Share

2. Surat Darinya

Aku tahu rahasiamu, Bang.

Degh. Kaget.

Rahasiaku? Kalimat pembuka surat Andin, benar-benar memacu cepat degup jantungku.

Selamat Bang, atas kehamilan perempuan itu. Kamu pasti bahagia 'kan, sampai-sampai berencana ingin menalakku. Oke, Bang, aku terima, karena itu sebelum kamu mengucapkannya, aku sudah terlebih dulu mengajukannya ke pengadilan agama. Jadi tidak perlu repot merangkai kata untuk menyampaikannya kepadaku. Tunggu saja. Paling tidak, dua-tiga hari bakalan datang surat gugatan dariku itu. Maaf kalau aku harus pergi dari rumah tanpa seizinmu. Jangan mencariku, karena aku tidak ingin ditemukan. Ini ada hadiah untukmu, Bang, siapa tahu kamu suka, atau kalaupun tidak suka, tidak mengapa, karena aku masih sanggup menjaganya.

Andin.

Tanganku gemetar membaca surat darinya. Jadi Andin sudah tahu semuanya? Kapan? Dan apakah test pack ini artinya … Andin hamil? Ya Tuhan … kenapa aku bisa sebodoh ini tidak mengetahui arti perubahan sikap Andin.

Argh!

"Andin …!" erangku memanggil namanya.

Sepi. Rumah ini seakan kehilangan nyawanya. Biasanya jam segini Andin sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Ia akan menyambutku dengan penuh cinta. Pantas, seminggu yang lalu sikapnya berbeda. Ia bahkan tidak memasak di rumah dengan alasan ingin makan di luar. Itu tidak mungkin, karena aku baru saja jalan dengan Erika, mengantarkannya pergi ke mall. Mana mungkin pergi lagi demi memenuhi keinginan Andin. Sengaja pulang ke rumah ingin dimanja olehnya, tapi malah disikapinya dengan dingin.

***

"Andin, kamu tidak masak?" Kubuka tudung saji di atas meja, kosong. Biasanya sudah tersedia masakan kesukaanku di bawah tudung saji tersebut. Walaupun sebelumnya jalan ke mall, aku hanya menemani Erika belanja, bukan makan. Ia mengajakku mengelilingi isi mall, capek. Setelah puas belanja, kami pun pulang.

"Aku malas masak, Mas. Kita makan di luar saja, ya." Andin menghampiriku dengan wajah sayu. Lalu duduk di salah atau kursi di depan meja makan.

"Alah …, pemborosan. Mas baru pulang kerja, lapar, pengen makan. Eh malah diajak makan di luar. Capek, Dek," keluhku bersungut. Kuambil air dingin dari dalam kulkas dan meneguk langsung dari botolnya.

"Oh …." Ia hanya membulatkan bibir. Kukira ia akan memasak setelah kutolak keinginannya, ternyata ia malah masuk kamar dan merebahkan diri di sana. Bagaimana aku tidak kesal dan pergi dari rumah tanpa pamit. Sudah kelaparan malah dicuekin. Ia mulai bisa merajuk. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan.

***

Kucoba menghubungi nomornya lagi, tapi tidak tersambung. Kemana kamu pergi Din? Dasi sudah kulonggarkan karena terasa sesak. Rambut sudah acak-acakan karena sedari tadi kujambak kasar. Aku sangat frustasi tidak dapat menghubunginya.

Ponselku berdering. Tanpa pikir panjang kuangkat panggilan itu, siapa tahu dari Andin.

"Halo Din? Kamu dimana?" Gegas kucerca dengan pertanyaan.

"Ini Erika, Mas. Bukan Andin." Nada suara di seberang sana terdengar kesal.

Sial, aku salah orang. Ternyata bukan Andin. Kupastikan dengan mengecek nama yang tertulis di layar ponsel. Ibu 2. Aku menulis nama Erika dengan nama Ibu 2, seolah itu adalah nomor ibuku yang lainnya agar Andin tidak curiga.

"Maaf," sahutku sembari menggaruk kepala.

"Mas, kamu dimana? Kenapa belum pulang? Kata Ibu kamu batal menginap di sini, kenapa? Karena Andin? Aku nggak mau tahu ya Mas, kamu secepatnya pulang, kalau nggak, aku--"

"Aku apa? Kenapa kamu suka sekali mengancam Mas, Dek?" geramku, menyela ucapan Erika--istri yang baru tiga bulan kunikahi.

"Lo, kok kamu ngegas gitu ngomongnya? Aku kan bicara baik-baik," dengkusnya menyanggah. Bicara baik-baik apanya? Belum apaan dia sudah bicara panjang lebar dengan bertanya begitu padaku. Pakai acara mengancam lagi.

"Iya, maaf. Sudah dulu ya, Dek, Mas sibuk." Panggilan darinya kumatikan begitu saja. Aku malas berdebat. Setelah ini dia pasti marah-marah.

Sebulan ini jujur aku malas pulang ke rumah Ibu. Malas menemui Erika. Semenjak ia hamil, ia terlalu manja. Terlalu banyak tingkah. Mau ini, mau itu. Kata Ibu itu biasa, bawaan anak yang sedang dikandungnya. Namun terkadang, aku merasa sikapnya terlalu berlebihan.

Berbeda dengan Andin. Dia memang cerewet tapi tidak bertingkah. Sekarang kemana aku harus mencarimu, Din? Ia bahkan tidak ingin kutemui. Apa mungkin ia pulang ke rumah orang tuanya?" Tidak. Tidak mungkin ia pulang ke sana. Rumah itu dikontrakkan dan ada orang yang menempatinya.

Ponselku berdering kembali. Kali ini kulihat dulu siapa yang menghubungi jangan sampai salah panggil.

Ibu?

Pasti Erika yang mengadu sampai Ibu harus menghubungiku setelah teleponnya kumatikan.

Malas, paling Ibu juga akan menyuruhku pulang. Kubiarkan saja sampai deringnya berhenti.

Aku harus mencari Andin.

"Eh, Pak Jaka, mau kemana Pak?" Bu Susi, tetangga di seberang bertanya saat kubuka pagar rumah.

"Eh, nggak, hm … itu Bu, mau beli sesuatu," jawabku tampak bingung.

Bu Susi mengamatiku lalu tersenyum tipis.

"Siang tadi Bu Andin membawa mesin jahitnya, memangnya benar mau dijual? Artinya Bu Andin berhenti menjahit ya, Pak?" Keningku mengernyit mendengar pertanyaan Bu Susi.

Menjual mesin jahit? Andin? Aku bahkan tidak tahu menahu soal tersebut.

Andin suka menjahit. Ia membeli sebuah mesin jahit buat menyempurnakan hobinya tersebut. Bahkan dengan pedenya membuka jasa jahitan di rumah. Para tetangga dan orang terdekat lah yang menjadi pelanggannya. Ibu juga sering minta jahitkan baju sama Andin. Kata Ibu, jahitan Andin bagus dan rapi. Aku tidak terlalu memperhatikannya.

"Pak?" panggil Bu Susi kembali.

"Eh, iya Bu," jawabku ragu. Aku kembali ke dalam rumah memeriksa mesin jahit Andin.

Benar, mesin jahit yang ia letakkan di pojok dekat jendela sudah tidak berada di sana. Andin sudah mempersiapkan semuanya. Serapi ini dan serapat ini sampai kabar kehamilannya pun tidak kuketahui.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Rasain kamu Jaka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status