. Bukan saja cemburu dan sedih yang mesti kutekan. Tapi tatap Bu Jenni, karyawannya dan karyawan toko lain yang sedang berbenah, bahkan pelanggan yang mulai berdatangan, pun orang-orang lewat, membuat lukaku berdarah-darah. Sekejam itu dua sejoli menginjak harga diri wanita tak ada daya di depan orang banyak. Setidak itu yang kurasakan dari semua netra yang menyorot."Tak apa, terima kasih atas infonya," ujarku berusaha tegar, lalu berlalu sambil melempar senyu