Yuni mengangkat kakinya di atas sofa, sembari menatap sinis pada Dahlia yang sedang membersihkan beberapa hiasan dinding dengan kemoceng. Gadis itu pun seolah tak peduli, majikannya sedang memperhatikan dirinya dengan cermat. Kedua mata Yuni menelisik ke jemari tangan Dahlia. Tidak ada cincin. Sejak gadis itu sampai, tak ada ucapan apapun dari mulutnya juga dari mulut Dahlia. Hanya salam saja ketika dia baru sampai pukul enam pagi tadi.
Dahlia menapaki setapak demi setapak marmer mahal yang sudah bertahun-tahun selalu dirawatnya. Di sini memang ia menggantungkan nasib dan kehidupan keluarganya. Bu Yuni selalu memberikannya gaji tepat waktu meski sering dipotong karena menurutnya pekerjaan Dahlia kurang bersih, kurang cepat."Jangan nekad kamu, Dahlia! Ingat, kamu dan keluargamu itu tak akan bisa melanjutkan hidup tanpa gaji dari sini!" ancam Yuni melototkan matanya."Wanita sinting!" umpat Belinda menambahkan.Dahlia terus melangkah. Di sini, tempatnya selalu menempa kesabaran. Karakter Bu Yuni yang asal perintah dan memiliki mulut tanpa saringan itu kerap kali membuatnya menahan air mata. Ditambah sikap Belinda yang memandangnya sebelah mata, membuatnya harus menambah stok kesabaran. Seharusnya gadis itu lebih bersahabat dengannya karena mereka seusia. Namun faktanya tidak.Belinda mengejar Dahlia lalu mendo
Sejenak Aditya diam. Pikirannya berputar cepat. Dia adalah calon pimpinan tertinggi Central Glori. Pantang menjilat ludahnya sendiri dan itu artinya dia sudah memutuskan. Nasi sudah menjadi bubur dan tak akan bisa mundur. Tak ada yang perlu disembunyikan dari Dahlia. Karena memang dia akan menikahi gadis ini bukan karena cinta. Hatinya sudah tertutup rapat. Terlalu sakit karena hinaan wanita yang diberikan ketulusan cinta. Aditya pun yakin, Dahlia juga sama dengan Belinda. Apa lagi, gadis itu berasal dari kalangan menengah ke bawah. Pastilah, rasa hausnya akan harta juga sangat tinggi.Setidaknya itu terpikirkan di kepala laki-laki yang sedikit berjambang tipis itu."Aku adalah anak sulung dari Hadi Pratama, pemilik banyak perusahaan di kota ini. Dan perusahaan tempat Belinda bekerja adalah milik ayahku. Sebagai anak pertama laki-laki, aku akan mewarisi perusahaan itu. Tapi ada syaratnya, harus menikah dan menguasai segala bidang di perusahaan. Itu me
Setelah banyak detik yang terbuang di antara mereka, akhirnya Dahlia bicara. "Andai kamu mengatakan ini pada Belinda saat kamu melamarnya, aku yakin, dia dan ibunya pasti langsung menerimanya." "Aku sangat mencintainya, tak melihat apakah dia wanita berada atau tidak. Jika seadainya, Belinda pun hanya seorang pembantu sepertimu. Aku pun akan tetap mencintainya." Dahlia mengelus ujung meja yang terbuat dari akrilik itu. Entah apa yang di pikiran gadis itu. Namun kalimat dari bibir mungilnya menjawab pertanyaan Aditya. "Jadi begitu rendahnya status seorang pembantu di matamu." "Bukan begitu. Jangan salah kaprah. Beda otak, beda pandangan, dan beda persepsi. Itu hanya perumpamaan. Jangan salah, pasangan yang kubawa saat melamarmu itu adalah dua pelayanku. Aku menghargai mereka bahkan menyayangi mereka seperti kedua orang tuaku. Tidak ada yang salah dengan art, justru mereka sangat luar biasa. Namun, marilah kita bicara dari segi strata sosial dan logika." Aditya menatap serius pad
"Dasar gadis aneh. Ya kamu, harus menyesuaikanlah! Kamu kerja siang malam berbulan-bulan di rumah Belinda juga takkan mampu beli hp yang akan kuberikan. Jangan banyak protes. Aku tak hanya omong besar, aku yang fasilitasi! Sudah, buang saja hp jadulmu itu, sekalian nanti pakai lempar tikus di rumahmu."Ketimplaaaak!!!Hp jadul Dahlia sempurna mendarat di dada Aditya. Sakit sekali. Kekuatan lemparan Dahlia benar-benar membuatkan Aditya meringis menahan sakitnya."Aku hanya praktek lempar tikus, gimana? Kira-kira tikusnya mati gak kalau lemparnya kayak gitu?""Cewek gila! Ini sakit tau! Lepas jantungku rasanya! Iiissh!"Aditya mengelus dada, menikmati sakit yang semakin mudar. Ingin rasanya dia mencekik gadis di depannya itu, tapi ekspresi tawanya yang berbinar menyipitkan mata cantiknya itu membuat Aditya luluh. Sekarang Aditya justru yang terlihat payah."Ambil lagi hpmu sebelum kuinjak s
Ttttiiiit! Dareen mengklakson motor yang membawa Dahlia. Gadis itu menoleh ke belakang. "Pak! Kenapa mobil itu ngejar-ngejar kita?!" "Masak, Mbak?" "Iya!" "Oawaduuuh!" Husen melajukan motornya makin kencang. Dareen pun terus mengikuti mereka. Husen memutuskan masuk gang yang berbelok-belok juga becek. Semalam hujan turun dengan sangat deras. Setelah merasa aman, mereka pun masuk gang komplek perumahan. "Mbak, kayaknya mobil itu sudah gak kelihatan lagi! Mbak turun di sini aja ya, soalnya saya ada orderan online!" seru Husen sedikit tegang. "Oooh ... gimana dong, Pak. Saya takut mobil tadi datang, Pak!" "Tenang aja, Mbak. Gak mungkin juga mobil bagus gitu ada urusannya sama kita. Mungkin Mbaknya aja yang kepedean mentang-mentang sedang cantik sekarang," seloroh H
Pagi sekali, Aditya sudah berada di kantor, berkutat dengan data yang harus segera diselesaikan. Sudah dua hari ini, ia meliburkan diri. Jangan sampai, ayahnya berubah pikiran karena dikira malas. Sesuai janji, harus selesai secepatnya sehingga Aditya bisa fokus dengan rencana pernikahannya."Kamu kemana aja, Dit? Kok sampe dua hari ngilang?" tegur Mita, rekan satu devisi dengannya."Aku sibuk mau lamar anak gadis orang," kekeh Aditya terus fokus.Toni, teman samping meja kerja Aditya langsung melebarkan telinganya. Laki-laki kurus itu cukup terkejut sebab itu artinya, ada yang akan mengakhiri masa singel sedangkan dia masih bertahan dengan status jomblo."Iiih seriusan kamu, Dit?!""Tapi ditolak! Hahahaha!" timpal Aditya terus mengetik.Mita dan Toni ikut tertawa. Tiba-tiba, gadis berambut lurus sebahu dengan tubuh semampai meng
"Terimakasih atas sambutannya, Pak Nyoman. Anda sudah banyak membantu," ujar Aditya sedikit membungkuk untuk menghormatinya. Selama ini, dialah yang menghendel tugas ayah Aditya. Kerjanya bagus dan orangnya tegas. Sekarang Aditya berdiri tegak lalu melihat seluruh penghuni ruangan itu satu-satu. Tak ada yang berani mengangkat wajah. Jangan tanya bagaimana Belinda. Nampaknya, gadis itu sebentar lagi akan pingsan. Lihat saja, ia sedang berpegang pada ujung meja di sampingnya. Belinda hanya menunduk. Jelas terlihat, tangannya yang mulus itu sedang gemetar. Gatal juga tangan Aditya, ingin menyediakan kursi karena takut Belinda akan ambruk. 'Gimana Bel?! Masih bernafas kamu?!' batin Aditya tersenyum puas. "Sebelumnya, aku minta maaf karena tak jujur pada kalian. Aku hanya ingin mengenal perusahaanku lebih dalam. Aku juga ingin mengetahui setiap karakter kalian secara langsung. Semua takkan murni jika kalian tahu siapa aku. Kalian begitu luar biasa. Tanpa kerja keras kalian, perusahaan
Belinda mendekati kursi Aditya, mencoba meraih tangan pemuda itu. Aditya langsung menepisnya."Tolong, jangan sentuh aku, Bel! Kita tak selevel!""Adit! Segitunya kamu!""Looh ... kamu sendiri yang bilang kok. Beberapa kali dan yang terbaru, sekitar tiga jam yang lalu, di depan semua orang! Di kantorku!"Tubuh Belinda sempurna luruh di dekat kaki Aditya. Tangannya mencoba meraih betis pemuda di depannya. Aditya semakin muak. Kenapa sampai segitunya dia merendahkan diri? Setelah dia tahu siapa laki-laki yang ditolaknya. Aditya makin tak sudi."Bangun. Aku tak suka caramu ini," tegur Aditya memalingkan wajah."Please, Dit. Maafin!"Belinda memaksa."Terus, kalau aku sudah maafin kamu. Mau apa?!""Kita akan memperbaikinya," ujarnya seolah tanpa beban. Enak sekali dia berujar.&