Share

Kado Biru Istriku
Kado Biru Istriku
Penulis: Syarlina

1. Sebuah Kado

Kado Biru Istriku

"Dek, ini uang bulanan buat kamu. Ingat, digunakan sebaik mungkin. Jangan belanja yang nggak perlu." Andin menerima pemberian uang dariku tanpa suara. Uang itu segera diletakkannya di atas nakas begitu saja tanpa menyimpannya dalam dompet seperti biasanya. Bahkan ia tidak menghitung berapa jumlah uang tersebut. Aneh, biasanya selalu ia hitung di hadapanku dan lalu mengeluh kalau uangnya kurang.

"Kamu tidak menghitungnya?" tanyaku penasaran.

Ia menggeleng. Lalu mengambil handuk yang kuletakkan sembarang setelah mandi di atas tempat tidur tanpa suara pula. Keningku mengernyit. Biasanya ia akan protes dan ngedumel panjang lebar hingga memekikkan gendang telinga. Kali ini tidak, ada apa dengannya?

Kuperhatikan ia dengan seksama. Ada yang berbeda. Ia lebih kurusan. Kukucek mata dan mengerjapkannya beberapa kali.

Iya, benar. Ia memang kurus. Apa diet? Sepertinya. Mungkin teguranku seminggu yang lalu itu manjur, kena di hatinya, makanya dia memutuskan untuk diet. Syukurlah.

"Din, kamu diet?"

Andin diam seperti tidak mendengar.

"Din …!" Kupanggil ulang.

"Hah?" Ia melongo seolah baru dengar. Bisa-bisanya melamun di saat aku mengajaknya bicara.

"Kamu diet? Abang lihat badanmu agak kurusan." Bibirnya terbuka ingin mengucapkan sesuatu, tapi gegas kupotong.

"Syukurlah, setidaknya uang belanja tidak akan berkurang banyak karena kebiasaanmu yang jajan di luar. Ibu sering bilang kamu selalu memanggil penjual makanan yang lewat di depan rumah kita."

"Berhematlah sedikit, Din. Ibu benar menyuruhku mengurangi jatah bulananmu. Setidaknya kamu nggak boros lagi. Uang bulan lalu masih ada sisa kan?" imbuhku melanjutkan.

Andin terdiam. Ia terpaku memandangku tanpa berkedip, kuharap apa yang barusan kuucapkan masuk ke telinga kiri dan langsung terkirim ke otaknya untuk direnungkan.

"Hei, kok bengong?" Kujentikkan tangan di depan wajahnya, baru ia mengerjap.

Kugelengkan kepala dengan sedikit. Kesal. "Ya sudah, Abang pergi kerja dulu nggak sarapan, takut telat," ucapku pamit setelah tidak ada sahutan apapun darinya.

Kulangkahkan kaki berjalan menuju pintu, baru beberapa langkah kutolehkan kepala ke arahnya. Dia hanya diam memandangku datar. Tanpa suara, tanpa senyuman. Ia bahkan lupa mencium tanganku seperti biasanya, ritual saat kupamit kerja.

Ada apa dengan istriku? Dia terlihat aneh. Sebenarnya dari seminggu yang lalu sudah tampak perubahan darinya. Namun kali ini sikapnya beda, lebih dingin, sedingin es kutub Utara. Tidak seperti biasanya cerewet dan berbicara banyak hal kepadaku.

Apa mungkin yang kuucapkan seminggu lalu itu keterlaluan?

***

"Dek, bisa nggak badanmu itu dikurusin? Capek aku, dijadikan bahan tertawaan keluarga kalau lagi ngumpul. Kamu dijuluki gendut lah, kulkas dua pintu, gajah bengkak. Lama-lama aku malu kalau hadir di acara keluarga. Belum lagi tetangga dan teman kantor Abang bilang istrinya Jaka gendut."

"Abang malu, memangnya kamu nggak malu apa dibilang begitu?" imbuhku lagi menyinggungnya.

Andin diam. Gestur tubuh dan ekspresinya datar saja. Tidak ada keterkejutan atau sangkalan darinya.

"Din?" panggilku.

"Oh …, Abang malu?" Ia tersenyum tipis sembari tangannya sibuk melipat pakaian.

"Tentu saja malu, Din. Orang-orang memanggil kamu begitu dan Abang terkena imbasnya juga. Seluruh orang memanggil Abang--Jaka suaminya si Andin gendut," jawabku mengeluh.

"Mau gimana lagi Bang emang bentukannya kayak gini, disyukuri aja. Yang penting istrimu ini sehat," sahutnya berkilah tampak santai menyahutku.

"Nggak, pokoknya kamu harus kurus. Kalau nggak, Abang akan cari istri yang kurus dan lebih cantik darimu." Andin melongo mendengar ancamanku barusan tapi tak kupedulikan.

"Sabtu ini kamu nggak perlu hadir di acara arisan keluarga. Biar Abang wakilin. Kurusin dulu badan bengkak itu baru boleh pergi," ancamku memperingatkannya lagi. Padahal sengaja karena aku berencana hadir membawa orang lain, bukan dia.

***

"Jak, kamu kenapa? Kok makannya melamun gitu? Masakannya nggak enak, ya?" Ibu bertanya dengan netra menelisik.

"Enak, kok, Bu," jawabku dengan tersenyum tipis menatapnya.

"Kalau enak kenapa makannya malas-malasan, Mas?" Erika ikut bersuara. Nada bicaranya terdengar kesal.

"Enak, kok," jawabku sembari memasukkan makanan ke dalam mulut dengan lahap.

"Kamu ada masalah sama Andin? Dia kenapa? Sakit?"

"Ibu tahu Andin sakit?" tanyaku terkejut. Jangan-jangan Andin memang sakit. Makanya dia terlihat lebih kurus. Entah kenapa aku jadi kepikiran Andin.

"Seminggu yang lalu kan Ibu ada datang ke sana, minta dijahitkan baju. Badannya agak kurusan kayak orang sakit. Waktu Ibu tanya, katanya magh-nya kambuh."

"Kok Andin nggak ada cerita ya? Biasanya dia paling susah nahan sakit dan memaksaku membelikannya obat.

"Mas, kok bengong? Pasti mikirin Andin, ya?" Erika tampak merajuk. Wajahnya cemberut. Ibu mengkodeku supaya membujuk Erika.

"Ini kamu yang masak? Enak. Mas habisin ya," pujiku berbohong berusaha membuatnya senang. Senyum Erika kembali merekah.

"Kapan kamu ceraikan Andin, Ibu sudah eneg lihat mukanya. Kemarin saja dia sudah berani menolak menjahitkan baju Ibu. Pake alasan sakit magh. Nggak perlu nunggu lama, menantu nggak guna dan memalukan itu secepatnya saja dicerai." Kuhembuskan napas pelan menanggapi perkataan Ibu barusan.

Berat rasanya menceraikan Andin. Selama ini walaupun cerewet dan gendut, ia adalah istri yang baik, pengertian dan penurut. Masalah utama kami hanyalah soal anak. Sampai sekarang di usia pernikahan yang ketiga, Andin belum juga hamil. Sudah segala hal kami lakukan. Bahkan mungkin karena pengaruh suntik, obat dan sebagainya itulah yang membuatnya jadi gendut seperti sekarang.

Aku tidak jadi menginap di rumah Ibu. Padahal sudah kukirim pesan pada Andin tidak akan pulang karena alasan lembur, tapi setelah mendengar cerita Ibu, perasaanku jadi tidak enak. Kuputuskan pulang cepat untuk memastikan Andin dalam keadaan baik-baik saja.

***

Kutekan bel berulang kali tapi belum juga terdengar derap langkah kaki Andin ke depan pintu. Bahkan kupanggil namanya pun masih tidak ada sahutan. Aku ingat membawa kunci cadangan. Dengan kunci cadangan itu, pintu berhasil dibuka.

Kaget. Saat pintu kubuka, di dalam keadaannya gelap, tapi lampu teras menyala. Aneh, apa lampu di dalam yang rusak?

Tambah kaget setelah kutekan saklar di dinding, lampunya menyala. Artinya Andin yang lupa menghidupkan lampu di dalam rumah ini, tapi dimana dia? Kenapa main gelap-gelapan?

Kupanggil dari tadi tidak ada sahutan darinya. Bahkan di kamar pun tidak kutemukan keberadaannya. Lampu kamar juga dalam keadaan mati. Ini sangat aneh.

Aku duduk di tepi ranjang mengambil ponsel dan segera menghubunginya.

Nomornya tidak aktif. Ponselnya mati? Ini makin tidak masuk diakal. Berulang kali mencoba menghubungi, tetap tidak bisa. Kemana dia pergi? Apa terjadi sesuatu padanya?

Saat ingin beranjak pergi mataku tidak sengaja melihat sebuah kotak persegi dengan kertas kecil diatasnya. Terletak di atas nakas. Aku terpaku, apa itu? Kenapa baru sadar ada benda itu di sana?

Untuk Bang Jaka.

Di kertas kecil tersebut tertulis seperti itu. Apa ini kado dari Andin? Sudut bibirku tertarik ke atas. Sepertinya, Andin ingin memberikan sebuah kejutan, tapi bukankah sekarang bukan hari ulang tahunku? Jadi ini untuk apa?

Kado ini sangat ringan saat kuangkat. Apa isinya, hingga tidak terasa berat.

Penasaran segera kubuka kado tersebut. Mataku memicing saat melihatnya. Kosong. Hanya ada selembar kertas dengan tulisan tangan Andin. Ini pasti surat untukku. Tunggu, kukira kosong, ternyata ada benda lain. Seketika mataku melebar melihatnya. Bukankah ini testpack? Benda ini pernah kubeli di supermarket untuk mengecek kehamilan Erika. Untuk apa Andin memberikanku testpack dengan dua garis merah?

Apa jangan-jangan ….

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status