"Kamu siapa?" tanyaku pada lelaki itu. Aku kesulitan untuk mengingat orang yang saat ini berada di hadapan. Wajahnya tidak asing tapi tidak dapat kuraba dalam pikiran siapakah ia.
"Maaf, saya cuma tetangga di sini. Saya dengar ada keributan. Kalau ada masalah bisa diselesaikan di dalam rumah, tidak perlu dengan teriak-teriak," ujarnya sok menasihati. Sepertinya memang iya. Dia hanya tetangga di sini. Mungkin cuma perasaanku saja karena wajahnya yang kuakui cukup rupawan mirip seorang artis di televisi hingga aku merasa pernah melihatnya. "Maaf, Mas. Masalahnya saya tidak suka orang ini di depan rumah saya. Sudah diusir tetap tidak mau pergi," sahut Lola mencari pembelaan. Orang-orang mulai datang menghampiri kami. Aku jadi risih diperhatikan, apalagi Lola menjelaskan seolah aku yang bersalah dan mencari keributan di depan rumahnya. Semua mata memandangku. Menatap heran penuh tanya. "Eh, jangan salah sangka dulu. Aku cuma ingin bertemu dengan istriku yang ada di rumahnya. Dia," kutunjuk ke arah Lola. "Melarangku menemui istriku sendiri karena itulah aku teriak menyuruhnya keluar." Sekarang terbalik, Lola lah yang ditatap mereka seperti barusan mereka menatapku. Satu sudut bibirku tertarik ke atas. "Lah, sembarangan. Jangan salah paham. Istrinya lah yang tidak ingin ditemui, masa aku harus membiarkan laki-laki tak bertanggung jawab kayak dia ini menemui istrinya." Tangan Lola menunjuk ke arahku dengan sinis."Jaka! Lebih baik kamu pergi sebelum aibmu kubongkar di sini!" Ancamnya lagi membuat nyaliku menciut. Aku tidak mau Lola membuka permasalahan rumah tanggaku di hadapan orang banyak. Sepertinya memang lebih baik aku pergi. Sulit menjelaskan masalah ini ke hadapan orang banyak yang tidak mengetahui duduk permasalahannya kami. Mereka cuma orang asing, pasti lebih mudah percaya dengan kisah Lola yang menyudutkanku sebagai suami yang tidak baik. "Baik aku pergi, tapi aku akan kembali ke sini untuk menjemput Andin--istriku. Kami hanya salah paham. Namun sepertinya permasalah kami tidak bisa diselesaikan hari ini." Kuedarkan pandangan menatap mereka satu persatu dengan wajah memelas meminta rasa iba mereka. "Lol, titip Andin, dan katakan padanya aku akan kembali," lirihku pelan seolah aku berputus asa. Lola hanya mencebik saat mendengar penuturan dan pesanku untuk Andin. Sulit menaklukan hatinya. Entah bagaimana Andin menceritakan biduk rumah kami hingga ia sangat membenciku.*** "Loh, Erika? Kenapa ada disini?" Heran saat pulang dan membuka pintu rumah, sudah terbuka lebih dulu, dan di hadapanku sekarang ada sosok Erika yang berdiri menyambutku dengan seulas senyum manis. Aku mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri, menyelidik apakah ada orang atau tetangga yang melihat keberadaan Erika di sini. "Kan ini rumahku juga. Aku berhak dong tinggal di rumah ini?" Senyumnya masih terkembang sempurna saat kudorong paksa masuk rumah. "Kecilkan suaramu. Kenapa kamu ke sini tidak bilang sama Mas?" cecarku setelah pintu kututup dan menariknya duduk ke kursi. "Memang kenapa? Ini rumahmu artinya rumahku juga. Andin sudah pergi meninggalkan rumah ini jadi aku yang berhak sekarang tinggal di sini, iya kan Mas?" Erika bersikeras dengan pendapatnya. Ia melipat tangan bersedekap. "Ini terlalu cepat, Ka. Ini rumahku bersama Andin dan orang di sini tahunya begitu. Kalau mereka melihat kamu ada di sini di saat Andin tidak ada, maka mereka bisa menuduh kita macam-macam." Kujambak rambutku dengan frustrasi. "Ya jujur saja pada mereka kalau aku ini istri Mas juga, gampang kan? Aku capek Mas sembunyi di rumah Ibu dan dibilang cuma sepupumu. Aku kan istri Mas juga walau cuma siri," rutuknya dengan wajah sendu. Sial. Erika ngotot ingin diakui dan tinggal di sini. Dia mulai meminta haknya. "Tidak segampang itu, Ka. Aku akan menelepon Ibu dan menyuruhnya menjemputmu pulang," tukasku akhirnya mengambil keputusan. "Nggak! Aku nggak mau Mas. Aku tetap tinggal disini. Andin sudah pergi dan akui saja aku sebagai istrimu. Sah kan pernikahan kita biar anak ini kelak diakui negara," elaknya dengan bersungut sambil mengelus perutnya yang masih rata. "Iya, itu gampang. Sekarang kamu harus pulang, jangan tinggal di sini," sanggahku dengan merogoh ponsel di dalam saku celana mencoba menghubungi Ibu. Erika merebut ponselku dan menyembunyikannya di belakang badan. "Tidak perlu Mas. Ibu setuju aku tinggal di sini. Aku juga tahu letak kunci rumah ini darinya. Memangnya Mas nggak mikir bagaimana caraku masuk tadi?" Terkesiap, aku baru sadar. Yang tahu letak dimana kunci cadangan rumah ini selain yang di tanganku dan Andin adalah Ibu. Beliau sering ke rumah dulunya sebelum akhirnya malah berselisih paham dengan Andin.Erika mengangkat kedua alisnya memojokkanku. Ya ampun Ibu … kenapa malah membuatku semakin sulit. Kepalaku seketika jadi pusing. Soal membujuk dan menemui Andin saja belum berhasil sekarang malah disibukkan dengan kedatangan Erika. "Argh … terserah kamu lah, tapi ingat tetap berada di dalam rumah. Jangan menunjukkan dirimu ke depan atau ke tetangga yang ada di sini. Aku akan menghubungi Ibu memintanya tinggal di sini juga." "Tapi, Mas. Ak--" "Cukup Ka! Mas pusing. Jangan mendebat lagi." Kusela ucapannya dan kutinggalkan ia begitu saja menuju kamar. Ada yang harus kucari. Lemari pakaian sudah kuobrak-abrik, tapi benda itu belum kutemukan. Pakaian sampai terhambur berserakan di atas lantai. Meja kerja dan nakas samping ranjang, lacinya sudah kubuka satu per satu, tapi tidak kutemukan juga benda tersebut. "Mas! Kamu nyari apaan sih sampai berantakan begini kamarnya?" cecar Erika yang masuk ke dalam kamar. "Argh …! Tidak ada," umpatku kesal. "Apanya yang tidak ada?" Sambutnya menyahut. Raut wajahnya penuh keheranan. Aku tidak mungkin mengatakan pada Erika kalau surat rumah ini yang sedang kucari dan benda tersebut tidak ada di manapun. Pasti surat-menyurat itu sudah dibawa Andin pergi. Artinya ancaman Lola benar, rumah ini bakal dijual Andin. Kalau iya, aku nantinya akan tinggal dimana?Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Kami bertiga duduk mengelilingi meja makan dalam diam. Ibu baru tiba dari rumahnya setelah kuminta datang segera ke sini. Kerumahku. Diteguknya air dingin yang disediakan oleh Erika sampai habis. "Ahhh …." Gumamnya setelah menandaskan minuman tersebut. "Jadi kamu menyuruh Ibu ke sini cuma untuk bermalam? Supaya tetanggamu tidak curiga?" tanyanya dengan tatapan tajam ke arahku. Kuanggukkan kepala mengiyakan. "Bukan bermalam, lebih tepatnya tinggal sampai Jaka bisa mengumumkan siapa Erika di komplek ini. Kalau kami cuma tinggal berdua dan dalam keadaan Erika yang sedang hamil, maka orang akan menuduh Jaka yang bukan-bukan. Jujur Sekarang pun siapa Erika bakal membahayakan posisi Jaka di perumahan ini." "Ini nih yang jadi merepotkan Ibu. Sudah dari awal Ibu minta kamu cerita saja sama Andin, jadi nggak kayak gini jadinya. Andin kabur ya kalau tetanggamu tahu, tentu kamu yang dituduh bejat di sini. Seolah Andin pergi dari rumah karena ka
Kukerjapkan mata dengan mulut yang menguap lebar. Mataku memicing mengitari sekeliling. Kamar ini … oh, ya aku ingat telah memutuskan tidur di rumah Ibu. Ini semua karena Erika berulah kembali ingin bermanja dan tidur denganku. Katanya semua ini karena permintaan bayi dalam kandungannya. Namun seketika mataku melebar saat melihat jam di atas nakas. Astaga! Aku telat. Bergegas turun dari ranjang dan ….Dbugh!! Aku terjatuh ke lantai. "Mas, kenapa?" Erika bertanya masih dengan mata tertutup. Mungkin ia terbangun saat mendengar suara benturan keras dariku yang terjatuh dari atas ranjang. "Argh! Kamu kenapa nggak bangunin Mas sih?" Bersungut kesal sambil meringis kesakitan. Aku menyalahkan Erika. "Aku juga baru bangun, Mas. Kok nyalahin aku," sanggahnya tidak mau disalahkan. Ia menguap lebar dan merebahkan diri lagi. Dasar, istri nggak becus. Paling tidak bangun lebih pagi, shalat subuh dan masak di dapur seperti kebiasaan Andin. Bukannya malah tidur. Aku hanya mengomel dalam hati,
Matahari sudah tidak nampak di langit, ia menghilang ketika awan menunjukkan warna kelabunya. Mirip seperti suasana hatiku saat ini, kelam. Mungkin dia ingin memuntahkan air matanya sama sepertiku yang diliputi kesedihan. Aku pulang dengan hati yang nelangsa. Sakit kepala tidak mau hilang sejak mendapatkan surat dari pengadilan. Surat gugatan cerai dari Andin. Kenapa harus dikirim ke kantor? Sekarang orang kantor jadi tahu kalau aku dan Andin akan bercerai. Sebenarnya ini semua karena kecerobohanku yang tidak segera menyimpan surat pemberitahuan gugatan cerainya Andin.***"Jak, ini kamu kasih ke Pak bos, tanyakan berkas yang kemarin sudah ditandatangani--" Boni terdiam. Aku yang semula masih menatap laptop berusaha menyelesaikan pekerjaan, mendongak ke arahnya. "Ini apa?" Matanya melirik ke arah surat gugatan cerai yang kuletakkan begitu saja di atas meja setelah membacanya. Segera kuraih dan menyimpannya ke dalam tas kerja."Bukan apa-apa," jawabku cepat tak ingin diketahui. "
Suasana rumah berbeda. Ada beberapa benda yang menghilang dari tempatnya. Seperti foto-foto Andin yang berjejer di dinding. Itu semua sudah tidak ada. Aku masuk ke dalam kamar. Hal yang sama terjadi juga. Foto Andin menghilang. Bahkan foto besar pernikahanku dengannya juga lenyap. Yang membuatku tercengang terdapat dua koper besar di depan lemari pakaian. Segera kuhampiri. Berat. Itu artinya ada isinya. Penasaran dengan cepat kebuka salah satu koper tersebut. Hah! Isinya pakaianku semua. Koper satunya kubuka juga, dan isinya pun sama. Semua pakaianku tersusun berantakan di dalamnya. Isi lemari pakaian juga kosong, semua pakaianku pasti sudah dimasukkan ke dalam koper tersebut."Argh!" Aku mengerang nyaring dan membanting kursi yang ada di depanku. Kesal. Apa benar semua ini pekerjaan Andin? Tega sekali dia melakukan semua ini. Paling tidak semua bisa dibicarakan baik-baik dan mungkin dengan rayuan mautku Andin mau rujuk kembali. Bukan seperti ini, Din, caranya. Ini sangat menge
"Syukurlah kandungannya masih bisa diselamatkan. Erika harus banyak istirahat, kata dokter ia harus bed rest total. Jangan terlalu banyak beraktivitas yang berat di masa trimester pertama karena masih rawan," ujar Ibu mengulang penjelasan dokter. "Untung saja cuma flek kecil, Ibu kaget waktu dia bilang ada darah, kira Ibu pendarahan," lanjutnya dengan mengelus dada. Kutarik napas perlahan dan membuangnya kasar setelah mendengar informasi dari Ibu. Lega, syukurlah Erika dan kandungannya masih dilindungi Tuhan, dan apa yang kuduga tidak terjadi. "Jak, tenanglah, Erika dan bayinya baik-baik saja. Sekarang kita harus ekstra menjaga Erika, biar kandungannya sehat." Ibu menepuk bahuku pelan mencoba menenangkan. Mungkin Ibu menyadari mataku yang menerawang dengan pikiran kosong seperti orang banyak pikiran. Ibu pikir masih mencemaskan Erika, padahal bukan, melainkan Andin. "Ingat, Jak. Secepatnya kamu urus perceraianmu dengan Andin. Ibu rasa faktor lain yang membuat Erika mengalami flek
Alunan nada menggema dari benda pipih yang berada di atas nakas. Entah sudah berapa berapa lama benda tersebut berdering, tapi tidak kuhiraukan. Pikiran kacau, bahkan setelah sampai di rumah Ibu, aku hanya merebahkan diri di kasur tidak ingin beranjak kemanapun. Masih dengan pakaian sama yang sudah tidak jelas bentuknya. Tanganku menggapai ke atas nakas mencari benda yang masih berdering tersebut. Suaranya memekakkan telinga, terlalu bising untukku yang saat ini butuh ketenangan. "Jaka, kamu kemana saja? Tidur? Ibu lama nungguin kamu hampir sejam kenapa tidak datang?" Omelan Ibu menyadarkanku yang lupa untuk kembali ke rumah sakit. Beringsut kuturuni ranjang dengan malas. "Iya, Bu. Maaf Jaka ketiduran," jawabku berbohong sembari melepas baju bersiap ke kamar mandi. "Jaka … Jaka. Benar dugaan Ibu kamu pasti tidur. Ya sudah, cepat ke sini, Ibu tunggu!" Telepon dimatikan Ibu sepihak. Sepertinya beliau marah. Aku sudah tidak peduli. Kulempar sembarang ponsel ke atas tempat tidur dan
POV Andin Sudah berapa lama aku berdiri di depan jendela. Menikmati gemericik air hujan yang turun membasahi bumi pertiwi. Buliran air bening hangat juga ikut merembes di pelupuk mata membasahi kedua pipi. Sudah sekian kali dihapus, jejaknya tetap masih ada. Kusibak gorden jendela, berharap sosok yang kutunggu itu hadir, tapi kenyataan tak seindah harapan. Lelaki yang sudah membersamaiku selama tiga tahun ini belum juga menampakkan batang hidungnya. Janjinya untuk pulang malam ini sepertinya hanya tinggal janji. Mungkin benar kabar itu kalau saat ini ia sedang bersenang-senang dengan wanita lain, seperti yang telah dilaporkan oleh seseorang kepadaku.*** "Andin, suamimu mana?" Dahiku mengernyit saat ditanya Lola seperti itu. Dia meneleponku bukan salam yang diucapkannya terlebih dahulu, melainkan sebuah pertanyaan yang mengherankan. "Salam dulu zheyenk, assalamualaikum," tegurku mengingatkan. "Iya, assalamualaikum. Waalaikumsalam," ujarnya menjawab sendiri salamnya. Aku hanya m
POV Andin. "Harus begini Lol?" Dahiku mengernyit diminta Lola membuat surat ucapan perpisahan. Menurutku, kita sekarang hidup di era teknologi yang berkembang pesat. Bukan jamannya lagi menggunakan surat sebagai alat komunikasi. Bisa saja kan langsung berkirim pesan lewat ponsel atau bikin video. "Ini biar lebih dramatis, Ndin. Biar Jaka itu tersayat hatinya. Kalau perlu menangis darah," sahut Lola dengan ekspresi wajah berlebihan. "Iya kalau dibaca. Kalau nggak? Sia-sia Lol," bantahku kurang yakin dengan ide Lola. Kami sekarang berada di rumahku mendiskusikan sebuah rencana yang dibuat Lola untuk membuat Bang Jaka menyesal. Lagipula Bang Jaka tidak akan pulang karena dia lagi bersenang-senang di rumah Ibu. Izinnya denganku ada kerjaan dinas ke luar kota. Padahal bohong belaka. Aku tahu semua ini dari informasi yang diberikan Lola. Orang suruhan Lola selalu cepat memberikan info terkini tentang Bang Jaka dan segala aktivitas yang dilakukannya. "Pasti dibaca, percaya sama aku. Le