BAB 3
MEMBLOKIR KARTU MILIK AKBARKienan bisa mengatakan hal itu merupakan kejanggalan karena menurut laporan Akbar selama ini, perusahaan sedang mengalami penurunan, sehingga mereka harus mengurangi pengeluaran, termasuk biaya model untuk iklan.Tetapi,di laporan tersebut, ada biaya model iklan yang jumlahnya tiga kali lipat dari biasanya.Kienan menghela napas kasar. Kalau seperti ini, perusahaannya bisa bangkrut.Perusahaan tersebut adalah peninggalan orang tuanya. Dulu, mereka merintis semuanya dari nol. Dia masih ingat, saat itu ia berusia lima tahun saat papanya di PHK dari perusahaan tempatnya bekerja.Berbekal uang pesangon dan menjual sawah peninggalan kakek nenek Kienan, papanya merintis usaha sendiri. Jatuh bangun pernah mereka rasakan.Saat Kienan kelas satu SMP, perusahaan milik papanya perlahan mulai merangkak. Sedikit demi sedikit, kehidupan ekonomi meningkat.Melihat perjuangan berat orang tuanya dan dia sebagai anak satu-satunya, Kienan kuliah mengambil jurusan manajemen bisnis agar kelak bisa meneruskan bisnis papanya.Orangtuanya meninggal karena kecelakaan, dua tahun setelah dia menikah. Sejak hari itu, Akbar yang biasanya menjadi wakil direktur, menggantikan posisi sang mertua. Sementara Kienan, dia hanya ingin menjadi ibu rumah tangga karena tanggung jawab kepada perusahaan sudah diambil alih oleh suaminya.Kini, tanggung jawab itu kembali kepadanya. Sepertinya, melihat dari laporan para kepala divisi yang dia lihat sekilas tadi, perjuangannya akan berat. Dia membutuhkan tim yang kuat, solid, dan dapat dipercaya untuk memperbaiki semuanya.Hal pertama yang dia lakukan adalah melakukan audit, seperti rencananya tadi. Setelah itu dia akan mengganti staf yang terlibat. Sepanjang hari ini, Kienan berkutat dengan berkas. Bahkan, dia makan siang tanpa meninggalkan ruangannya. Dia hanya meminta tolong kepada Annisa untuk membelikan makanan."Annisa, tolong belikan makan siang di restoran depan! Tolong belikan juga buah-buahan yang sudah dikupas buat cemilan!" ujar Kienan melalui interkom."Baik, Bu!" sahut Annisa.Tak lama kemudian, Annisa datang membawa pesanannya. Sebenarnya, dia gak mood untuk makan. Namun, dia sadar, anak dalam kandungannya butuh asupan makanan.Dia tidak boleh sakit. Dia harus sehat. Itu yang selau dia ucapkan dalam hati. Demi buah hatinya.Tok … tok … tok ….Pintu ruangannya diketuk."Silahkan masuk!" teriak Kienan dari dalam."Maaf, Bu, ada pak Firman ingin bertemu dengan Ibu!" ujar Annisa."Ow, iya. Suruh beliau masuk!"Tak berselang lama, pak Firman masuk ke dalam ruangan Kienan."Bagaimana, pak Firman?" tanya Kienan setelah pak Firman duduk di depannya."Saya sudah memblokir semua kartu milik pak Akbar. Ini laporannya!" sahut pak Firman.Kienan membuka berkas-berkas tersebut. Dia mendesah. Tagihan kartu kredit Akbar membengkak. Bahkan, ada pengeluaran senilai lima ratus juta untuk DP pembelian rumah.Kienan memijit pelipisnya. Kepalanya semakin pusing."Baik, Pak! Terima kasih laporannya! Bagaimana dengan tim audit?" tanya Kienan."Saya sudah menghubungi mereka. Mereka akan datang besok pagi!" jawab pak Firman."Bagus. Terimakasih pak Firman atas bantuannya!""Sama-sama, Bu! Kalau begitu, saya permisi! Selamat sore!""Selamat sore, Pak!"Setelah pak Firman berpamitan, Kienan pun segera beranjak pulang dengan setumpuk berkas. Dia akan melanjutkan pekerjaannya di rumah. Hari ini, tenaganya benar-benar terkuras.****************"Sayang, kita belanja dimana, nih?" tanya Akbar kepada Rachel."Di mall Mahkota Raya saja. Lengkap. Jadi, gak perlu muter-muter," jawab Rachel."Oke, siap," jawab Akbar mantap.Tiba-tiba, ponsel Akbar berbunyi."Halo, Pak Wisnu! Ada apa?" ujar Akbar."Pak Akbar, disini ada Bu Kienan. Beliau mengambil alih perusahaan dan memerintahkan semua kepala divisi untuk mengirim laporan tiga bulan terakhir," ujar suara di seberang sana."Biarkan saja, pak Wisnu! Biar dia pusing sendiri! Saya sudah lepas tangan," jawab Akbar enteng."Bagaimana jika kecurangan kita ketahuan, Pak? Saya tidak mau masuk penjara," ujar pak Wisnu."Tidak perlu takut, pak Wisnu! Tim audit perusahaan ada dipihak kita. Tinggal kasih uang saja, beres. Mereka tidak akan buka mulut.""Baik, Pak, kalau begitu! Saya percaya dengan Bapak!"Akbar memutus sambungan telepon."Pak Wisnu, ya?" tanya Rachel."Iya. Rupanya, Kienan bergerak cepat. Dia sudah mengambil alih perusahaan. Untungnya, aku lebih gesit. Ha …,"ujar Akbar sembari tertawa."Dia pasti kaget melihat kondisi perusahaannya," sahut Rachel."Biarin ajalah, dia pusing sendiri. Bagian kita, bersenang-senang. Ha …."Mereka tertawa bersama menikmati keberhasilannya.Tak lama berselang, mereka sudah sampai di Mall yang mereka tuju.Rachel berbelanja banyak sekali. Mulai dari pakaian bayi, sepatu bayi, dan pernik-perniknya, boks bayi, kereta dorong, bahkan mainan-mainan juga mereka beli.Menurut hasil USG, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Rachel membeli semua pernak-pernik tersebut berwarna pink. Bahkan, kamar untuk anak mereka pun sudah disiapkan dengan nuansa princess Frozen.Setelah merasa kelelahan berkeliling dan sudah cukup belanjanya, mereka menuju kasir."Totalnya empat puluh lima juta, Pak!" ujar si kasir.Akbar menyerahkan kartu kreditnya.Kasir tersebut menggesekkan kartu tersebut pada alat yang tersedia, tapi gagal."Maaf, Pak! Ada kartu lain?"tanyanya."Kenapa?" tanya Akbar heran."Maaf, Pak! Yang ini tidak bisa!"Lalu, Akbar menyerahkan kartu lain."Maaf, Pak! Ada kartu lain lagi? Yang ini juga gak bisa!" ujar kasir itu lagi.Akbar menggantinya dengan kartu lain. Tapi sayang, semua kartu yang dia punya tidak dapat digunakan."Kenapa, Mas?" tanya Rachel karena Akbar terlalu lama di meja kasir."Ini, sayang! Kartuku tidak ada yang bisa digunakan! Sepertinya, diblokir Kienan, deh! Pakai kartu kamu dulu, ya!"Rachel menyerahkan kartunya ke kasir. Setelah menyelesaikan pembayaran, mereka segera keluar dari tempat tersebut."Mas, aku gak mau tahu, ya! Uangku harus kamu ganti! Harusnya kan, belanja kebutuhan anak kita itu kewajiban kamu!" oceh Rachel didalam mobil."Iya, sayang! Pasti aku ganti, kok! Tenang saja!""Kok bisa sih, mas, Kienan ngeblokir semua kartumu?"tanya Rachel heran."Iya. Kartu-kartu itu, dulu yang ngurus Kienan. Aku terima jadi saja.""Trus, uangnya bagaimana? Kan, sayang!""Biarin ajalah! Gak seberapa kok! Gak sebanding dengan apa yang sudah aku ambil dari perusahaannya!" jawab Akbar sembari tersenyum.Rachel pun turut tersenyum."Benar juga, ya!" Mereka tertawa bersama."Bagaimana bisnis karaoke mas?" tanya Rachel."Syukurlah, semakin lama pengunjungnya semakin banyak! Banyak pejabat dan pengusaha yang sering mampir!" jawab Akbar."Yang di Jalan Melati juga jalan?""Sejauh ini semua lancar dan aman. Jalan Melati, gang Anggrek, jalan A. Yani, dan gang Jeruk semua aman terkendali." Agung memberi penjelasan."Yang di belakang karaoke juga aman? Pernah ada sidak gak sih, mas, bisnis gituan?""Pernahlah, beberapa kali. Tinggal pinter-pinternya kita aja. Kita kan, punya pak Sanusi, jadi bisa dipastikan aman."Rachel mengangguk-angguk tanda memgerti.********Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, tim audit sudah sampai kantor bersama pak Firman. Mereka segera menuju ruangan milik Kienan."Siapa mereka, pak?" tanya Kienan kepada pak Firman."Mereka adalah tim audit dari perusahaan swasta, Bu!" jawab Pak Firman.Kienan memandang mereka heran. Melihat hal itu, pak Firman meminta mereka menunggu di lobi kantor.Setelah mereka keluar dari ruangan, pak Firman memberikan penjelasan."Mereka tim audit terbaik, Bu. Saya sudah membuktikan sendiri kemampuan mereka dan track record mereka juga bagus.""Apa bapak yakin? Mereka masih muda,lho!" tanya Kienan heran."Saya yakin, Bu! Walaupun mereka masih muda,mereka sudah berpengalaman menyelesaikan berbagai kasus." Pak Firman memberi penjelasan."Apa mereka benar-benar bisa dipercaya? Ini menyangkut rahasia perusahaan, lho!""Seperti yang saya sampaikan tadi, track record mereka bagus. Mereka tidak akan mengecewakan Ibu.""Baik. Saya percaya dengan bapak. Lakukan pemeriksaan secepatnya!""Baik, Bu! Permisi!"Pak Firman segera meninggalkan ruangan Kienan. Dengan membawa surat kuasa dari sang big bos, dia mengarahkan tim audit untuk segera melakukan pemeriksaan.Rombongan mereka berjalan tenang menuju divisi keuangan. Melihat rombongan tersebut, para karyawan sudah mulai kasak kusuk.Mendengar ada kehebohan, Pak Wisnu segera keluar dari ruangan wakil direkturnya menemui mereka."Selamat pagi, pak Firman!" sapa pak Wisnu."Selamat pagi, Pak Wisnu! Apa kabar?" tanya pak Firman ramah."Siapa mereka?" tanya pak Wisnu tanpa basa-basi."Oh … mereka tim audit. Saya kesini mengantar mereka," jawab pak Firman tenang."Apa? Bagaimana bisa anda membawa orang luar untuk melakukan audit di perusahaan kita?" protes pak Wisnu.BAB 13AKHIR YANG BAHAGIA"Ibu!" ujar Farel terkejut."Ngapain kamu di rumah perempuan itu? Ayo pulang!" sentak wanita bertubuh tambun tersebut."Aku hanya mengantar mereka pulang saja, Bu!" sahut Farel."Jangan banyak alasan, cepat pulang! Hei, Nana! Kamu itu sudah menikah. Bisa-bisanya kamu menggoda anakku. Kalau mau selingkuh, cari laki-laki lain, jangan anakku. Aku tidak rela!" sentak ibu Farel."Ibu, siapa yang menggoda sih? Aku hanya mengantar mereka. Lagi pula aku sendiri yang berinisiatif!" sahut Farel membela Nana."Jangan bela mereka. Ingat ya, ini peringatan terakhir. Jangan ganggu anakku lagi!" Usai mengatakan hal tersebet, wanita bertubuh tambun tersebut segera menyeret Farel meninggalkan rumah Nana. Tak diperdulikannya beberapa warga yang menonton kejadian tersebut."Ada apa, Na? Kok ibu dengar ribut-ribut!" tanya Bu Husna. "Tadi … ibunya Mas Farel kesini!" sahut Nana dengan mimik sedih. Bu Husna menghela nafas panjang sejenak. Bisa bisa menebak apa yang tejadi tadi. Di
BAB 12BERTEMU KEMBALIDengan penuh percaya diri, pengendara tersebut segera turun dari motornya. Belum juga dia melepas helmnya, Nana sudah menghampiri dan melabraknya.“Hei, Mas, maksudnya apaan, menghalangi jalan kami? Mau pamr motor?” sentak Nana. Pria tersebut yang hendak melepaskan helmnya, menghentikan aksinya seketika. Dia menatap Nana dengan intens dari balik helm full facenya.“Kalau mau aksi keren-kerenan, jangan disini! Lagipula saya gak minat!” lanjut Nana.“Nana ... jangan kasar begitu! Maaf ya, Nak!” ujar Bu Husna merasa tidak enak.“Untuk apa Ibu minta maaf sama dia. Dia yang salah kok!” sahut Nana membela diri.“Iya, Bu, tidak apa-apa! Saya paham kok! Saya kan sudah hafal dengan sifatnya!” sahut pria tersebut. Nana terkesiap seketika. Suara itu, suara yang pernah sangat akrab di telinganya. Nana menatap pria tersebut dengan intens. Sayangnya, keberadaan helm yang masih dikenakan pria tersebut, membuatnya tidak bisa mengenali pria tersebut.Menyadari kebingungan wanita
BAB 11DI KAMPUNGTok tok tok ....“Sebentar!” samar-samar, Nana mendengar sebuah sahutan dari dalam. Nana tersenyum tipis. Itu adalah suara yang selalu dia rindukan selama ini.“Nana! Masya Allah!” ujar wanita yang berusia hampir senja tersebut. Beliau menatap Nana dengan penuh haru.“Ibu!” ujar Nana dengan suara tercekat. Dia pun segera mencium punggung tangan wanita tersebut. Wanita tua tersebut membawa Nana ke dalam pelukannya.“Nana! Ibu kangen banget sama kamu!” ujarnya dengan air mata yang mulai membasahi pipi.“Nana juga kangen sama Ibu dan Bapak!” ujar Nana. Dia pun sudah tak dapat membendung air matanya lagi. Kerinduannya membuncah. Sejak menikah, ini pertama kalinya dia kembali menginjakkan kaki di rumah orang tuanya. Untuk beberapa lama, mereka saling berpelukan meluapkan kerinduan yang terpendam.“Kamu kok sendirian? Reno mana?” tanya wanita tersebut.“Em ... Mas Reno sedang sibuk, Bu. Jadi, gak bisa ngantar!” sahut Nana beralasan.“Bapak mana, Bu?” tanya Nana lagi.“Ba
BAB 10FAKTA MENGEJUTKAN"Bapak kenal Pak Nizam?" tanya Nana bingung."Em … iya, Na. Dulu!" sahut Akbar dengan wajah bingung."Pak Akbar apa kabar sekarang?" tanya Nizam mengalihkan perhatian."Alhamdulillah baik, Pak Nizam! Silahkan duduk! Maaf, tempatnya kotor!" ujar Akbar."Tidak masalah, terima kasih!" ujar Nizam, lalu duduk di salah satu bangku pembeli. "Na, ini sudah malam. Sebaiknya kamu istirahat saja. Lagipula, warung kan sepi. Sebentar lagi Bapak juga beberes!" ujar Akbar."Nana bantuin beberes aja ya, Pak?" sahut Nana."Tidak usah. Kamu istirahat saja!" ujar Akbar.Nana menghela nafas panjang."Baiklah kalau begitu. Pak Nizam, saya permisi dulu ya!" pamit Nana."Iya, silahkan!" sahut Nizam. Nana pun meninggalkan majikannya bersama Akbar."Jadi … ini kegiatan Pak Akbar setelah keluar dari penjara?" tanya Nizam."Iya, Pak. Sebenarnya, waktu itu beberapa kali saya mencoba melamar pekerjaan, tapi tidak ada yang mau menerima. Akhirnya, saya merintis jualan bakso ini!" sahut Akb
BAB 9RENCANA MENGGUGATBeruntung, sebelum dia benar-benar terjatuh, Nizam meraih tubuhnya. Untuk beberapa saat, mereka saling bertatapan. Jantung Nana berdetak dengan kencang. Seumur-umur, baru kali ini dia berada pada jarak sedekat ini dengan majikannya.“Papa!” sebuah panggilan mengagetkan mereka. Nana segera berdiri dan Nizam pun melepaskan pelukannya.“Papa ngapain di dapur?” tanya Clara, putri Nizam.Nana berusaha bangkit dan berdiri tegak, sedangkan Nizam segera melepaskan pelukannya pada Nana. Suasana pun menjadi kikuk. “Em ... ini, tadi Nana jatuh. Kebetulan Papa pas disini. Kamu belum berangkat?” tanya Nizam pada putrinya. “Sebentar lagi, Pa!” sahut Clara seraya menatap Nana curiga.“Saya buatkan kopinya dulu, Pak!” pamit Nana.“Oh, iya! Saya tunggu di depan!” ujar Nizam.“Ayo, Sayang!” ajak Nizam pada Clara.“Papa gak kerja?” tanya Clara.“Ntar, berangkat agak siangan! Papa ada janji ketemu klien di dekat sini! Dari pada bolak-balik, mending berangkat ntar sekalian!”
BAB 8TALAK“Cepat berikan uangnya!” perintah mertuanya.“Maaf, Bu, saya tidak bisa!” sahut Nana tegas.Narti yang merasa sangat geram, segera merampas tas Nana yang masih dipegangnya. Nana pun berusaha mempertahankan tanya sehingga terjadi aksi saling mendorong hingga akhirnya mereka berdua terjatuh. Nana menghembuskan nafas lega karena dia berhasil mempertahankan tasnya.“Ibu!” teriak Reno saat melihat Ibunya jatuh tersungkur.“Ibu tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.“Nana, apa yang kamu lakukan sama Ibu?” bentak Reno pada Nana. “Ren, istrimu sungguh durhaka, Ren! Dia sama sekali tidak menghargai Ibu!” ujar Narti seraya terisak.Reno menatap istrinya dengan geram. Reno segera membantu Ibunya bangkit dan duduk di sofa. “Ibu kenapa bisa jatuh gitu?” tanya Reno lagi.“Ibu didorong Nana, Ren! Ibu hanya mau pinjam uangnya sedikit untuk membeli obat!” ujar Narti.“Memangnya uang yang aku kasih kurang, Bu?” tanya Reno.“Uangnya sudah habis, Ren! Sudah Ibu gunakan untuk bayar kuliahnya Viv