Share

2. Surat Darinya

Author: Syarlina
last update Last Updated: 2023-07-27 03:10:02

Aku tahu rahasiamu, Bang.

Degh. Kaget.

Rahasiaku? Kalimat pembuka surat Andin, benar-benar memacu cepat degup jantungku.

Selamat Bang, atas kehamilan perempuan itu. Kamu pasti bahagia 'kan, sampai-sampai berencana ingin menalakku. Oke, Bang, aku terima, karena itu sebelum kamu mengucapkannya, aku sudah terlebih dulu mengajukannya ke pengadilan agama. Jadi tidak perlu repot merangkai kata untuk menyampaikannya kepadaku. Tunggu saja. Paling tidak, dua-tiga hari bakalan datang surat gugatan dariku itu. Maaf kalau aku harus pergi dari rumah tanpa seizinmu. Jangan mencariku, karena aku tidak ingin ditemukan. Ini ada hadiah untukmu, Bang, siapa tahu kamu suka, atau kalaupun tidak suka, tidak mengapa, karena aku masih sanggup menjaganya.

Andin.

Tanganku gemetar membaca surat darinya. Jadi Andin sudah tahu semuanya? Kapan? Dan apakah test pack ini artinya … Andin hamil? Ya Tuhan … kenapa aku bisa sebodoh ini tidak mengetahui arti perubahan sikap Andin.

Argh!

"Andin …!" erangku memanggil namanya.

Sepi. Rumah ini seakan kehilangan nyawanya. Biasanya jam segini Andin sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Ia akan menyambutku dengan penuh cinta. Pantas, seminggu yang lalu sikapnya berbeda. Ia bahkan tidak memasak di rumah dengan alasan ingin makan di luar. Itu tidak mungkin, karena aku baru saja jalan dengan Erika, mengantarkannya pergi ke mall. Mana mungkin pergi lagi demi memenuhi keinginan Andin. Sengaja pulang ke rumah ingin dimanja olehnya, tapi malah disikapinya dengan dingin.

***

"Andin, kamu tidak masak?" Kubuka tudung saji di atas meja, kosong. Biasanya sudah tersedia masakan kesukaanku di bawah tudung saji tersebut. Walaupun sebelumnya jalan ke mall, aku hanya menemani Erika belanja, bukan makan. Ia mengajakku mengelilingi isi mall, capek. Setelah puas belanja, kami pun pulang.

"Aku malas masak, Mas. Kita makan di luar saja, ya." Andin menghampiriku dengan wajah sayu. Lalu duduk di salah atau kursi di depan meja makan.

"Alah …, pemborosan. Mas baru pulang kerja, lapar, pengen makan. Eh malah diajak makan di luar. Capek, Dek," keluhku bersungut. Kuambil air dingin dari dalam kulkas dan meneguk langsung dari botolnya.

"Oh …." Ia hanya membulatkan bibir. Kukira ia akan memasak setelah kutolak keinginannya, ternyata ia malah masuk kamar dan merebahkan diri di sana. Bagaimana aku tidak kesal dan pergi dari rumah tanpa pamit. Sudah kelaparan malah dicuekin. Ia mulai bisa merajuk. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan.

***

Kucoba menghubungi nomornya lagi, tapi tidak tersambung. Kemana kamu pergi Din? Dasi sudah kulonggarkan karena terasa sesak. Rambut sudah acak-acakan karena sedari tadi kujambak kasar. Aku sangat frustasi tidak dapat menghubunginya.

Ponselku berdering. Tanpa pikir panjang kuangkat panggilan itu, siapa tahu dari Andin.

"Halo Din? Kamu dimana?" Gegas kucerca dengan pertanyaan.

"Ini Erika, Mas. Bukan Andin." Nada suara di seberang sana terdengar kesal.

Sial, aku salah orang. Ternyata bukan Andin. Kupastikan dengan mengecek nama yang tertulis di layar ponsel. Ibu 2. Aku menulis nama Erika dengan nama Ibu 2, seolah itu adalah nomor ibuku yang lainnya agar Andin tidak curiga.

"Maaf," sahutku sembari menggaruk kepala.

"Mas, kamu dimana? Kenapa belum pulang? Kata Ibu kamu batal menginap di sini, kenapa? Karena Andin? Aku nggak mau tahu ya Mas, kamu secepatnya pulang, kalau nggak, aku--"

"Aku apa? Kenapa kamu suka sekali mengancam Mas, Dek?" geramku, menyela ucapan Erika--istri yang baru tiga bulan kunikahi.

"Lo, kok kamu ngegas gitu ngomongnya? Aku kan bicara baik-baik," dengkusnya menyanggah. Bicara baik-baik apanya? Belum apaan dia sudah bicara panjang lebar dengan bertanya begitu padaku. Pakai acara mengancam lagi.

"Iya, maaf. Sudah dulu ya, Dek, Mas sibuk." Panggilan darinya kumatikan begitu saja. Aku malas berdebat. Setelah ini dia pasti marah-marah.

Sebulan ini jujur aku malas pulang ke rumah Ibu. Malas menemui Erika. Semenjak ia hamil, ia terlalu manja. Terlalu banyak tingkah. Mau ini, mau itu. Kata Ibu itu biasa, bawaan anak yang sedang dikandungnya. Namun terkadang, aku merasa sikapnya terlalu berlebihan.

Berbeda dengan Andin. Dia memang cerewet tapi tidak bertingkah. Sekarang kemana aku harus mencarimu, Din? Ia bahkan tidak ingin kutemui. Apa mungkin ia pulang ke rumah orang tuanya?" Tidak. Tidak mungkin ia pulang ke sana. Rumah itu dikontrakkan dan ada orang yang menempatinya.

Ponselku berdering kembali. Kali ini kulihat dulu siapa yang menghubungi jangan sampai salah panggil.

Ibu?

Pasti Erika yang mengadu sampai Ibu harus menghubungiku setelah teleponnya kumatikan.

Malas, paling Ibu juga akan menyuruhku pulang. Kubiarkan saja sampai deringnya berhenti.

Aku harus mencari Andin.

"Eh, Pak Jaka, mau kemana Pak?" Bu Susi, tetangga di seberang bertanya saat kubuka pagar rumah.

"Eh, nggak, hm … itu Bu, mau beli sesuatu," jawabku tampak bingung.

Bu Susi mengamatiku lalu tersenyum tipis.

"Siang tadi Bu Andin membawa mesin jahitnya, memangnya benar mau dijual? Artinya Bu Andin berhenti menjahit ya, Pak?" Keningku mengernyit mendengar pertanyaan Bu Susi.

Menjual mesin jahit? Andin? Aku bahkan tidak tahu menahu soal tersebut.

Andin suka menjahit. Ia membeli sebuah mesin jahit buat menyempurnakan hobinya tersebut. Bahkan dengan pedenya membuka jasa jahitan di rumah. Para tetangga dan orang terdekat lah yang menjadi pelanggannya. Ibu juga sering minta jahitkan baju sama Andin. Kata Ibu, jahitan Andin bagus dan rapi. Aku tidak terlalu memperhatikannya.

"Pak?" panggil Bu Susi kembali.

"Eh, iya Bu," jawabku ragu. Aku kembali ke dalam rumah memeriksa mesin jahit Andin.

Benar, mesin jahit yang ia letakkan di pojok dekat jendela sudah tidak berada di sana. Andin sudah mempersiapkan semuanya. Serapi ini dan serapat ini sampai kabar kehamilannya pun tidak kuketahui.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Rasain kamu Jaka
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kado Biru Istriku   Ending

    Aku tidak menjawab permintaan Ibu untuk melepaskan Andin. Sulit untuk menjawab iya. Nyatanya hati ini masih menginginkannya. Hubunganku dengan Ibu sedikit renggang. Bukan maksud menjauhinya. Hanya sedikit menjaga jarak, dengan tidak mengajaknya banyak bicara, seperti yang biasanya kami lakukan. Aku tidak mungkin memusuhinya. Bagaimanapun ia orang yang paling berarti dalam hidupku. Diam-diam aku mengikuti Andin. Namun sayangnya ia lebih sering beraktivitas di dalam rumah. Dari cerita Ibu memang Andin menjadikan sebuah ruangan untuk tempat bisnisnya, dan memang berkembang pesat. Kuakui jiwa bisnis Andin dari dulu memang tinggi. Teknik marketing yang ia kuasai sangat menunjang usaha bisnis yang sedang ia geluti sekarang. *** "Abang tahu kenapa kuajak bertemu di luar?" Andin tiba-tiba menghubungiku untuk meminta bertemu. Aku senang, tapi di satu sisi juga tak tenang kenapa harus di luar? Kenapa tidak dibicarakan di rumahnya saja, karena aku akan kesana bersama Ibu pada hari ini, yai

  • Kado Biru Istriku   Cerita Ibu

    "Namanya Albiru Fauzan. Umur 32 tahun." Aku tidak begitu mendengarkan apa yang dikatakan Karyo, orang suruhanku untuk memata-matai lelaki yang bernama Al. Yang kuingat nama lengkapnya saja. Albiru Fauzan. "Pak!" "Pak!" panggil Karyo membuyarkan lamunanku. "Ya," jawabku terkaget. "Bapak dengar saya kan?" tanyanya menyelidik, menatapku lekat."I--iya. Saya dengar. Lalu apa lagi?" Kuletakkan kembali gelas kopi yang sudah kosong. Kami melakukan pertemuan di sudut cafe, di pinggir jalan. "Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal sejak setahun yang lalu." Karyo melanjutkan ceritanya. "Mempunyai tiga tempat gym dan satu kantor." "Kantor? Kantor apa?" Keningku mengerut mendengarnya. Ternyata banyak juga bisnis yang ia geluti. Salut, semuda ini dia sudah mempunyai banyak usaha. Bisa jadi karena bantuan orang tua. "Oh, itu Pak Jaka. Kantor yang khusus untuk bertemu klien atau apa ya …." Karyo tampak berpikir. "Sudahlah, tidak penting. Terus apa lagi?" selaku memotong ucapannya. Rasa

  • Kado Biru Istriku   Kalah Saing

    Astaga … aku baru ingat kalau laki-laki itu adalah orang yang bertengkar denganku di depan rumah Lola. Sebenarnya bukan bertengkar, hanya saja waktu itu aku tidak suka dia ikut campur dan sok mengurusi urusan kami, hingga Lola merasa benar waktu itu dan memojokkanku di hadapan warga sana. Waktu itu dia ngaku tetangganya Lola? Kalau dia memang tetangga Lola, tapi kenapa bisa akrab dengan Andin? Apa jangan-jangan …. Dengan cepat kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan menekan nomor Lola. "Lol, siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Andin?" Aku sampai lupa mengucap salam ketika panggilanku disambut olehnya di seberang sana. Bukan jawaban yang kudapat malah tawa terbahaknya yang ia semburkan. Sialan, dia paling suka mengejekku. "Puas!" serangku ketika tawanya mereda.Lola masih terkekeh kecil di ujung sana. "Lagian kamu menelepon langsung bertanya seperti itu, ya aku tertawa jadinya," jawabnya tidak mau disalahkan. "Seperti itu apanya?" tanyaku tidak paham maksud pertan

  • Kado Biru Istriku   Akhirnya Bertemu

    "An, aku pulang dulu," ucapnya memandangi wajah Andin dengan seulas senyum tipis. Ada yang berbeda dari tampilan Andin. Badannya lebih kurus dari sebelumnya dan dia semakin cantik walau tanpa polesan make up. Sudah lama tidak ketemu membuatku sedikit pangling melihatnya. "Iya Mas, hati-hati ya, dan terima kasih hadiahnya untuk Ghaffar dan Ghani," balas Andin. Ghaffar dan Ghani adalah nama kedua anak kembarku. Siapa laki-laki itu dan apa hubungannya dengan Andin? Aku dan Ibu masih terpaku di depan rumahnya. Andin sama sekali belum menyapa kami. Genggaman tangan Ibu begitu erat di lenganku. Kucoba mengusapnya sebagai upaya menenangkan. "Masuklah!" titah Andin tanpa senyum setelah lelaki itu pergi. Aku dan Ibu masuk dengan ragu. Kami berjalan beriringan dengan Andin yang memimpin di depan. Rangkulan tangan Ibu belum lepas dari lenganku. "Duduklah, saya ke kamar dulu menjemput Ghaffar dan Ghani. Mau minum apa?" Aku dan Ibu saling pandang. "Air putih saja," ucapku diaminkan Ibu de

  • Kado Biru Istriku   siapa Lelaki Itu?

    Lagi aku membujuknya berharap sangat ia mau membantu. Hanya Lola harapanku satu-satunya. "Iya, tunggu saja kabar baik dariku. Kali ini kucoba percaya. Sudah ya, kututup." Lola mematikan teleponnya lebih dulu, obrolan kami pun berakhir. *** Hari ini Ibu sudah bisa pulang. Wajah Ibu masih pucat khas orang sakit. Ini pun terpaksa membawa pulang atas permintaannya. Bujukan untuk memaksanya tetap tinggal sehari lagi, sesuai rekomen dokter ditolaknya dengan alasan sudah bosan. "Jangankan Ibu, Jaka pun sama Bu, bosan ke rumah sakit terus. Bolak-balik kantor, rumah sakit, tapi kalau pulang sekarang, lalu Ibu sakit lagi gimana? Itu malah memperpanjang masa Ibu dirawat di sini." "Kamu sudah bosan ya urus Ibu? Iya, Ibu bisanya nyusahin kamu saja, sudah hancurin rumah tang--" "Hussstttt! Bukan itu, Bu. Bukan salah Ibu, tapi Jaka. Kalau Jaka bisa teguh sama prinsip Jaka, mau dibujuk bagaimanapun harusnya nggak akan goyah. Jadi stop menyalahkan diri sendiri. Ibu juga salah paham, Jaka nggak

  • Kado Biru Istriku   Mencari Cara

    Ibu dimasukkan ke IGD, dan sekarang dalam penanganan dokter. Aku terduduk lemas di kursi depan ruangan, menunggu dengan harap cemas. Ada penyesalan yang teramat dalam, karena ulahku Ibu sampai begini. Seharusnya tidak perlu kutanyakan pertanyaan yang bakal menyakiti hatinya, membuka tabir pesakitannya. "Bagaimana keadaan Ibu saya, dok?" Kuhampiri dengan cepat saat pintu ruangan UGD terbuka. Tampak seorang dokter keluar dari sana. "Anda anaknya Bu Menik?" Kuanggukkan kepala. "Syukur Ibu Menik cepat dibawa kemari. Kalau terlambat sedikit saja maka …." Dokter di depanku menggelengkan kepala dengan membuang napas pelan. "Lalu bagaimana kondisinya, dok?" ulangku karena ingin memastikan keadaannya, kuharap Ibu baik-baik saja. "Alhamdulillah masih bisa diselamatkan, tapi beliau masih dalam pantauan. Kita lihat perkembangannya. Kalau sudah membaik, maka bisa kita pindahkan segera ke ruang perawatan." Aku bernapas lega mendengarnya. Syukurlah Ibu tertolong. Aku tidak boleh ceroboh dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status