Sebuah rumah kayu yang megah, dengan banyaknya obor yang menerangi rumah tersebut. Juga ukiran-ukiran dari kayu yang menghiasi rumah itu yang membuatnya tambah cantik.
Memang tidak bisa dibandingkan dengan rumah-rumah yang sudah memakai batu bata di kota-kota besar. Namun menurutku, rumah ini adalah rumah paling mewah yang pernah aku lihat semasa aku hidup di Kampung Sepuh.
Kreaaaak
Sebuah pintu kayu besar berwarna cokelat tua tiba-tiba terbuka dengan sendirinya, membiarkan aku dan makhluk tersebut masuk ke dalam rumah tersebut.
Aku pun sedikit takjub dengan ruangan di dalam rumah itu, sebuah ruangan yang sangat panjang dengan alas yang terbuat dari batu yang berkilau berwarna hitam yang memantulkan cahaya kemerah-merahan ketika cahaya obor yang ada di dalam ruangan itu tiba-tiba menyala dengan sendirinya.
Juga, sebuah karpet yang ditata secara rapi terbuat dari kulit hewan yang memanjang hingga ke ujung dengan ruangan ini terlihat olehku. Bul
Mohon maaf saya telat upload internet nya gangguan dari tadi pagi, jadi baru bisa ke upload sore ini tetap support ya vote dan komen mu adalah semangat untukku
Pagi sudah tiba, menggantikan hening dan sunyinya malam yang menemani tidur para warga Kampung Sepuh di bawah selimutnya yang hangat. Kini terlihat, banyak sekali asap-asap mengepul di atas atap-atap mereka, asap yang keluar dari sela-sela genteng dan rumbia, dari tungku di dapur yang menyala dengan suara-suara berisik peralatan masak yang terdengar hingga keluar rumah. Pagi hari Kampung Sepuh tampak sangat sibuk, meskipun matahari belum menampakan sinarnya dengan sempurna. Namun, sudah banyak warga yang bangun dan beraktivitas untuk menyambut hari, meskipun hawa dingin dari pegunungan menusuk kulit di pagi itu. Beberapa dari mereka bahkan membakar beberapa kayu dan ranting-ranting pohon, serta dedaunan kering dan beberapa sampah untuk dibakar di depan rumahnya, sekaligus menghangatkan badan mereka dari hawa dingin yang terasa oleh kulit mereka. Dengan ditemani secangkir kopi panas dan rokok keretek yang selalu mereka bawa, biasanya mereka akan mengha
Sawah dan ladang yang membentang luas, menjadi salah satu tempat untuk para warga Kampung Sepuh mencari sumber kehidupan setiap harinya. Banyak dari mereka menjadi buruh tani untuk menggarap sawah, banyak juga dari mereka yang menggarap sawahnya sendiri. Juga, banyak yang mencoba mengalihfungsikan lahannya menjadi kebun yang ditumbuhi sayuran juga buah-buahan.Mereka akan menjualnya ke para pengepul ketika panen tiba, beras-beras Kampung Sepuh yang terkenal sangat pulen dan enak apabila di makan pada saat matang dengan ikan asin dan lalapan serta sambal terasi, membuatnya sangat laku di pasaran. Juga sayur-mayur dan buah-buahan segar, yang seringkali mereka kumpulkan dan dijual di pasar induk di kota besar. Sehingga, dari hasil bertani saja sudah bisa mencukupi kehidupan mereka untuk beberapa bulan kedepan. Meskipun, tidak ada hal yang mewah yang bisa mereka dapatkan, mereka hanya bisa hidup sederhana. Dan mengambil sebagian kecil dari hasil panen itu untuk makanan se
“Wah gila kamu mah Man, di tengah-tengah sawah gini main jelangkung, mana udah jam tiga sore pula ini kita mainnya, ” Kata Rusdi yang bergidik ketakutan karena melihat bungkusan kresek yang Darman bawa. “Tenang aja Rus, emang aku sengaja ngajak kalian ke saung ini untuk main jelangkung ini, selain kita ngobrolin kerjaan. ” “Toh dulu juga kita sewaktu SD sering banget main jelangkung, dan ampe sekarang aman-aman aja Rus, ” Kata Darman dengan santai nya. “Iya kan dulu kita cuman pake koin terus di pegang sama-sama, bisa aja itu bohong kan, karena ada yang gerakin salah satu dari kita. ” “Kalau pake ginian mah serem Man, sengaja kamu ya bikin jelangkung beneran kayak gitu? ” Kata Rusdi sambil nunjuk ke arah keresek yang belum Darman buka sepenuhnya. Parman yang melihat dua kakak tingkatnya berdebat masalah jelangkung ini hanya terdiam. Dia sudah biasa melihat Darman dan Rusdi bertengkar dan beradu pendapat ketika sedang bersama, Darman yang nyele
Disebuah saung di tengah sawah, Darman, Rusdi dan Parman terlihat sangat serius dengan sebuah jelangkung di tengah-tengah mereka. Jelangkung yang terlihat menyeramkan dengan sebuah daster putih yang sudah kotor karena berdebu, juga kepalanya yang memakai batok kelapa dan digambar sebuah wajah yang sedang tersenyum oleh Darman dengan spidol yang dia bawa. Mulut mereka terus-menerus bergumam, mereka serempak membacakan mantra pemanggil para makhluk yang nantinya akan masuk ke dalam boneka jelangkung tersebut dan berkomunikasi dengan mereka bertiga. Sudah hampir lima belas menit mereka membacakan mantra. Namun, tidak ada pergerakan sama sekali dari jelangkung itu. Tidak ada sesuatu yang mereka rasakan ketika mereka memegang jelangkung itu, seperti tidak ada satu makhluk pun yang ingin masuk ke dalam boneka jelangkung yang mereka mainkan saat ini. “Kok gak gerak-gerak ya? ” Kata Darman. “Ada yang salah gitu ya dengan mantra pemanggilnya? ” Darman
Sore hari menjelang, cahaya-cahaya kemerahan kini mulai muncul di ufuk barat. Bersamaan dengan turunnya matahari melewati awan-awan putih yang kini tampak berwarna merah tua. Sorotan cahaya dari matahari sore terlihat di antara awan-awan tersebut, juga banyak sekali kelelawar yang hilir mudik dan terbang di sekitar kampung sebagai tanda bahwa sudah waktunya bagi mereka untuk mencari makan. Kelelawar-kelelawar hitam yang berjumlah ratusan itu pun mengelilingi Gunung Sepuh. Saking banyaknya, mereka bergerombol dan terbang ke sana kemari hingga menutupi langit sore di atas gunung. Namun, hal itu tidak menjadikan sesuatu hal yang mengerikan di Kampung Sepuh, para warga sudah terbiasa dengan pemandangan yang seperti ini. Pemandangan yang akan jarang sekali dilihat oleh orang-orang yang tinggal di perkotaan, dan hal itu menjadi suatu ciri khas yang hanya bisa terlihat di Kampung Sepuh di setiap sorenya. Aku kini sedang duduk-duduk di depan warung, sambil me
Sinar matahari semakin lama semakin redup, yang tersisa hanyalah warna merah kehitaman yang menutupi langit pada sore itu. Seperti berusaha untuk tetap memancarkan sinarnya, meskipun sang bulan dan bintang timur sudah perlahan muncul dan menggantikan cahayanya untuk menerangi malam. Di tengah sawah, terlihat tiga orang yang sedang berjalan perlahan dengan obor yang dan lampu minyak yang mereka bawa dari warung sebagai penerang jalan. Rasa takut, rasa gundah dan rasa khawatir karena salah satu teman mereka yang tiba-tiba hilang membuat mereka berteriak sepanjang jalan. Meneriakan nama teman mereka dengan harapan teman mereka yang hilang itu akan menjawab teriakan mereka. “DARMAAAAAAANNN!!” “A DARMAAAAAAAAAN!!” Rusdi dan Parman terus-menerus berteriak sepanjang sawah itu, beberapa kali mereka mencari di kebun, mencari di tumpukan jerami dan saung-saung. Juga mencari di kolam-kolam ikan yang ada di pinggir jalanan tersebut. “Kalian itu su
Sawah dan ladang, yang menjadi tempat bagi sebagian orang untuk mencari kehidupan pada siang hari. Sering kali, menjadi tempat yang berbeda ketika malam tiba. Hamparan padi yang sangat luas membentang hingga ke Gunung Sepuh, dengan daunnya yang hijau yang memanjakan mata. Tiba-tiba menjadi sebuah kegelapan yang total ketika malam tiba. Tidak ada satupun yang berani bermalam di persawahan ketika malam tiba, mereka sengaja membiarkan sawah dan ladang itu kosong ketika bulan dan bintang bermunculan. Bukan tanpa sebab. Tapi, warga Kampung Sepuh dan masyarakat di kala itu, sangat akrab sekali dengan kejadian-kejadian yang melibatkan para makhluk halus ketika malam tiba. Dengan kepercayaan dan adat istiadat yang seringkali bersinggungan dengan para makhluk tak kasat mata di sekitar mereka. Sehingga, banyak sekali kejadian-kejadian yang terjadi ketika malam tiba di persawahan. Terutama kepada orang-orang luar yang tidak tahu tentang aturan Kampung Sepuh di setiap ma
AAAAAAAAA Byuur Aku tiba-tiba teriak dan terjatuh di sawah yang penuh lumpur dekat saung, dan hal itu membuat tubuhku yang tadi nya sedang berdiri dan menancapkan jelangkung tersebut, tiba-tiba basah akibat air dan lumpur yang mengotori seluruh tubuhku ketika terjatuh. Aku tidak percaya, bahwa ada makhluk yang tingginya setengah dari badanku kini berdiri sambil memegang jelangkung tersebut dengan tatapannya yang tajam ke arahku. Aku mendadak kaget akan hal itu, karena tubuhnya yang putih, telinganya yang runcing, juga giginya yang tajam terlihat sangat jelas dari dekat. Sehingga membuat tubuhku mundur secara tiba-tiba dan jatuh di sawah. “Hayu urang ameng! (Ayo kita main! )” Kata makhluk itu dengan nada yang cempreng kepadaku. Jujur, meskipun sudah beberapa kali aku bertemu para makhluk, terutama ketika aku di tinggal sendirian di hutan beberapa saat yang lalu. Rasa takutku akan para makhluk yang muncul pada malam hari tetap saja membu