Share

BAB 7

"Mobinya rusak, Mah?" Pertanyaan Abram tak langsung kutanggapi. Anak itu pasti heran melihatku hanya memegang stir lama tapi tak memutar kunci kontak.

Tubuhku benar-benar seperti tak bisa difungsikan. Jangankan menginjak gas, memutar stir, apalagi untuk fokus ke jalanan, menstarter mobil saja tak mampu. 

Percakapan dua sejoli yang baru saja melewati gendang telinga, membuat otak dan perangkat-perangkat tubuh lainnya seketika vakum. Aku rasa inilah yang disebut syok.

Entah kenapa tubuh bereaksi terlalu. Sedang enam tahun silam, hal ini sudah terprediksi dari alam bawah sadar pun sebaliknya. Mungkinkah itu disebabkan oleh rasa berlebih yang begitu dalam mengharap? Atau memang cinta telah mengakar kuat di tubuh?

Sepertinya aku harus percaya pada pendapat sebagain orang, kalau mencintai lebih tanpa berbalas meski pada pasangan halal, bisa mengundang penyakit, atau bahasa kasarnya, sama dengan bunuh diri. 

Entah, walau tahu, tapi rasa ini sungguh tak mampu kutepis.

"Mamah ...." Sentuhan tangan mungil Abram di pundak menyadarkanku dari kunkungan pikiran putus asa. 

Segera aku mengucap zikir untuk berlindung dari godaan syetan. Hampir saja diri terjerembab dalam pedaya musuh manusia itu, dengan mengatas namakan kecewa, marah, benci, dan sesal. 

Bukankah sebagian besar penyakit, atas kerja syetan yang kadang manusia tak sadari? 

Ah, meski paham, tetap saja belum mampu tuk menghindar. Ada-ada saja hal yang menyebabkan hati tergincir. Inilah akibat jika hanya dunia menjadi tujuan. 

Ampuni hamba yang dzolim ini, Ya,  Rabb ....

"Kenapa, sayang?" tanyaku saat kesadaran terkumpul. Abram menatapku dengan sorot cemas, dia memegang ponselku yang terus berdering. 

"Aku ke sana sekarang, Ti," jawabku setelah menyentuh tombol jawab. Tuti asistenku di toko. Dia gadis putus pendidikan seperti aku dulu, mencari nafkah apa saja dengan cara halal di usia belia adalah solusi membantu ekonomi keluarga. Mudah-mudahan kisah cintanya tak seperti diriku yang tak beruntung.

"Mamah sakit?" Abram berdiri menyentuh keningku. Perlakuan Malaikat kecil ini, membuatku tak bisa menahan bulir di pipi, hampir saja diri terlupa kehadirannya, akibat teramat menyesalkan sikap papanya. 

Ya, Allah ..., jika memang lelaki bergelar suami itu harus pergi. Kumohon, tetapkan anak ini bersama wanita yang telah melahirkannya dalam segala kondisi. 

"Maafkan mamah, Sayang," ucapku sambil menariknya dalam pelukan. Aku tahu dia juga hanya titipan, tapi dengan kehadirannya dalam hidup, sungguh perjalanan ruh yang sementara ini, sangat berwarna karenanya. 

Abram memindai wajahku dengan kedua tangan mungilnya, lalu perlahan mengusap bening itu sambil menggeleng gemes. 

"Kalau anak kecil saja dilarang nangis, apa mama-mama tidak malu melakukannya?" ujarnya polos. 

Begitulah Mas Rian memperlakukannya saat dia bersedih. Kini dia mempraktekkan padaku. Anak memang peniru yang hebat. 

"Menangis juga punya manfaat, Sayang. Selain meluapkan rasa bahagia atau sedih dalam tubuh, air yang dikeluarkannya, bisa melembabkan mata agar terhindar dari kering dan iritasi, juga sebagai nutrisi pada mata." 

Entah anak itu paham apa tidak, dia terlihat mengangguk-angguk. 

Ya, kadang memang orang tua punya alasan mengada-ada jika dinasehati anak, entah mereka malu, tersinggung, tidak mau kalah pengetahuan, atau tak ingin dibantah, yang jelas, alasan yang kujabarkan pada Abram memang benar. Begitulah kira-kira pemahanku pada pelajaran biologi waktu sekolah. 

Lagi-lagi, penjelasan ini seharusnya Mas Rianlah yang pantas mengurai, tersebab ahli di bidang itu. Tapi, apa kira-kira lelaki berbagai prestasi dan medali itu, masih punya luang menjelaskan pada darah dagingnya setelah menghadiahinya pengabaian yang menyesakkan? Semoga aku saja yang merasakan demikian.

*

"Maaf, membuat Anda menunggu. Ada urusan keluarga sedikit," kataku pada seorang wanita yang sedang duduk di kursi ayunan. 

Tempat itu salah satu penarik pelanggang, diletakkan depan toko bersama permainan lainnya. Ayunannya terbuat dari besi, bisa diduduki sekitar delapan anak dengan posisi berhadapan, pun untuk empat orang dewasa. 

Tunggu! Sepertinya wajah wanita yang kuperkirakan tak jauh beda umurnya denganku ini familiar? Aku pernah mengenal garis wajah yang hampir persis. Tapi, di mana? Kapan?

Arhg, kemampuan memory dalam mengingat kini betul-betul tak bisa diandalkan. Mungkin juga ini bagian efek terpusatnya otak hanya pada satu orang? Huft, mengingat lelaki yang telah memiliki dua istri itu, menciptakan gulana di sudut hati.

*

Jam lima sore, aku masih berbetah-betah di toko. 

Biasanya jika Mas Rian tak keluar kota, makanan kesukaannya telah tertata di meja makan, Abram, rumah, dan semua isinya sudah rapi.

Entah itu disebut pengabdian atau apa, diri mencontoh wanita yang melahirkanku saat beliau merawat kami dan bapak berpuluh tahun. 

Orang tua memang teladan utama bagi anak-anaknya, maka wajarlah mereka disematkan gelar malaikat tak bersayap, pun madrasah pertama bagi setiap insan bergelar anak. 

Aku rasa semua telah berbeda. Apa kira-kira lelaki yang telah memberi keturunan itu masih membutuhkan yang sama lagi? Setelah wanita yang diidamkannya telah kembali? Alangkah mustahilnya diri menunggu hujan di tengah teriknya mentari.

“Kita bermalam di sini saja ya, Mah?” ucap Abram seusai menyimpan buku Iqra’ di atas lemari belajarnya. Ini rutinitas kami setiap selesai salat Isa. Ada atau tak ada papanya. 

Meski tak pernah duduk di bangku pesantren, mengajarkan anak dasar-dasar Al-Qur’an, juga baca tulis, aku rasa tak terlalu sulit. Kecuali kalau sudah masuk tingkat pemahaman, baru perlu bimbingan guru, itu menurut sebagian orang yang berpendidikan rendah sepertiku. 

“Kenapa? Nggak rindu sama papa?” Sebenarnya aku senang dengan permintaan Abram, setidak diri punya alasan agar tak kembali ke rumah. Sungguh hunian yang menjadi tempat terdamai dalam merajut asa dan mimpi, kini seperti kastil yang mengerikan buatku.

Tapi ada penasaran bercokol jua di hati, alasan apa yang membuat putraku seakan enggan ke sana. 

Apa anak itu merasakan gundah mamahnya? Ataukah kehilangan kontak selama hampir dua bulan dengan papanya telah membuat rindu itu benar-benar menguap? Atau ada yang lain tanpa sepengetahuanku?

”Papa ….” Teriakan Abram membuatku terkesiap, posisi jantung seakan ikut bergeser dari posisi menyadari lelaki pembuat gulana itu berdiri di ambang pintu memeluk putranya.  

Okey, lain kali saja aku tanyakan alasan Abram enggan pulang ke rumah.

“Tempatnya adem, apa Abram yang request model dan warna cat ini?” Netra Mas Rian memindai setiap sudut, sampai ke ruangan di luar kamar. 

Ini memang pertama kali dia melihat langsung bekas tempat prakteknya setelah aku renov bagian lantai atas dengan membuat bilik pribadi, kamar Abram, ruang tamu, keluarga, dapur, dan pavilium. Ya, semua sangat minimalis. Berbanding terbalik di rumah utama yang megah dan besar. 

“Maaf, Mas. Aku rencana mau minta saran Mas itu hari, tapi ….” Aku menghentikan kalimat saat lelaki berwibawa di mataku itu mengangkat tangan tanda …? Entah bagaimana memaknai maksudnya.

“kita pulang di rumah yuk, Jagoan?!” ajaknya mengangkat tubuh Abram ke sofa minimalis dekat jendela, tampak sekali tak ada niat menanggapi kalimatku. 

Tak apa! Diri ini sudah terbiasa diabaikan. Dia datang di sini saja meski bukan aku tujuan, sudah hal istimewah. Ah, sesederhana itu aku bahagia.

Abram tak menjawab, matanya kuyu melihatku.

“Ntar kapan-kapan ketemu mamah lagi.” Ucapan lelaki yang kunanti hatinya tanpa melihat ke arahku meski sejenak apalagi berdiskusi itu seketika membuatku terpaku. 

Apakah itu artinya rencana memisahkan aku dengan Abram bukan sebatas isapan jempol belaka?Tetapi, kini sedang dimulainya? 

Duh, hati. Baru saja melambung, seketika berganti durja.

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wanita waras akan jatuh cinta dg bujuk rayu kata2 manis tapi yg 1 ini agak lain. udah sadar dinikahi krn apa, didatangi ketika dibutuhkan dan meneriakkan nama sang disaat akhir tapi tetap juga jatuh cinta. anda sendirj yg cari penyakit tanpa melihat diri sendiri. pasif dan kampungan.
goodnovel comment avatar
Dany Sentiawati
tidak punya hati dr Rian
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status