"Anaknya siapa?" ulangku lagi masih dengan suara lantang bertanya, ditambah tatapan tajam yang kuhunuskan ke arah mereka. Kedua ibu-anak yang berada di hadapanku ini berpegangan tangan dengan wajah pucat pias. Erika bahkan tidak berani menatapku. "Ehm … anak a--apa Jak. Kamu salah dengar. Maksud Erika itu." Dengan tergagap Mama Sisil menjawab. Gerak matanya tak fokus. Aku tahu ia gugup. "Saya tidak tuli Ma, saya masih bisa mendengar!" Selaku memotong ucapannya dengan suara tegas. Aku mendekat dan duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan keduanya. Kulonggarkan dasi yang semakin menjerat leher setelah mengetahui pembicaraan rahasia mereka. Mama Sisil tampak menyenggol lengan Erika, dia bahkan melempar kode lewat tatapan matanya. Kenapa hal seperti ini ia tampakkan? Bukankah malah membuat kecurigaanku semakin nyata. "Ka--kami ta-di bicara tentang anaknya temanku. Dia sudah bercerai dan suaminya tidak tahu kalau anaknya telah meninggal. Makanya tadi kubilang dia berhak tahu ke
Jam sebelas malam baru pulang ke rumah. Aku yang awalnya ingin pulang cepat, berubah pikiran karena tahu pasti Ibu akan memarahiku panjang lebar saat tiba. Kuputuskan berkeliling jalan raya dulu, mengulur waktu pulang. Keadaan rumah sepi saat kumasuki. Lampu ruang tamu dalam keadaan mati yang artinya Ibu pasti sudah tidur. Baru saja meletakkan tas kerja ke atas meja ruang tamu, aku malah dikejutkan oleh sebuah suara. "Akhirnya pulang juga kamu, Jak." Jantungku hampir copot saking terkejutnya. Lampu juga tetiba menyala dengan sendirinya bersamaan dengan suara yang menegurku barusan. Ibu. Ternyata ia belum tidur. Ia pasti sengaja menungguku pulang. "Mau kemana?" tanyanya ketika kaki ini ingin melangkah menuju kamar untuk menghindarinya. "Duduk!" titahnya dengan wajah datar. Matanya tajam menghunus padaku. Tidak ada senyum di kedua sudut bibirnya saat memerintahkan hal tersebut. Kuputar tubuh dan kembali menghadapnya. Aku duduk di depannya. Diam dan menunggu apa yang ingin dibic
Mataku menyipit saat melihat nama yang tertera di layar depan ponsel. Pak Adnan--suami Bu Yayuk--tetangga seberang rumah Ibu. Ada apa beliau menghubungi? Apa ada masalah? Karena selama ini kami jarang berinteraksi dan berkomunikasi lewat gawai. Apalagi semenjak aku pindah dari rumah Ibu dan memutuskan tinggal di rumah yang yang baru bersama Andin. Interaksi yang pernah kami lakukan waktu dulu itu, hanya sekedar ngopi bareng sambil main catur, dan itupun terjadi saat kena giliran ngeronda bersama. Selebihnya jarang. Sesekali saja kala tak sengaja ketemu. Sedari tadi, gawaiku tidak berhenti juga bergetar yang artinya nomor itu masih menghubungi. Daripada penasaran, ada baiknya kuangkat saja, takutnya memang ada hal yang penting. "Assalamualaikum, Pak Jaka," sapa suara wanita di seberang sana terlebih dulu. Nadanya terdengar panik. Lo, bukankah ini nomornya Pak Adnan? Tapi kenapa malah suara wanita yang kudengar? Dan anehnya dia tahu namaku. Kulihat lagi layar depan ponsel untuk m
"Andin bakal punya anak kembar!" Bu Yayuk antusias mengatakannya. "Bu Yayuk tahu dari mana? Andin yang cerita?" Senyum lebar tidak lepas dari bibir Ibu. "Temannya yang bilang waktu itu. Selamat ya, Bu Menik bakal dapat dua cucu sekaligus." Seketika wajah Ibu yang awalnya bahagia, berubah murung mendengar ucapan selamat dari Bu Yayuk. Aku tahu apa penyebabnya. Sama sepertiku, ibu pun merasakannya juga. Senang ketika tahu bakal dapat dua anak sekaligus dalam kandungan Andin, berkah yang tidak terduga, tapi sedih karena anak itu tidak akan pernah dapat kusentuh. Aku tak yakin Andin bakal mengizinkanku mendekatinya. *** "Aaa ...!" Mataku mengerjap dengan posisi duduk. Napas masih tersengal, seakan baru saja habis berlari. Tidak! Mimpi itu datang lagi. Sejak Bu Yayuk cerita tentang Andin, mimpi buruk itu selalu datang. Mimpi ketemu Andin bersama dua anak kembar, tapi mereka tidak mau mendekat. Mereka lebih memilih pergi dengan laki-laki lain. Entah siapa lelaki itu, wajahnya tidak per
Ponselku yang tergeletak diatas meja berdering. Kulihat di layar depan tertera nomor asing. Walaupun ragu, tetap kuangkat dan berharap itu nomor Lola. Sudah tiga kali hari ini ada nomor asing yang masuk menelepon. Kukira itu Lola, ternyata bukan, hanya nomor tak penting menawarkan barang atau dari jasa asuransi. Ingin sekali mematikan ponsel ini, tapi lagi-lagi aku takut itu telepon dari Lola. Bodohnya aku tak mampu mendapatkan nomor telepon sahabat mantan istriku itu, tidak tidak mau memberikan. Aku hanya dimintanya untuk menunggu. "Andin di rumah sakit Harapan Bunda, cepatlah datang! Ia mau melahirkan." Suara Lola. Aku yakin itu karena dia memberikan informasi tentang Andin. lagian siapa yang tahu kondisi Andin kalau bukan dia, sahabatnya? mereka bahkan berjanji hidup semati. Namun Tuhan berkehendak lain. "Lola? Benarkan ini Lola?" Memastikan. "Kenapa masih bertanya? Siapa lagi yang mau memberitahukan tentang Andin ke kamu kalau bukan aku?" Gegas ia menjawab. Ternyata benar d
Air mata luruh juga saat melihat dua malaikat kecil hadir di hadapanku. Tangis keras mereka, membuatku sadar kalau ini bukanlah mimpi, tapi nyata. Benar, Andin melahirkan bayi kembar laki-laki dengan normal. Secara bergantian dokter menyuruhku mendekap satu per satu bayi mungil yang wajahnya mirip sekali denganku dan mengazankan mereka. Lagi, air mata mengalir dengan derasnya. Suaraku bergetar saat melantunkan seruan solat ke dekat telinga mereka. Ada sesak yang menghimpit dada, kala diri ini merasakan kealpaan pada Tuhan, hingga tega berbuat zalim pada ibu dari anak-anak ini. Kedua bayi itu diberikan pada ibunya usai kuazankan untuk inisiasi menyusui dini. Kusapu bekas air mata yang tidak berhenti mengalir. Sama sepertiku, Andin pun meneteskan air mata, bahagia pastinya. "Terima kasih, tugasmu sudah selesai." Datar tanpa menatapku Andin berucap lirih. Aku tahu perkataan itu tertuju untukku.Namun aku masih terkesiap. Seakan tidak menyangka. Ucapannya bagaikan godam yang dihan
"Bu …, Ibu!" panggilku di depan kamarnya. Tumben jam segini Ibu belum keluar dari kamarnya. Kulirik jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul enam pagi. Sebentar lagi aku harus berangkat kerja. "Bu …!" Kuulang kembali memanggil ibunda tercinta. Namun masih tidak ada sahutan. Perasaanku tiba-tiba jadi tidak enak. Segera kutekan ke bawah knop pintu dan terbuka. Kamar Ibu memang kuminta untuk tidak dikunci. Takut terjadi apa-apa karena sebulanan ini Ibu sering mengeluh tidak enak badan.Tampal Ibu masih terbaring di tempat tidurnya. Aku bergegas menghampiri. "Ya Allah. Badan Ibu panas sekali. Ibu demam?" Saat kuhampiri, refleks tangan ini menyentuh keningnya. memastikan bagaimana keadaannya saat ini. Kulihat Ibu menggigil. Bibirnya pucat. Melihatnya aku tak tega. "Kita ke dokter ya?" ajakku. Ibu menggeleng lemah. Ia ingin menegakkan badan, duduk, tapi kucegah. "Rebahan saja Bu, biar Jaka panggilkan dokter." Suaraku kunaikan sedikit untuk menekannya, agar mau menurut. Tan
Ibu dimasukkan ke IGD, dan sekarang dalam penanganan dokter. Aku terduduk lemas di kursi depan ruangan, menunggu dengan harap cemas. Ada penyesalan yang teramat dalam, karena ulahku Ibu sampai begini. Seharusnya tidak perlu kutanyakan pertanyaan yang bakal menyakiti hatinya, membuka tabir pesakitannya. "Bagaimana keadaan Ibu saya, dok?" Kuhampiri dengan cepat saat pintu ruangan UGD terbuka. Tampak seorang dokter keluar dari sana. "Anda anaknya Bu Menik?" Kuanggukkan kepala. "Syukur Ibu Menik cepat dibawa kemari. Kalau terlambat sedikit saja maka …." Dokter di depanku menggelengkan kepala dengan membuang napas pelan. "Lalu bagaimana kondisinya, dok?" ulangku karena ingin memastikan keadaannya, kuharap Ibu baik-baik saja. "Alhamdulillah masih bisa diselamatkan, tapi beliau masih dalam pantauan. Kita lihat perkembangannya. Kalau sudah membaik, maka bisa kita pindahkan segera ke ruang perawatan." Aku bernapas lega mendengarnya. Syukurlah Ibu tertolong. Aku tidak boleh ceroboh dan